HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO), juta orang di seluruh dunia terinfeksi

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi

Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis KATEGORI KRITERIA FOTO

Proses Penularan Penyakit

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

Prevalensi pre_treatment

BAB I PENDAHULUAN. berupa penemuan fosil dan tes DNA (Vila et al., 1997). Anjing telah menjadi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bahwa di negara yang sedang berkembang seperti

POTENSI NYAMUK Aeries albopictus (DLE'TERA : CULICIDAE) SEBAGAI. VEKTOR DirojiZaria inzmitis (NEMATODA : FILARIIDAE) PADA ANJING HAMNY B

BAB I PENDAHULUAN. yang beriklim sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup leptospira yang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

BAB 1 PENDAHULUAN. Dengue adalah penyakit infeksi virus pada manusia yang ditransmisikan

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN SOEKARNO HATTA

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

JUMLAH KUNJUNGAN KE TAMAN NASIONAL KOMODO MENURUT NEGARA ASAL TAHUN 2012

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB IV PENGGUNAAN METODE SEMI-PARAMETRIK PADA KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PULAU JAWA DAN SUMATERA

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN TENGAH JUNI 2012

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH APRIL 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

Pasal 3 Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH MEI 2015

Tema I Potensi dan Upaya Indonesia Menjadi Negara Maju

BAB I PENDAHULUAN. Aedes aegypti adalah jenis nyamuk yang tidak. asing di kalangan masyarakat Indonesia, karena

Perkembangan Ekspor Impor Jawa Tengah Maret 2007

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Ekonomi Pertanian di Indonesia

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI BENGKULU, AGUSTUS 2016

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHUTANAN Nomor.: P.3/II-KEU/2010 TENTANG

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) merupakan penyebab utama

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau yang disebut Dengue

1. BAB I PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN TENGAH OKTOBER 2012

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR JAWA TENGAH AGUSTUS 2017

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGAH

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI BENGKULU, JULI 2016

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian demam berdarah dengue (DBD) di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Data di seluruh dunia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

2 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH DESEMBER 2014

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH DESEMBER 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2015

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE

Anggota Klaster yang terbentuk adalah sebagai berikut :

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR JAWA TENGAH JULI 2017

Transkripsi:

28 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik anjing impor Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan (2008), tercatat sebanyak 548 ekor anjing impor dari berbagai negara yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta selama bulan Januari Nopember 2008. Dari total jumlah anjing impor tersebut dilakukan pemeriksaan status infeksi CHD terhadap 134 ekor (24,5%) terdiri atas 63 ekor betina dan 71 ekor jantan. Anjing tersebut diimpor dari 33 negara di wilayah Eropa, Amerika, Australia dan Asia (Tabel 6). Kisaran umur anjing yang diambil sampel darahnya antara 6 bulan sampai 18 tahun. Pengambilan sampel pada anjing dengan batas umur minimal 6 bulan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kit ELISA yang digunakan mampu mendeteksi antigen D. immitis dewasa dalam sirkulasi darah minimal 6 bulan pasca infeksi (Atwell 1986). Ras anjing yang diimpor sangat bervariasi namun dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu ras dengan jenis rambut panjang sebanyak 92 ekor dan ras dengan jenis rambut pendek sebanyak 42 ekor. Jenis-jenis ras yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Manajemen pemeliharaan anjing tidak dapat diketahui karena sebagian besar anjing impor tidak dibawa langsung oleh pemilik melainkan menggunakan biro jasa pengiriman. Gambar 7. Contoh Ras anjing bulu panjang (Australian Silky Terrier) Gambar 8. Contoh Ras anjing bulu pendek (Labrador)

29 Tabel 5 Jenis ras anjing yang diperiksa selama penelitian Ras Rambut Panjang Collie Pomeranian Poodle Cocker Spaniel Herder Spaniel Pekingesse Chow-Chow Maltesse Shihtzu Schnauzer West Highland Terrier Sheltie Bichon Friese Golden Retriever Scot Terrier Pappilon Cockapo Siberian Alaskan Ras Rambut Pendek Dachshund Boxer Rottweiller Bull Bulldog Basset Hound Pincher Chihuahua Prevalensi CHD berdasarkan faktor risiko Prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari Nopember 2008 adalah sebesar 8,2% (Tabel 7). Jumlah anjing yang terdeteksi positif CHD adalah sebanyak 11 ekor berasal dari negara Malaysia, Singapura, India, Republik Rakyat Cina, Oman, Australia, USA, Jerman dan Rumania, dengan infeksi terbanyak terjadi pada anjing asal Malaysia. Jika ditinjau dari kategori wilayah, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing yang berasal dari wilayah Australia yaitu sebesar 11,1% diikuti wilayah Asia (10,6%), Eropa (6,5%) dan Amerika (3,6%). Secara statistik tidak ditemukan keterkaitan yang signifikan antara prevalensi infeksi dengan wilayah asal anjing impor (Tabel 6). Status kesehatan hewan selama berada di Instalasi Karantina tercantum pada Tabel 7.

30 Tabel 6 Hasil analisis menggunakan chi square test dengan tingkat kepercayaan 95% Faktor Risiko Jml anjing yang diuji Hasil uji Prevalensi (%) positif negatif Wilayah Asal Asia 1) 66 7 59 10,6 Eropa 2) 31 2 29 6,5 Australia 9 1 8 11,1 Amerika 3) 28 1 27 3,6 Periode importasi *) Januari Juni 61 0 61 0 Juli Desember 73 11 62 15 Jenis Kelamin Jantan 71 6 65 9,4 Betina 63 5 58 8,6 Kelompok Umur (Tahun) 0.5 3 101 8 93 7,9 4 6 17 1 16 5,9 > 6 16 2 14 12.5 Ras berdasarkan panjang rambut Rambut Panjang 92 6 86 6,5 Rambut Pendek 42 5 37 11,9 Keterangan: 1) terdiri atas Taiwan, Jepang, Republik Rakyat Cina, Oman, Saudi Arabia, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan dan India. 2) terdiri atas negara Belgia, Jerman, Belanda, Swiss, Spanyol, Italia, Inggris, Yunani, Hungaria, Rumania, Serbia, Republik Ceko, Republik Czechnia dan Uzbekistan 3) terdiri atas USA, Canada dan Brazil *) berbeda signifikan pada tingkat kepercayaan 95%

31 Tabel 7 Status kesehatan hewan yang dideteksi positif CHD Kode Sampel Negara asal Signalemen Status Present Keterangan 224a Malaysia Ras: golden Kondisi umum retriever, sex: betina, (KU): ada luka di telinga,telinga umur: 3 thn kotor, bulu kusam, mulut caries, Temp (T)=38,4 C, Nadi: 100/mnt, respirasi (resp)=28/mnt 214 Malaysia Ras: Australian KU: baik, Silky Terier jamuran T= Sex: betina, 38,5 C, nadi= umur: 4 thn 80/mnt, resp=100/mnt 267 Jerman Ras: Rottweiler, KU: flu,selaput Mati setelah sex: jantan, lendir pucat, keluar dari umur: 1 thn T=38,1 C, karantina dan nadi=88/mnt, ditemukan resp=100/mnt cacing jantung pada nekropsi 386 Cina Ras: mix, sex: KU: baik, jantan, umur: 6 bln normal 282a Rumania Ras: labrador, KU: baik, sex: jantan, normal umur: 7 thn 237 Malaysia Ras: Labrador, KU: baik, sex: betina, normal umur: 3 thn 321 Oman Ras: Spitz KU: baik, nadi: Terrier, sex: 60/mnt, resp: jantan, umur: 3 32/mnt thn 344 Australia Ras; Maltesse, KU: baik, sex: jantan, normal umur: 2 thn 365 Singapura Ras: Shihtzu, KU: baik, sex: jantan, telinga kotor, umur: 1 thn caries, nadi: 80/mnt, resp: 104/mnt, 370 India Ras: German KU: baik, Sheperd, sex: telinga kotor, betina, umur: 11 nadi: 148/mnt, thn resp: 100/mnt 387 USA Ras: KU: baik, nadi: Pomeranian, 120/mnt, resp: sex: betina, 116/mnt umur: 1 thn

32 Amerika 3.6% Australia 11.1% Asia 10.6% Eropa 6.5% Gambar 9 Prevalensi berdasarkan Wilayah Asal Hasil pemeriksaan terhadap anjing yang masuk selama periode bulan Januari Juni 2008 menunjukkan tidak ada anjing yang terinfeksi D.immitis. Pada periode importasi Juli Nopember 2008 terdeteksi adanya infeksi cacing jantung pada 11 ekor anjing (15%). Analisa statistik menunjukkan adanya keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi infeksi cacing jantung pada anjing yang masuk melalui BBKP SH (P< 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa risiko anjing terinfeksi yang diimpor pada bulan Juli Nopember lebih besar dibanding 6 bulan pertama. Tidak dapat diketahui nilai Odds Ratio pada analisis ini disebabkan adanya prevalensi sebesar 0% pada bulan Januari Juni (Thrusfield 2005). Analisis lebih lanjut menunjukkan prevalensi dugaan (confident interval) infeksi cacing jantung pada periode Januari Nopember adalah antara 3,56 12,86%. Prevalensi dugaan (confident interval) yang lebih tinggi ditemukan pada bulan berisiko (Juli Nopember) yaitu antara 6,86 23,28%.

33 70 60 50 40 30 20 10 0 61 62 0 11 januari - juni juli - nopember positif negatif Gambar 10 Prevalensi berdasarkan Periode Impor Temuan ini mengindikasikan bahwa penyebaran infeksi cacing jantung pada anjing telah 0% meluas ke berbagai penjuru dunia. 15% Berbagai studi menunjukkan prevalensi cacing jantung yang tinggi pada anjing di berbagai negara Asia. Tingkat kejadian CHD pada anjing di Malaysia tercatat sebesar 25,8% (Retnasabapathy dan San 1976), sedangkan Boonyapakorn et al. (2008) mencatat 18.2% pasien anjing yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Universitas Chiang Mai Thailand menderita dirofilariosis. Tingkat prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di Taiwan dan Korea Selatan yaitu masing-masing sebesar 57% (Wu dan Fan 2003) dan 40% (Song et al. 2003). Di Amerika, infeksi tersebar luas. American Heartworm Society (2007a) melaporkan bahwa infeksi CHD ditemukan di 50 negara bagian USA. Semua anjing berdasarkan umur, jenis kelamin atau habitat rentan terserang CHD. Infeksi tertinggi (sampai 45%) pada anjing diamati pada Teluk Mexico sampai New Jersey dan sepanjang Sungai Mississipi. Wilayah lain mempunyai tingkat insidensi yang lebih rendah (kurang dari 5%) namun insidensi ini dapat meningkat pada beberapa wilayah yang mempunyai kondisi lingkungan, populasi nyamuk dan populasi anjing yang mendukung terjadinya infeksi CHD. Nelson et al. (2003) dalam tulisannya mengemukakan bahwa survei regional yang dilakukan pada coyote sepanjang tahun 1995 1997 di Illinois menunjukkan prevalensi secara umum adalah 16% dan jika ditinjau secara regional, prevalensi meningkat dari bagian utara (3,4%) ke bagian selatan Illinois (40%). Perbedaan prevalensi ini dijelaskan terkait dengan habitat nyamuk, dimana di wilayah selatan merupakan dataran rendah, hutan dan rawa. Habitat ini disukai oleh 3 jenis

34 nyamuk yaitu Aedes canadensis, Aedes trivittatus dan Aedes vaxans yang merupakan vektor CHD di wilayah tersebut. Lok (1988) dalam tulisannya melaporkan bahwa Australia merupakan daerah enzootik terhadap D. immitis, khususnya sepanjang Australia bagian utara dan timur. Dalam wilayah ini, prevalensi infeksi CHD terjadi sampai mendekati 90%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kejadian infeksi lebih banyak terjadi pada wilayah dengan temperatur hangat dibanding dataran tinggi. Transportasi anjing secara bebas dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya merupakan faktor utama penyebaran D. immitis di Australia. Institusi karantina Australia (Australian Quarantine and Inspection Services/AQIS) mempersyaratkan bagi anjing/kucing yang akan masuk ke wilayah Australia, khususnya yang belum pernah terpapar CHD untuk melakukan tindakan pencegahan setidaknya 4 bulan sebelum masuk ke wilayah Australia (AQIS 2008). Keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi infeksi cacing jantung mungkin terkait dengan waktu terjadinya infeksi di negara asal. Dalam penelitian ini anjing dari negara empat musim (temperate region) yang positif antigen D. immitis terdeteksi pada periode bulan Agustus-November. Berdasarkan kemampuan deteksi Kit, diduga anjing tersebut terinfeksi pada periode bulan Februari-Mei yaitu bertepatan dengan musim semi sampai musim panas. Berdasarkan laporan AHS (2007b), puncak transmisi D. immitis di Hemisphere bagian utara adalah bulan Juli dan Agustus. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor yang memegang peranan penting dalam transmisi D.immitis. Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14 C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva bahkan ketika temperatur harian rata-rata mendukung kelanjutan perkembangannya. Pada suhu 27 C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 14 hari. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21 C) akan mendukung perkembangan nyamuk. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis, dimana larva akan

35 berkembang lebih cepat pada temperatur hangat (Abraham 1988). Lebih lanjut dijelaskan bahwa mikrofilaria banyak terdapat pada sirkulasi darah sepanjang musim semi dan musim panas dibandingkan musim hujan dan musim gugur. Negara dengan 2 musim umumnya mengalami musim hujan pada bulan September Februari dan musim kemarau pada bulan Maret Agustus. Anjing yang berasal dari negara dengan 2 musim, dideteksi positif mulai bulan Juli, sehingga diduga bahwa hewan mulai terinfeksi pada bulan Februari. Periode waktu tersebut merupakan akhir dari musim hujan dan awal dari musim panas sehingga temperatur lingkungan mulai meningkat. Periode waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stadium larva berbeda pada setiap geografi. Sebagai perbandingan, di daerah Aceh L3 ditemukan 3 hari lebih cepat dibanding wilayah Bogor (Karmil 2002). Daerah Istimewa Aceh beriklim tropis, musim kemarau terjadi pada bulan Maret Agustus dan musim hujan antara September dan Februari, curah hujan 1000 2000 mm, temperatur maksimum rata-rata 30-33 C, temperatur minimum 23-25 C dan kelembaban relatif antara 65 75%. Sedangkan Bogor dikenal dengan kota hujan dimana temperatur maksimum ratarata 28-31 C, temperatur minimum 21-24 C dan kelembaban relatif antara 65 75%. Prevalensi infeksi D. immitis pada anjing jantan (9,4%) lebih tinggi dibanding betina (8,6%), namun tidak ada asosiasi antara prevalensi dan jenis kelamin. Tingkat kejadian infeksi yang lebih tinggi pada jantan daripada betina juga sejalan dengan penelitian oleh Byeon (2007), namun lebih lanjut dijelaskan bahwa perbedaan jenis kelamin ini tidak berpengaruh nyata ketika dibandingkan dengan umur dan manajemen pemeliharaan anjing. Infeksi CHD dapat menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi dan kesuburan pada coyote disebabkan menurunnya efisiensi mencari mangsa, meningkatnya metabolisme dan menurunnya nafsu makan (Nelson et al. 2003). Dalam studinya ditemukan bahwa coyote betina yang terinfeksi, memproduksi lebih sedikit fetus.

36 betina 8.60% jantan 9.40% Gambar 11 Prevalensi Berdasarkan Jenis kelamin Hasil analisis terhadap kategori umur anjing didapatkan prevalensi tertinggi pada kelompok umur di atas 6 tahun yaitu sebesar 12,5% diikuti dengan kelompok umur 0,5-3 tahun (7.9%) dan kelompok umur 4 6 tahun (5,9%). Secara statistik tidak ditemukan perbedaan yang nyata diantara ketiga kelompok umur. Beberapa penelitian terdahulu mengidentifikasi bahwa infeksi CHD paling rentan terjadi pada anjing-anjing yang berumur sekitar 4 8 tahun dan menurun setelah umur tersebut (Byeon 2007 dan Song et al. 2003). Hal ini menjelaskan studi yang dilakukan saat ini bahwa prevalensi pada umur di atas 6 tahun paling tinggi dibanding kategori umur lainnya. Nelson et al. (2003) menjelaskan bahwa prevalensi pada hewan yang lebih tua dapat disebabkan karena meningkatnya waktu keterpaparan hewan terhadap nyamuk yang terinfeksi.

37 Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan adanya imunitas protektif terhadap perkembangan D. immitis pada anjing dan sejenisnya. > 6 TH 12.50% 0,5 3 TH 7.90% 4-6 TH 5.90% Gambar 12 Prevalensi berdasarkan Kategori Umur Prevalensi berdasarkan kategori ras anjing, prevalensi tertinggi ditemukan pada ras anjing berambut pendek yaitu sebesar 11,9% dibanding kelompok ras anjing berambut panjang (6,5%). Tidak ada asosiasi antara prevalensi dengan panjangnya pendeknya rambut anjing. Panjang pendeknya rambut anjing dapat merupakan salah satu faktor yang dapat dikaji sebagai faktor risiko terinfeksi D. immitis. Hal ini terkait dengan risiko terpapar nyamuk. Ras anjing rambut pendek kemungkinan akan terpapar nyamuk lebih mudah dibandingkan ras anjing dengan rambut yang panjang. Meskipun prevalensi pada anjing ras rambut pendek lebih besar dari ras rambut panjang, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara keduanya.

38 RAS RAMBUT PENDEK 11.90% RAS RAMBUT PANJANG 6.50% Gambar 13 Prevalensi berdasarkan Kelompok Ras Anjing Rentangan mikrofilaremik tinggi ini selalu terjadi pada saat aktivitas menggigit vektor berlangsung, tetapi aktivitas menggigit vektor tidak selalu dibarengi dengan kejadian mikrofilaremik tinggi. Dalam hubungan ini, mf membutuhkan keberadaan nyamuk sebagai inang perantara untuk mempertahankan kelestariannya dan sebaliknya nyamuk tidak membutuhkan mf dalam hidupnya. Aktivitas menggigit nyamuk semata-mata dilakukan untuk memperoleh darah sebagai makanannya (Karmil 2002). Prevalensi CHD yang terdapat pada anjing impor merupakan risiko terhadap penyebaran penyakit ini di Indonesia. Karmil (2002) menegaskan bahwa Armigeres subalbatus, Aedes albopictus dan Aedes Aegypti merupakan vektor yang paling potensial untuk D. immitis di Indonesia. Kombinasi peran dari ketiga jenis vektor ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menunjang penyebaran CHD, karena Aedes aegypti merupakan nyamuk yang terbiasa dijumpai di dalam rumah, Aedes albopictus di luar rumah dan Armigeres subalbatus bisa dijumpai di dalam maupun luar rumah. Hal ini menyebabkan manajemen pemeliharaan anjing kemungkinan menjadi tidak lagi terlalu berpengaruh karena anjing yang dipelihara di dalam rumah pun dapat terinfeksi nyamuk.

39 Pada studi ini juga dilakukan uji terhadap anjing milik Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta dan dipelihara di dalam instalasi karantina. Dari 4 ekor anjing yang diuji, 1 ekor menunjukkan positif CHD, yaitu anjing betina berumur > 6 tahun. Dilihat dari manajemen pemeliharaan, anjing ini dipelihara di dalam kandang yang diberi kasa nyamuk. Namun kondisi kasa tersebut sudah tidak utuh lagi, beberapa bagian sudah ada yang rusak (robek). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat risiko penularan CHD dari anjing impor ke anjing lokal dan sebaliknya. Data ini merupakan masukan yang sangat berguna bagi institusi karantina dalam meningkatkan upaya pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan di Indonesia. Senler et al.(2003) melaporkan bahwa D. immitis merupakan salah satu endoparasit yang dapat menyebabkan kematian pada anjing. Nekropsi yang dilakukan terhadap anjing di wilayah Van, Turki menunjukkan bahwa dari 15 ekor anjing, sebanyak 3 ekor (20%) ditemukan D. immitis. Di India, D. immitis juga merupakan salah satu penyebab kematian canidae. Pada nekropsi yang dilakukan Rao dan Acharjyo (1995) terhadap hewan-hewan yang mati kebun binatang Nandakan India, ditemukan D. immitis pada serigala, jackal, anjing liar dan hyena. Total waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus hidup D. immitis isolat lokal adalah berkisar antara 134 138 hari. Siklus ini lebih pendek dibandingkan dengan isolat D. immitis di luar negeri. Menurut Soulsby (1986), lamanya waktu dalam satu siklus hidup D. immitis isolat Jepang sekitar 145 185 hari. Mengingat siklus hidup D. immitis di Indoneisa sangat pendek, maka penambahan kasus CHD baru dalam kurun waktu tertentu lebih cepat dibandingkan di negaranegara lain. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa pada populasi anjing umur 1 tahun minimal ada 2-3 generasi cacing dewasa di dalam tubuhnya. Perbandingan Metoda Pengujian D. immitis Perbandingan hasil diagnosa dirofilariosis melalui pemeriksaan laboratorium dengan metoda Knott dan deteksi antigen dengan uji ELISA dapat dilihat pada Tabel 8. Dari 11 sampel yang diuji dengan metode Knott dan ELISA, terdapat satu sampel yang menunjukkan positif pada pemeriksaan serologi namun tidak terdeteksi dengan metode Knott baik pada sampel yang diambil pada pukul

40 10.00 maupun pukul 22.00. Tabel 8. Hasil Pengujian D. immitis dengan metoda Knott dan Serologis. Metode Pengujian Positif negatif Total Knott a. Pengambilan pukul 0 11 11 10.00 b. Pengambilan pukul 0 11 11 22.00 Serologi 1 10 11 Hasil negatif pada pemeriksaan metode Knott dan positif pada pemeriksaan serologi mengindikasikan anjing tersebut dalam kondisi occult infection. Kondisi ini menyebabkan hasil pemeriksaan negatif palsu yang dapat disebabkan oleh: (A) ketidakmampuan memproduksi mikrofilaria akibat (1) cacing yang menginfeksi anjing hanya satu ekor, (2) cacing yang menginfeksi anjing adalah single sex, (3) parasit masih berada dalam usia infeksi (belum dewasa) atau (4) infeksi ektopik; (B) Infeksi menghasilkan mikrofilaria namun dihancurkan oleh mekanisme pertahanan tubuh inang (disebut juga immunemediated occult); dan (C) produksi mikrofilaria berkurang atau berhenti bahkan cacing betina menjadi steril akibat efek dari obat-obat antiparasit (Atwell 1988). Sejalan dengan hasil penelitian Courtney dan Zeng (1999), dari 963 ekor anjing yang di nekropsi, dikonfirmasi positif terhadap cacing jantung sebanyak 834 (86,6%) menggunakan kit ELISA DiroCHECK dan 504 (52,3%) ditemukan mikrofilaremia dengan pemeriksaan modified Knott. Hanya 2 ekor anjing (0,4%) dengan mikrofilaremia dideteksi negatif oleh kit ELISA DiroCHECK sedangkan 18 ekor lainnya (3,6%) dideteksi positif. Kombinasi uji Knott dan uji antigen akan meningkatkan akurasi pengujian secara keseluruhan (Tarello 2004). Hoover et al. dalam Tarello (2004) memperoleh akurasi hasil pengujian 95% ketika menggunakan uji Knott dan DiroCHECK secara bersamaan.