BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan kualitas hidup. Kualitas hidup penderita PPOK merupakan ukuran penting karena berhubungan dengan keadaan sesak. Sesak menyulitkan penderita melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggunya status fungsionalnya seperti merawat diri, mobilitas, makan, berpakaian dan aktivitas rumah tangga (Khotimah, 2013). Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot merupakan hal yang berperan dalam keterbatasan aktivitas (Oemati, 2013). Prevalensi PPOK di Asia Fasifik rata-rata 5,9%, yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi di Vietnam 6,7%. Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada laki-laki umur 30 tahun sebesar 1,6% dan perempuan 0,9% (Patriani, Paramastri & Priyanto, 2010). Jumlah pasien PPOK derajat sedang dan berat pada tahun 2006 di Asia mencapai 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK (Avridoss, 2014). Di Rumah Sakit Persahabatan sebagai pusat rujukan paru, PPOK menduduki peringkat kelima dari jumlah yang berobat jalan dan peringkat keempat dari penderita yang dirawat inap (Abidin, Yunus, Wiyono & Ratnawati, 2009). Kunjungan rawat jalan pasien PPOK di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, 1
2 meningkat dari 616 tahun 2000 menjadi 1.735 pada tahun 2007 (Susanto, Prasenohadi & Yunus, 2010). Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa PPOK adalah penyebab kematian terbesar keempat pada tahun 2011, dengan tiga juta kematian di seluruh dunia, yang mewakili 5,8% dari total mortality. Di Itali, jumlah kematian yang terjadi untuk penyakit pernafasan pada tahun 2008 adalah 37.659 (6,5%) dari total kematian, 20.786 (sekitar 50%) yang terkait dengan PPOK (Roggeri, Michellato & Roggeri, 2014). Di Indonesia PPOK adalah salah satu dari 10 penyebab utama kematian (Patriani, Paramastri & Priyono, 2010). Menurut prediksi WHO, diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan menjadi penyebab kematian urutan ketiga di seluruh dunia (Oemati, 2013). Peningkatan jumlah kasus PPOK di Indonesia didukung oleh kenaikan faktor risiko yaitu umur harapan hidup, perilaku merokok dan polusi udara (Patriani, Paramastri & Priyanto, 2010). Faktor risiko utama PPOK antara lain, merokok, polutan indor, out door dan polutan di tempat kerja. Faktor risiko lain PPOK yaitu, genetik, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik. Rokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mukus dan obstruksi jalan napas. Perokok pasif juga menyumbang terhadap sympton saluran napas dan peningkatan kerusakan paru akibat partikel dan menghisap gas-gas berbahaya (Oemati, 2013). Data rekam medis RSUD Buleleng tahun 2014 dalam tiga bulan terakhir (Juli, Agustus, September) dari ketiga ruang penyakit dalam dapat dilihat pada tabel 1.
3 Tabel 1. Jumlah Pasien PPOK Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng, bulan Juli, September 2014 Agustus, Ruangan Juli Agustus September Pasien PPOK % Pasien PPOK % Pasien PPOK % Anggrek 80 3 3,8 121 2 1,7 117 4 3,4 Cempaka 113 6 5,3 101 1 1,0 110 3 2,7 Jempiring 111 3 2,7 156 6 3,8 174 7 4,0 Jumlah 304 12 11,8 378 9 6,5 401 14 10,2 Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan pasien PPOK paling banyak terdapat di ruang Jempiring dan paling banyak jumlahnya pada bulan September. Hal ini disebabakan karena jumlah pasien di ruang Jempiring lebih banyak daripada ruang Anggrek dan ruang Cempaka. Adanya penurunan jumlah pasien bulan Agustus dibandingkan bulan Juli, dan adanya peningkatan jumlah pasien bulan September dibandingan bulan Agustus. Di ruang Jempiring, adanya peningkatan pasien PPOK, dari bulan Juli, Agustus dan September. Hari rawat pasien PPOK cukup lama, lebih dari lima hari, sehingga jumlah pasien yang dirawat tiap bulan kurang dari 6 %. Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan PPOK di Indonesia, PPOK dapat menyebabkan gagal nafas (gagal nafas kronik dan akut), infeksi berulang, dan kor pulmonal. Pada gagal nafas kronik ditemukan hasil analisa gas darah PO 2 <60mmHg dan PCO 2 >60mmHg dan ph normal (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Pada penderita PPOK akan terjadi penurunan kapasitas dan kualitas kerja, peningkatan biaya hidup dan ketidakmampuan fisik. Pada pasien
4 PPOK, ditemukan kelemahan otot pernafasan, disebabkan hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutirsi kronis (Ikalius, Yunus, Suradi & Rahma, 2007). Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik yaitu dengan gas darah arteri dan oksimetri nadi. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner & Suddart, 2002). Beberapa tehnik penatalaksanaan pasien PPOK, yang berkisar dari latihan olah raga, konseling nutrisi, penyuluhan, terapi obat, penggunaan oksigen dan pembedahan dapat efektif dalam terapi PPOK (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi, edukasi, obat-obatan, terapi oksigen ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan pengobatan yang standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala, meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup mandiri dan berguna bagi masyarakat (Khotimah, 2013). Pada pasien PPOK yang telah mengalami rehabilitasi paru, gejala sesak nafasnya akan berkurang dan pernafasannya menjadi efektif karena sputum dapat dimobilisasi (Ikalius, Yunus, Suradi & Rahma, 2007). Salah satu metode non farmakologis untuk mengeluarkan sekresi mukus pada klien PPOK adalah fisioterapi dada. Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi yang digunakan dengan kombinasi untuk memobilisasi sekresi pulmonar.
5 Fisioterapi dada direkomendasikan untuk klien-klien yang memproduksi sputum lebih dari 30cc per hari atau menunjukkan bukti atelektasis dengan sinar X dada. Terapi ini terdiri dari drainase postural, perkusi dada dan vibrasi. Fisioterapi dada harus diikuti dengan batuk produktif dan penghisapan pada klien yang mengalami penurunan kemampuan untuk batuk (Potter & Perry, 2006). Pasien yang mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi, seperti pneumonia dan PPOK membutuhkan fisioterapi dada untuk mengencerkan dan membuang sekresi. Waktu yang optimal untuk melakukan tehnik ini adalah sebelum klien makan dan sebelum klien tidur. Respon yang diharapkani, pengumpulan sekresi dapat dicegah, drainase traheobranbronkhial dapat ditingkatan dan ventilasi dapat diperbaiki (Asih & Effendy, 2004). Pasien dengan sekret yang banyak dilakukan perkusi dan drainase postural untuk membuang sekret yang menyumbat, yang menjadi faktor predisposisi infeksi ( Price & Wilson, 2006) Penatalaksanaan PPOK di RSUD Buleleng dengan memberikan oksigen, nebulizer, memberikan obat injeksi dan obat oral. Bila pasien direncanakan pulang, nebulizer dihentikan dan diberikan obat inhalasi. Berdasarkan survey pendahuluan peneliti di RSUD Buleleng, menunjukkan tindakan fisioterapi dada belum dilakukan. Hal ini disebabkan perawat kurang terpapar imformasi tentang fisioterapi dada. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK, mengingat tanggung jawab perawat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu memenuhi kebutuhan oksigenasi.
6 1.2 Perumusan masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah penelitian apakah ada pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng. 1.3.2 Tujuan khusus a. Mengidentifikasi saturasi oksigen pre test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng. b. Mengidentifikasi saturasi oksigen post test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng. c. Menganalisis perbedaan saturasi oksigen pada masing-masing kelompok pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng. d. Menganalisis perbedaan pengaruh fisioterapi dada antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.
7 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Secara Praktis Meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan fisioterapi dada sehingga mengurangi keluhan pasien mengakibatkan hari rawat inap pasien PPOK menjadi lebih singkat dan kualitas hidup pasien meningkat. 1.4.2 Secara Teoritis a. Tersusun protap tentang tindakan fisoterapi dada pada pasien PPOK. b. Sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mengembangkan penelitian tentang fisioterapi dada.