BAB VII PENUTUP. 7.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Penjajahan pada periode sebelum terjadinya era modernisme menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tak akan pernah lepas dari pengaruh realitas kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan karya seni tulis yang diciptakan seorang pengarang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cermin dari kehidupan masyarakat dalam satu

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling vital untuk memenuhi kebutuhan

menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai patriotisme. Lunturnya nilai-nilai patriotisme pada sebagian masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ADAKAH (DAN PERLUKAH) PERIODISASI SASTRA POPULER? Oleh Nenden Lilis A.

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wanita adalah makhluk perasa, sosok yang sensitif dari segi perasaan, mudah

BAB I PENDAHULUAN. menyentuh jiwa pembaca karena di dalam karya sastra memuat cerita-cerita yang

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL BAHASA INDONESIA... i. HALAMAN SAMPUL BAHASA INGGRIS... ii. HALAMAN JUDUL... iii. HALAMAN PENGESAHAN...

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra adalah suatu hasil tulisan kreatif yang menceritakan tentang manusia dan juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengatur sebuah negara, tentu tidak terlepas dari sistem ekonomi dan

PEDOMAN PRAKTIKUM.

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran

BAB I PENDAHULUAN. manusiawi dan tidak adil di negerinya sendiri. Gesekan-gesekan sosial akibat

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. seni. Hal ini disebabkan seni dalam sastra berwujud bacaan atau teks sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata serta suara yang tertulis (Koendoro,2007:25). Komik terbentuk dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

PENGANTAR ILMU SEJARAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER)

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya mencakup struktur, pesan yang disampaikan, sudut pandang, dan nilai.

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan produk pengarang yang bermediakan bahasa dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan yang terjadi dalam setiap aspek di kehidupan tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. yang bebas mengungkapkan semua ide dan ktreatifitasnya agar pembaca dapat menangkap

BAB I PENDAHULUAN. bernalar serta kemampuan memperluas wawasan. Menurut Tarigan (2008:1) ada

I. PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, seseorang dengan menggunakan bahasa yang indah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang didasarkan oleh realitas

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. tidak sekadar merealisasikan kata-kata, melainkan dengan sendirinya kata-kata itu mengandung

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. mampu berinteraksi dengan lingkungan dengan selayaknya. meningkatkan dan mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film.

BAB I PENDAHULUAN. global. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

1 BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra kolonial Belanda memiliki pertalian yang kuat dengan kolonialisme Belanda. Sastra kolonial Belanda merupakan salah satu inspirasi kolonialisme Belanda bersama dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis utilitarian.tidak mudah diingkari bahwa gagasan-gagasan mengenai kolonialisme Belanda baik secara tersurat maupun tersirat terlihat dalam sastra kolonial Belanda. Pengarang baik yang berafiliasi pada haluan politik tertentu maupun yang kelihatannya tidak memiliki ketertarikan kepada haluan politik tertentu memiliki kepentingan yang sama untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan kolonial. Dengan kata lain, pengarang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan praktik kolonialisme. Analisis fokalisasi menunjukkan bahwa pencerita diaan-fokalisator dengan jelas merepresentasikan pandangan dan ideologi pengarang. Sebagian besar pengarang menunjukkan kecenderungan terhadap ideologi etis. Meskipun demikian, kecenderungan itu bersifat paradoksikal. Para pengarang yang diduga kuat akan secara tegas mengekspresikan gagasannya dalam novel berhaluan etis terbukti terjebak dalam konservatisme atau liberalisme. Ketidakkonsistenan ini menunjukkan bahwa pengarang novel kolonial Belanda memainkan strategi dengan tidak menyampaikan apa yang pada awalnya tampak dikatakan atau apa yang diperkirakan akan dikatakan. Paradoks terjadi karena dominasi politik

2 kolonial masih kuat di samping pengarang juga memahami karakteristik ideologi etis. Dalam rancangannya yang tampak manusiawi politik etis memberi peluang bagi pengabadian Hindia Belanda sebagai koloni Belanda. Politik etis berwajah ganda. Di satu sisi memartabatkan, di sisi lain mengerdilkan.hal ini antara lain ditunjukkan melalui pengingkaran terhadap keberhasilan proses pembelandaan yang dilakukan oleh tokoh cerita bumiputra meskipun yang bersangkutan telah berusaha dengan sekuat tenaga menjalani semua tahap untuk proses tersebut. Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan temuan ini memiliki kebaruan. Analisis stereotip mendapati temuan konstruk stereotip yang dilekatkan pada liyan bumiputra bersifat ambivalen karena hampir selalu bersanding dengan kecemasan bahwa sosok bumiputra tidak sepenuhnya dapat dikuasai serta ditundukkan. Ambivalensi muncul dari tindakan splitting (pemisahan) yang dari waktu ke waktu menjiwai wacana kolonialisme Belanda. Sebagai penakluk yang tidak terlalu agung, Belanda berusaha mengakui keberadaan bangsa bumiputra dengan memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam sistem yang diciptakannya. Namun, naluri sebagai penakluk mendorongnya untuk mengesampingkan partisipasi bangsa bumiputra, sehingga melahirkan keyakinan yang kontradiktif. Di satu sisi, orang Belanda merasa dapat menguasai orangorang bumiputra, tetapi di sisi lain mereka menghadapi kenyataan bahwa orangorang bumiputra tidak sepenuhnya dapat ditundukkan. Dengan demikian, asumsi bahwa stereotip merupakan wilayah subjek terjajah terbukti tidak sepenuhnya benar. Pengarang mengungkapkan bahwa subjek terjajah juga melekati penjajah dengan stereotip yang tidak kurang menyudutkan. Subjek terjajah diberi

3 kesempatan mendisartikulasikan kuasa penjajah. Penstereotipan yang ambivalen ini terbukti merupakan salah satu karakteristik sastra kolonial Belanda yang berkelindan dengan praktik dan kebijakan kolonialisme Belanda yang berperspektif diskriminatif dan bervisi ganda. Analisis ruang ketiga mengungkapkan bahwa ruang ketiga diperlukan karena menjadi tempat pertemuan dan menjembatani oposisi biner yang diasumsikan menandai ruang pertama dan ruang kedua. Jika penjajah diposisikan berada diruang pertama dan terjajah di ruang kedua, mereka akan mengalami kesulitan untuk bernegosiasi dan bertranslasi. Padahal, pada dasarnya mereka saling membutuhkan dan bergantung satu dengan lainnya. Dalam ruang ketiga penjajah dapat bertahan karena melakukan kompromi dengan subjek terjajah. Sebaliknya, subjek terjajah mendapatkan status dan kekuasaan dalam kedekatannya dengan penjajah. Dari perspektif Belanda kesalingbergantungan ini dapat dipahami sebagai strategi untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam ruang ketiga berlangsung agenda tersembunyi untuk menjadikan Belanda tetap sebagai majikan dan bumiputra sebagai bawahan, sehingga pada akhirnya tercipta intimasi unikyang mengesampingkan perbedaan yang ada di antara mereka. Intimasi ini menggugurkan asumsi bahwa pemosisian penjajah dan terjajah bersifat stabil, menyatu, dan mengandaikan adanya perbedaan serta konflik antara yang satu dengan lainnya. Asumsi teoretis bahwa ruang ketiga sebagai ruang translasi, enunsiasi, dan ruang hibriditas tidak mengikuti pola-pola tatanan yang sudah ada atau neither the

4 one nor the other tidak mudah ditemukan dalam praktik. Berdasarkan analisis, ruang ketiga baru hadir ketika pihak yang diasumsikan dominanbersedia mengesampingkan ego untuk bernegosiasi dan bertranslasi memasuki ranah pihak yang dianggap pinggiran. Berdasarkan analisis uncanny dihasilkan temuan bahwa sebagian tokoh cerita berkebangsaan Belanda mengalami fenomena uncanny baik dalam kadar ringan maupun berat dan dalam wujud yang beragam. Sebagian tokoh cerita mengalami fenomena uncanny karena gagal menjadikan Hindia Belanda sebagai ruangkuasi domestik seperti yang dialaminya secara empiris di Belanda. Hindia tetap merupakan Hindia yang tidak pernah benar-benar menjadi rumah bagi tubuh dan jiwanya. Hindia tetap merupakan situs misteri dan eksotisisme yang tidak berhasil dipahami. Sebagian yang lain tidak berhasil menjadikan Hindia Belanda sebagai perluasan Kerajaan Belanda dan arena petualangan kolonial. Uncanny hadir karena penjajah menganggap tanah jajahan sebagai miliknya, padahal bukan miliknya sepenuhnya. Mereka menghadapi eksklusi masyarakat bumiputra yang secara turun temurun menjadi pemilik sah dari tanah tersebut. Di samping itu, ekslusi juga dapat datang dari rekan senegara. Hal ini terjadi ketika seorang penyinggah pulang, baik untuk sementara maupun permanen ke negeri asal. Eksklusi dari rekan senegara justru merupakan fenomena uncanny yang sangat menekan karena tereksklusi mengalami kompleks salah tempat (misplaats) dan merasa tercerabut dari komunitasnya. Dengan status sebagai manusia Hindia (Indische mensen) tereksklusi berubah menjadi sosok ambivalen karena mengalami kekacauan identitas baik di tanah jajahan maupun di

5 negara asal. Secara teoretis temuan ini memiliki kebaruan karena fenomena tersebut biasanya dijelaskan terjadi di tanah jajahan. Temuan yang lain ialah novel Hindia Belanda memunculkan fenomena uncanny yang lebih luas daripada eksplanasi Bhabha. Di samping ketidakkerasanan (unhomely) dalam pertemuan kolonial juga ditemukan fenomena lain seperti pengalaman déjà vu, dan tekanan kekuatan magi. Sementara itu, kecenderungan ideologi pengarang yang terepresentasikan melalui stereotip, ruang ketiga, dan uncanny dalam sastra kolonial Belanda periode 1860 1942 secara tersirat memiliki pertalian dengan politik etis. Politik etis juga memiliki karakteristik yang paradoksikal. Di satu pihak, etisisme berusaha untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Hindia Belanda dengan berbagai rancangan kebijakannya, seperti beschaving missie (misi pemberadaban), pengenalan pendidikan dan kebudayaan Barat, pengenalan pendidikan kesusilaan, dan pemerintahan Hindia untuk Hindia. Di pihak lain, politik asosiasi yang menjadi teras kebijakannya yang tidak segera memberi kepercayaan kepada orang-orang bumiputra untuk secara mandiri mengelola tanah airnya menjadikan orang-orang bumiputra semakin inferior dan bergantung pada Belanda. Politik etis merupakan kontinuitas kebijakan yang dilakukan oleh Belanda sejak zaman Kompeni yang memanfaatkan elite bumiputra sebagai kepanjangan tangannya. Strategi ini sengaja dipilih mengingat sebagai negara penakluk Belanda bukan negara yang benar-benar kuat seperti para pesaingnya di Eropa yang mampu menaklukkan koloni dan memerintahnya secara langsung. Belanda menggunakan kecerdikannya dengan lebih banyak memanfaatkan unsur-unsur

6 bumiputra dalam lingkaran kekuasaannya. Dalam situasi ini secara sadar dilakukan splitting (pemisahan/pembelahan). Di satu pihak diperkenalkan berbagai program kemanusiaan sebagaimana disebutkan di atas. Di pihak lain, terus-menerus dilakukan upaya untuk mempertahankan Hindia Belanda sebagai koloninya. Proses inferiorisasi sistematis ini terus berlangsung, sehingga pada paruh pertama abad ke-20 sebagian besar elite bumiputra Hindia Belanda telah menjadi murid yang setia dari para penganjur etisisme. Etisisme merupakan salah satu peredam kecemasan kredo Hindia hilang, malapetaka datang (Indië verloren rampspoed geboren) yang menjadi kesadaran bersama orang Belanda pada paruh pertama abad ke-20. Ketergantungan Belanda pada Hindia sangat kuat dan hal ini tidak terjadi pada Inggris, Prancis, dan Jerman terhadap koloninya. Kecemasan akan kehilangan Hindia secara tersirat dan tersurat terepresentasikan dalam sastra colonial Belanda periode 1860 1942. 7.2 Saran Berdasarkan analisis terhadap novel-novel kolonial Belanda periode 1890 1942 dikemukakan saran sebagai berikut. Pertama, sudah saatnya dilakukan pengkajian secara kritis untuk memasukkan sastra Hindia Belanda sebagai ranah kajian sastra (kolonial) Indonesia. Hal ini dikemukakan karena sumber inspirasi dari karya-karya tersebut sama dengan sastra Indonesia, yaitu masyarakat yang kemudian disebut sebagai masyarakat Indonesia pada zaman kolonial. Karya-karya tersebut perlu dikaji karena mengisahkan masyarakat kolonial dari perspektif yang berbeda dengan perspektif resmi penjajah Belanda.

7 Karya sastra Hindia Belanda mengemukakan persoalan-persoalan keseharian yang sebagian besar terabaikan dalam pembicaraan tentang sistem dan praktik kolonialisme Belanda, misalnya ketidakkerasanan permanen meskipun sudah lama tinggal di Hindia, hubungan timbal balik antara orang Belanda dan orang bumiputra. Kedua, di luar lingkup penelitian ini,perlu dilakukan kajian ideologi estetik terhadap sastra Hindia Belanda karena korpus sastra ini merupakan inspirasi yang tidak pernah kering bagi penulisan sastra modern Indonesia sejak zaman kolonial sampai dengan periode mutakhir. Pada zaman kolonial beberapa orang sastrawan Indonesia baik secara tersurat maupun tersirat memanfaatkan inspirasi sastra Hindia Belanda, berupa pengolahan kembali dan penyerapan gagasan tentang modernitas. Pada periode pra dan pasca kemerdekaan sampai dengan runtuhnya Orde Baru tema-tema perlawanan/penerimaan terhadap kolonialisme Belandadimanfaatkan untuk menumbuhkan nasionalisme, membangkitkan nostalgia, dan alegori bagi sistem kekuasaan Orde Baru yang autoritarian. Sastra poskolonial pada era ini merupakan hasil pembacaan kritis terhadap sistem dan praktik kolonialisme yang kemudian diapropriasikan pada situasi sezaman. Pada periode terakhir, pasca runtuhnya Orde Baru tema-tema tentang kolonialisme masih ditulis orang. Diduga kuat karya-karya ini masih digunakan sebagai alegori kekuasaan autoritarian Orde Baru yang dialami sebagai trauma dan sebagai proyek penulisan kembali sastra kolonial dengan perspektif Indonesia.

8 Ketiga, analisis wacana kolonialisme/poskolonialisme yang bertujuan menjelaskan sikap dan ideologi pengarang hendaknya didahului dengan analisis unit naratif berupa fokalisasi. Analisis fokalisasi yang menjelaskan visi atau pandangan tokoh-tokoh cerita mengidentifikasi pandangan dominan pengarang. Dari pandangan tersebut dapat diketahui sikap dan kecenderungan pengarang terhadap ideologi tertentu. Dengan cara itu, juga dapat dihindari simplifikasi bahwa tokoh cerita selalu identik dengan pengarang sebagaimana yang sering terjadi dalam berbagai penelitian sastra. Dalam peneltian ini teridentifikasi seorang pengarang yang sepanjang kariernya sebagai jurnalis banyak melakukan kritik terhadap praktik kolonialisme yang represif dan eksploitatif terbukti menulis sebuah cerita yang secara tersirat meneguhkan hal-hal yang dikritiknya.di samping itu, analisis fokalisasi terhadap sastra kolonial Hindia Belanda dapat meminimalisasi kesalahan peneliti dalam mengidentifikasi kecenderungan sebuah karya sastra. Karya sastra yang ditafsirkan bervisi antikolonial bisa jadi hanya merupakan sebuah empati terhadap penindasan dan ketidakadilan. Keempat, sastra kolonial Belanda hendaknya dapat menjadi acuan bagi para peminat sejarah kolonial Indonesia mengingat sebagai fakta mental karya sastra itu dapat menggambarkan hal-hal tersembunyi yang tidak diungkap dalam versi resmi narasi sejarah kolonial. Sastra kolonialbelanda merupakan memori naratif dari peristiwa-peristiwa sejarah yang dikisahkan di dalamnya. Sebagai representasi kenyataan, narasi novel kolonial Belanda tidak dapat disederhanakan begitu saja sebagai fiksi yang hanya berasal dari pikiran pengarang. Novel kolonial Belanda mengungkapkan cara pandang yang pada masa itu diyakini

9 kebenarannya.setidak-tidaknya, dengan membaca novel kolonial Belanda kita dapat membaca sejarah dari perspektif liyan.