Sampel novel 7 Days Waiting for Reincarnation oleh Erin Dharma Damayanti MENJADI seorang karyawati kantor yang sama sekali tidak bisa mengendarai apapun selain sepeda memang merepotkan, tapi aku mensyukurinya. Dan aku lebih bersyukur pada lokasi rumahku yang memang berdekatan dengan Stasiun Jayakarsa. Cukup naik sepeda selama lima belas menit, aku sudah sampai di stasiun tersebut.
Aku sengaja tidak mengambil kontrakan ataupun tempat kost di daerah yang cukup dekat dengan kantor tempatku bekerja, karena percaya atau tidak, kantorku itu sangat kecil. Tak ada parkiran motor kecuali di lantai atas yang sangat penuh, dan aku yakin sepedaku akan dilarang parkir di sana. Lagipula aku memiliki kewajiban untuk mengurus adikku, Remi, yang usianya baru menginjak enam belas tahun. Ah, satu lagi, ia tak mau kalau kita pindah ke tempat lain. Aku tidak mau meninggalkan Yoga hanya karena pekerjaanmu. Kau kan bisa naik kereta, kupikir itu cukup hemat daripada harus membayar uang bulanan yang lebih besar. Itu yang dia katakan saat aku tanyakan pendapat. Well, bahkan dia memilih pacarnya dibanding aku. Tepatnya pekerjaanku. 2 Aku tidak bisa marah padanya karena beberapa alasan: pertama, perkataannya memang benar, aku
baru menyadarinya sekarang, tapi sungguh waktuku hanya habis di kereta dan aku harus bangun pagi sekali agar tidak terlambat. Kedua, Yoga cukup baik denganku, sering membantu kami berdua saat kesusahan, walau dia agak sedikit menyebalkan karena mengolok-olok masakanku yang katanya kurang garam. Setidaknya dua alasan itu cukup membuatku bertahan di sini. Remi tiba-tiba datang saat aku tengah memakai sepatu bewarna hitam pemberiannya. Kau berangkat pagi sekali, ini baru jam lima, katanya. Jujur saja aku tidak menyukainya, bentuknya seperti moncong tikus dan terlihat kuno. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya sepatu hitamku. Aku menoleh pada Remi. Jam kerjaku lebih maju sekarang. Aku menekan kakiku agar masuk 3
lebih dalam. Sebenarnya sepatu ini sudah kekecilan untukku. sampai-sampai jari telunjuk kakiku terasa tertekuk. Remi menguncir rambutnya yang baru ia potong shaggy kemarin, ia membuka tudung saji dan wajahnya langsung terlihat malas. Aku tak sempat masak jadi kau saja ya? Tak usah muluk-muluk, udang goreng tepung disiram saus tiram enak menurutku, ujarku bersamaan dengan selesainya memakai sepatu. Remi mendengus. Aku masuk ke dalam kamar, mengambil tas punggungku dan sekali lagi mematut diriku di cermin. Kurasa tidak buruk. Setidaknya celana bahan hitam dan blouse biru muda ini masih terlihat baru walau aku sudah membelinya tiga bulan lalu. 4
Detik berikutnya aku terganggu oleh rambut panjangku yang tergerai, lalu tanpa basi-basi, aku langsung mengikatnya membentuk cepol. Kalau kau masih terus berkaca seperti itu, kau bisa telat. Remi menghampiriku, tangannya berkacak pinggang. Oke, sebenarnya, dan asal kau tahu saja, aku bahkan merasa Remi adalah kakakku, bukan adikku. Maksudku begini, dia lebih dewasa, bahkan masakan Remi lebih enak dariku. Dia juga bisa membuat keputusan cepat dan tepat, sangat jauh berbeda denganku yang tidak punya pendirian dan suka mengulur waktu. Aku kembali memeriksa make-up tipis yang menempel di wajahku, lalu berbalik badan dan mendapati Remi yang memasang muka malas. 5
Bagaimana penampilanku? tanyaku, memutar tubuhku menjadi tampak depan, samping dan belakang. Tak ada yang berubah dari kemarin, tetap kuno, jawab Remi sarkastik. Aku mendengus. Tambahan lagi, bahkan sebagai adik, Remi lebih fashionable dariku. Lihat saja rambutnya yang di cat sekarang, sedangkan aku bahkan masih ragu menghilangkan rambut hitam alamiku. Baiklah aku berangkat. Aku beranjak mengambil sepedaku sedangkan Remi mengantarku ke depan pintu gerbang. Jangan kotori lagi baju atau celanamu dengan oli sepeda! 6 Aku terkekeh. Itu alasan kenapa aku pakai celana panjang hitam kali ini.
Aku mulai mengayuh sepedaku keluar gerbang, berjalan di sisi kiri jalan raya sambil sesekali menyapa tukang ojek yang sudah aku kenal. Jalanan lumayan sepi saat jam lima hingga aku bisa menyebrangi jalan walau lampu lalu lintas masih bewarna merah. Aku memarkirkan sepedaku dekat warung milik tetanggaku, lalu memberi anaknya sebungkus snack yang selalu aku bawa di tas sebagai rasa terima kasih. Aku pikir jika jalanan sepi, stasiun akan sepi. Tapi ini tidak, sangat ramai hingga aku harus mengantre hingga beberapa orang di depanku dapat masuk ke dalam. Sampai di mesin besi setinggi tulang igaku yang jujur saja aku tidak tahu namanya, aku lantas menempelkan electronic ticket yang kuisi setiap bulannya di atas sensor bewarna hijau. Sedetik kemudian, palang besi yang tadi menghalangiku berputar, seolah-olah menyuruhku untuk segera 7
masuk sebelum ia berputar lagi dan menghadang ibuibu yang antre di belakangku. Kereta lewat cepat saat aku hendak menuju peron jalur dua, jalur di mana kereta listrik mengantarkanku ke Stasiun Brawijaya. Bunyi Ting-Nong-Ting-Nong dari pengeras suara di bawah lampu bewarna merah mengiringi kepergian kereta yang sekedar lewat di stasiun ini. Beberapa saat kemudian, setelah kereta sudah benar-benar lumayan jauh, petugas keamanan yang tadi menahanku bersama orang-orang lainnya langsung memperbolehkan aku lewat. Aku menunggu kereta datang, kereta yang mengantarkanku ke salah satu stasiun yang ada di kota tetangga, sambil memikirkan kegiatan apa yang aku lakukan di dalam sana agar tak membuang waktu. Tapi saat pengumuman dari pengeras suara mengatakan bahwa ada kereta lain yang akan melewati stasiun ini melalui jalur dua, seorang lelaki 8
malah turun ke rel kereta tepat di jalur kereta tersebut akan lewat, membuat pikiranku buyar. Bukan karena lelaki itu tampan well, walau dia cukup manis, tapi dia merentangkan tangannya, tersenyum, menutup mata, seolah tidak ada apa-apa di hadapannya. Aku menggigit bibir, berbagai pertanyaan menyeruak dalam kepalaku. Apa jangan-jangan dia mau bunuh diri? Dan kenapa tidak ada yang berteriak mencegahnya atau membawanya minggir dari sana?! Aku baru hendak turun meloncati peron tapi langsung aku urungkan karena seorang ibu menahanku. Apa yang kau lakukan nak?! Kereta sudah di depan mata!! gertaknya menunjuk lokomotif kereta yang mulai terlihat. 9
Lantas suruh dia pergi dari situ! Orang itu akan bunuh diri! Aku menjawabnya dengan sedikit keras. Oh my! Ini hari indahku, aku tidak ingin melihat orang mati hari ini! Ibu-ibu itu mengerutkan kening, seolah-olah aku menyuruhnya untuk memberi makan pohon pisang. Tapi ia tidak menjawab dan malah meninggalkanku. Astaga! HEI KAU YANG DI BAWAH SANA APA YANG KAU LAKUKAN!? Cepat naik bodoh! Kereta akan menabrakmu! Aku berteriak sekeras mungkin, dan akhirnya lelaki itu menengok kepadaku. Saat aku berteriak-teriak tak karuan menyuruhnya minggir dari jalur tersebut, ia malah tersenyum kecil padaku. Senyum yang terbentuk oleh satu tarikan sudut bibir. Dan beberapa detik kemudian tubuhnya tersambar kereta. 10
Oh, Tuhan! Napasku tercekat. Aku bahkan tak melihat noda darah yang muncrat membasahi peron akibat kencangnya kereta itu membawa tubuh lelaki tadi. Aku masih shock. Tapi tiba-tiba ibu-ibu yang baru aku bentak tadi menghampiriku, ia memberikan segelas air minum. Wajahnya terlihat bingung dan khawatir. Tak ada yang tertabrak, tak ada yang berdiri di atas rel itu, dan tidak ada yang tewas, Nak. 11
Erin Dharma Damayanti, perempuan kelahiran 19 Mei 1998 ini telah menulis sejak usia dua belas tahun dan mulai mempublikasikan karya-karyanya pada usia empat belas tahun. Buku ini adalah novel pertama yang ia terbitkan melalui NulisBuku.com. Karya-karya lainnya dapat dibaca gratis melalui situs Wattpad dengan username @pluffyjelly. 12