BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai macam bidang kajian, mulai dari kelautan, permukiman, cuaca, geologi, vegetasi, hidrologi, tanah dan sebagainya. Menurut Lillesand dan Kiefer (dalam Sutanto 1986) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Informasi yang dapat diperoleh tanpa melalui kontak langsung membuat teknologi penginderaan jauh sangat efektif digunakan untuk kajian spasial yang dapat disesuaikan dengan luas kawasan yang dikaji. Jika dibandingkan dengan survei langsung ke lapangan maka aspek biaya, tenaga, dan waktu yang dibutuhkan pun jauh lebih banyak dengan kualitas hasil yang mungkin tidak jauh berbeda. Penginderaan jauh saat ini tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam kerangka kerja dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang, lingkungan (ekologis), dan kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup sempit) hingga dengan skala yang sangat kecil (lingkup sangat luas) (Danoedoro, 2012). Salah satunya yaitu perkembangan penginderaan jauh di bidang kelautan, antara lain digunakan untuk mengetahui suhu permukaan laut, persebaran ikan, manajemen pesisir ataupun untuk pemetaan habitat bentik, sebagai sarana inventarisasi ekosistem dasar perairan. Berdasarkan Undang Undang lingkungan hidup (UULH) no 23 tahun 1997 disebutkan bahwa ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh 1
menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Berdasarkan data PBB tahun 2008 Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia yaitu 95.181 km setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia. Luas wilayah laut Indonesia yang lebih dari dua setengah kali luas daratannya serta letak geografis Indonesia yang berada di kawasan khatulistiwa menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan ekosistem bawah laut yang beraneka ragam. Pulau Kemujan merupakan salah satu pulau di Kepulauan Karimunjawa dan termasuk dalam administratif Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kepulauan Karimunjawa sudah cukup terkenal dalam sektor pariwisatanya, khususnya untuk pariwisata bahari. Namun Pulau Kemujan yang letaknya hanya disebelah utara pulau utama masih belum banyak terjamah oleh kalangan wisatawan umum, jauh dibandingkan dengan pulau utama. Sumberdaya alam laut yang sebagain besar masih alami ini perlu dikelola dengan benar agar ekosistem tetap terjaga dengan baik. Berdasarkan Undang Undang nomor 27 tahun 2007 bab 1 pasal 1 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya pengelolaannya yaitu melakukan inventarisasi dalam bentuk data spasial seperti pemetaan habitat bentik. Pemetaan habitat bentik merupakan upaya memetakan kenampakan objek yang berada di dasar perairan. Sebagai data utamaya diperlukan citra penginderaan jauh yang memiliki penetrasi dalam menembus kolom air, hal ini 2
berkaitan dengan resolusi spektral yang dimiliki citra tersebut. Selain kemampuan yang dimiliki suatu citra, perekaman objek di dasar perairan sangat ditentukan oleh berbagai macam kondisi di lingkungan tersebut seperti tingkat kejernihan air, semakin jernih suatu perairan cahaya matahari semakin mampu menembus sampai ke dasar, sehingga kenampakan objek akan terekam dengan lebih jelas. Tidak semua wilayah perairan memiliki tingkat kejernihan yang sama, hal ini dipengaruhi oleh faktor - faktor seperti tingkat sedimentasi, material tersuspensi dan terlarut dalam air, ataupun pencemaran akibat ulah manusia seperti sampah dan juga limbah. Selain tingkat kejernihan air, kedalaman objek dari permukaan perairan memiliki pengaruh yang sangat besar, variasi perbedaan kedalaman ini akan berdampak pula pada hasil perekaman citra, dengan demikian jenis objek yang sama bisa jadi memiliki kenampakan yang tak serupa apabila berada pada kedalaman yang berbeda (Wicaksono, 2010). Citra Quickbird merupakan salah satu citra resolusi tinggi yang mampu menampilkan objek dengan skala yang besar, dengan citra multispektralnya memiliki resolusi spasial 2,44 m (Quickbird F.A.Q, 2006), namun kemampuan Citra Quickbird dalam melakukan identifikasi objek bawah perairan perlu dilakukan kajian lebih lanjut, karena citra ini merupakan data dasar dalam pembuatan peta habitat bentik. Metode dan pengolahan citra yang tepat menjadi faktor utama dalam mengoptimalkan kemampuan citra untuk menghasilkan peta habitat bentik yang akurat. Dalam pengolahan citra hingga menjadi peta habitat bentik diperlukan klasifikasi berdasarkan jenis objeknya, klasifikasi tersebut dilakukan secara digital sehingga prosesnya ditentukan berdasarkan nilai spektral yang dimiliki tiap objek, namun ketika melakukan klasifikasi objek yang berada dibawah perairan keberadaan kolom air merupakan distorsi yang tidak dapat dihindari, jenis objek yang sama dapat memiliki nilai spektral yang berbeda apabila berada pada kedalaman yang tidak sama, hal ini tentu akan berpengaruh terhadap hasil klasifikasi digitalnya. Algoritma Lyzenga merupakan salah satu metode dalam koreksi kolom air yang dinilai mampu untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan efek gangguan yang disebabkan oleh kolom air, sehingga objek yang sama pada 3
kedalaman yang berbeda memiliki nilai spektral yang sama pula (Wicaksono, 2010). Sebagai contoh adalah objek pasir yang tidak tertutup air cenderung berwarna putih terang, sedangkan objek pasir yang tertutup air cenderung berwarna kebiruan, perbedaaan nilai spektral tersebut akan berpengaruh terhadap hasil klasifikasi yang dilakukan secara digital, proses koreksi kolom air berperan dalam melakukan penyetaraan nilai spektral objek yang sama pada kedalaman yang berbeda. Penggunaan koreksi kolom air ini akan dibandingkan dengan proses klasifikasi yang dilakukan tanpa koreksi kolom air, sehingga diketahui efektifitas penggunaan koreksi kolom air untuk meningkatkan akurasi dalam pembuatan peta habitat bentik. 1.2. Rumusan Masalah 1. Citra Quickbird merupakan salah satu citra resolusi tinggi yang dinilai mampu memetakan objek secara detail, namun keberedaan objek habitat bentik yang berada di dasar perairan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi proses identifikasi objek.. 2. yang belum banyak digunakan dalam identifikasi habitat bentik, terutama di Pulau Kemujan, Karimunjawa, sehingga perlu diuji kemampuannya. 3. Potensi dibidang kelautan yang sangat besar di lokasi kajian memerlukan manajemen yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya agar menjadi lebih baik, salah satunya yaitu pemetaan habitat bentik, sehingga sebaran objek bentik di lokasi kajian dapat diketahui. 4. Penggunaan koreksi kolom air dinilai mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan efek perbedaan kedalaman tersebut, namun perbedaan hasil akurasi antara menggunakan koreksi kolom air ataupun tidak perlu dilakukan kajian lebih lanjut. 1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana kemampuan Citra Quickbird dalam identifikasi tutupan habitat bentik di Pulau Kemujan, Karimunjawa? 4
2. Bagaimana persebaran habitat bentik di perairan Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa? 3. Berapa selisih hasil akurasi pemetaan habitat bentik antara menggunakan koreksi kolom air dan tanpa koreksi kolom air di Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa? 1.4. Tujuan 1. Mengetahui kemampuan Citra Quickbird untuk identifikasi habitat bentik di Pulau Kemujan, Karimunjawa. 2. Memetakan habitat bentik di perairan Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa. 3. Mengetahui selisih hasil akurasi pemetaan habitat bentik dengan menggunakan koreksi kolom air metode Lyzenga ataupun tanpa menggunakan koreksi kolom air. 1.5. Kegunaan Penelitian 1. Melihat secara umum kemampuan Citra Quickbird dalam melakukan identifikasi habitat bentik di Pulau Kemujan, Karimunjawa. 2. Memberi gambaran tentang sebaran habitat bentik di perairan Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa. 3. Memberi gambaran tentang perbedaan hasil akurasi dari penggunaan koreksi kolom air dengan metode Lyzenga dalam memetakan habitat bentik. 5