LAPORAN AKHIR SURVEI PENDASARAN SOSIAL EKONOMI PROYEK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN MELALUI INOVASI DI KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Edi Basuno Ikin Sadikin Dewa Ketut Sadra Swastika PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Masalah kemiskinan lebih banyak dijumpai di wilayah pedesaan lahan kering, dimana diantara faktor penyebabnya adalah daya dukung alam yang relatif kurang, sarana dan prasarana publik belum merata, kelembagaan sosial ekonomi belum dijangkau oleh masyarakat luas, serta kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah. Sementara di sisi lain, pengembangan teknologi masih relatif tertinggal dan terkesan kurang diprioritaskan, serta pengembangan informasi dan diseminasi teknologi pertanian sepetinya belum terakses oleh petani miskin. Tujuan Penelitian 2. Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi kondisi lingkungan, terutama sarana dan prasarana fisik, sistem produksi dan pemasaran komoditas pertanian di wilayah proyek; (2) Mengidentifikasi baik kondisi berbagai kelembagaan pendukung usaha pertanian maupun kendala pengembangan agribisnis di wilayah proyek; (3) Mengetahui karakteristik rumah tangga tani, struktur penguasaan lahan, pola usaha tani, termasuk curahan tenaga kerja untuk on-farm, off-farm dan non-farm; (4) Mengetahui struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga tani; dan (5) Mengetahui tingkat penerapan teknologi usaha tani. Metodologi 3. Survei pendasaran ini dilaksanakan di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di kabupaten ini dipilih lima desa yang dianggap paling mewakili kecamatan miskin di dalam empat wilayah kecamatan. Kemudian dari tiap-tiap desa terpilih ditentukan 30 petani responden secara sengaja (purposive sampling) yang sesuai dengan filosofi dilaksanakannya P4M2I. Ke lima desa tersebut adalah: Desa Wolotopo (Kecamatan Ndona), Desa Roworena (Kecamatan Ende Selatan), Desa Bokasape Timur (Kecamatan Wolowaru), Desa Watuneso (Kecamatan Lio Timur), dan Desa Nualise (Kecamatan Wolowaru). 4. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara di tingkat petani dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan semi terstruktur, dan data sekunder, terutama yang berkaitan dengan keberadaan proyek P4M2 diperoleh melalui wawancara dengan pimpinan institusi dan tokoh-tokoh masyarakat di sekitar lokasi proyek. Informasi dan data yang dikumpulkan mencakup: (1) Sistem usaha tani dominan untuk lahan kering dan tadah hujan, (2) Tingkat penerapan teknologi untuk masing-masing komoditas, termasuk vi
teknologi pasca panen, (3) Pasar dan sistem pemasaran hasil pertanian, (4) Ketersediaan sarana produksi usaha tani, (5) Sumber pendapatan, baik on-farm, off-farm maupun non-farm, (6) Pengeluaran rumah tangga, menurut kelompok pengeluaran, (7) Kelembagaan pendukung usaha pertanian, baik jenis maupun kinerjanya, (8) Kondisi infrastruktur dalam mendukung usaha tani, (9) Sumber-sumber informasi pertanian dan permasalahannya, (10) Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam sistem agribisnis, meliputi sub-sistem pengadaan input produksi, produksi, pasca panen, kelembagaan dan infrastruktur, dan (11) Informasi lain yang relevan dengan maksud kegiatan penelitian. Hasil Penelitian Profil Kemiskinan 5. Proporsi penduduk miskin di NTT pada tahun 2000 mencapai sekitar 36,52% (Indonesia 18,95 %). Di sisi lain pada tahun 2001 dan 2002, angka perempuan miskin lebih tinggi, sebaliknya angka pada tahun 2000 dan 2003 laki-laki miskin lebih banyak dari perempuan. Pada tahun 2003 provinsi NTT menduduki peringkat ke-3 sebagai daerah termiskin di Indonesia, setelah provinsi Papua dan Maluku. Jumlah penduduk miskin di NTT pada tahun 2000 mencapai lebih dari 4,42 juta (36,52 %). Namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat jumlahnya semakin menurun, sehingga pada tahun 2003 jumlahnya tinggal sekitar 1,16 juta orang (28,62 %). Dari sejumlah itu, sekitar 51.800 orang berada di Kabupaten Ende yang proporsinya mencapai 21,91 % dari seluruh penduduk. Ambang garis kemiskinan di Kabupaten Ende adalah sekitar Rp 85,469/kapita/bulan, lebih rendah daripada garis kemiskinan di tingkat provinsi (Rp 97,387/kapita/bulan). Peran Sektor Pertanian 6. Pada tahun 2000, sektor pertanian di NTT mampu menyerap sebanyak hampir 1,16 juta orang KK atau sekitar 81,30 % dari rumahtangga miskin. Dilihat dari sisi lapangan pekerjaan, ternyata sektor pertanian mendominasi masyarakat Ende, termasuk di ke empat kecamatan contoh. Data tahun 2002 menunjukkan, dari 107.295 orang angkatan kerja, sekitar 63,16 persen bekerja di sektor primer, 18,69 persen di sektor sekunder dan 18,15 persen di sektor tersier. Hal ini merupakan pencerminan pentingnya sektor pertanian untuk terus dikembangkan di daerah kabuapten Ende. 7. Di lokasi contoh pada umumnya pekerjaan utama KK adalah pertanian (90,67 %) dan 8 persen sisanya adalah bekerja di sektor non-pertanian. Disamping pekerjaan pokok, sebagian besar responden (75%) juga memiliki pekerjaan sampingan, yaitu berupa industri/buruh industri rumahtangga tenun kain tradisional. Kondisi Biofisik Lahan Usahatani 8. Dari keseluruhan lahan yang ada di Kabupaten Ende, seluas 51.433 ha (26,13%) layak dikembangkan sebagai lahan untuk usaha pertanian tanaman pangan yang terdiri dari lahan basah 6.705 ha dan lahan kering vii
44.728 ha (87 %). Potensi lahan kering yang masih luas belum terolah dengan baik karena terbatasnya aplikasi teknologi pertanian tepat guna. Komoditas tanaman pangan yang banyak diusahakan petani adalah padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan dan komoditas perkebunan utama seperti kemiri dan kelapa. 9. Ternak yang potensial di wilayah utara adalah ruminansia besar (sapi potong, kerbau, kuda) dan unggas (ayam buras). Potensi di daerah wilayah tengah adalah ruminansia besar, ruminansia kecil (kambing, babi) dan unggas, sedangkan di daerah wilayah selatan adalah ruminansia kecil dan unggas. Potensi usaha peternakan dapat diusahakan baik secara terpadu dengan usaha tanaman pangan maupun menggunakan potensi padang penggembalaan yang terdapat di beberapa kecamatan. Infrastruktur 10. Infrastruktur pertanian secara umum masih terbatas, demikian juga fasilitas jalan desa. Jenis investasi bantuan P4m2I di Desa-desa proyek sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat setempat melalui Komite Investasi Desa (KID). Di Kabupaten Ende investasi desa hampir seluruhnya berupa pembuatan jalan, karena panjang dan kondisi jalan belum cukup memadai. Sampai penelitian ini dilakukan, semua investasi desa yang direncanakan oleh KID masih dalam proses perencanaan dan realisasi pelaksanaan. Sistem Informasi 11. Sumber informasi pertanian yang bersumber dari media elektronik juga masih menjadi kendala, karena hanya sebagian kecil penduduk yang mempunyai akses ke radio atau TV. Terbatasnya pemilikan media tersebut erat kaitannya dengan keterbatasan di segala aspek kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Demografi 12. Pada tahun 2002, penduduk Kabupaten Ende adalah 240.675 jiwa, terdiri dari 113.254 laki-laki dan 127.421 perempuan. Kepadatan penduduk rata-rata 118 jiwa/km 2 dan sex ratio = 1,13. Tingginya kepadatan di Kecamatan Ende Selatan (921 jiwa/km 2 ) berkait dengan lokasi tersebut yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan kota kabupaten. Karakteristik Rumahtangga 13. Rataan umur kepala keluarga (KK) adalah 49,27 tahun dengan kisaran 24 80 tahun. Berdasarkan distribusi kelompok umur anggota keluarga terlihat bahwa, proporsi kelompok umur penduduk usia produktif (15-55 tahun) lebih tinggi daripada jumlah penduduk golongan tidak produktif (umur 55 tahun dan 14 tahun), yaitu masing-masing mencapai 58 dan 42 persen. Rataan jumlah anggota keluarga adalah 4,41 orang/ rumahtangga. Rataan tingkat pendidikan formal KK adalah 6,88 tahun, terendah adalah 1 tahun (Desa Bokasape Timur) dan tertinggi, 15 tahun (Desa Watuneso). Meskipun begitu, sebagian besar pendidikan kepala Keluarga di daerah ini adalah lulusan Sekolah Dasar dan pernah mengenyam pendidikan tingkat SLTP. Masalah utamanya adalah kondisi viii
ekonomi keluarga, tepatnya kurang gizi, sehingga banyak anak usia sekolah dan pasca sekolah dasar ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. 14. Kondisi Tempat Tinggal dan Perlengkapannya. Rumah tempat tinggal responden memiliki rata-rata (a) luas bangunan 42,45 m 2 (8-150 m 2 ), (b) Status rumah/tanah adalah milik sendiri (88,11%), dan menumpang ke orang tua/keluarga (11,89 %), (c) luas lahan pekarangan 124,85 m 2, (d) Jenis dinding terluas adalah kayu/kulit-kayu 36,44%, Bambu/gedegbambu 29,49%, Tembok-semen/setengah-tembok/tanah 27,11%, Rumbia 11,65%, (e) Jenis lantai terluas adalah Semen/ubinteraso/keramik 64,19 %, Tanah 39,36% dan Bambu/kayu 4,62%. 15. Sumber air minum sebagian besar keluarga (87,28%) adalah mata-air, 7,54% dari air hujan dan 4,51% dari sungai. Dan hanya sekitar 3,33% keluarga di Desa Rowo Rena yang memanfaatkan air sumur. Di Kabupaten Ende memiliki musim kering (kemarau 283 hari/tahun) lebih lama daripada musim basah (hujan 82 hari/tahun). 16. Kelengkapan sanitasi (tempat mandi, cuci, kakus) dan penerangan (lampu). sudah cukup baik. Artinya, di daerah lokasi penelitian sebagaian besar sudah memakai listrik-pln (72% responden), dan lebih dari 59% rumah sudah dilengkapi dengan MCK, baik milik pribadi maupun umum. Meskipun demikian masih dijumpai di semua lokasi penelitian yang anggota keluarga yang masih menjadikan sungai (18,46%), kebun (16,74 %) dan lainnya (5,51%) sebagai kakus. Penguasaan Asset 17. Seluruh responden di desa lokasi penelitian memiliki lahan pertanian dengan luas rata-rata kebun/hutan 0,63 ha dan ladang/tegal 0,45 ha. Kemudian disusul dengan lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan masing-masing sekitar 0,22 ha dan 0,11 ha, sehingga total lahan petani 1,41 ha. Pemilikan asset ternak berupa kambing, babi, dan ayam buras. Ketiga jenis ternak hewan ternak tersebut dimiliki oleh keluarga di seluruh desa lokasi penelitian dengan sangat variatif. Kambing dimiliki oleh 10-53% petani dengan rata-rata pemilikan lebih dari 2 ekor dengan perkiraan nilai Rp.390.820. Ayam buras dimiliki oleh 37-63% petani dengan rata-rata pemilikan lebih dari 29 ekor dengan nilai Rp.127.620 dan ternak babi dimiliki oleh sekitar 46% petani, dengan rata-rata pemilikan lebih dari 2 ekor dengan nilai Rp. 766.940. Pengenalan Dan Aplikasi Teknologi 18. Dari delapan jenis teknologi yang diamati (varietas unggul baru, pemupukan berimbang, pengolahan tanah, penanaman, pengendalian hama penyakit, formulasi pakan ternak, cara panen dan pasca panen), ternyata responden yang mengaplikasikannya lebih sedikit dibanding jumlah responden yang menerima introduksi teknologi tersebut. Misalnya, di Wolotopo, untuk varietas baru, dari 40 persen responden turun menjadi 6,7 persen, untuk teknologi penanaman dari 70 persen responden turun menjadi 40 persen, untuk pemupukan berimbang dari 33,3 persen turun menjadi 3,3 persen. Pola yang serupa juga terjadi di Desa-desa contoh lainnya. Sumber informasi tempat mengadu atau ix
diskusi seluruh responden jika menghadapi masalah dalam usahataninya, adalah menghubungi sesama petani (67-95%), ketua kelompok tani (15-17%), PPL (7-10%) dan aparat Pemda setempat (5-6,7%). Tingkat Penerapan Teknologi 19. Sistem usaha tani di Ende tidak dapat dibedakan menurut musim tanam, dan masyarakat menanam hanya pada MH, karena pada MK1 dan MK2 tidak memungkinkan. Keadaan yang unik di Kabupaten Ende ini, memerlukan penanganan secara khusus. Potensi lahan yang berbeda tentu menjadi alasan utama pola tanam yang berkembang di Ende. 20. Mengingat sistem pertanian yang masih relatif sederhana di Ende, maka bibit yang digunakan adalah bibit lokal. Pada umumnya, mereka telah memahami cara-cara memilih benih local yang baik. Keterampilan semacam ini diperoleh masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai pengetahuan lokal yang terus terpelihara. Struktur Pendapatan Rumahtangga 21. Rataan pendapatan rumahtangga di lokasi penelitian adalah Rp. 4,55 juta/kk/tahun. Dengan rataan anggota 4,41 orang/kk, berarti setara dengan Rp1.032.004/Kapita/tahun atau Rp.86.000/kapita/bulan. Tingkat pendapatan paling rendah di temui Desa Watuneso Kecamatan Lio Timur, yaitu hanya sekitar Rp 4,04 juta/kk/tahun, dan tingkat pendapatan rumahtangga paling tinggi adalah di Desa Roworwna Kecamatan Ende Selatan, yaitu mencapai lebih dari Rp 5,24 juta/kk/ahun. Sebagai perbandingan (data BPS), pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Ende adalah Rp 3,74 juta/tahun. Mengingat angka garis kemiskinan di Kabupaten Ende dan Provinsi NTT (2003) sebesar Rp 84.425 dan Rp.101.292/kapita/bulan, maka berarti tingkat pendapatan responden lebih rendah daripada ambang garis kemiskinan penduduk Provinsi NTT. Namun begitu, tingkat pendapatan responden di lima Desa Kabupaten Ende, relatif masih lebih baik dibandingkan dengan tingkat ambang garis kemiskinan penduduk Kabupaten Alor (Rp. 64.660/kapita/bulan), maupun rata-rata tingkat Kabupaten Ende. Struktur Pengeluaran Rumahtangga 22. Pengeluaran rumahtangga di daerah lokasi penelitian rata-rata mencapai Rp 460.530/tahun, sementara itu tingkat pendapatan yang diperoleh adalah sekitar Rp 483.470/tahun. Lebih lanjut struktur pengeluaran rumahtangga mengungkapkan bahwa diantara kelompok pangan pokok yang paling tinggi proporsinya adalah beras, yaitu mencapai rata-rata 17,42 % (Rp.787.428/KK/ tahun). Peringkat tertinggi untuk konsumsi beras adalah Desa Bokasape Timur, Roworena, dan Desa Wolotopo, masingmasing 20,44 %, 18,21 %, dan 17,31 %. Perlu ditegaskan, bahwa tingginya proporsi pengeluaran rumahtangga yang berupa beras adalah sebagai indikasi bahwa keluarga tersebut tergolong kedalam kelompok pra-sejahtera. x
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 23. Mengingat sarana dan prasarana ekonomi dan sosial masih belum memadai serta tingkat assebilitas masyarakat terhadap sumber informasi, teknologi dan sumber-sumber ekonomi di desa-desa lokasi penelitian masih terbatas, maka peranan pemerintah daerah dan pusat sebaiknya harus lebih memperhatikan pembangunan sarana dan prasarana. Pembangunan sarana dan prasarana ini secara langsung dapat memperbaiki tingkat assesibilitas masyarakat terhadap struktur dan infrastruktur tersebut. 24. Karena masyarakat berusahatani di lahan kering yang relatif marginal, dan produktivitasnya rendah, maka uapaya perbaikan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, melalui penetrasi informasi dan teknologi terhadap budaya lokal sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat, sebab teknologi yang masuk dari luar lingkungannya tidak otomatis dipandang sebagai resep yang dapat memperbaiki sistem kehidupan sosial dan mensejarterakan masyarakat lokal. 25. Penentuan harga jual produk pertanian masih didominasi oleh pedagang sehingga petani kurang berperan, meski di tingkat rumahtangga penentuan untuk menjual produk dan membeli sarana produksi pertanian dilakukan secara kompromi. Karena insentif bagi petani sangat kurang maka usaha petani dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya menjadi kurang terangsang. Oleh sebab itu keberadaan kelompok tani perlu diberdayakan peranannya di dalam pengadaan saprodi dan pemasaran hasil pertanian. 26. Mengingat tingkat pendidikan petani umumnya masih rendah dan pemilikan asset lahan usahatani dan ternak terbatas, maka untuk meningkatkan kinerja usaha tersebut diperlukan penyuluhan dan bimbingan melalui desiminasi inovasi teknologi tepat-guna sehingga produktivitas dan pendapatan keluarga meningkat, dan tingkat kemiskinan secara bertahap dapat dientaskan. xi