BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior) Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen (1985). Menurut Ajzen niat untuk melakukan berbagai jenis perilaku dapat diprediksi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dari sikap seseorang terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. TPB digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, memprediksi dan memahami dampak niat berperilaku, serta mengidentifikasi strategi untuk merubah perilaku. Dalam TPB diasumsikan bahwa manusia yang bersifat rasional akan menggunakan informasi yang ada secara sistematik kemudian memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan untuk mewujudkan perilaku tersebut. Ajzen memperkenalkan theory of planned behavior dengan menambahkan komponen baru yaitu kontrol perilaku (perceived behavioral control). Dengan ini, ia memperluas theory of reasoned action untuk menutupi perilaku non-kehendak. Dalam TPB, perilaku yang ditampilkan individu timbul karena adanya intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, 14
evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh. Theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk melakukan suatu tindakan atau berperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward The Behavior) Individu akan bertindak atau berprilaku sesuai dengan sikap yang melekat dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku yang dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk membimbingnya dalam berperilaku di kehidupannya. 2) Norma Subyektif (Subjective Norm) Persepsi individu tentang perilaku tertentu, yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan. 3) Persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control) Kontrol perilaku mengacu pada persepsi-persepsi individu akan kemampuannya untuk mewujudkan suatu perilaku tertentu. Penelitian ini menggunakan variabel profesionalisme yang merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan normanorma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran yang mungkin 15
terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika. Shawver dan Clements (2008) menemukan bahwa akuntan profesional mampu mengenali prilaku tidak etis dan akuntan profesional lebih berkemungkinan untuk meniup peluit pada situasi tertentu. Meniup peluit dalam arti mengambil tindakan yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan. Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma subyektif. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh pada penilaian orang lain. Dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan juga rekan kerja. Seseorang yang memang berkomitmen tinggi terhadap organisasi kemungkinan akan mengidentifikasi terlebih dahulu dalam menanggulangi situasi yang dapat membahayakan organisasi demi menjaga reputasi dan kelangsungan organisasi. Identifikasi itu bisa saja mendapatkan pengaruh-pengaruh dari penilaian orang lain juga misalnya saja rekan kerja. Jadi hasil identifikasi tersebut bisa saja menjadi subjektif (lebih berpihak kepada organisasi atau rekan kerja) atau mungkin bisa objektif (lebih melihat kasus yang sedang terjadi). Variabel intensitas moral merepresentasikan persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian 16
seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan dilakukan. 2.1.2 Whistleblowing Whistleblowing adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang untuk mengungkapkan kecurangan, entah yang dilakukan oleh perusahaan atau individu kepada pihak lain. Pihak yang dilaporkan itu bisa saja atasan ataupun masyarakat luas, Keraf (1998). Menurut Taylor dan Curtis (2010) whistleblowing berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh anggota organisasi atau mantan anggota organisasi yang melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang berada di bawah kendali manajemen, kepada orang-orang yang bersedia dan mampu untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ray (2006) mengatakan bahwa whistleblowing adalah pengungkapan informasi diluar organisasi atau dalam arti membawa informasi dari dalam organisasi keluar organisasi. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) whistleblowing adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh 17
karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi lain atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential). Pengungkapan harus dilakukan dengan iktikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari kehendak buruk atau fitnah. Dapat ditarik kesimpulan dari beberapa penafsiran whistleblowing menurut beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diatas, bahwa whistleblowing adalah tindakan melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang dilakukan oleh individual atau kelompok yang merupakan anggota organisasi maupun bukan anggota organisasi. Tindakan pelaporan itu bisa dilakukan kepada atasan dalam suatu organisasi atau bahkan keluar organisasi tersebut. Pelaporan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian dalam suatu organisasi maupun kerugian diluar organisasi (masyarakat). Pelaporan harus didasarkan bukti nyata dan itikad baik. Pelanggaran tersebut harus dilaporkan karena bertentangan dengan konsep Good Corporate Governance (GCG). Terkait dengan usaha penerapan good corporate governance dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system). 18
Oleh karena adanya prinsip tersebut perusahaan diharapkan untuk tidak melakukan kecurangan agar perusahaan memenuhi prinsip GCG. Dan apabila terdapat kecurangan dalam perusahaan, sangat diharapkan orang-orang yang mengetahui adanya kecurangan untuk melaporkan (melakukan whistleblowing) agar kecurangan dapat ditindak lanjutin dan sistem perusahaan tersebut dapat diperbaiki sebelum muncul nya dampak yang akan merugikan perusahaan itu sendiri. 2.1.3 Profesionalisme Menurut Garman (2006) profesionalisme adalah kemampuan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dan organisasi dengan standar etika dan profesional yang mencakup tanggung jawab kepada klien maupun masyarakat. Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti moral. Salah satu cara dimana individu menunjukkan identitas profesional nya adalah melalui kepatuhan terhadap standar pekerjaan profesi, lebih lanjut dapat memanifestasikan dirinya melalui keinginan untuk melindungi profesi dari kerusakan reputasi yang berkelanjutan ketika salah satu anggotanya gagal untuk mematuhi standar profesional atau kode etik yang berlaku. 19
Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan latar belakang dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Dalam hal ini adalah para akuntan, karena para akuntan bekerja sesuai dengan latar belakang akuntan yaitu pendidikan akuntansi dan dinaungi oleh suatu organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Xiling (2010) mengatakan bahwa penilaian seorang akuntan harus sepenuhnya mempertimbangkan berbagai aspek, dan sesuai dengan penerapan prinsip tertentu, yang tidak hanya moralitas profesional akuntan, tapi perwujudan kemampuan akuntansi profesionalnya. Keputusan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku. Menurut Hall (1968) dalam Sari (2014) pada buku karangan Kabers dan Forgathy, terdapat 5 dimensi profesionalisme. Sagara (2013) dan Sari dan Laksito (2014) melakukan penelitian menggunakan 5 dimensi tersebut pada internal auditor dengan menggunakan profesionalisme sebagai variabel yang memengaruhi tindakan auditor untuk melakukan whistleblowing. Dalam penelitian sebelumnya melihat profesionalisme dari 5 dimensi profesionalisme diantaranya; Profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas), Profesionalisme (dimensi kewajiban sosial), Profesionalisme (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau komunitas), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi). 20
Pada penelitian ini peneliti hanya melihat profesionalisme dari dimensi dedikasi terhadap pekerjaan. Dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional berdedikasi terhadap pekerjaan atau profesinya diukur dari dedikasi profesional dalam menggunakan kecakapan dan pengetahuan yang dimiliki dengan selalu berpegang teguh pada standar pekerjaan, keberlangsungan masa depan profesinya, serta kebanggaan dengan profesinya. 2.1.4 Komitmen Organisasi Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, Porter et al. (1974). Munir dan Sajid (2010) mengatakan komitmen organisasi merupakan variabel penting yang dapat digunakan untuk menentukan kinerja organisasi. Komitmen organisasi diyakini menjadi pemicu perilaku seseorang yang merupakan hasil dari psikologis, dalam Hung dan Hsu (2011) Penelitian yang dilakukan oleh Shawver dan Clements (2008) dikatakan bahwa komitmen organisasi berhubungan dengan peningkatan kepuasan dan kinerja. Hal tersebut karena rekan kerja dalam organisasi menunjukkan kepedulian etika dan perilaku etis. Komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif, karena karyawan yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap organisasi memiliki keinginan untuk 21
memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyangga kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Hewstone dan Willis (2002) dalam Taylor dan Curtis (2010) mengemukakan kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi patut untuk dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap perusahaan atau pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus, misalnya seorang rekan kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi kepentingan pribadi dan melanggar peraturan. Hal tersebut akan menciptakan tekanan bagi individu untuk berpikir dan berperilaku dengan cara yang berbeda. Jika pelanggaran standar tidak dilaporkan, kemungkinan besar organisasi akan menerima dampak negatif dari pelanggaran tersebut. Di sisi lain, jika pelanggaran dilaporkan maka rekan kerja akan menerima dampak negatif dari organisasi secara langsung. Situasi tersebut dapat mendorong seseorang untuk untuk bertindak atas nama rekan kerja, tanpa memikirkan kesejahteraan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu rekan kerja sangat memengaruhi komitmen organisasi seseorang. Selain itu Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa seseorang harus berkomitmen untuk sesuatu, jika seseorang menjadi kurang berkomitmen untuk organisasi, maka mungkin saja karyawan akan menyalurkan komitmennya dalam arah lain, seperti rekan kerja. Oleh karena itu rekan kerja juga sangat berpengaruh dengan kualitas komitmen seseorang dengan organisasi. Aranya (1981) menyatakan bahwa akuntan sering dihadapkan dengan tuntutan dan tanggung jawab yang saling bertentangan. Sebuah komitmen 22
profesional melibatkan kepercayaan, tujuan dan nilai-nilai profesi. Perlu ada kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama profesi dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam profesi. 2.1.5 Intensitas Moral Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Intensitas adalah keadaan tingkatan atau ukuran intens. Sedangkan Moral adalah baik atau buruk yg diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Dapat disimpulkan intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah perbuatan, sikap, kewajiban dll. Intensitas Moral adalah sebuah konstruk yang mencakup karakteristikkarakteristik yang merupakan perluasan dari isu-isu yang terkait dengan isu moral utama dalam sebuah situasi yang akan memengaruhi persepsi individu mengenai masalah etika dan intensi keperilakuan yang dimilikinya, Novius dan Arifin (2008). Jones (1991) mengungkapkan bahwa isu-isu intensitas moral secara signifikan memengaruhi proses pembuatan keputusan moral. Jones mengidentifikasi bahwa ada enam elemen intensitas moral yang memengaruhi proses pengambilan keputusan meliputi: 1) Besaran konsekuensi (Magnitude of Consequences) didefinisikan sebagai jumlah kerugian (atau manfaat) yang dihasilkan oleh pengorbanan (atau pemanfaatan) dari sebuah tindakan moral. 2) Konsensus Sosial (Social Consensus) didefinisikan sebagai tingkat kesepakatan sosial bahwa sebuah tindakan dianggap salah atau benar. 23
3) Probabilitas Efek (Probability of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama dari kemungkinan bahwa tindakan tertentu akan secara aktual mengambil tempat dan tindakan tersebut akan secara aktual menyebabkan kerugian (manfaat) yang terprediksi. 4) Kesegeraan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu (waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar). 5) Konsentrasi Efek (Concentration of Effect) adalah sebuah fungsi infers dari jumlah orang yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan yang dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang tertinggi akan bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi efek tinggi. 6) Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologi atau fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku dari kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk kedekatan ini secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih peduli pada orang-orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya, psikologi ataupun fisik) daripada kepada orang-orang yang jauh darinya. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Gudono (2007) menyatakan bahwa adanya pengaruh tidak langsung Intensitas Moral terhadap Intensi Keperilakuan melalui masalah etika persepsian lebih tinggi dibandingkan pengaruh langsungnya. Penelitian yang dilakukan oleh Mapuasari (2014) menyatakan bahwa auditor dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi 24
perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat. Auditor tersebut akan berhati-hati dalam memutuskan karena tidak ingin melanggar kode etik. 2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Profesionalisme terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti moral. Dalam theory of planned behavior profesionalisme merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan norma-norma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran yang mungkin terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika. Uraian tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Avrila (2015) meneliti mengenai pengaruh profesionalisme terhadap intensi 25
akuntan publik melakukan whistleblowing dengan hasil profesionalisme berpengaruh terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing. Hasil penelitian Taylor dan Curtis (2010) dengan semakin meningkatnya identitas profesional, niat melaporkan pelanggaran atau ketidak etisan pun akan meningkat. Hasil penelitian Sari dan Laksito (2014) pada aspek dedikasi terhadap pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas melakukan whistleblowing. Akuntan dengan dedikasi terhadap pekerjaan yang baik cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis pertama sebagai berikut. H1 : Profesionalisme memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan melakukan whistleblowing 2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, Porter et al. (1974). Namun pada situasi tertentu dikemukanan oleh Hewstone dan Willis (2002) dalam Taylor dan Curtis (2010) kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi patut untuk dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap perusahaan atau pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus, misalnya seorang rekan kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi kepentingan pribadi dan melanggar peraturan. Disaat seperti itulah komitmen organisasi dapat diukur. Individu akan melaporkan tindakan tidak etis rekan 26
kerjanya karena merasa perusahaan dirugikan dengan tindakan tersebut, atau malah memilih diam. Dalam theory of planned behavior Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma subyektif. Norma Subyektif adalah persepsi individu tentang perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh pada penilaian orang lain. Yang dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan termasuk rekan kerja. Seseorang yang memang berkomitmen tinggi terhadap organisasi akan lebih memikirkan penilaian dari organisasi (atasan), apabila lebih berkomitmen terhadap rekan kerja maka akan lebih memikirkan penilaian dari rekan kerja. Oleh karena itu apabila seseorang berkomitmen tinggi terhadap organisasi, maka dia bisa saja menjadi whistleblower dengan tujuan yang baik terhadap organisasinya. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) bahwa komitmen organisasi terhadap organisasi, dapat meningkatkan dedikasi seseorang untuk melakukan pelaporan sampai masalah teratasi. Hasil penelitian Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis kedua sebagai berikut. H2 : Komitmen organisasi memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan melakukan whistleblowing 27
2.2.3 Pengaruh Intensitas Moral terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing Intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah perbuatan, sikap, kewajiban dll. Dalam theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu tindakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya adalah persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan dilakukan. Selain hal tersebut Jones (1991) juga mengemukakan beberapan elemen yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, meliputi; Besaran Konsekuensi, Konsensus Sosial, Probabilitas Efek, Kesegeraan Temporan, Konsentrasi Efek, Kedekatan. Elemen-elemen tersebut juga digunakan sebagai pertimbangan sebelum seseorang bertindak. Apabila seorang akuntan memiliki moral yang baik, maka akuntan akan melakukan pertimbangan yang matang sebelum menilai baik atau buruk suatu kasus. Apabila whistleblowing memang perlu dilakukan dengan alasan untuk kebaikan dari suatu organisasi atau 28
perusahaan dan juga karena tanggung jawab profesi atas organisasi atau perusahaan tempat ia bekerja maka akuntan akan memutuskan untuk melakukan whistleblowing. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Taylor dan Curtis (2010) menunjukan bahwa komitmen seseorang terhadap penilaian moral pribadinya, merupakan penentu yang signifikan dari kedua keputusan awal yaitu identitas profesional dan komitmen organisasi untuk melaporkan perilaku tidak etis dari orang lain di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari intensitas moral terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Auditor yang memiliki intensitas moral yang tinggi cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi pula. Mapuasari (2014) juga melakukan penelitian tentang moral dan memperoleh hasil bahwa seseorang dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis ketiga sebagai berikut. H3 : Intensitas moral memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan melakukan whistleblowing 29