PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 1911 fisikawan Belanda H.Kamerlingh-Onnes menemukan fenomena alam baru yang dinamakan Superkonduktivitas. Pada saat itu Onnes ingin mengukur resistansi listrik dari suatu material ketika didinginkan dan dimurnikan sebisa mungkin. Kemudian Onnes menemukan bahwa resistansi listrik dari Mercuri pada suhu dibawah 4.15 K adalah nol. Suhu transisi dimana resistansi listrik dari suatu material berubah menjadi nol pada material superkonduktor disebut sebagai suhu kritis (Tc) (Attanasi, 2008). Fenomena Superkonduktivitas secara makroskopis selain ditandai dengan tidak adanya resistansi listrik pada Tc tertentu, juga ditandai dengan penolakan medan magnet luar yang tidak terlalu kuat sehingga medan magnet tersebut tidak dapat memasuki material superkonduktor. Fenomena ini pertama kali diamati oleh W. Meissner dan R. Ochsenfeld pada tahun 1933 dan disebut sebagai Efek Meissner-Ochsenfeld. Untuk membuktikan suatu material dikatagorikan sebagai material superkonduktor, maka perlu teramati dua fenomena diatas, yaitu tidak adanya resistansi listrik dan terjadinya efek Meissner (Attanasi, 2008). Pada tahun 1957 tiga fisikawan Amerika, J. Bardeen, L. Cooper dan J. R. Schrieffer (Bardeen dkk, 1957) berhasil merumuskan suatu teori yang menjelaskan mekanisme superkonduktor yang dikenal dengan teori Bardeen- Cooper-Schriffer (BCS). Dalam teori BCS dijelaskan bahwa superkonduktor terjadi karena adanya ikatan elektron dengan elektron yang membentuk pasangan elektron yang disebut sebagai Cooper Pair atau pasangan Cooper. Karena elektron memiliki muatan negatif, maka pasangan elektron ini hanya mungkin terbentuk apabila ada partikel quasi lain yang memediasi keduanya. Pada superkonduktor konvensional, partikel quasi yang menjadi mediasinya adalah fonon. Ikatan antara elektron selain membentuk fenomena superkonduktivitas juga dapat menghasilkan fenomena lain seperti Charge Density Wave (CDW). Density 1
2 wave adalah keadaan broken symmetry dari metal, yang terjadi karena interaksi antara elektron-fonon atau elektron-elektron. CDW adalah ketidakstabilan interaksi antara elektron-kisi yang terjadi ketika energi dari elektron disuatu material menjadi berkurang yang mengakibatkan terjadinya modulasi periodik dari kisi Kristal. Sedangkan ketidakstabilan interaksi antara elektron-elektron menyebabkan termodulasinya momen magnet yang disebut sebagai Spin Density Wave (SDW) (Chen, 2016). Pada tahun 1986 K. A. Muller dan G. Bernorz (Bernorz dan Muller, 1986) berhasil menemukan jenis superkonduktor baru yang disebut High-Temperature Superconductor/HTSC pada material kelas Cooper Oxide/ Cuprate (CuO 2 ) (Attanasi, 2008). Berdasarkan pada teori BCS tidak ada superkonduktor yang memiliki T c lebih dari 30 K, namun ternyata ditemukan superkonduktor baru yang memiliki suhu diatas 30 K yang disebut sebagai HTSC. Cuprate merupakan jenis material keramik yang memiliki sifat Mott Insulator yang artinya pada keadaan normal, Cuprate bersifat sebagai material Insulator. Berdasarkan teori pita (Band theory) konfigurasi dari elektron pada d 9 (dari atom tembaga pada Cuprate) mengharuskan material tersebut bersifat metalik karena ada satu elektron bebas, namun karena adanya efek korelasi elektron yang sangat kuat material tersebut menjadi material Insulator. Hal ini dijelaskan oleh Mott pada tahun 1949. Namun, efek interaksi antara elektron ini tidak stabil dan sangat rentan terhadap gangguan. Meskipun sudah 30 tahun berlalu sejak pertama kali ditemukannya material HTSC, namun teori untuk menjelaskan mekanisme dari material cuprate masih belum terselesaikan. Hal ini dikarenakan material Cuprate merupakan material yang kompleks dimana secara eksperimen ditemukan banyak fenomena yang teramati pada material cuprate, seperti : adanya CDW, Spin Density Wave (SDW), dan Superkonduktivitas yang saling berkompetisi atau coexistence satu sama lain. Selain itu apabila dilihat dari diagram fase, material cuprate memiliki beberapa fase transisi seperti perubahan dari fase Antiferromagnetic Mott Insulator (AFM) menjadi fase Pseudogap dan terdapat fase Superkonduktivitas.
3 Perubahan fase ini tergantung dari suhu dan konsentrasi doping yang diberikan pada material cuprate Fase AFM adalah fase awal pada material cuprate, yang artinya fase ini muncul dalam keadaan material cuprate murni (tanpa doping) atau konsentrasi doping-nya terlalu kecil untuk mengakibatkan gangguan pada interaksi elektron. Apabila doping terus ditambahkan maka material tersebut tidak lagi bersifat insulator dan sifat antiferromagnetiknya akan berubah menjadi ferromagnetik, kemudian fase pseudogap muncul. Fase pseudogap telah menjadi kajian serius yang menghasilkan fenomena tidak biasa yang sebelumnya tidak ditemukan pada metal lain (Attanasi, 2008). Fase ini disebut sebagai fase pseudogap karena terdapat gap yang muncul diluar fase superkonduktor. Fase pseudogap ini muncul dalam berbagai eksperimen seperti pada Angle-resolved Photoemission Spectroscopy (ARPES) dan Tunneling Spectroscopy (Timusk, 1999) dalam fase pseudogap ini terdapat fenomena SDW dan CDW. Fenomena CDW dalam phase pseudogap dipercaya menjadi kunci untuk menjelaskan fenomena dari HTSC khususnya pada material cuprate. Oleh karena itu melihat fenomena CDW dalam phase Pseudogap pada material cuprate menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Penelitian mengenai material Cuprate telah banyak dilakukan misalnya penelitian yang dilakukan oleh Forgan dkk (2015) yang menemukan kemunculan struktur microskopik dari CDW pada daerah Underdoped dari material YBa 2 Cu 3 O 6.54 dengan menggunakan X-ray diffraction. Attanasi (2008) mengkaji kompetisi antara Superkonduktivitas dan CDW bedasarkan pada sifat Disordering dan Anisotropy dari material Cuprate. Dalam penelitiannya, Attanasi menggunakan model Hamiltonian Hubbard yang termodifikasi sedemikian sehingga terdapat parameter anisotropi (G) dan parameter k disorder (W) pada model hamiltonian. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi G dan W maka fase superkonduktor semakin hilang dan fase CDW muncul. Hal ini menunjukan bahwa terjadi kompetisi antara CDW dan Superkonduktor.
4 Ada tiga parameter yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi perilaku elektron dalam suatu material,yaitu: rapat keadaan elektron di level Fermi N(0) (per arah spin), nilai konstanta gaya tarik antara pasangan elektron (U), dan keadaan kulit energi ħω disekitar permukaan Fermi (Plakida, 2010). Gejala CDW dapat dikarakterisasi salah satunya melalui kemunculan vector nesting pada permukaan Fermi (Chen,2016). Oleh karena itu, untuk melihat peranan CDW pada fase AFM dan Pseudogap maka pada penelitian ini dilakukan pengkajian permukaan Fermi pada material cuprate. Hamiltonian yang digunakan pada penelitian ini adalah model Hubbard. Model Hubbard digunakan sebagai model untuk melihat peranan CDW pada fase AFM dan Pseudogap dikarenakan model Hubbard dapat menggambarkan transisi keadaan dari insulator menjadi konduktor. Selain itu model Hubbard telah banyak digunakan untuk penelitian mengenai mengenai material cuprate seperti yang dilakukan oleh Yanagasiwa(2008) yang mengkaji secara numerik mengenai threeband dan single-band dari model Hubbard 2 dimensi untuk menganalisis keadaan elektonik dari Cuprate. Hasil dari penelitian ini menunjukan sifat antiferromagnetik, stripes, d-wave pairing, coexsistensi antara antiferromagnetik dengan superkonduktivitas dan munculnya Busur Fermi (permukaan Fermi yang berbentuk busur) pada permukaan Fermi yang mana merupakan fenomena dasar dari material Cuprate. Untuk bisa mendapatkan gambaran permukaan Fermi dari model Hubbard secara numerik, maka terlebih dahulu model Hubbard untuk jenis material Cuprate diubah kedalam bentuk matriks. Matriks tersebut kemudian diselesaikan dengan menggunakan persamaan Schrodinger untuk mendapatkan keterkaitan energi pada ruang momentum (k). Metode Householder digunakan untuk mengubah bentuk dense matrix dari model Hubbard kedalam Sparse Matriks. Metode Householder digunakan karena metode tersebut merupakan metode yang popular digunakan untuk mengubah bentuk matriks simentri menjadi matriks tridiagonal. Setelah itu metode Jacobi
5 digunakan untuk mengubah bentuk matriks tridiagonal menjadi matriks diagonal. Pengubahan bentuk dari dense matrix kedalam Sparse Matrix dirasa penting untuk mengurangi time comsuming dan memory comsuming. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana mendapatkan permukaan Fermi dari material cuprate dengan menggunakan model Hubbard secara numerik. 2. Bagaimana melihat fase CDW pada permukaan Fermi dengan menggunakan Fermi Surface Nesting (FSN). 3. Apakah model Hubbard dapat menggambarkan keadaan transisi antara fase AFM dan Pseudogap. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada pengkajian permukaan Fermi secara numerik dari material cuprate dengan menggunakan model hamiltonian Hubbard One Band. fase CDW dilihat berdasarkan gambaran permukaan Fermi yang didapatkan. Untuk mendapatkan permukaan Fermi maka metode numerik Householder dan metode transformasi Jacobi digunakan dan diterapkan pada penyelesaian persamaan Scrodinger, sehingga didapatkan kaitan Energi vs momentum. Bahasa pemrograman yang digunakan pada penelitian ini adalah bahasa pemrograman C++. Sedangkan untuk menginterpretasikan data ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan program Igor Pro 6.21 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mencari keterkaitan nilai energi vs momentum pada material cuprate dengan menggunakan metode numerik. 2. Mendapatkan permukaan Fermi pada material cuprate.
6 3. Mengkaji permukaan Fermi yang telah didapatkan pada daerah AFM dan Pseudogap. Apakah ada CDW pada kedua daerah tersebut? 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan referensi untuk pengkajian lebih dalam terkait mekanisme Superkonduktor suhu tinggi khususnya dalam kelas material cuprate. Pengkajian tersebut selain untuk menjawab salah satu permasalahan yang belum terpecahkan dalam bidang fisika material terkait mekanisme superkonduktor suhu tinggi, juga diharapkan menjadi acuan untuk pembuatan superkonduktor yang mendekati suhu kamar. 1.6 Sistematika Penelitian Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 6 bab yaitu: Pendahuluan, tinjauan pustaka, dasar teori, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta lampiran. Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang dilakukannya penelitian serta berisikan rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan penelitian. Bab II berisi tinjauan pustaka yang menjelaskan mengenai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan material cuprat, model penelitian dan fase CDW. Bab III menjelaskan dasar teori yang dijadikan dasar acuan atau kerangka kerja untuk mendapatkan data penelitian dan untuk menjelaskan fenomena fisis yang dihasilkan pada penelitian ini. Dasar teori yang menjadi landasan penelitian ini meliputi penjelasan mengenai material cuprate, Charge density Wave, kuantisasi kedua, model Hubbard, kisi balik dan metode komputasi. Bab IV merupakan penjelasan mengenai rincian metodelogi penelitian yang meliputi Model penelitian baik itu model Hamiltonian maupun model struktur Kristal, diagram alir penelitian serta prosedur penelitian yang dilakukan. Bab V memuat hasil penelitian yang diperoleh serta penjelasannya.
7 Bab VI menunjukan kesimpulan dari keseluruhan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya. Bagian Lampiran menunjukan listing program yang digunakan untuk penelitian ini.