BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993 memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia (Depkes RI, 2011). Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis. Sejak tahun 2006 Indonesia merupakan urutan ke 4 setelah India, Cina dan Afrika Selatan (WHO, 2008). Menurut WHO (2010), angka kejadian TB di seluruh dunia pada tahun 2009 sebesar 9,4 juta (8,9 juta-9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta-16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke empat menjadi peringkat ke lima di dunia sejak tahun 2007, hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia (Kemenkes RI, 2011) Menurut data Riskesdas tahun 2013 berdasarkan karakteristik penduduk seperti peningkatan umur, pendidikan rendah, tidak bekerja prevalensi TB paru 1
2 cenderung meningkat. Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44,4% yang terstandarisasi WHO dan sesuai dengan ISTC (International Standards for Tuberculosis Care). Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68,9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50,4%) (Kemenkes RI, 2013). Estimasi prevalensi TB di Indonesia tahun 2010 pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Disamping itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting (Kemenkes RI, 2011) Sejak tahun 1995, upaya penanggulangan TB nasional telah melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dan secara nasional diterapkan sejak tahun 2000. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dipercaya dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sampai dengan saat ini upaya penanggulangan TB Nasional dengan Strategi DOTS baru menjangkau 98% puskesmas, 40% rumah sakit (pemerintah dan swasta), dan seluruh Rumah Sakit Paru dan Balai Pengobatan Paru, sedangkan untuk Dokter Praktik Swasta (DPS) diperkirakan hanya berkisar kurang dari 5 %. Tetapi muncul masalah baru, yaitu kasus TB yang kebal dengan Obat Antituberkulosis (OAT) atau disebut dengan MDR TB (multidrugs resistant tuberculosis).
3 Menurut WHO prevalens kasus TB tahun 2006 sebanyak 14,4 juta kasus dan MDR TB sebanyak 0,5 juta kasus dengan TB kasus baru MDR 23.353 kasus. Jumlah total MDR TB yang diobati tahun 2007 dan 2008 sekitar 50.000 kasus (WHO, 2008). Prevalens TB di Indonesia tahun 2011 (214 per 100.000 penduduk) dan tahun 2012 (213 per 100.000 penduduk) dan angka kematian 38/100.000 penduduk (WHO, 2006). Angka MDR TB di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 2% untuk kasus baru yang belum mendapatkan pengobatan dan 19% untuk kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Tetapi mengingat tingginya angka kasus baru TB di Indonesia di tahun 2009, yaitu sebanyak 528.063 kasus, maka ancaman resistensi sesungguhnya cukup tinggi. Setidaknya 1 dari 5 pasien yang pernah berobat TB dan kembali sakit adalah pasien yang sudah kebal OAT. Hasil surveilans secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap Mycobacterium tuberculosis sudah menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Menurut hasil survei WHO lebih dari 90.000 pasien TB pada 81 negara ditemukan angka TB MDR (multidrugs resistant tuberculosis) lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam (6) negara dengan angka TB-MDR yang tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan (WHO, 2008). Resisten ganda TB merupakan masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Menurut WHO pada tahun 2003 insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% pertahun. WHO memperkirakan prevalens TB
4 meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2% (Frieden, 2004). Pola TB-MDR di Indonesia khususnya Rumah Sakit (RS) Persahabatan tahun 1995-1997 adalah resistensi primer 4,6%-5,8% dan resistensi sekunder 22,95%-26,07%. (Aditama, 2006). Menurut WHO (2008) resistensi OAT sangat erat hubungannya dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pasien yang pernah diobati sebelumnya mempunyai kemungkinan resisten 4 kali lebih tinggi dan untuk TB MDR lebih 10 kali lebih tinggi daripada pasien yang belum pernah menjalani pengobatan. Pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat sulit dan memerlukan waktu yang lama bahkan sampai 24 bulan. Menurut PMDT (Programmatic Management of Drug Resistant TB) resisten kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia (man-made phenomenon), sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB resisten OAT. Resisten OAT dalam hal ini adalah minimal terhadap rifampisin dan INH ((Isoniazid) dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 (dua) obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. TB yang resisten terhadap OAT penatalaksanaannya lebih rumit, mahal, banyak efek samping, angka kesembuhannya relatif rendah dan memerlukan perhatian yang lebih banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resisten (Kemenkes, RI, 2013).
5 PMDT di Indonesia dimulai sejak 2009 sebagai pilot proyek dilaksanakan pada 2 Rumah Sakit (RS) rujukan, yaitu RS. Persahabatan dan RS. Dr. Soetomo. Sejalan dengan kebijakan nasional pelayanan TB adalah akses universal bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pengobatan TB atau TB resisten obat pada tahun 2010-2012, sehingga fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) rujukan TB MDR diperluas yaitu: tahun 2011; RS. Dr. Moewardi-Solo, RS. Dr. Syaiful Anwar-Malang, RS. Labuang Baji-Makassar, tahun 2012; RS. Hasan Sadikin- Bandung, RS. Dr. Adam Malik Medan, RS. Sanglah-Denpasar dan RS. Dr. Sardjito- Yogyakarta. Program PMDT selama tahun 2012 telah menemukan 1.882 suspek MDR, 463 pasien diantaranya mengalami MDR dan 351 pasien menjalani pengobatan (Warta Tuberkulosis Indonesia, 2013) Keberhasilan penatalaksanaan TB resistan OAT dapat ditinjau dari pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan sebagai provider dan pasien sebagai konsumen. Menurut Donabedian (2005), beberapa faktor yang dapat memengaruhi seseorang terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu faktor sosiokultural, faktor organisasional, faktor yang berhubungan dengan konsumen (Consumer Factors), yaitu kebutuhan yang dirasakan (perceived need), dan diagnosa klinis (evaluated need) serta faktor yang berhubungan dengan produsen (Provider Factors), yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, serta fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan TB MDR di Provinsi Sumatera Utara adalah Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP H. Adam
6 Malik) Medan. RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A. Adapun pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan medis (rawat inap dan rawat jalan), pelayanan penunjang medis maupun pelayanan penunjang non medis. Salah satu fungsi RSUP HAM Medan adalah melayani pasien di Poli TB MDR. Jumlah estimasi pasien suspek TB MDR tahun 2012 sebanyak 400 orang dan jumlah yang memanfaatkan poli TB MDR sebanyak 308 orang dan pada tahun 2013 berjumlah 450 orang dan yang memanfaatkan sebanyak 248 orang. Jumlah estimasi ini dikalkulasi berdasarkan jumlah kasus gagal pengobatan, kasus baru dengan BTA positif, kasus baru dengan BTA negatif, kasus relaps, kasus kronik dan kasus default yang ditemukan satu tahun sebelumnya. Berdasarkan data tersebut jumlah pasien suspek TB MDR yang tidak memanfaatkan meningkat setiap tahun, yaitu tahun 2012 sebesar 23,0% dan tahun 2013 sebesar 44,9%. Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan RSUP H. Adam Malik Medan sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan untuk mengobati penderita TB MDR belum optimal. Menurut Smet (2004) ada beberapa alasan seseorang secara psikologis menunda bantuan medis. Umumnya tidak adanya rasa sakit merupakan faktor utama dalam penundaan. Faktor ini sangat penting karena rasa sakit bukan merupakan gejala yang utama dari banyak penyakit serius. Hal ini penting karena gejala penyakit kronis tidak begitu kelihatan dan belum mengganggu aktivitas individu. Beberapa hasil penelitian terkait dengan TB MDR, yaitu hasil penelitian Aditama (2006) mendapatkan resistensi primer 6,86% sedangkan resistensi sekunder 15,61%. Hal ini patut diwaspadai karena prevalensnya cenderung menunjukkan
7 peningkatan dan menyimpulkan bahwa hasil pengobatan terhadap resistensi ganda tuberkulosis kurang berhasil, salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakpatuhan pasien TB dalam pengobatan dan faktor pengobatan tidak adekuat. Sedangkan menurut hasil penelitian Gitawatie dkk, (2004) angka resistensi TB MDR terkait kinerja program penanggulangan TBC paru di daerah setempat. Ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain yang mempengaruhi angka resistensi TB- MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC. Hasil penelitian Nofizar dkk. (2010) menyimpulkan sebanyak 92% pasien TB-MDR telah memiliki riwayat pengobatan TB lebih dari satu kali sebelumnya. Sebagian besar kasus merupakan kasus kronik/gagal pengobatan kategori dua. Lebih dari separuh pasien tidak mendapatkan pengobatan TB secara benar walaupun telah memiliki komunikasi yang baik, informasi, dan edukasi tentang TB dari dokter mereka. Pasien TB sangat membutuhkan edukasi secara dini tentang pengobatannya serta faktor-faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan/kegagalan terapi. Data menunjukkan bahwa pelaksanaan program nasional TB yang baik dan penggunaan obat secara efisien dapat menunda dan mengatasi epidemi TB MDR. Hasil penelitian Toungoussova (2001) menyimpulkan bahwa TB yang resistan terhadap obat merupakan masalah penting di Arkhangelsk Oblast, Russia. Penyebaran galur yang resistan terhadap obat dari TB-MDR terkait dengan beberapa faktor risiko seperti riwayat sebelumnya dan terputusnya pengobatan tuberkulosis. Jenis kelamin
8 perempuan secara signifikan berhubungan dengan resistensi terhadap setidaknya satu OAT. Hasil penelitian Daku (2012) menyimpulkan bahwa penyebab MDR/XDR- TB di Afrika Selatan berkisar tiga tema utama: a) penyebab berpusat pada pasien (32,6%) ; b) kurangnya prosedur pengendalian infeksi (18,7 %), dan c) kegagalan sistem kesehatan (19,4%). Solusi pendekatan pengobatan untuk mengatasi MDR/ XDR-TB difokuskan pada a) pasien yang ditargetkan (38,4%); b) meningkatkan pengendalian infeksi (12,3%); c) sistem restrukturisasi (10,6%), dan d) diagnostik dan terapeutik (10%). Minat pasien yang rendah dalam memanfaatkan pelayanan poli TB-MDR di RSUP HAM Medan peneliti merasa perlu mengkaji Hubungan Faktor Provider dan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan 1.2. Permasalahan Bagaimana hubungan faktor Provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan Consumer (pengetahuan tentang TB MDR, persepsi tentang penyakit TB MDR, persepsi tentang pelayanan TB MDR, diagnosa klinis TB MDR) dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?
9 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hubungan faktor Provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan Consumer (pengetahuan tentang TB MDR, persepsi tentang penyakit TB MDR, persepsi tentang pelayanan TB MDR, diagnosa klinis TB MDR) dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.4. Hipotesis Faktor provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan Consumer (pengetahuan tentang TB MDR, persepsi tentang penyakit TB MDR, persepsi tentang pelayanan TB MDR, diagnosa klinis TB MDR) berhubungan dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan bagi RSUP Haji Adam Malik Medan dalam perencanaan dan manajemen strategi pelayanan kesehatan TB Paru. 2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi rumah sakit terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan.