CONJECTURING DALAM PEMECAHAN MASALAH GENERALISASI POLA

dokumen-dokumen yang mirip
Profil Proses Kognitif Siswa SMP Laki-laki dalam Investigasi Matematik Ditinjau dari Perbedaan Kemampuan Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KRITERIA BERPIKIR GEOMETRIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI 5

KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA PADA MATERI SEGITIGA DI KELAS VIII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA MATERI DIMENSI TIGA

KEMAMPUAN PENALARAN ADAPTIF SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH KELAS VIII SMP PONTIANAK

ANALISIS KESALAHAN KONEKSI MATEMATIS SISWA PADA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

EKSPLORASI PEMECAHAN MASALAH DITINJAU DARI TINGKAT KONEKSI MATEMATIS YANG DIBANGUN OLEH MAHASISWA STKIP YPUP MAKASSAR. Nurfaida Tasni * ABSTRACT

UPAYA MENINGKATKAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL INQUIRY BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

STRATEGI GENERALISASI POLA GEOMETRIS CALON MAHASISWA BARU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP PGRI PASURUAN TAHUN AJARAN 2017/2018

Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMA

BERPIKIR ALJABAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA 3

ANALYSIS OF MATHEMATICS TEACHER PROBLEM IN LEARNING IMPLEMENTATION SENIOR HIGH SCHOOL

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMK BERGAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) BERKARAKTERISTIK RME MATERI BARISAN DAN DERET UNTUK KELAS X

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL MENGGUNAKAN MASALAH OPEN ENDED

ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS MAHASISWA PADA MATERI INTEGRAL

BAB V PEMBAHASAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Profil Proses Kognitif Siswa SMP Laki-laki Berkemampuan Matematika Tinggi dalam Investigasi Matematik

InfinityJurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 4, No.2, September 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1 The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), Principles and Standards

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI TINGKAT KEMAMPUAN DASAR MATEMATIKA

DRAFT JURNAL PENELITIAN DOSEN PEMBINA PEMETAAN HIGH ORDER THINGKING (HOT) MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SE-KOTA TASIKMALAYA TIM PENGUSUL

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar siswa kita. Padahal matematika sumber dari segala disiplin ilmu

Fraenkel, J.R & Wallen, N. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. Singapore: Mc. Graw Hill.

REPRESENTASI MATEMATIS MAHASISWA CALON GURU DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

ANALYSIS OF STUDENT REASONING ABILITY BY FLAT SHAPE FOR PROBLEM SOLVING ABILITY ON MATERIAL PLANEON STUDENTS OF PGSD SLAMET RIYADI UNIVERSITY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Matematika merupakan ilmu universal yang berguna bagi kehidupan

DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERBANDINGAN SENILAI DAN BERBALIK NILAI

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 19 Januari NCTM, Algebra, diakses dari

Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP dalam Belajar Garis dan Sudut dengan GeoGebra

Pembelajaran Matematika yang Berbasis Pendekatan Problem Open-Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SLTP

Contoh Penalaran Induktif dan Deduktif Menggunakan Kegiatan Bermain-main dengan Bilangan

PROFIL REPRESENTASI SISWA SMP TERHADAP MATERI PLSV DITINJAU DARI GAYA BELAJAR KOLB

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan

PENGARUH METODE MIND MAPPING DAN KETRAMPILAN PROSES TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MATA KULIAH STRUKTUR ALJABAR

Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA: PENGETAHUAN AWAL, APRESIASI MATEMATIKA, DAN KECERDASAN LOGIS MATEMATIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA SPLDV BERDASARKAN LANGKAH PENYELESAIAN POLYA

BAB I BAB I PENDAHULUAN. peserta didik ataupun dengan gurunya maka proses pembelajaran akan

UniversitasNegeri Medan, Medan 1* Jl. Willem IskandarPsr. V Medan 20221, (061) UniversitasNegeri Medan, Medan 2

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP KELAS VII PADA PENERAPAN OPEN-ENDED

MATHEMATICAL REPRESENTATION ABILITY IN PRIVATE CLASS XI SMA YPI DHARMA BUDI SIDAMANIK

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENERAPKAN ATURAN EKSPONEN

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat diperlukan oleh semua orang terutama pendidikan yang

PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL PROBLEM POSING SISWA SMA

Analisis Kesalahan Siswa Dilihat dari Skema Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika AYU ISMI HANIFAH

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CORE

Proses Metakognisi Siswa dalam Pemecahan Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi SOLO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. suatu Negara dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dari siswa, pengajar,

ANALISIS PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA MTS AL-HIKMAH TAYAN HILIR DITINJAU DARI PENALARAN ANALOGI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Slameto (2010:3) belajar adalah proses usaha yang

ANALISIS PENGARUH DISPOSISI MATEMATIS, KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF, DAN PERSEPSI PADA KREATIVITAS TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

MODEL SAJIAN VERBAL MODEL ABSTRAK DAN MODEL VERBAL ABSTRAK UNTUK MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Unnes Journal of Mathematics Education Research

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA GAYA KOGNITIF REFLEKTIF-IMPULSIF DALAM MENYELESAIKAN MASALAH OPEN-ENDED

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik melalui Pendekatan Problem Posing

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menentukan

PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIKA TINGKAT TINGGI MELALUI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI NUMBER SENSE PADA MATERI BILANGAN DI SMP NEGERI 8 SINGKAWANG

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS TERHADAP SOAL-SOAL OPEN ENDED

Abstrak. Bagaimana Membangun Pengetahuan Matematika melalui Problem Solving?

ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS MAHASISWA PADA MATA KULIAH STRUKTUR ALJABAR II (TEORI GELANGGANG)

Proses Metakognitif Siswa SMA dalam Pengajuan Masalah Geometri YULI SUHANDONO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

JURNAL PROSES BERPIKIR SISWA DALAM GENERALISASI MASALAH POLA BILANGAN BERDASARKAN GENDER THE PROCESS OF STUDENT S THOUGHT IN GENERALIZING A

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ASOSIASI ANTARA KONEKSI MATEMATIS DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP. Oleh : Abd. Qohar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan memegang peranan penting dalam menunjang. kemajuan bangsa Indonesia di masa depan. Setiap orang berhak

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena pendidikan

MEMBANGUN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS (REASONING MATHEMATICS ABILITY ) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Nurmanita 1, Edy Surya 2

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

Matematika dan Kreativitas 1. Dr. Ariyadi Wijaya 2.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

PENGARUH PEMBELAJARAN STRATEGI REACT TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MAHASISWA PGSD TENTANG KONEKSI MATEMATIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. bekerja sama dalam suatu kelompok. matematika yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan

BAB I PENDAHULUAN. yang mendasari perkembangan sains dan teknologi, mempunyai peran

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. NEGERI BOJONG PADA MATERI STATISTIKA. Zuhrotunnisa ABSTRAK

B A B I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Representasi Matematis Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat Ditinjau dari Perbedaan Gender

BAB I PENDAHULUAN. (dalam Risna, 2011) yang menyatakan bahwa: Soejadi (2000) mengemukakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua

STRATEGI FORMULATE SHARE LISTEN CREATE UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL PROBLEM POSING SISWA SMP

Transkripsi:

CONJECTURING DALAM PEMECAHAN MASALAH GENERALISASI POLA Sutarto 1, Intan Dwi Hastuti 2 1, Dosen pendidikan Matematika IKIP Mataram sutarto_zadt@ymail.com 2 Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang intanhastuti@ymail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses conjecturing siswa dalam pemecahan masalah generalisasi pola. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Subjek penelitiannya adalah 6 siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang, pada tahap pertama siswa menyelesaikan masalah generalisasi pola dan pada tahap kedua siswa diwawancara berdasarkan lembar jawaban masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan: 1) tidak semua tahapan proses conjecturing dilakukan, 2) proses conjecturing terjadi secara linear dan zigzag dan 3) memahami masalah merupakan titik awal untuk pemecahan masalah generalisasi pola. Kata Kunci: Conjecturing, pemecahan masalah, Generalisasi pola. PENDAHULUAN Pemecahan masalah dan conjecturing merupakan bagian penting dari kegiatan matematika. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) yaitu banyak peneliti telah menyarankan bahwa pemecahan masalah dan conjecturing adalah bagian penting dari kegiatan matematika. Menurut NCTM (2000) pemecahan masalah merupakan salah satu bagian dari standar matematika sekolah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berpikir matematis dan keterampilan penalaran, termasuk membuat conjectures adalah penting karena berfungsi sebagai dasar untuk mengembangkan wawasan baru dan meningkatkan kajian lebih lanjut. Sedangkan menurut Sutarto, dkk (2014) conjecturing berperan dalam pembelajaran matematika yaitu: (1) conjecturing sebagai jalan dalam menyelesaikan masalah (2) conjecturing sebagai proses yang membantu siswa dalam memahami materi, dan (3) conjecturing sebagai proses yang melatih siswa dalam bernalar. Pemecahan masalah dan conjecturing merupakan dua hal yang saling berhubungan. Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) pemecahan masalah dan conjecturing sebagai kegiatan matematika yang terjalin dalam banyak cara. Dalam NCTM (2000) pemecahan masalah berarti terlibat dalam tugas yang solusi belum diketahui sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa melakukan matematika berarti melibatkan penemuan, conjecture adalah jalur utama untuk penemuan. Proses investigasi terjadi dalam proses problem solving, dalam proses investigasi salah satu tahapanya adalah perumusan dan pengujian conjecture (Yeo & Yeap, 2010). Conjecture merupakan suatu pernyataan yang dihasilkan dari proses penalaran tapi kebenarannya belum dapat dipastikan. Menurut Stacey, Burton, & Mason (2010) conjecture adalah pernyataan yang masuk akal, tapi ya ng kebenarannya belum dapat dipastikan, dengan kata lain, belum diyakini kebenarannya namun tidak memiliki contoh penyangkal. Canada & Castro (2005) menyatakan bahawa 172

conjecture adalah pernyataan berdasarkan fakta empiris, yang belum divalidasi. Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) menyatakan bahwa proses conjecturing menggunakan berbagai jenis penalaran. Salah satu penalaran yang digunakan dalam proses conjecturing adalah penalaran induktif. Penalaran induktif adalah proses melihat keteraturan yang dimulai dari contoh-contoh tertentu dan menghasilkan generalisasi. Menurut Pólya (1967) bahwa penalaran induktif adalah metode menemukan sifat dari fenomena dan menemukan keteraturan dengan cara yang logis. Canada & Castro (2005) menyatakan bahwa penalaran induktif dalam pendidikan matematika adalah proses penalaran yang dimulai dengan kasus-kasus tertentu dan menghasilkan generalisasi. Penalaran induktif mengacu pada pendeteksian keteraturan dan ketidakteraturan dalam rangka membentuk aturan dan membuat generalisasi (Klauer & Phye, 2008). Hasil penelitian tentang tahapan penalaran induktif. Pólya (1967) menunjukkan empat langkah proses penalaran induktif: pengamatan kasuskasus tertentu, merumuskan conjecture berdasarkan kasus tertentu sebelumnya dan verifikasi conjecture dengan kasuskasus tertentu yang baru. Dalam konteks induksi empiris dari bilangan berhingga kasus diskrit, Reid (2001) menjelaskan tahapan ini: pengamatan pola, conjecturing (dengan keraguan) bahwa pola-pola ini berlaku secara umum, pengujian conjecture, dan generalisasi conjecture. Canada & Castro (2005) tujuh tahapan yang menjelaskan proses penalaran induktif: mengamati kasus-kasus tertentu, mengorganisasikan kasus-kasus tertentu, mencari dan memprediksi pola, merumuskan conjecture, memvalidasi conjecture, meggeneralisasi conjecture, dan membenarkan conjecture umum. Penalaran induktif penting dalam pemecahan masalah. Menurut Koedinger dan Anderson (Papageorgiou & Christou, 2005) bahwa penalaran induktif berperan penting dalam matematika dan pemecahan masalah. Pólya (1967) menyatakan bahwa penalaran induktif sangat penting dari sudut pandang ilmiah karena memungkinkan kita untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Sedangkan menurut Harverty, dkk (2000) mengutip beberapa penelitian lain yang melihat penalaran induktif sebagai faktor penting untuk pemecahan masalah, belajar konsep, belajar matematika, dan pengembangan keahlian. Penalaran induktif digunakan dalam proses conjecturing. Proses conjecturing melalui penalaran induktif adalah proses menghasilkan conjecture melalui tahapan penalaran induksi. Menurut Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) bahwa conjecturing dalam menyelesaikan masalah dapat dilakukan dengan conjecturing tipe induksi empiris dari sejumlah berhingga kasus diskrit. Lebih lanjut dikatakan bahwa conjecturing melalui penalaran induktif dapat dibuat berdasarkan pengamatan dari bilangan berhingga kasus diskrit, dimana pola yang diamati konsisten. Selanjutnya Cañadas & Castro (2005) dalam Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) menyatakan bahwa tujuh tahapan kategorisasi untuk menggambarkan conjecturing tipe induksi empiris dari sejumlah berhingga kasus diskrit: mengamati kasus, mengorganisir kasus, mencari dan memprediksi pola, merumuskan conjecture, memvalidasi conjecture tersebut, generalisasi conjecture tersebut, dan membenarkan 173

generalisasi. Tahapan Conjecturing tersebut merupakan tahapan penalaran induksi yang dikemukakan oleh Cañadas & Castro (2005) dan dijadikan salah satu tipe conjecturing. Penjelasan tujuh tahapan kategorisasi untuk menggambarkan conjecturing tipe induksi empiris dari sejumlah berhingga kasus diskrit atau conjecturing melalui penalaran induktif. Ketika mengamati kasus titik awal kasus tertentu adalah pengalaman dengan kasus-kasus tertentu dari masalah yang diajukan. Mengorganisir kasus melibatkan penggunaan strategi untuk melakukan sistematisasi dan memfasilitasi pekerjaan dengan kasuskasus tertentu. Strategi yang paling umum digunakan adalah organisasi kasus-kasus tertentu dengan daftar data atau tabel. Mencari dan memprediksi pola ketika seseorang mengamati pengulangan dan situasi yang biasa yang bersifat gambaran bahwa pola mungkin berlaku untuk kasus berikutnya yang tidak diketahui dengan pasti. Merumuskan conjecture, berarti membuat pernyataan tentang semua kemungkinan kasus yang terjadi, berdasarkan fakta-fakta empiris, tetapi dengan unsur keraguan. Memvalidasi conjecture, ketika siswa merumuskan conjecture dengan keraguan, mereka yakin tentang kebenaran conjecture mereka untuk kasus-kasus tertentu tetapi tidak untuk yang lain. Generalisasi conjecture, hal ini terkait dengan perubahan pada pernyataan yang diyakini. Melihat contoh tambahan tidak cukup untuk membenarkan generalisasi, membenarkan generalisasi conjecture mencakup pemberian alasan yang menjelaskan conjecture tersebut, mungkin dengan maksud meyakinkan orang lain bahwa generalisasiny benar. Jika diperlukan, orang bisa membuat bukti matematis sebagai justifikasi yang menjamin kebenaran conjecture tersebut. Pemecahan masalah generalisasi pola merupakan aspek penting dalam matematika yang terdapat dalam setiap topik dan merupakan sesuatu yang disorot dalam pengajaran di hampir semua tingkatan (Dindyal, 2007). Generalisasi pola dapat berkontribusi pada pengembangan kemampuan yang berkaitan dengan pemecahan masalah, melalui penekanan analisis kasus-kasus tertentu, mengorganisasikan data secara sistematis, conjecturing dan menggeneralisasi (Barbosa, 2011). Sedangkan menurut Küchemann (2010) menyatakan generalisasi harus menjadi inti dari kegiatan matematika di sekolah. Dalam kurikulum 2013 terkait pola, generalisasi, dan conjecturing merupakan kompetensi dasar yang diberikan di SMP/MTs kelas VII, VIII dan IX, ini menunjukkan bahwa pola, generalisasi dan conjecturing merupakan kompetensi yang penting dan harus di miliki oleh siswa. Kenyataannya menggeneralisasi pola, dan membangun conjecture dalam penyelesaian masalah masih dirasakan sulit oleh siswa. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Sutarto, dkk (2014) bahwa siswa mengalami kesulitan dalam proses membangun conjecture yaitu siswa mengalami kesulitan dalam mengamati kasus (3,57%), mengorganisir kasus (17,86%), mencari dan memprediksi pola (53,57%), merumuskan conjecture (64,29 %), memvalidasi conjecture (71,43%), generalisasi conjecture (82,86%), dan membenarkan generalisasi (92,86%). Berdasarkan uraian ini sangat penting untuk mendeskripsikan proses generalisasi pola sehingga guru dapat memahami dengan benar proses 174

conjecturing yang dilakukan oleh siswa. Selanjutnya guru dapat membantu siswa membuat, memperbaiki, dan mengeksplorasi conjecture. METODE Jenis penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan proses generalisasi pola pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang adalah deskriptif eksploratif dengan memberikan lembar masalah generalisasi pola Tentukan banyaknya diagonal dari segitiga beraturan? untuk diselesaikan kepada 6 siswa. Pada tahap pertama siswa menyelesaikan masalah generalisasi pola dan pada tahap kedua siswa diwawancara berdasarkan lembar jawaban masing-masing untuk mengetahui proses conjecturing yang dilakukan. Soal ini termasuk masalah matematika karena penyelesaian yang benar tidak diketahui oleh siswa sehingga ini merupakan masalah bagi mereka. Untuk mendeskripsikan proses generalisasi pola lembar jawaban siswa dikumpulkan, selanjutnya diwawancara dan dianalisis satu persatu untuk melihat proses berpikirnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses conjecturing yang dilakukan oleh siswa dalam pemecahan masalah generalisasi pola tentang Tentukan banyaknya diagonal dari segitiga beraturan? menunjukkan adanya perbedaan antara subjek yang satu dengan subjek yang lainnya. Perbedaan proses conjecturing ini terjadi karena faktor pengetahuan awal dan pengelaman mereka sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara dan analisis lembar jawaban siswa diperoleh gambaran tentang proses generalisasi pola pada masing-masing siswa: Hasil kerja S1 dalam mengamati kasus Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S1 menunjukkan bahwa S1 tidak memahami maksud dari masalah yang diberikan, tapi S1 mengetahui bahwa segi tiga tidak mempunyai diagonal dan segi empat memiliki dua diagonal. Subjek S1 tidak bisa melanjutkan pada tahapan selanjutnya, karena tidak memahami maksud dari masalah. Hasil kerja S2 dalam merumuskan conjecture Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S2 menunjukkan bahwa S2 mulai dengan mengamati kasus dan langsung mencari dan memprediksi pola tetapi karena mengalami kebingungan S2 kembali mengorganisir kasus dengan menggambar segi tiga dengan diagonalnya nol, segi empat diagonalnya dua, segi lima diagonalnya 5, segi enam diagonalnya 9, segi tujuh diagonalnya 14 seperti yang terlihat pada gambar 1. Tahap selanjutnya S2 175

merumuskan conjecture bahwa rumus ke adalah Dan melakukan validasi dengan mensubstitusi segi empat ( ke hasilnya sesuai dengan banyaknya diagonal pada segi empat. Selanjutnya S2 membuat generalisasinya dengan meyakini bahwa adalah benar. Peneliti bertanya apakah berlaku untuk segi-segi beraturan lainnya, S2 menjawab iya pak tapi saat S2 mencoba dengan segi 5 diaganol yang di dapat 3 tidak sesuai dengan tahapan mengorganisir kasus yaitu segilima diagonalnya lima. segi n beraturan adalah dengan unsur keraguan. Pada tahap memvalidasi conjecture S3 menggambar lagi segi tujuh untuk memastikan bahwa segi tujuh diagonalnya 14 ternyata benar. Kemudian S3 menggeneralisasi dengan adanya perubahan keyakinan bahwa S3 meyakini bahwa conjecturenya benar. Dalam membenarkan conjecture S3 memberikan contoh tambahan dengan mensubstitusi segi enam pada rumus yang telah ditemukan dan hasilnya benar dengan maksud meyakinkan peneliti bahwa conjecturenya benar. Hasil kerja S3 dalam merumuskan conjecture Wawancara yang dilakukan pada subjek S3 menunjukkan bahwa S3 mengamati kasus dengan menjawab pertanyaan masalah ini mencari rumus untuk menentukan jumlah diagonal segi beraturan ini terkait pola bilangan, dengan pengetahuannya tentang segi beraturan dan diagonal selanjutnya S3 mencari dan memprediksi pola dengan menggambar menggambar segi tiga diagonalnya nol, segi empat diagonalnya dua, segi lima diagonalnya 5, segi enam diagonalnya 9 dan mengurutkan segi beraturan dengan jumlah diagonalnya dan mengetahui diagonal segi tujuh dan segi delapan tanpa menggambar. Subjek S3. Pada tahap selanjutnya S3 telah merumuskan conjecture bahwa jumlah diagonal dari Hasil kerja S4 dalam Mengamati kasus dan Mengorganisir kasus Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S4 menunjukkan bahwa subjek S4 mengamati kasus dengan menggambar dua segi beraturan, dan melanjutkan ke tahap mengorganisir kasus dengan mengurutkan segi beraturan dengan jumlah diagonalnya, subjek S4 telah menggambar diagonal sampai dengan segi delapan beraturan, tapi subjek S4 tidak mencari dan menemukan polanya sehingga tidak dapat melanjutkan ketahapan berikutnya. 176

Hasil kerja S5 dalam merumuskan conjecture Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S5 menunjukkan bahwa S5 mulai dengan mengamati kasus dan langsung mencari dan memprediksi pola dengan menggambar segi tiga dengan diagonalnya nol, segi empat diagonalnya dua, segi lima diagonalnya 5, segi enam diagonalnya 9, Tahap selanjutnya S2 mencoba merumuskan conjecture bahwa jumlah dari diagonal segi n rumusnya adalah dan langsung divalidasi tapi dugaannya salah. Subjek S2 tidak melanjutkan ke tahapan berikutnya karena kesulitan dalam merumuskan dugaannya walaupun subjek sudah menemukan pola bilangannya. Hasil kerja S6 dalam mengamati kasus Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S6 menunjukkan bahwa S6 tidak memahami maksud dari masalah yang diberikan. S6 hanya menggambar segi empat dan tidak memahami tentang diagonal. Subjek S6 tidak bisa melanjutkan ketahapan selanjutnya, karena tidak memahami maksud dari masalah. Dari uraian hasil wawancara dan analisis lembar jawaban masing-masing siswa dapat digambarkan proses pelaksanaan tahapan conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola seperti yang terlihat pada diagram 1. Gambaran proses tersebut menunjukkan cara berpikirnya siswa dalam menyelesaikan masalah generalisasi pola berdasarkan tahapan proses conjecturing tipe induksi empiris dari sejumlah berhingga kasus diskrit atau melalui penalaran induktif. Tahapan Proses Conjecturing Membenarkan Generalisasi Generalisasi Conjecture Memvalidasi Conjecture Merumuskan Conjecture Mencari dan Memprediksi pola Mengorganisir kasus Mengamati kasus S1 S2 S3 S4 S5 S6 Subjek Diagram 1. Proses pelaksanaan tahapan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola berdasarkan diagram 1 dapat dilihat bahwa dalam proses conjecturing tidak semua tahapan terjadi seperti yang dilakukan oleh subjek S3 dan S5. Subjek tersebut tidak melakukan tahapan mengorganisir kasus. Proses conjecturing tidak hanya terjadi secara linear seperti yang terjadi pada S3 dan S5, tapi proses conjecturing juga terjadi secara zigzag seperti yang dilakukan oleh S2. Subjek S1 dan S6 tidak melanjutkan ke tahap berikutnya karena subjek tersebut tidak memahami masalah yang diberikan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa 1) tidak semua tahapan proses conjecturing dilakukan, 2) proses conjecturing terjadi secara linear dan zigzag dan 3) memahami masalah merupakan titik awal untuk pemecahan masalah generalisasi pola. 177

DAFTAR RUJUKAN Barbosa, A. 2011. Patterning problems: sixth graders ability to generalize. Proceedings of the CERME 7 International Conference Canada, M.C., & Martinez, E, C. 2005. A proposal of categorisation for Analysing inductive reasoning Solving. Proceedings of the CERME 4 International Conference (pp. 41-409). Sant Feliu de Guíxols, Spain. Cañadas, M.C., Deulofeu, J. Figueiras, L., Reid, D., & Yevdokimov, O. 2007: The Dugaan Process: Perspectives in Theory and Implications in Practice: Journal Of Teaching And Learning, 2007, VOL. 5, NO.1 Dindyal, J. 2007. High School Students Use of Patterns and Generalisations. Proceedings of the Fifth Congress of the European Society for Research in Mathematics Education, 2007, pp. 844-851 Harverty, L. A., Koedinger, K. R., Klahr, D., & Alibali, M. W. (2000). Solving inductive reasoning problems in mathematics: No-so-trivial pursuit. Cognitive Science Vol 24 Klauer, K. J., & Phye, G. D. (2008). Inductive reasoning: A training approach. Review of Educational Research, 78, 85 123 Küchemann, D. 2010. Using patterns generically to see structure. Pedagogies: An International Journal Vol. 5, No. 3, July September 2010, 233 250 Lee, K.H., & Sriraman, B. 2010. Dugaan via reconceived classical analogy: Educational Studies in Mathematic, DOI 10.1007/s10649-010-9274-1 Lin, P.J., & Tsai, W.H. 2013. A Task Design for Dugaan in PrimaryClassroom Contexts. Proceedings of ICMI Study 22 (Vol. 1). Oxford Martha, G. & Alma, B. 2011. Using Multiple Representations to Make and Verify Dugaan. US-China Education Review B 3 (2011) 430-437 Earlier title: US-China Education Review, ISSN 1548-6613 Dafid publishing. Nasional Council of Teacher of Mathematics. 2000. Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM. Reid, D.A., & Scotia, N. 2002. Conjectures and Refutations in Grade 5 Mathematics. Journal of Research Mathematics and Education, Vol. 33, No.1.5-29 Stacey, Burton, & Mason. 2010. Thingking Mathematically Second Edition. Pearson Education Limited. Sutarto, dkk. 2014. Identifikasi kesulitan siswa dalam membangun conjecturing pada pemecahan masalah matematika. Preceding Seminar Nasional Pendidikan UTY ISBN 978-979-1334-33-4 Sutarto, dkk. 2014. Peran conjecturing dalam pembelajaran matematika. Preceding Seminar Nasional matematika dan Pendidikan Matematika USD. Yeo, J.B.W., & Yeap, B.H. 2010. Characterising the Cognitive Processes Mathematical Investigation. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. ISSN 1473 0111. Articles published to date 5 Oct 2010. Yevdokimov, S. 2005. About A Constructivist Approach For Stimulating Students Thinking To Produce Dugaan And Their Proving In Active Learning Of Geometry. Proceedings of the CERME 4 International Conference (pp. 469-480). Sant Feliu de Guíxols, Spain 178