I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma pembangunan pada masa orde baru, dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik bertujuan untuk memberikan pelimpahan wewenang kepada otonomi daerah dalam menyelenggarakan dan mengatur pemerintahan di daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sistem pemerintahan yang desentralistik menggunakan pendekatan yang sifatnya bottom-up dimana rencana pembangunan yang disusun meliputi program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, atau dengan kata lain program tersebut dirancang oleh, dari dan untuk masyarakat. Diperlukan suatu kemampuan inisiatif dan partisipatif yang tinggi dari masyarakat untuk mengurus dan mengembangkan potensinya dalam pembangunan tersebut. Masyarakat bukan lagi sebagai objek tetapi sebagai subjek yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi hidup mereka. Untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan ketrampilan, membangun kepercayaan dan kemampuan kerjasama masyarakat ditempuh melalui pendekatan partisipasi warga atau masyarakat dalam proses pembangunan. Pembangunan harus dilaksanakan untuk segenap lapisan, golongan dan tingkatan masyarakat. Oleh karena itu dituntut adanya partisipasi sosial dari segenap lapisan masyarakat secara aktif agar tercapai tujuan pembangunan baik di pedesaan maupun perkotaan. Partisipasi sosial masyarakat dalam era pembangunan dewasa ini, merupakan elemen yang menentukan cepat atau lambatnya pencapaian tujuan pembangunan, artinya keinginan, kemauan, keikutsertaan, kesanggupan dan kesadaran setiap warga masyarakat sangat menentukan tercapainya suatu kondisi kesejahteraan masyarakat. Prinsip peran serta masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan dan memanfaatkan unsur-unsur lokal dalam bentuk sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sosiokultural yang ada. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan yang dimulai dari saat perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi diwujudkan melalui berbagai bentuk partisipasi
2 baik secara langsung (misalnya dengan memberikan sumbangan pemikiran, ide ataupun biaya dan tenaga) maupun tidak langsung (misalnya dengan cara memelihara dan merawat). Keterlibatan tersebut selain akan mempererat rasa keterikatan masyarakat dalam pembangunan, juga akan menumbuhkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pelaksanaan proses pembangunan yang sedang atau telah berjalan. Hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini, terutama di kotakota besar selain menghasilkan pertumbuhan ekonomi juga menyebabkan kepadatan penduduk karena penduduk luar kota datang untuk mencari perkerjaan ke kota. Kota besar menjadi faktor penarik (pull factor) bagi penduduk karena banyaknya pembangunan yang ada di wilayah tersebut. Menurut Sadyohutomo (2008), tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan pada tahun 1980 adalah 22,3 %, terjadi peningkatan pada tahun 1990 sebesar 30,9 % dan pada tahun 2000 mengalami peningkatan yang pesat yaitu 42,0 %. Akibatnya daya dukung kota menjadi tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang rata-rata mencapai angka 5,5 % per tahun. Seiring meningkatnya penduduk di perkotaan yang disebabkan arus urbanisasi tersebut menimbulkan laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan luas lahan di perkotaan. Bagi sebagian penduduk pendatang yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi, ketrampilan dan pendidikan, mereka memaksakan diri untuk tinggal di perkotaan dengan kondisi apa adanya dan bahkan seringkali tinggal berdesakan di permukiman padat penduduk yang tidak layak huni. Kemampuan mereka yang terbatas serta tingginya harga perumahan di perkotaan menyebabkan mereka hanya mampu mengakses lingkungan kumuh di kota. Hal ini diperburuk dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan permukiman kumuh ini pada gilirannya juga dapat menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para penghuninya. Mereka hanya mampu mengakses perekonomian informal kota, yang utamanya dicirikan oleh status hukum yang lemah dan tingkat penghasilan yang rendah. Kondisi-kondisi tersebut yang mendorong tumbuhnya daerahdaerah kumuh (slum) diperkotaan. Kota Bandung sebagai kota besar tidak
3 terlepas dari permasalahan permukiman kumuh dengan kepadatan penduduknya yang kian hari kian terasa dimana dengan luas wilayah kota Bandung yang hanya 16.000 ha dihuni oleh kurang lebih 2,8 juta jiwa. Idealnya dengan luas wilayah tersebut didiami oleh 300.000 400.000 jiwa saja. Pada saat ini sekitar 146 jiwa mendiami tiap hektar, padahal menurut standar WHO idealnya hanya 96 jiwa di setiap hektar. Sehingga tidaklah heran jika banyak ditemukan kawasan kumuh yang menghiasi sebagian wilayah kota Bandung seperti wilayah Jamika, Sadang Serang, Cicadas, Tamansari, Kiaracondong dll. (Pikiran Rakyat, 18 September 2007). Upaya Pemerintah Kota Bandung dalam mengatasi permasalahan di atas telah dituangkan dalam Perda No. 02 tahun 2004-2013 tentang Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan, pelayanan dan keserasian perkembangan kegiatan pembangunan antar wilayah dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan dan ketersediaan sumberdaya daerah. Menurut Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, salah satu cara untuk mengurangi jumlah kawasan kumuh di Kota Bandung yaitu dengan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), program rutin perbaikan 1000 rumah kumuh serta perbaikan infrastruktur pada kawasan kumuh. Pemerintah Kota Bandung mengharapkan pembangunan rumah kumuh dan perbaikan sarana infrastruktur selain mendapatkan dukungan dana dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) Kota Bandung juga berharap masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dengan pemberdayaan masyarakat melalui dana swadaya untuk perbaikan rumah kumuh. Keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat sekitarnya. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan kawasan kumuh merupakan masalah yang kompleks baik dilihat dari penyebabnya maupun dampak sosial yang ditimbulkannya. Selain pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dengan terbatasnya luas lahan di perkotaan, faktor penyebab lainnya adalah rendahnya kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana permukiman yang tidak menunjang terbentuknya struktur
4 permukiman dan sistem pengelolaan lingkungan serta rendahnya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Dampak dari banyaknya kawasan kumuh adalah munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang sangat kompleks dalam masyarakat, seperti : Kondisi kesehatan yang buruk. Sumber pencemaran. Sumber penyebaran penyakit. Lingkungan yang kotor. Rumah yang tidak sehat dan tidak layak huni. Sarana MCK yang terbatas dan tidak memadai. Rawan kejahatan Rawan kebakaran. Berdasarkan data tentang sebaran lokasi kawasan kumuh di Kota Bandung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa hampir disetiap kelurahan terdapat kawasan permukiman kumuh, baik yang bersatus kampung kota maupun permukiman liar. Menurut data kawasan kumuh di Kota Bandung yang telah dikeluarkan oleh Puslitbang Permukiman Departemen Kimpraswil, terlihat bahwa hampir di setiap kecamatan terdapat kawasan kumuh, berdasarkan proporsi dan komposisi jumlah keluarga dalam peringkat pra sejahtera di wilayah kota Bandung. Peringkat tertinggi adalah Kecamatan Cicadas (27%), Kecamatan Regol (25%), Kecamatan Bandung Kulon (15%).). Sebaran kawasan kumuh dari 139 kelurahan yang ada di kota Bandung, kelurahan yang dikategorikan tidak kumuh hanya berjumlah 17 saja atau (12%), berarti sebanyak 122 atau (88%) kelurahan dikategorikan kumuh. (www.bandung,go.id). Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul merupakan salah satu kawasan kumuh di Kota Bandung. Dengan luas wilayah yang hanya 55 ha dihuni oleh sekitar 12.886 jiwa, sehingga di Kelurahan Cicadas setiap hektarnya dihuni oleh 234 jiwa. Kepadatan penduduk di Kelurahan Cicadas mengakibatkan permukiman-permukiman hampir disetiap RW menjadi kumuh (berdasarkan hasil pemetaan sosial (PL I) yang dilaksanakan dari tanggal 31 Januari sampai 20
5 Februari 2008 dan evaluasi program (PL II) yang dilaksanakan dari tanggal 22 Mei sampai 6 Juni 2008). Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan kawasan kumuh telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk program seperti program perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur kawasan kumuh serta program rehabilitasi rumah kumuh. Berdasarkan data dan informasi hasil Pemetaan Sosial (PL I) dan Evaluasi Program (PL II) yang dilakukan pengkaji, program-program tersebut tampaknya hanya sebatas pada bagaimana program dapat dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan belum terlihat bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program. Mengingat hal tersebut maka permasalahan yang dihadapi adalah : 1. Seberapa jauh program-program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh dapat melibatkan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas? 2. Bagaimana karakteristik komunitas permukiman kumuh dan faktor-faktor apa yang menyebabkan partisipasi masyarakat aktif dan tidak aktif dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas? Dari gambaran latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka kajian ini berkaitan dengan : Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung. 1.3. Tujuan Kajian Berdasarkan uraian rumusan masalah, maka tujuan dari kajian ini adalah : 1. Mengidentifikasi tingkat partisipasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas. 2. Merumuskan strategi pengembangan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas di masa yang akan datang.
6 1.4. Manfaat Kajian Manfaat Praktis yang diharapkan dari kajian ini adalah : 1. Memberikan masukan bagi Pemerintah Kota Bandung dan instansi terkait tentang kebijakan dan program yang aspiratif dan partisipatif dalam penataan kawasan kumuh. 2. Bagi masyarakat komunitas kawasan kumuh akan tercipta suatu tempat bermukim yang bersih, sehat, teratur dan peduli akan lingkungan. 3. Memberikan masukan alternatif teknis dan model partisipatif pengembangan masyarakat bagi elemen yang peduli terhadap pengembangan masyarakat. Manfaat Teoritis yang diharapkan dari kajian ini adalah : 1. Diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang aspek kemauan, kemampuan dan kesempatan dalam berpartisipasi. 2. Dapat menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mendorong dan menghambat tingkat partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh.