BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

S K R I P S I. Oleh : MUHAMAD RODY E

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB III METODE PENELITIAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri. Pelaksanaan jual beli atas tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. empat untuk menyuplai pasokan barang kebutuhan dalam jumlah yang banyak.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan atas kekuasaan (machtstaat), demikianlah penegasan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) amandemen ke 4 UUD 1945. Sebagai negara hukum, negara harus berperan di segala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan adanya keamanan, dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menghendaki agar hukum ditegakkan artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari tindak acara pidana adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya dapat melewati proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada 1

2 KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian. Dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya kasuskasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan. Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objekobjek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pasal-Pasal KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur didalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, yang didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan Pasal 183 KUHAP di kepastian hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau

3 tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang. Yang disebut pertama dan kedua satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh dari alatalat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan. Suatu alat bukti saja umpamanya keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, namun dengan keterangan beberapa alat bukti. Demikian kata-kata alat-alat bukti yang sah mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan bukti yang sah. Selain bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari alat-alat bukti yang sah. Ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undangundang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri (Anonym, 2009: 1). Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar,

4 untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Mencari kebenaran materiil tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relative. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relative, kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa akan berbeda-beda. Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Hukum acara pidana itu bertujuan mencari kebenaran material yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya. Hakim bersifat aktif dan berkewajiban memperoleh kecukupan bukti untuk membuktikan tuduhan kepada tersangka. Adapun alat bukti yang diperlukan bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Jenis alat bukti dalam perkara pidana dituangkan dalam Pasal 184 KUHAP (kutipan dari KUHAP). Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa, melalui pembuktian akan menentukan nasib terdakwa. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk itulah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Pembuktian ini dilakukan sebagai sarana hakim untuk memeriksa dan memutuskan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman terntang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti,dilakukan dalm batas-batas yang dibenarkan undang-undang,agar dalam

5 mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan,majelis hakim terhindar dari pengorbana kebenaran yang harus dibenarkan. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa,hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa.apakah dengan terpenuhi pembuktian minimum sudah dapat dianggap cukup meembuktikan kesalahan terdakwa?apakah dengan lengkapnya pembuktian dengan alat-alat bukti,masih diperlukan faktor atau unsur keyakinan hakim? Pertanyaanpertanyaan inilah yang akan dijawab dalam sistem pembuktian dalam hukum acara pidana (Andi hamzah,2000:275). Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah: 1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif ( Positif Wettwlijks theorie ). Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal bebarapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan selalu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dalam teori ini undang-undang menentukan alat bukti yang dipakai oleh hakim cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat-alat bukti itu telah di pakai secara yang ditentukan oleh undang-undang, maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya. Walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusannya itu. Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat-alat bukti itu sebagimana ditetapkan undang-undang bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan tersebut. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, dan teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganutlagi karena teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang

6 2. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan kadangkadang ntidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pengkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yag didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undangundang. 3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis ( Laconvivtion Raisonnee ).Sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ( la conviction raisonnee ). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie ).atau yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, yang disebut diatas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis ( conviction raisonnee ) dan yang kedua, ialah teori pembuktian berdasar undangundang secara negative ( negatief bewijs theorie ). Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin di pidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.

7 4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif ( negative wettelijk ). Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukanundang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecualiapabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Hukum pembuktian antar Negara perlu dikaji dan disosialisasikan. Hal ini dimaksudkan agar penanganan terhadap penyelesaian hukum yang mungkin terjadi di antara Indonesia dan RRC tidak mengalami kendala. Pembuktian di Negara Indonesia pada prakteknya masih melibatkan sifat sunyektif individu hakim yang menangani, sedangkan pada hukum perjanjian Negara Cina, benar-benar berdasarkan bukti nyata dalam kasus yang dipersidangkan.

8 Temuan pengamatan awal dari artikel-artikel hukum di Cina ini menimbulkan peneliti untuk melakukan kajian terhadap hukum pembuktian dari masingmasing kedua Negara tersebut. Alasan lainnya adalah bahwa seiring berkembangnya perdagangan global, telah membuka arus kerjasama antara Indonesia dengan China. Keterikatan kerjasama tersebut tentu memiliki konsekuensi kemungkinan terjadinya sengketa hukum yang melibatkan TKI-TKI di Cina. Maka bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada TKI adalah dengan memahami lebih mendalam tentang hukum acara pidana di Negara Cina. Cina memiliki reputasi sebagai daerah yang tidak memiliki aturan hukum.selama bertahun-tahun,reformasi peradilan telah terjadi di negara dengan tujuan mempromosikan "ketidakberpihakan dan efisiensi" dalam pengadilan rakyat.sebuah bagian penting dari reformasi peradilan adalah untuk mengembangkan bukti suara aturan yang diterapkan untuk perdata dan pidana.menyadari bahwa Cina tidak memiliki bukti bersatu kode dan bahwa bukti-bukti yang tersebar di berbagai undang-undang ketentuan telah diterapkan secara tidak konsisten, Mahkamah Pengadilan Rakyat Cina mengadopsi beberapa bukti aturan litigasi sipil (dikenal sebagai Bukti Civil Rules) pada tahun 2002 untuk menyediakan pengadilan dengan sangat dibutuhkan pengisi celah di daerah bukti. Berfokus pada produksi bukti oleh para pihak, bukti aturan sipil menempatkan lebih berat pada pihak 'beban pembuktian daripada di pengadilan' menyelidiki bukti.di samping itu, upaya aturan bukti sipil (tidak selalu berhasil) untuk memperkenalkan ke dalam aturan persidangan seperti pemeriksaan silang bukti kekuasaan,sebuah aturan pengecualian dan aturan desas-desus untuk mencapai keadilan yudisial. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk memperdalam pengetahuan tentang hukum pembuktian dengan judul Study Komparasi Pengaturan Sistem Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Hukum Acara Pidana RRC (Criminal Procudure Code of People Republik of China).

9 B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian yang tegas dapat menghindari pengumpulan bahan hukum yang tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai dan mempermudah penulis dalam mencapai sasaran. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian yang akan dikaji maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penulisan hukum ini sebagai berikut : 1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan sistem pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Hukum Acara Republik Rakyat China (Criminal Procedure Code of People Republik Of China)? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut? C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pengaturan sistem pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Hukum Acara Republik Rakyat China (Criminal Procedure Code of People Republik Of China) b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut?

10 2. Tujuan Subjektif a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis. c. Memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Mengetahui deskripsi secara jelas mengenai persamaan dan perbedaan Sistem pembuktian menurut Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acar RRC (Criminal Procedure Code Of People Repiblik Of China. b. Mengetahui deskripsi secara jelas mengenai factor-faktor penyebab terjadinya penyebab terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan.

11 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:41). 1. Jenis Penelitian Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian Hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44). Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum studi kepustakaan. Penelitian yang bersifat normatif yaitu penelitian yang difokuskan pada bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya masalah pengaturan sistem pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

12 dengan Hukum Acara Republik Rakyat China (Criminal Procedure Code of People Republik Of China) 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat preskriptif. Penelitian preskriptif adalah mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum sesuai Peter Mahmud Marzuki. 3. Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keteranganketerangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-undangan (statue approach), seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Criminal Procedure Code of People Republik Of China dan Peraturan perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti tulisan-tulisan ilmiah dan sumber tertulis lainnya, buku-buku, literatur, dokumen resmi hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan berupa data sekunder, yang berupa : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2) Criminal Procedure Code Of People Republic Of China

13 b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti 1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/terkait dalam penelitian ini 2) Hasil-hasil penelitian yang relevan/terkait dalam penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya : 1) Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini 2) Kamus Hukum (Black s Law Dictionary). 5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik yang pengumpulan datanya adalah dengan dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan parundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti. 6. Pendekatan Penelitian Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat bebarapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (concentual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2006:300). Yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah

14 pendekatan perbandingan (comparative approach) yaitu membandingkan KUHAP Indonesia dan KUHAP China serta menggunakan pendekatan perundang-undangan 7. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, perbandingan sistem pembuktian akan dianalisis dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sunber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahn yang diteliti. Tahap akhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui persamaan, perbedaan kelebihan dan kelemahan kewenangan penuntutan yang ada di Indonesia dengan jepang berdasarkan Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Criminal Procedure Code of People Republik Of China Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkan dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menuru Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernand arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2008:249).

15 F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perbandingan hukum. Tinjauan umum tentang sistem pembuktian mencakup pengertian dan pengaturan dalam KUHAP BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana perbandingan tentang sistem pembuktian dalam sebuah persidangan perkara pidana berdasarkan hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) dengan hukum acara pidana Republik Rakyat China (Criminal Procedure Code Of People Republic Of China) BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN