BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pancasila, dan dituntut untuk menjunjung tinggi norma Bhinneka Tuggal Ika,

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

A. Perspektif Historis

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

Landasan Pendidikan Inklusif

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SIKAP GURU TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu pranata sosial yang didalamnya terdapat proses sosialisasi mengenai norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan kepada anak. Jika kita melihat sekolah, maka yang dapat kita lihat tidak hanya dalam bentuk fisik seperti bangunan beserta sarana-prasarana yang ada, melainkan juga bentuk non fisik seperti struktur-struktur sosial yang meliputi kedudukan guru, hubungan murid dengan guru, hubungan sesama guru dan hubungan antar murid, norma-norma dan pranata sosial, budaya sekolah, kelembagaan serta permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di dalamnya. Menurut Webster (1991) sekolah merupakan tempat atau institusi atau lembaga yang secara khusus didirikan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar atau pendidikan. Sebagai institusi, sekolah merupakan tempat untuk mengajar murid-murid, tempat untuk melatih dan memberi instruksi-instruksi tentang suatu lapangan keilmuan dan keterampilan tertentu kepada siswa. Tempat yang dinamakan sekolah itu merupakan satu kompleks bangunan, laboratorium, fasilitas fisik yang disediakan sebagai pusat kegiatan belajar dan mengajar. Secara non fisik, sekolah terdiri dari sistem-sistem hubungan antara mereka yang ditugaskan untuk mengajar (guru, pelatih) dengan yang diajar, yaitu murid/siswa (Karsidi, 2008). Karsidi (2008) menyatakan bahwa pendidikan sekolah mempunyai dua aspek penting, yaitu aspek individual dan sosial. Di satu pihak, pendidikan sekolah bertugas mempengaruhi dan menciptakan kondisi yang memungkinkan perkembangan pribadi anak secara optimal. Di pihak lain pendidikan sekolah bertugas mendidik agar anak mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, maka hakekat pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi realita sosial. Pendidikan harus membekali peserta didik dengan kemampuan bermasyarakat. Sistem pendidikan yang ideal akan mengintegrasikan peserta didik dengan realita, bukannya mengisolasikan anak dari masyarakat yang beragam. Salah satu bentuk pendidikan yang mengelola keberagaman tersebut dikenal dengan pendidikan inklusi. 1

Kugelmas (2004) menyebutkan bahwa di negara-negara yang telah lama menerapkan pendidikan inklusi, pendidikan inklusi dimaknai secara lebih luas dalam konteks budaya sekolah yang menekankan pada bagaimana sekolah, kelas dan struktur kurikulum didesain untuk semua anak agar dapat mengikuti pembelajaran dan berkembang secara optimal (Yusuf, 2014). Sementara itu, Ding et al (2006) menyampaikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menemukan banyak bukti baru bahwa ABK dengan berbagai hambatan fisik dan/atau intelektualnya mereka mampu mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah regular setelah guru dan sumber daya lain tersedia di sekolah, kurikulum dan pembelajaran didesain khusus sehingga memungkinkan setiap individu mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Yusuf, 2012). Amanda et al (2010) menemukan bahwa anak-anak Berkebutuhan Khusus dapat membangun pertemanan dan secara khusus membentuk pertemanan yang akrab (peers) dengan anak-anak yang memiliki karakter yang sama dengannya. Temuan semacam ini memperjelas bahwa pendekatan sosial dapat mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK dan sekaligus mempertegas bahwa pendekatan medis bukan satu-satunya solusi dalam mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK sebagaimana dilakukan sebelumnya. Implementasi pendidikan inklusif di berbagai negara pada umumnya mengacu kepada dokumen internasional pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Pendidikan Kebutuhan Khusus 1994. Dalam dokumen tersebut antara lain dinyatakan bahwa: 1. Prinsip dasar dari pendidikan inklusif adalah bahwa selama memungkinkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi dari berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pemanfaatan sumber belajar dengan sebaik-baiknya dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya. Seyogyanya terdapat dukungan dan pelayanan yang berkesinambungan dalam pendidikan inklusif. 2

2. Di dalam lingkungan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, ABK seyogyanya menerirma segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektivitas pendidikan mereka. 3. Pendidikan inklusif merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara ABK dengan teman-teman sebayanya. Penempatan ABK secara permanen di SLB atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah regular seyogyanya merupakan suatu pengecualian yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas regular tidak dapat memenuhi kebutuhan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu. Sejalan dengan komitmen dunia terhadap pendidikan inklusi sebagaimana diuraikan di atas, pemerintah Indonesia memberikan perhatian dan dukungan yang serius terhadap pendidikan inklusif melalui penetapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang antara lain menjelaskan: Pasal 5 ayat (1): setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat (2): warga negara yang memiliki kelainan fisik, mental, intelektual, emosi dan sosial, serta memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus. Ayat (3): warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4): warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memeperoleh pendidikan khusus. Pasal 11 ayat (1) dan (2): pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal 15 (penjelasan pasal 15): pendidikan khusus bagi peserta didik yang mengalami hambatan belajar karena kelainan fisik, mental, intelektual, emosi dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat diselenggarakan secara inklusif dan/atau berupa satuan pendidikan khusus. Tindak lanjut dari amanat undang-undang tersebut oleh Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif yang antara lain menyebutkan bahwa: 3

Pasal 1: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pasal 2: pendidikan inklusif bertujuan (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Pendidikan inklusi dengan demikian dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan bentuk pelayanan pendidikan, khususnya bagi anak-anak penyandang disabilitas dengan bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusi yang bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif. Secara sosiologis, hal ini bermakna bahwa inklusi merupakan sebuah struktur baru dalam pelayanan pendidikan yang dilakukan. Implementasi pendidikan inklusi di sekolah-sekolah masih sangat beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi inklusivitas pendidikan di sekolah. Sebagai sebuah paradigma baru dalam layanan pendidikan, maka berbagai perubahan yang terjadi memerlukan proses adaptasi maupun reaksi yang beragam. Perubahan kelembagaan dengan segala fungsi dan peran dalam struktur di dalamnya akan menggambarkan sistem pendidikan yang diimplementasikan di sekolah (Gergut, 2011). Mackey (2014) mengemukakan salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah pendekatan guru dalam mengelola kelas inklusi, baik menyangkut administrasi maupun metode pembelajaran yang digunakan, teachers need opportunities to increase their knowledge, understanding and implementation of inclusive practices within their classrooms, such as administration, general education teachers, special education teachers and paraprofessional can do in order to maximize the effectiveness of in-class supports. Perubahan yang dilakukan untuk membangun lingkungan pendidikan inklusi bahkan Pemerintah harus memperhatikan berbagai kebijakan sosial yang dibuatnya, antara lain menyangkut investasi sumber daya manusia terutama dalam pendidikan dan perlindungan anak, perubahan sistem pendidikan yang memperluas inovasi dan kesempatan bagi semua 4

anak, perluasan kesempatan bagi semua orang termasuk kaum perempuan. Perspektif pengkajian terhadap perubahan yang dilakukan tidak semata memperhatikan aspek biologis dan psikologis, melainkan juga sosiologis dimana segala aspek sosial yang terkait dengan inklusi bisa membangun jaringan sosial yang terintegrasi. Hubungan inklusif yang terbangun baik antara individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam merupakan nilai-nilai kemanusiaan sebagai esensi pendidikan moral yang penting (Mihaela, 2014; Castillo et al, 2014; Marin, 2014; Gedzune, 2013). Tidak semua sekolah regular memiliki kesiapan yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Hal ini disebabkan karena penyelenggaraan pendidikan inklusi tidak sekedar menyangkut masalah ketersediaan sumber daya sekolah, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan perubahan cara pandang warga sekolah tentang bagaimana mengelola pendidikan yang bermutu di tengah keberagaman peserta didik. Stubbs (2002) menyebutkan beberapa masalah yang ditemui di Afrika Selatan misalnya antara lain sikap negative, stereotype ABK, kurikulum tidak fleksibel, komunikasi tidak memadai, bahasa pengantar tidak memadai, lingkungan tidak mendukung, kebijakan perundangan, orang tua tidak terlibat, pendidik dan tenaga kependidikan tidak terlatih. Solusi atas berbagai masalah tersebut adalah melalui program-program pelatihan guru, mendorong pembelajaran kooperatif, pengayaan kurikulum, respon pro aktif terhadap kebutuhan individu, pendirian pusat sumber belajar, mereformasi peran SLB menjadi pusat sumber inklusif, keterlibatan stakeholder, fokus pada kekuatan dan kelemahan peserta didik (Karsidi, 2015). Tidak berbeda jauh permasalahan pendidikan di negara ini. Robert Lee, Wakil Direktur UNICEF untuk Indonesia menuturkan bahwa banyak orang tua yang enggan mengirim anak yang berkebutuhan khusus ke sekolah biasa karena khawatir akan mendapat penolakan atau diskriminasi, sebaliknya orang tua anak normal juga tidak menginginkan anaknya satu kelas dengan Anak Berkebutuhan Khusus karena takut proses belajar anaknya terganggu (Kompas.com, 4 November 2009). Ini menunjukkan bahwa persepsi atau paradigma, baik orang tua ABK maupun anak non ABK sama-sama tidak kondusif dalam membangun inklusivitas pendidikan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Dika (2010) bahwa 5

paradigma/pandangan masyarakat terhadap pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat serta kurikulum pendidikan inklusi belum masuk dalam kurikulum arus utama. Permasalahan implementasi pendidikan inklusi yang belum berjalan sepenuhnya juga terjadi karena lemahnya dukungan sumber daya sekolah yang dimiliki, terutama menyangkut kondisi guru, anggaran serta fasilitas atau sarana dana prasarana. Hal ini sebagaimana disampaikan bahwa kendala dalam implementasi pendidikan inklusi antara lain adalah kurang tersedianya anggaran, dukungan sumber daya manusia (terutama guru) dan support system, dalam hal ini adalah penyiapan anak (Dika, 2009a; Sunaryo, 2009). Sementara itu, kebijakan pendidikan inklusi di Indonesia juga masih dirasakan belum sepenuhnya memberikan penguatan yang jelas bagi implementasi inklusi di lapangan. Kondisi ini justru kemudian dianggap sebagai kendala yang antara lain ditunjukkan dengan kebijakan pemerintah yang tidak memisahkan komponen pendidikan khusus, dimana semestinya juga masuk dalam pengaturan umum, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa pendidikan inklusi adalah sebagai tambahan. Hal ini berdampak antara lain pada persoalan penandaan (signifikasi), dimana pendidikan inklusi tidak termasuk dalam arus utama layanan pendidikan yang dikembangkan di Indonesia sebagaimana pendidikan formal dan informal yang dengan jelas telah termaktub dalam ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di samping itu juga reproduksi kebijakan inklusi di sekolah sebagai bentuk tindak lanjut pengaturan implementasi inklusi misalnya dalam bentuk penyusunan kurikulum pembelajaran yang kaku dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak yang berbeda serta kebijakan sekolah yang belum konkret dalam mendukung implementasi pendidikan inklusi (Dika, 2009b; Sunaryo, 2009b). Salim (2010) menyatakan kendala dalam praktik pendidikan inklusi misalnya (1) belum semua provinsi, kabupaten/kota memilik peraturan daerah/regulasi khusus tentang pendidikan inklusif, (2) masih adanya sebagian warga sekolah yang kurang yakin terhadap keberhasilan pendidikan inklusif, (3) terbatasnya sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan bagi ABK di sekolah inklusi, (4) terbatasnya guru pembimbing khusus yang disediakan pemerintah di sekolah inklusi, (5) kurangnya pemahaman dan kompetensi guru regular tentang pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (6) sistem penerimaan siswa dan 6

mahasiswa baru yang masih cenderung membatasi ABK untuk dapat diterima di sekolah regular atau perguruan tinggi (Karsidi, 2015b). Karsidi (2013) menuliskan beberapa permasalahan umum penerapan pendidikan inklusi di Indonesia sebagai berikut (1) keterbatasan sumber daya manusia, baik dalam kualitas maupun kuantitas, (2) ketidakmampuan dalam melakukan modifikasi/penyesuaian kurikulum bagi Anak Berkebutuhan Khusus, (3) ketidakakuratan proses identifikasi dan asesemen bagi Anak Berkebutuhan Khusus, (4) kekurangan guru yang berkompeten dalam hal pendidikan khusus, (5) lemahnya kemampuan dalam penyusunan program pembelajaran individual, (6) kesulitan dalam manajeman kelas dengan peserta didik yang beragam, (7) kurangnya peran aktif orang tua dalam mengikuti perkembangan proses belajar anak, dan (8) kurangnya fasilitas dan sarana prasarana khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Penyelenggaraan pendidikan (sekolah) inklusi di Indonesia ke depan bisa dipastikan akan terus bertambah. Regulasi pendidikan inklusi yang diikuti dengan penguatan dukungan bagi implementasi inklusi dari pemerintah Indonesia terus dilakukan. Khususnya di Kota Surakarta, tahun 2014 telah dinyatakan sebanyak 29 sekolah sebagai sekolah inklusi. Pertambahan jumlah secara signifikan ini terjadi setelah Kota Surakarta dicanangkan sebagai kota inklusi pada tanggal 28 September 2014. Sebelum pencanangan, sebanyak 13 sekolah yang dinyatakan sebagai sekolah inklusi. Berdasarkan keberadaan sekolah inklusi di setiap kecamatan, maka Kota Surakarta telah mencapai salah satu indikator keberhasilan pada grand design pelaksanaan pendidikan inklusi, yaitu setiap kecamatan sekurangkurangnya memiliki 1 (satu) sekolah dasar dan 1 (satu) sekolah menengah pertama yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Untuk tingkat SMA hanya Kecamatan Pasar Kliwon yang belum memiliki sekolah penyelenggara inklusi (Data Kelompok Kerja Inklusi Disdikpora Kota Surakarta, 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus tahun 2015 mengenai Analisa Kesenjangan Implementasi Pendidikan Inklusi di Kabupaten Gresik, Bojonegoro dan Kota Surakarta, khususnya untuk jenjang pendidikan sekolah dasar di Kota Surakarta diperoleh data sebagai berikut: 7

Tabel 1 Evaluasi Keberhasilan Pendidikan Inklusi di Tingkat SD Di Kota Surakarta No. Sekolah Hasil Evaluasi Diri 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 SDN Pajang 1 SDN Karang Asem 1 SD Al Islam 2 SDN Kartodipuran SD Al Islam 1 SDN Carangan SDN Wiropaten SDN Harjodipuran SDN Petoran SDN Mojosongo 1 SDN Manahan SDN Bromantakan SDN Al Firdaus SDN Gebang SD Lazuardi Kamila 84% (Sangat Baik) 26,8% (Kurang) 50% (Cukup) 53,01% (Cukup) 26,8% (Kurang) 39,9% (Kurang) 41,2% (Cukup) 26,2% (Kurang) 58,2% (Cukup) 42,5% (Cukup) 74% (Baik) 69% (Baik) 93,7% (Sangat Baik) 26,3% (Kurang) 84% (Sangat Baik) Sumber: Laporan Hasil Penelitian Direktorat PKPLK, 2015 8

Berdasarkan hasil temuan tersebut dapat diketahui bahwa implementasi pendidikan inklusi pada jenjang pendidikan sekolah dasar di Kota Surakarta masih sangat bervariatif. Perkembangan jumlah sekolah inklusif secara signifikan di Kota Surakarta di satu sisi menunjukkan keberhasilan, namun pada tataran implementasinya belum menunjukkan tingkat inklusivitas yang berimbang. Penciptaan lingkungan pendidikan yang inklusif tidak hanya sekedar menjalani hari semata, tidak sekedar tindakan individu di dalamnya, tidak juga keberadaan sumber daya yang dimiliki sekolah ataupun kebijakan inklusi yang telah ditetapkan. Keseluruhan tersebut merupakan saling keterkaitan dalam sebuah praktik sosial yang berulang secara terus-menerus dalam lintas ruang dan waktu sehingga semakin kokoh hingga terwujud inklusivitas sebagaimana yang diinginkan oleh sekolah. Penyelenggaraan pendidikan inklusif berimplikasi banyak hal bagi sekolah regular. Diantaranya yang paling terlihat adalah dalam karakteristik pelayanan peserta didik. Semula sekolah regular hanya melayani peserta didik yang relatif homogen, rata-rata dan umumnya tidak memiliki kebutuhan khusus (non ABK) kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa setelah menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi maka peserta didik yang dilayani menjadi heterogen, beragam, ada yang ABK dan ada yang non ABK yang tentunya memiliki karakteristik yang khas dan menuntut pelayanan yang lebih khusus. Pendidikan inklusif menuntut perubahan radikal dalam cara berpikir tentang pendidikan, tidak hanya dalam kaitannya dengan siswa dengan kesulitan atau membutuhkan pendidikan khusus, akan tetapi juga untuk semua orang. Oleh itu, jalan menuju pendidikan inklusi adalah kompleks, mencakup perubahan dan transformasi yang melibatkan beberapa pengaturan dan pelaku (struktur dan aktor), baik orang tua, guru, siswa dan anggota masyarakat. Di antara berbagai karya ilmiah yang telah dihasilkan, belum ada yang mengkaji secara khusus mengenai dualitas struktur dan aktor dalam praktik-praktik sosial mengenai inklusivitas pendidikan yang menghubungkan dengan penandaan (signifikasi), penguasaan sumber daya (dominasi) dan legitimasi sehingga inklusi sebagai sebuah struktur baru dalam pelayanan pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah reguler. Sementara itu, di lapangan masih banyak ditemui berbagai kendala atau hambatan implementasi pendidikan inklusi yang menyangkut ketiga hal tersebut. Beragamnya persepsi mengenai pendidikan inklusi baik di kalangan guru, murid maupun masyarakat, sikap dan persepsi terhadap ABK, sosialisasi kebijakan inklusi yang 9

tidak sampai ke bawah yang berdampak pada lemahnya pemahaman tentang pendidikan inklusi, banyak sedikitnya pengalaman berhubungan dengan ABK memunculkan perbedaan perilaku inklusif yang ditunjukkan adalah merupakan fenomena-fenomena signifikasi tentang pendidikan inklusi. Belum optimalnya penguasaan dan atau pengelolaan sumber daya sekolah (baik orang, anggaran maupun fasilitas sarana dan prasarana) dalam mengimplementasikan inklusi merupakan fenomena dominasi tentang pendidikan inklusi. Di sisi lain, dukungan dari para stakeholder terkait serta harapan-harapan yang dibangun dengan diselenggarakannya pendidikan inklusi merupakan fenomena legitimasi yang keberadaannya akan memperjelas implementasi pendidikan inklusi di sekolah. Fenomenafenomena inilah yang mendorong peneliti untuk secara khusus mengkaji tentang penandaan (signifikasi), penguasaan sumber daya (dominasi) serta legitimasi tentang pendidikan inklusi sehingga bisa mendapatkan gambaran tentang pencapaian inklusivitas di sekolah, dalam hal ini adalah sekolah dasar. Guna memperoleh gambaran yang lengkap yang mungkin belum bisa terungkap dalam pengukuran tingkat inklusivitas ini, maka peneliti merasa penting untuk melengkapi kajian tentang bagaimana pola dimensi struktural pendidikan inklusi yang terjadi, sehingga inklusi benar-benar diterima sebagai sebuah struktur baru yang mewarnai kehidupan sekolah. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian konkuren dengan penerapan metode kuantitatif dan kualitatif dalam satu waktu atau satu tahap penelitian. Penelitian ini akan dilakukan kepada para guru di sekolah dasar yang dinyatakan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kota Surakarta, baik sekolah negeri maupun swasta. Mempertimbangkan keterbatasan peneliti, khususnya menyangkut waktu dan biaya, maka penelitian kualitatif secara lebih dalam dilakukan hanya pada beberapa sekolah dasar mewakili sekolah negeri dan swasta yang melaksanakan pendidikan inklusi sebelum pencanangan Kota Surakarta sebagai kota inklusi dan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi setelah pencanangan tersebut. B. Identifikasi Masalah Terdapat beberapa permasalahan mendasar dalam implementasi pendidikan inklusi di Indonesia. Dari berbagai referensi, dokumen maupun hasil penelitian dapat disimpulkan 10

bahwa implementasi pendidikan inklusi dapat diidentifikasi permasalahan yang terjadi, antara lain: 1. Permasalahan yang berhubungan dengan pengertian, pemahaman, pewacanaan, pemaknaan tentang pendidikan inklusi yang membentuk dan membangun simbol, sikap, nilai, perilaku, emosi, empati terhadap inklusi. 2. Permasalahan yang berhubungan dengan dukungan sumber daya yang memadai, baik menyangkut ketersediaan guru, sarana dan prasarana pembelajaran, anggaran untuk menunjang program dan kegiatan inklusi, bahkan jaringan kemitraan yang positif antar pemangku kepentingan terkait (pemerintah, kepala sekolah, guru, murid, orang tua, masyarakat). 3. Permasalahan yang berhubungan dengan proses pendidikan inklusi, yaitu menyangkut kelembagaan sekolah, penyesuaian kurikulum, penyesuaian pembelajaran (metode dan media), penyesuaian penilaian dan evaluasi. 4. Permasalahan yang berhubungan dengan fungsi manajemen pendidikan inklusi, yaitu menyangkut perencanaan, pengaturan dan pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian. 5. Permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan dan regulasi, termasuk kemampuan sekolah dalam mereproduksi aturan sebagai wujud dari dukungan sekaligus harapan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi agar bisa lebih optimal berdasarkan kondisi sekolah. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian yang disampaikan dalam identifikasi masalah, maka penelitian ini selanjutnya membatasi masalah penelitian pada: 1. Masalah yang berhubungan dengan pengertian, pemahaman, pewacanaan, pemaknaan, pendidikan inklusi yang membentuk dan membangun simbol, sikap, nilai, perilaku, emosi, empati terhadap inklusi (signifikasi). 2. Masalah yang berhubungan dengan dukungan sumber daya sekolah untuk menunjang implementasi pendidikan inklusi (dominasi). 3. Masalah yang berhubungan dengan kebijakan dan regulasi, yang dibatasi pada kemampuan sekolah dalam memproduksi dan mereproduksi kebijakan dan aturan sebagai 11

wujud dari dukungan sekaligus harapan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi di sekolah (legitimasi). D. Rumusan Masalah Berdasarkan pada identifikasi dan pembatasan masalah di atas, selanjutnya disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada pengaruh penandaan (signifikasi) tentang pendidikan inklusi terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar? 2. Apakah ada pengaruh penguasaan sumber daya inklusi (dominasi) terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar? 3. Apakah ada pengaruh legitimasi tentang pendidikan inklusi terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar? 4. Apakah ada pengaruh penandaan (signifikasi), penguasaan sumber daya (dominasi), dan legitimasi secara bersama-sama terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar? 5. Bagaimana bentuk-bentuk penandaan (signifikasi), penguasaan sumber daya (dominasi), dan legitimasi yang dianggap penting mempengaruhi inklusivitas pendidikan di sekolah dasar? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui besarnya pengaruh penandaan (signifikasi) tentang pendidikan inklusi terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar. 2. Mengetahui besarnya pengaruh penguasaan sumber daya (dominasi) terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar. 3. Mengetahui besarnya pengaruh legitimasi terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar. 4. Mengetahui besarnya pengaruh penandaan (signifikasi), penguasaan sumber daya (dominasi), dan legitimasi secara bersama-sama terhadap inklusivitas pendidikan di sekolah dasar. 5. Menggambarkan bentuk-bentuk penandaan (signifikasi), penguasaan sumber daya (dominasi), dan legitimasi yang dianggap penting mempengaruhi inklusivitas pendidikan di sekolah dasar. F. Manfaat Penelitian 12

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, studi ini akan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya bidang sosiologi pendidikan. Belum banyak penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam mengkaji permasalahan pendidikan, khususnya dalam mempelajari tentang pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merupakan sebuah inovasi di bidang pendidikan di seluruh dunia yang terus berkembang ke arah penyelenggaraan pendidikan untuk semua (education for all). Implikasi dari perubahan paradigma ini salah satunya adalah perwujudan sekolah inklusi di berbagai jenjang pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan di bidang sosiologi pendidikan, khususnya tentang penyelenggaraan sekolah inklusi. 2. Manfaat Praktis Produk penelitian ini akan bermanfaat semua stakeholder sekolah, baik kepala sekolah, guru, pengawas, pengurus yayasan, pemerintah maupun orang tua selaku pemangku kepentingan pendidikan, yaitu untuk memahami dan menguatkan penyelenggaraan pendidikan inklusi secara optimal, khususnya pada tingkat Sekolah Dasar. 13