BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL CORE MELALUI PENDEKATAN KETERAMPILAN METAKOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah. membawa berbagai perubahan hampir di setiap aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. pendapat (Sabandar, 2010: 168) bahwa matematika adalah sebagai human

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini pesatnya kemajuan teknologi informasi

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu matematika sampai saat ini, seperti Pythagoras, Plato,

Diajukan Oleh : IRFAKNI BIRRUL WALIDATI A

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap peserta didik perlu memiliki kemampuan matematis pada tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas atau mutu pendidikan matematika. Laporan Badan Standar

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bidang studi matematika secara garis besar memiliki dua arah

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Pendidikan matematika berperan penting bagi setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran matematika dalam kurikulum pendidikan nasional selalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, pesatnya kemajuan teknologi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dampak globalisasi adalah perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dalam. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di semua bidang, salah satunya membangun sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Angie (Uno : 2009) menyatakan tanpa disadari

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan aspek yang penting dalam meningkatkan sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi tantangan zaman yang dinamis, berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

B A B I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. mampu mengerjakan dan memahami matematika dengan benar. keadaan di dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia yang selalu berkembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Deden Rahmat Hidayat,2014

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S 1 Pendidikan Matematika. Oleh : DARI SUPRAPTI A

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

I. PENDAHULUAN. kreatif, terampil, bertanggung jawab, produktif, dan berakhlak. Fungsi lain dari

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan sekolah, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir logis, karena metematika merupakan sarana berpikir ilmiah yang memegang peranan penting dalam usaha mengembangkan ilmu dan teknologi guna kesejahteraan manusia. Sebagai disiplin ilmu yang diajarkan di pendidikan menengah, tentu saja pembelajaran matematika mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pembelajaran matematika di sekolah bukan hanya mengupayakan siswa terampil menggunakan matematika, tetapi juga terampil pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Belajar merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pembentukan perilaku seseorang. Belajar juga dapat diartikan sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Agar belajar sebagai interaksi antara seseorang dengan lingkungannya tercapai maka pembelajaran harus lebih menitikberatkan pada aktivitas siswa (proses). Jadi belajar bukan hanya penguasaan hasil latihan, melainkan mengalami, dengan tujuan membangun (mengkonstruksi) pengetahuan (Suryosubroto, 1997).

2 Mengacu pada pandangan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran merupakan suatu proses, di mana aktivitas belajar dalam membangun pengetahuan sendiri atau bersama dengan situasi yang dirancang oleh guru sehingga membuat siswa dapat belajar, maka guru harus berperan sebagai fasilitator, motivator dan manager di kelas sehingga terbentuk lingkungan belajar yang kondusif. Guru tidak mendominasi kelas melainkan banyak melibatkan siswa untuk aktif dan berkontribusi dalam pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Demikian juga halnya dengan belajar matematika, jika tanpa didasari oleh pengalaman sebelumnya maka proses perubahan perilaku dalam matematika tidak akan muncul. Dalam perkembangan matematika, ternyata banyak konsep matematika yang dibangun oleh manusia dan diperlukan untuk membantu menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi. Dalam pembelajaran matematika ada beberapa kemampuan dasar yang harus diperhatikan. Sumarmo (2005) mengklasifikasikan kemampuan dasar matematika dalam 5 (lima) standar kemampuan sebagai berikut: 1. Pemahaman matematik 2. Pemecahan masalah matematik (mathematical problem solving) 3. Penalaran matematik (mathematical reasoning) 4. Koneksi matematik (mathematical connection)

3 5. Komunikasi matematik (mathematical communication) Menurut Sumarmo (Saragih, 2007), kemampuan-kemampuan di atas disebut daya matematis (mathematical power) atau keterampilan matematika (doing math). Keterampilan matematika (doing math) berkaitan dengan karakteristik matematika yang dapat digolongkan dalam berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Aktivitas yang menyangkut berpikir tingkat rendah termasuk kegiatan melaksanakan operasi hitungan sederhana, menerapkan rumusan matematika secara langsung, mengikuti prosedur (algoritma) yang baku, sedangkan aktivitas berpikir yang termasuk pada berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logis, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide matematis dengan kegiatan intelektual lainnya. Penalaran merupakan salah satu topik terpenting sebagaimana yang tercantum pada indikator ketiga di atas. Penalaran juga merupakan suatu alat penting untuk matematika dan kehidupan sehari-hari, penalaran dapat diaplikasikan secara efektif atau tidak efektif dan dapat juga diaplikasikan untuk tujuan -tujuan yang bermanfaat. Konsep-konsep matematika yang tersusun secara hirarkis itu artinya bahwa konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memahami suatu konsep matematika yang baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat

4 diperlukan penguasaan konsep-konsep matematika dan daya nalar yang baik pada jenjang pendidikan sebelumnya. Kemampuan penalaran matematis merupakan proses mental yang harus dibangun secara terus menerus melalui berbagai konteks (Baroody, 1993). Jika siswa benar-benar telah mengerti maka pengetahuan siswa terhadap suatu materi akan tinggal lebih lama dalam pikiran mereka, dan dapat diaplikasikannya dalam berbagai situasi, sehingga kemampuan mereka tidak hanya melakukan yang diinstruksikan oleh guru dan mengikuti algoritma. Pentingnya kemampuan penalaran dalam pembelajaran matematika menurut Suryadi (2005), bahwa pembelajaran lebih menekankan pada aktivitas penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian prestasi siswa yang tinggi. Sebagai contoh pembelajaran matematika di Jepang dan Korea yang lebih menekankan pada aspek penalaran dan pemecahan masalah mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi dalam tes matematika yang dilakukan oleh The Third International Mathematics Science Study (TIMMS) Untuk memunculkan suatu idea atau konsep dalam matematika, Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran matematika perlu diarahkan pada upaya menumbuh kembangkan pemahaman dan penalaran siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan khusus pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004, yakni: 1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, ekperimen, menunjukkan kesamaan,

5 perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, diagram dalam menjelaskan gagasan. Bertolak dari tujuan di atas, maka sudah selayaknya matematika sekolah memperhatikan tujuan tersebut dengan baik, terlebih lagi pada cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan sebagaimana tercantum pada tujuan yang pertama. Hal ini disebabkan belajar matematika merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Setiap siswa memiliki potensi berpikir, tetapi yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana mengembangkan potensi tersebut melalui pembelajaran di kelas. Kreativitas siswa akan tumbuh apabila dilatih untuk melakukan eksplorasi, inkuiri, penemuan dan memecahkan masalah (Ruseffendi, 1991). Selain kreativitas, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah pengetahuan awal dan waktu belajar siswa. Hal ini penting karena pengetahuan awal dan waktu belajar siswa berhubungan dengan prestasi belajar matematika. Oleh karena itu, pembenahan terhadap kemampuan awal atau pun kemampuan prasyarat perlu diupayakan dengan menerapkan berbagai hasil atau temuan penelitian pendidikan

6 matematika. Dalam hal ini pembinaan kemampuan awal atau pun kemampuan prasyarat untuk menunjang topik yang akan dipelajari dan dalam rangka penerapan hasil penelitian untuk menuju pada ketuntasan, hendaknya dipandang bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang lebih dari semata-mata tercapainya kemampuan untuk berpikir, tetapi merupakan kegiatan untuk memperoleh banyak kemampuan khusus yang dapat dimanfaatkan untuk berpikir tentang berbagai hal (Sabandar, 2008). Dalam pembelajaran matematika hendaknya siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya lewat berbuat, mengamati, mengklasifikasi, menyelesaikan masalah dan sebagainya (Misalnya, diketahui jumlah siswa kelas VII 45 orang, 33 orang diantaranya menyukai pelajaran Matematika dan 27 orang menyukai pelajaran Biologi. Berapakah banyaknya siswa yang menyukai pelajaran Matematika dan Biologi?) Misalkan siswa yang menyukai pelajaran Matematika dan Biologi adalah x maka: ( 33 x) + x + 27 x 33 x + x + 27 x 33 + 27 x 60 x x = 45 = 45 = 45 = 45 = 15 Jadi, siswa yang menyukai pelajaran Matematika dan Biologi sebanyak 15 orang. Jawaban yang dikemukan di atas merupakan jawaban yang diinginkan oleh guru, tetapi ketika siswa diberikan soal seperti di atas, terkadang siswa mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Dengan kata lain, siswa perlu aktif dalam melakukan proses yang disebut matematisasi, karena dengan memberikan kepercayaan kepada mereka maka

7 kemampuan untuk berkreasi akan muncul dengan sendirinya. Tentu saja untuk dapat melakukan semua itu diperlukan siswa-siswa yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan mampu berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking), siswa yang mampu berpikir kritis, logis, sistematis dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, siswa yang mampu bernalar dengan baik dalam menarik kesimpulan yang tepat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Masalah-masalah yang muncul mungkin berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau berkaitan dengan disiplin ilmu yang lain, baik dalam bidang matematika itu sendiri maupun dalam bidang yang lain. Masalah yang muncul tersebut mungkin saja dapat dilakukan penyelesaiannya oleh siswa yang memiliki minat yang tinggi untuk menyelesaikan dan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, tetapi jika siswa tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik akan berpengaruh terhadap pemahaman konsep yang dimiliki oleh siswa, karena antara pemahaman konsep dan pemecahan masalah saling berkaitan erat. Jadi siswa mungkin memahami konsep, tetapi ia lemah dalam menemukan ide-ide untuk memecahkan suatu masalah, atau sebaliknya ia memiliki ide-ide untuk memecahkan masalah akan tetapi pemahaman konsepnya kurang, atau bahkan kedua-duanya kurang. Oleh karena itu pemahaman konsep juga merupakan bagian penting dalam memecahkan suatu masalah. Belajar pemecahan masalah pada hakekatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yaitu berpikir dan bernalar mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah baru yang sebelumnya tidak pernah dijumpai (Kusumah, 2008).

8 Untuk mendukung proses pembelajaran yang meningkatkan kemampuan penalaran siswa diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan pada kesadaran tentang pengetahuan dan proses berpikir siswa. Mereka harus memiliki kesadaran bahwa mereka perlu tahu tentang konsepkonsep yang melandasi untuk memecahkan suatu masalah, sadar akan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Pada umumnya konsep-konsep matematika berawal dari pengalaman dan kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika siswa diharapkan dapat mempelajari matematika dan mengerti maknanya, sebaiknya ia kenal dan memahami adanya suatu situasi yang memuat serta melahirkan konsep matematika tertentu yang akan dipelajari. Dengan adanya kesadaran ini diharapkan siswa mampu meningkatkan kemampuan penalaran matematis untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Secara empirik ditemukan bahwa siswa-siswa sekolah menengah atas (high school) dan perguruan tinggi (college) mengalami kesukaran dalam menggunakan strategi dan kekonsistenan penalaran logika (logical reasoning) (Numedal dalam Matlin, 1994). Sejalan dengan hal tersebut, Sumarmo (1987) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa dalam pemahaman dan penalaran matematika sangat rendah. Siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman relasional dan berpikir derajat kedua, artinya siswa mengalami kesukaran dalam tes penalaran deduktif dan induktif. Selanjutnya Wahyudin (1999) menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa yaitu: (1) kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, (2) kurang memiliki kemampuan untuk memahami dan menggali konsep-konsep dasar matematika

9 (aksioma, definisi, kaidah, teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan, (3) kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau menggali sebuah pesoalan atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan tertentu, (4) kurang memiliki kemampuan menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak) dan kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam persoalan atau soal-soal matematika. Beberapa studi telah dilakukan berkaitan dengan penalaran diantaranya adalah studi oleh yang dilakukan oleh Kariadinata (2001) pada siswa SMU Negeri di Kota Bandung yang menemukan bahwa kualitas kemampuan siswa dalam penalaran (analogi) belum mencapai hasil yang memuaskan. Sedangkan studi yang dilakukan Priatna (2003) mengenai penalaran matematis, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi dan generalisasi) rendah karena skornya hanya 49% dari skor ideal. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Muin (2005) yang menemukan bahwa kualitas kemampuan siswa dalam penalaran (analogi dan generalisasi) belum mencapai hasil yang memuaskan. Dari beberapa studi tentang penalaran di atas, terlihat bahwa kemampuan penalaran siswa khususnya penalaran induktif (analogi dan generalisasi) masih sangat rendah. Hal tersebut membuat peneliti ingin mengkaji lebih jauh tentang penalaran induktif berupa analogi dan generalisasi. Uraian tersebut juga memberikan gambaran pentingnya usaha guru dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Kemampuan penalaran matematis dapat membantu siswa berpikir secara sistematis dan mampu

10 menyelesaikan persoalan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Namun kenyataannya pembelajaran yang dikembangkan guru selama ini kurang mendukung berkembangnya kemampuan penalaran siswa. Siswa tidak terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar karena pembelajaran hanya bersifat satu arah sehingga siswa menerima pengetahuan yang lebih bersifat hafalan. Suherman dan Winataputra (1994) mengemukakan tidak jarang siswa yang menyenangi pelajaran matematika pada awalnya saja kemudian menjadi tidak suka terhadap matematika, salah satu penyebabnya adalah cara mengajar guru yang kurang cocok. Sejalan dengan hal tersebut Turmudi (2008) mengatakan bahwa selama ini pembelajaran matematika disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat kelemahannya juga dapat dikatakan rendah. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, guru sering menemui hambatan dalam memberikan motivasi kepada siswa tentang pelajaran matematika karena siswa menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk dipahami. Akibat dari anggapan tersebut muncul rasa tidak percaya diri siswa dalam belajar matematika ditambah lagi dengan gaya mengajar guru yang membuat siswa menjadi takut untuk mengungkapkan pendapat. Akibatnya siswa tidak mampu menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan penalaran. Menurut Sabandar (2007) soal-soal atau permasalahan matematika yang sifatnya menantang akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberdayakan segala kemampuan yang dimilikinya atau dapat menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Lebih jauh Sabandar (2007) mengatakan

11 bahwa untuk tujuan tersebut, pembelajaran matematika secara konvensional yang umumnya menitik beratkan pada soal-soal yang bersifat drill atau algoritmis serta rutin, tidak banyak dikontribusinya dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, antara lain karena tidak dilatihkan. Dengan demikian rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa tidak terlepas dari kurangnya kesempatan siswa melakukan kegiatan bernalar dalam proses pembelajaran. Dalam perkembangan kognitif siswa, terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut menurut Ruseffendi (2006) mencakup kecerdasan siswa, bakat siswa, kemampuan belajar, minat siswa, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru serta kondisi masyarakat luas. Dengan demikian faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif seseorang terutama faktor eksternal, oleh karena itu guru dapat menciptakan proses pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga muncul motivasi dalam diri siswa untuk belajar. Jika siswa telah memperoleh motivasi untuk membentuk aktivitas belajarnya, maka siswa tersebut mempunyai dorongan yang kuat untuk beraktivitas dengan baik. Dorongan yang kuat itu bukan hanya pada penyelesaian tugas-tugas semata, tetapi juga untuk aktivitas di masa yang akan datang. Wahyudin (1999) memberikan gambaran proses belajar mengajar matematika masa kini dalam penelitiannya, bahwa sebagian besar siswa tampak mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan mendengarkan setiap penjelasan atau

12 informasi yang disampaikan oleh gurunya, tetapi para siswa terlihat pasif dan takut untuk mengungkapkan pendapat mereka, sehingga yang terjadi adalah guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dilain pihak siswa juga asyik sendiri menjadi penerima informasi yang baik. Akibatnya, siswa hanya mengikuti apa yang dikerjakan guru dan mengingat rumus-rumus atau aturanaturan matematika tanpa mengetahui makna dan pengertiannya. Pada saat proses belajar mengajar sikap terhadap pelajaran matematika merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Sikap ini merujuk pada status mental siswa yang dapat bersifat positif maupun negatif. Sejalan dengan hal tersebut Ruseffendi (2006) mengatakan bahwa siswa yang mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, menyelesaikan tugas dengan baik, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan selesai tepat pada waktunya serta merespons dengan baik tantangan yang datang dari bidang studi menunjukkan bahwa siswa berjiwa atau bersikap positif terhadap bidang studi itu. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sabandar (2008) bahwa jika seseorang tidak memandang matematika sebagai subjek yang penting untuk dipelajari serta manfaatnya untuk berbagai hal, maka sulit baginya untuk mempelajari matematika karena mempelajarinya sendiri tidak mudah. Dengan demikian guru memiliki peranan penting untuk menumbuhkan sikap tersebut dalam diri siswa, salah satunya melalui pembelajaran yang dikembangkan di kelas. Dalam proses belajar mengajar matematika kemampuan berpikir dan bernalar sangat berkaitan erat satu sama lain, karena matematika merupakan suatu

13 arena bagi siswa-siswa untuk menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh kepercayaan bahwa untuk menghasilkan suatu penyelesaian yang benar bukan hanya dari perkataan gurunya, tetapi karena logika berpikir dan benalar mereka yang jelas, karena itu model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting and Extending) diterapkan dalam pembelajaran untuk menghubungkan, mengorganisasikan, menggambarkan dan menyampaikan pengetahuan yang ada dalam pikiran siswa serta memperluas pengetahuan mereka dengan melakukan diskusi pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dengan Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru yang akan dipelajari dengan pengetahuannya terdahulu. Organizing membawa siswa untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya. Kemudian dengan Reflecting, siswa dilatih untuk dapat menjelaskan kembali informasi yang telah mereka peroleh dan Extending, siswa dapat memperluas pengetahuan mereka pada saat diskusi berlangsung. Dalam model CORE siswa berdiskusi untuk menghubungkan pengetahuan yang baru dengan apa yang telah mereka ketahui, mengkonstruksi pengetahuan, meningkatkan kemampuan berpikir dan membantu memperluas pengetahuan mereka. Sejalan dengan hal tersebut, Calfee et al., (dalam Jacob, 2005) mengatakan bahwa ada empat hal yang dibahas dalam pembelajaran dengan model CORE yaitu: Pertama, diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Kedua, diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan. Ketiga, diskusi yang baik dapat meningkatkan berpikir reflektif dan Keempat, diskusi membantu memperluas pengetahuan siswa. Hal ini, akan menimbulkan motivasi dan

14 pengetahuan yang akan menghasilkan pemaknaan dan pemahaman dalam pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran dengan model CORE ini diduga dapat bermanfaat bagi usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pembelajaran Matematika Dengan Model CORE Melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif Untuk Meningakatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional? 2. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional? 3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif? 4. Bagaimana aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif?

15 5. Bagaimana respons pengamat terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif? C. Tujuan Penelitian Bertolak dari permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis: 1. Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelejaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 3. Sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. 4. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. 5. Respons pengamat terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh suatu alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa dan dapat dijadikan sebagai suatu rujukan untuk peneliti selanjutnya. E. Definisi Operasional Agar tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang dimaksudkan

16 dalam penelitian ini, maka penulis memberikan definisi operasional sebagai berikut: 1. Penalaran Matematis Penalaran (reasoning) adalah pemikiran logis yang menggunakan logika induktif dan deduktif untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Penalaran induktif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analogi dan generalisasi. Analogi adalah penarikan kesimpulan berdasarkan sifat yang serupa. Generalisasi adalah penarikan kesimpulan berdasarkan pengamatan terhadap contoh-contoh khusus dan mementukan pola atau aturan yang melandasinya. 2. Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif Pembelajaran matematika dengan pendekatan keterampilan metakognitif adalah pembelajaran dalam upaya menumbuhkembangkan kognisi dan menumbuhkan keyakinan melalui pertanyaan-pertanyaan serta pengontrolan terhadap proses berpikir dalam membangun pengetahuan yang utuh. 3. Model Pembelajaran CORE Model pembelajaran CORE adalah suatu model pembelajaran yang dikembangkan untuk menghubungkan, mengorganisasikan, menggambarkan dan menyampaikan pengetahuan yang ada dalam pikiran siswa serta memperluas

17 pengetahuan mereka melalui diskusi yang dilakukan pada saat proses belajar mengajar berlangsung. 4. Peningkatan Peningkatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah peningkatan gain kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. F. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Peningkatan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.