BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. sah dan anak tidak sah. Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya manusia untuk bisa mendapatkan hal tersebut. Dilihat dari

PEMAHAMAN AKTIVIS PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN (STUDY DI MALANG)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak bersentuhan dengan titah dan perintah agama atau kewajiban yang

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

BAB I PENDAHULUAN. sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO TENTANG DASAR HAKIM MEMUTUS PERKARA ITSBAT NIKAH POLIGAMI NOMOR 0370/Pdt.G/2012/PA.Mr.

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kajian tentang kekerasan yang berspektif gender juga memasuki

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

BAB V PENUTUP. A. Simpulan Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

RINGKASAN PUTUSAN.

BAB I PENDAHULUAN. melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 1 Undang- perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN. dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1 Hatinya yang

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

HAK ASASI MANUSIA. by Asnedi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANWIL SUMATERA SELATAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK)

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

Ringkasan Putusan.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

PEMBUKTIAN ANAK DENGAN BAPAK BIOLOGISNYA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO : 46/PUU-8/2010

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dimana dalam suatu negara

HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan isi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Retna Gumanti 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUUVII/2010, anak tidak sah, hubungan keperdataan.

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara, hukum tidak terpisahkan dari pilarnya yaitu kedaulatan hukum. Ciri khas dari negara hukum ialah unsur-unsur utamanya, yang terdiri dari: 1) Pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2) Adanya jaminan hakhak asasi manusia; 3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4) Adanya penegasan dari badan-badan peradilan). 1 Ciri-ciri negara hukum menurut AM. Fatwa 2 adalah: 1) Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; 3) Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasarkan atau melalui hukum. Berdasarkan ciri hukum nomor 3 sebagaimana dikemukakan AM. Fatwa di atas, maka seluruh warga negara tunduk dan patuh terhadap kehendak hukum. Hukum sebagai acuan dalam setiap tindak perbuatan warga negara, termasuk di dalam menjalankan aktifitas yang ada hubungannya dengan hak orang banyak (Pidana), aktifitas yang hanya terkait dengan oran g per orang (Perdata), urusan 1 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan, Cet. Ke-1, Penerbit Pustaka Sutra, Bandung, hlm. 14. 2 AM. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Kompas, Jakarta, hlm. 48.

2 antara orang dengan pemerintah (Tata Usaha Negara), terkait dengan hak-hak konstitusional warga negara. Unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum menurut Scheltema meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut: 1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity). 2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. 3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law). 4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. 5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. 3 Berdasarkan lima unsur dan asas hukum sebagaimana dikemukakan Scheltema di atas, prinsip persamaan dihadapan hukum dalam ne gara hukum dimaksudkan agar pemerintah, tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Bertolak dari penjelasan tersebut, semua warga negara berhak untuk mendapat perlakuan yang sama. Negara tidak membeda-bedakan antara warga 3 Dikutip oleh B. Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, dalam Jentera (Jurnal Hukum), Rule of Law, edisi 3 Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK ), Jakarta, hal.124-125.

3 negara yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut didasarkan pada asas equality before the law. Asas tersebut berlaku untuk semua warga negara Indonesia, tanpa terkecuali. Negara membangun berbagai instrumen hukum guna memberikan kepastian dan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan hak-haknya, salah satunya adalah undang-undang perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum perkaw inan masingmasing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal selamanya. Guna membentuk suatu keluarga yang harmonis da n sejahtera serta penuh dengan kebahagiaan yang kekal seperti yang dicita -citakan. Dalam perkembangannya, timbul permasalahan hukum di masyarakat akibat masyarakat tidak mematuhi ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, misalnya terkait dengan kewajiban mencatat perkawinan. Banyak kalangan masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya di institusi yang ditunjuk seperti Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Akibat dari tidak dicatatkannya perkawinan tersebut adalah berdampak pada status anak yang dilahirkan. Di Indonesia, permasalahan hukum anak luar kawin

4 telah lama menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Perdebatan itu terkait dengan pembagian anak ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa Anak yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak-anak yang demikian disebut anak sah, walaupun sebenarnya anak tersebut adalah hasil perselingkuhan ibunya dengan lelaki lain. Anak luar kawin adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini terkait dengan anak luar kawin, sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda tentang konsep yang akan diteliti, dan penelitian menjadi terfokus pada permasalahan yang dibatasi. Anak luar kawin yang dimaksud adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki- laki da n seorang perempuan yang keduaduanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Pembedaan anak ke dalam dua kelompok tersebut membawa konsek uensi yuridis yaitu adanya pembedaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi mereka. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebelum uji materi), telah memberikan pembedaan hukum bagi anak luar kawin dengan anak dari hasil perkawinan yang sah. Ketentuan tersebut bertentangan de ngan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Setiap anak berhak atas

5 kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan membedakan antara anak yang lahir di luar kawin yang hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir atas ikatan perkawinan, mempunyai hubungan keperdataan dari ayah dan ibunya. Anak luar kawin mendapatkan pembatasan hukum, khususnya dalam hal hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, yang seharusnya setiap anak harus dilindungi hak-haknya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi, Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dalam realitasnya lemah di mata hukum, dan tidak ada lembaga yang melindungi anak-anak luar kawin tersebut. Anak luar kawin rentan mendapatkan perlakuan tidak adil, terutama karena tidak ada ketentuan yang mengatur tentang hak-hak anak luar kawin. Akibatnya, anak yang lahir di luar perkawinan seringkali menanggung beban yang tidak semestinya mereka tanggung. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan dari perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal selamanya. Perlindungan bagi anak luar kawin menurut undang-undang adalah tanggung jawab pemerintah, sebagaim ana disebutkan dalam Pasal 21 Undang-

6 Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang wewajibkan pemerintah untuk menghormati hak asasi anak tanpa membeda -bedakan baik secara fisik, latar belakang, maupun status hukum anak. Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa mewajibkan orang tua dan keluarga untuk menjamin kehidupan anak, dan menjamin pertum buhan anak. Bentuk perlindungan bagi anak adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 27 ayat (1,2,3,4) antara lain dengan memberikan identitas anak sejak kelahirannya dalam bentuk akta kelahiran. Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, sehingga perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Membedakan anak ke dalam dua kategori anak yaitu anak sah dan anak luar kawin bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana disebutkan di atas. Hal tersebut disebabkan karena anak yang lahir di luar perkawinan lebih rentan dan rawan posisinya dibandingkan dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Berdasarkan kondisi kontradiksi-kontradiksi tersebut, akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terbatas terhadap Pasal 43 ayat (1)

7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penafsiran tersebut terkait dengan permohonan yang diajukan oleh Ibu Machica Mochtar yang memperjuangkan status anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menilai bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehubungan dengan putusan ini, maka anak yang lahir di luar perkawinan yang sah berhak secara hukum mendapatkan hak-hak keperdataan dari ayah biologisnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memberikan penafsiran secara rinci terkait dengan hak-hak keperdataan anak, serta mekanisme untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang status keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan dengan judul penelitian sebagai berikut: Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU -VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Status Keperdataan Anak Luar Kawin Dan Mekanisme Penuntutannya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana mekanisme yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hak-hak keperdataan anak luar kawin sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?

8 2. Mengapa putusan Mahkamah Konstitusi Nom or 46/PUU -VIII/2010 belum dapat dilaksanakan secara maksimal? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui dan menganalisis mekanisme yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hak-hak keperdataan anak luar kawin sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. 2. Mengetahui dan menganalisis penyebab tidak maksimalnya pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum supaya ditemukan cara penegakan hukum perlindungan anak yang lebih efektif, khususnya menyangkut jaminan hukum keperdataan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah. 2. Manfaat Praktis Diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum perkawinan bagi penulis dan sekaligus memberikan masukan terhadap masyarakat pada um umnya, khususnya bagi orang tua

9 atau para ibu yang memiliki anak di luar hubungan perkawinan yang sah menurut ketentuan negara. E. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelaahan terhadap kepustakaan. Berdasarkan hasil penelaahan kepustakaan mengenai Implikasi Hukum Putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU - VIII/2010 Terhadap Status Keperdataan Anak Luar Kawin Dan M ekanisme Penuntutannya, penulis belum menemukan penelitian yang sama yang dilakukan peneliti sebelumnya. Penulis menemukan beberapa penelitian yang memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini yaitu penelitian oleh: 1. Benny Dwi Mahendra (2013) dengan judul Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Siri. 4 Penelitian ini merupakan tugas akhir mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2013, dengan rumusan masalah : a. Bagaimana status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan siri kepada orang tua biologis pasca Putusan Makamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? 4 Benny Dwi Mahendra, 2013, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Siri, skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang, http://lib.unnes.ac.id/20031/1/8150408098.pdf, diakses pada 15 Februari 2015.

10 b. Bagaimana prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah biologis dari perkawinan siri pasca Putusan M akamah Konstitusi N omor 46/PUU- VIII/2010? Pada kesimpulannya, peneliti menyatakan implikasi dari tidak dicatatkannya perkawinan kedua orang tuanya itu maka status anak yang lahir dari perkawinan siri tersebut statusnya menjadi anak luar kawin. Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan Istbat Kawin di Pengadilan Agama jika dinyatakan sah maka barulah kemudian dilakukan pencatatan perkawinan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut, maka perkawinan tersebut sah dan dicatatka n atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan tetapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, dan untuk memperkuat status hubungan darah antara seorang anak dengan ayah biologisnya maka harus dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga ayahnya. Dan hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah dan hak perwalian. 2. Sri Budi Purwaningsih (2013) dengan judul Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi NO:

11 46/PUU-VIII/2010. 5 Penelitian ini dituangkan dalam jurnal. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ALK memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah setelah lahirnya putusan MK? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap ALK setelah lahirnya putusan MK tersebut? Hasil dan kesimpulan penelitian adalah dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, maka diakuinya ALK (hasil biologis) yang terlahir dari perkawinan siri status hukumnya sama sebagai anak sah. Ini berarti ALK akan mempunyai hubungan perdata dengan ayah (biologis) nya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan hubungan biologis antara anak dan bapak biologisnya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum yang mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Jadi dapat disim pulkan bahwa apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (misal hasil test deoxyribonucleic/ DNA) maka ALK kedudukannya sama dengan anak sah, karena berdasarkan hasil test DNA tersebut dapat diketahui ada atau tidaknya hubungan darah seorang anak dengan orang tuanya. Putusan MK merupakan titik awal dalam perlindungan ALK. Pasca putusan MK, ALK mempunyai hubungan perdata dengan ayah (biologis) nya dan keluarga ayahnya. Dengan demikian putusan MK men tiadakan diskrim inasi 5 Sri Budi Purwaningsih, 2013, Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi NO: 46/PUU -VIII/2010 http://journal.umsida.ac.id/files/tulisansribudhi.pdf, diakses pada 15 Februari 2015.

12 kedudukan anak dalam status hukumnya. Karena tidak ada pembedaan kedudukan antara anak sah dan ALK, maka putusan MK membawa akibat hukum bagi ayah (biologisnya) atau demi hukum terkena kewajibankewajiban sebagai orangtua (alimentasi) yang dipersyaratkan oleh undang - undang. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Benny Dwi M ahendra dan Sri Budi Purwaningsih yaitu metode yang digunakan yaitu sama - sama menggunakan metode hukum normatif, sedangkan perbedaannya adalah kajian dari objek yang diteliti yaitu bahwa peneliti mengkaji mekanisme penuntutan hak-hak keperdataan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010 serta penyebab tidak maksimalnya pelaksanaan putusan tersebut. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu terletak pada metode yang digunakan yaitu komparasi antara sebelum dan sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU -VIII/2010. Berdasarkan hasil kajian terhadap penelitian terdahulu tersebut, peneliti meyakini bahwa penelitian yang akan dilakukan ini bukan merupakan hasil plagiasi, dan apabila dikemudian hari ditemukan bahwa permasalahan dalam penelitian ini pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi dengan peneliti lainnya.