BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan di Indonesia disamping karet, the, coklat dan lain-lain. Kelapa sawit mempunyai masa depan yang cukup cerah saat ini. Kelapa sawit ialah suatu jenis palma yang saat ini dikenal sebagai tanaman penghasil minyak terbesar per hektar per satuan luas. Produksi minyak yang tinggi masih menjadi fokus utama dalam program pemuliaan kelapa sawit. Memenuhi kebutuhan itu semua adalah dengan pengadaan bibit bermutu, seragam dan diperoleh dalam jumlah yang banyak. Saat ini perbanyakan tanaman dapat dilakukan melalui organogenesis dan embriogenesis dengan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan telah terbukti dapat menyediakan bibit tanaman yang akan dieksploitasi secara luas karena dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan (Purnamaningsih, 2002). Karakter unggul varietas kelapa sawit dapat dilihat dari mutu genetik (potensi hasil benih), mutu fisiologis (daya tumbuh), dan mutu morfologis (keseragaman dan higienitas benih). Berdasarkan ketebalan cangkang buah, kelapa sawit dapat dibedakan menjadi Dura (bercangkang tebal), Pisifera (tanpa cangkang), Tenera (bercangkang tipis). Saat ini jenis kelapa sawit yang banyak ditanam secara komersil adalah jenis Tenera yang merupakan hibrida dari Dura x Pisifera (DxP). Varietas Tenera lebih disukai untuk penanaman komersil karena kandungan minyak dalam mesokarpnya lebih tinggi dari Dura. Tenera dapat menghasilkan kadar minyak per tandannya berkisar 28% sedangkan jenis Dura hanya 18% per tandannya (Kiswanto et al., 2008) Embriogenesis somatik pada kelapa sawit menjanjikan rute regeneratif, karena jalur morphogenetik dapat meningkatkan jumlah plantlet regenerasi dibandingkan dengan organogenesis (Steinmacher et al., 2007). Untuk
2 mendukung program pemuliaan tanaman penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi karena embrio somatik dapat berasal dari satu sel somatik. Embrio somatik dianggap bahan tanaman yang ideal untuk disimpan karena bila diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik (Purnamaningsih, 2002). Dalam kultur jaringan penambahan zat pengatur tumbuh diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan (Pandiangan, 2011). Pada induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan di medium yang mengandung auksin yang mempunyai aktifitas kuat. Salah satu mekanisme, auksin dapat mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma dan dinding sel (Kutschera 1994). Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan akar adventif, sedangkan auksin konsentasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (Smith, 1992). Ada dua mekanisme yang penting dalam pembentukan sel embryogenesis yaitu, pembelahan sel asimetrik dan pemanjangan sel kontrol (De Jong et al.1993). Pembelahan sel asimetrik berkembang oleh zat pengatur tumbuh yang mengubah polaritas sel melalui interfensi dengan gradien ph disekitar sel (Smith & Krikorian 1990). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002). Pannetier et al., (1991) menyatakan untuk menginduksi kalus yang embriogenik pada tanaman kelapa sawit dibutuhkan konsentrasi 2,4-D 80-100 mg/l. Sedangkan pada penelitian Thuzar et al., (2012) eksplan dari posisi yang berbeda pada segmen apikal, median, dan basal dari regenerasi plantlet kelapa sawit dikultur pada medium N6 dengan konsentrasi 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid 100, 120, dan 140 mg/l. Untuk menghasilkan kalus embriogenik yaitu pada konsentrasi 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid 120 mg/l adalah yang paling efektif (62,53%) dalam menginduksi kalus embriogenik dari segmen basal 5 bulan setelah inokulasi. Analisis histologi dilakukan pada embrio somatik untuk melihat fase globular, skutelar berbentuk hati pada jaringan prokambial dan protoderm yang memiliki sel-sel meristematik. Analisis histologi dapat juga menunjukkan apakah
3 struktur yang diperoleh adalah normal atau dewasa, dan bagaimana sebenarnya embrio terbentuk. jika dibandingkan dengan model referensi (ontogenesis zigotik atau sistem terkontrol dengan baik mampu secara teratur menghasilkan embrio somatik) (Schwendiman et al., 1992). Calon tanaman untuk produksi benih sintetik dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu 1) tanaman yang memiliki dasar teknologi yang kuat seperti yang kualitas tinggi embrio somatik saat ini dapat diproduksi, dan 2) tanaman dengan kuat dasar komersial (Redenbaugh et al., 1987). Kelapa sawit memenuhi dua kategori diatas, karena tinggi kualitas minyak sawit dari embriogenesis somatik yang telah berhasil dilakukan (de Touchet el al, 1991., Teixeira et al, 1993., 1995, Aberlenc-Bertossi et al., 1999) dan memiliki dasar komersial yang kuat. Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini menyajikan analisis histologi dari pembentukan dan perkembangan embrio somatik dari 1.2 Perumusan Masalah Karakteristik biologis dari kelapa sawit tidak memungkinkan perbanyakan vegetatif dengan cara hortikultura konvensional. Tingginya permintaan pasar akan bibit kelapa sawit yang bermutu, seragam dan diperoleh dalam jumlah yang banyak, maka salah satu cara untuk perbanyakan kelapa sawit adalah melalui embriogenesis somatik. Kloning kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq ) dilakukan dengan menginduksi embriogenesis somatik pada kalus yang berasal dari berbagai sumber jaringan. Apikal bud digunakan sebagai sumber eksplan karena bersifat meristematis, dimana sel-sel disegmen ini secara aktif membelah, sehingga memiliki potensi lebih besar dan bersifat embriogenik (Thuzar et al., 2012). Teknik kultur jaringan menggunakan jaringan meristem biasanya dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus. Menurut Schwabe (1984), bebasnya jaringan meristem dari infeksi virus disebabkan oleh sedikitnya vakuola yang dimiliki oleh sel-sel meristem, disamping terganggunya lintasan vascular didalam jaringan tersebut. Bajaj (1990) dalam Zulkarnain (2011) mengatakan bahwa kultur meristem menghindari terjadinya aberasi kromosom
4 dan perubahan-perubahan pada tingkat inti dan ploidi yang disebabkan oleh periode subkultur yang panjang. Hal itu dikarenakan sel-sel meristem secara genetik bersifat stabil. Perlu dilakukannya analisis histologi pada embrio somatik untuk melihat fase globular, skutellar berbentuk hati pada jaringan prokambial dan protoderm yang memiliki sel-sel meristematik dengan pendekatan ini, fenomena sitologi yang terjadi selama eksplan kultur dan pembentukan kalus dan embrio mampu berkecambah dapat diselidiki. Penelitian ini, akan mengamati gambaran histologi eksplan apikal bud dalam menghasilkan kalus yang embriogenik dengan perlakuan zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenxyacetic acid (2,4-D) yang optimal dalam menginduksi kalus yang berasal dari 2) Mengetahui pertumbuhan terbaik apikal bud kelapa sawit jenis Tenera pada posisi eksplan yang berbeda untuk inisiasi kalus embriogenik. 3) Mengamati secara histologi kalus embriogenik pada apikal bud kelapa kelapa sawit jenis Tenera. 1.4 Hipotesis Penelitian 1) Zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenxyacetic acid (2,4-D) pada konsentrasi 130 mg/l efektif dalam menginduksi kalus yang berasal dari 2) Posisi eksplan daerah basal berpengaruh terhadap pertumbuhan terbaik untuk inisiasi kalus embriogenik. 3) Gambaran histologi kalus embriogenik dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.
5 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa : 1) Memberikan informasi tentang konsentrasi 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) yang sesuai bagi eksplan apikal bud dalam proses regenerasi tanaman kelapa sawit jenis Tenera. 2) Memberikan informasi tentang posisi eksplan apikal bud sebagai sumber eksplan dalam proses regenerasi tanaman kelapa sawit jenis Tenera. 3) Memberikan informasi tentang gambaran histologi kalus embriogenik dari