ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN Bunyamin Z. dan N.N. Andayani Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Jagung sebagian besar dihasilkan pada lahan kering dan lahan tadah hujan. Agroekosistem tersebut dicirikan oleh curah hujan yang eratik dan tidak terdistribusi merata sehingga berpotensi menimbulkan cekaman kekurangan air pada fase pertumbuhan tanaman. Upaya peningkatan produksi jagung pada agroekosistem lahan tadah hujan dan tegalan akan lebih berhasil bila menggunakan varietas jagung yang adaptif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek ekonomi usahatani tiga varietas jagung hibrida (Bima 2, Bima 3, Bima 4, dan Bima 5) pada agroekosistem lahan tadah hujan. Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros pada bulan Mei Agustus 2012. Data primer dikumpulkan dari areal pertanaman sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian dan BPS Propinsi Sulawesi Selatan. Data yang dikumpulkan meliputi potensi wilayah, luas panen, produksi, produktivitas, sarana produksi (benih, pupuk, pestisida), dan penggunaan tenaga kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerimaan paling tinggi mencapai Rp 32.400.000 Bima 4, paling rendah Rp. 16.200.000 dari varietas Bima 2, dan keuntungan tertinggi Rp. 20.875.000/ha diberikan oleh Bima 4 dan terendah Rp. 6.295.000/ha oleh Bima 2. Kata kunci: usahatani, jagung, tadah hujan PENDAHULUAN Jagung adalah tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, maupun industri. Jagung mempunyai peranan yang semakin strategis dengan pertimbangan: (a) agribisnis, karena banyak terkait dengan kegiatan industri (pakan, pangan, dan lainnya) dan adanya peluang ekspor yang besar, (b) penyediaan dan peningkatan ketahanan pangan nasional, sebab biji jagung mempunyai nilai nutrisi (karbohidrat, protein, lemak, mineral) sebanding dengan beras, potensi hasil yang lebih tinggi, dan lebih sedikit membutuhkan air jika dibandingkan dengan padi, serta (c) kesempatan menyerap tenaga kerja, sebab ketersediaan lahan yang masih cukup luas untuk pengembangan jagung, dan komoditas ini relatif mudah budidayanya. Pengembangan jagung secara nasional didominasi lahan kering (79%), lahan irigasi (11%) lahan sawah tadah hujan (10%) (Mink 1984 dan Subandi et al. 1988 dalam Sudjana dan Setyono 1993). Pertanaman jagung pada lahan kering (awal musim hujan) sering mengalami kekurangan air pada awal pertumbuhan dan kelebihan 651
Bunyamin Z. dan N.N. Andayani: Analisis Usahatani Jagung air pada stadia inisiasi biji, sedang pada lahan sawah tadah hujan (awal musim kemarau) sering mengalami kekeringan pada saat pembungaan (Sudjana 1990 dalam Sudjana dan setyono 1993). Upaya peningkatan produksi jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan dan tegalan akan lebih berhasil bila menggunakan varietas jagung yang adaptif (Sudjana 1990 dalam Sudjana dan Setyono 1993). Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang dan Direktorat Jenderal terkait terus mengupayakan peningkatan produksi dengan dua usaha yaitu peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam (Anonim 2010). Peningkatan produktivitas hanya dapat dicapai dengan teknologi yang adaptif dengan lingkungan. Salah satu teknologi yang sangat menentukan adalah bibit unggul. Badan Litbang Pertanian telah melepas puluhan varietas jagung, baik komposit maupun hibrida. Olehnya itu, sangatlah penting untuk mengkaji analisis usahatani jagung hibrida pada agroekosistem lahan tadah hujan agar bisa di jadikan acuan awal oleh para petani jagung. Tujuan pembangunan pertanian tidak hanya meningkatkan produktivitas dan produksi saja, melainkan juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Daya beli petani dapat dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap harga yang di bayar. NTP tanaman pangan lebih rendah dibandingkan dengan NTP tanaman hortikultura, perkebunan dan peternakan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kelayakan usahatani jagung hibrida pada agroekosistem lahan tadah hujan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di lahan petani di Dusun Sambueja, Desa Simbang, Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros pada bulan Mei Agustus 2012. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Pertanian dan BPS Propinsi Sulawesi Selatan. Data yang dikumpulkan meliputi potensi wilayah, luas panen, produksi, produktivitas, sarana produksi (benih, pupuk, pestisida), penggunaan tenaga kerja, produksi, dan pendapatan yang diperoleh dalam usahatani jagung hibrida yang ditanam pada seluas 1 ha. Data yang telah dikumpulkan ditabulasi kemudiaan dianalisis secara finansial. Analisis kelayakan usaha (Soekartawi, 1995) dituliskan sebagaiberikut : a = R/C, R=Py, ini bertujuan untuk melihat perbandingan (nisbah) penerimaan dan biaya. Secara matematik dapat Y, C={(Py.Y)/(FC+VC)} 652
Dimana: R=penerimaan; C=biaya; Py=harga output; Y=output FC=biaya tetap; VC= biaya variable. Titik Impas (Break event point) yang dianalisis adalah titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga (TIH). Dengan mempelajari hubungan antara biaya produksi, volume penjualan, maka dapat diketahui tingkat keuntungan serta kelayakan usahatani jagung hibrida Bima 2. Salah satu teknik dalam mempelajari hubungan antara biaya, penerimaan dan volume produksi adalah dengan menghitung titik impas produksi (Break Even Yield ) dan titik impas harga (Break Even Price). Analisis titik impas produksi dan titik impas harga sangat penting bagi usaha tani benih jagung sehubungan dengan efisiensi produksi. Dengan alat analisis ini dapat diketahui pada tingkat produktivitas berapa usahatani benih jagung memperoleh keuntungan, keuntungan normal ataupun mengalami kerugian. Analisis titik impas menghasilkan gambaran jumlah dan harga minimum yang akan diproduksi (Setiawan 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Data BPS (2012) menunjukan bahwa luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2011 seluas 4.633.573 hektar, terdiri dari lahan sawah 582.444 hektar (12,57%), luas pertanian bukan sawah 1.802.510 hektar (38,90%) dan lahan bukan pertanian 2.248.619 hektar (48,52%). Hal ini menunjukan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan termasuk jagung. Tabel 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2012. Tahun Luas Panen (ha) Produksi (t) Produktivitas (t/ha) 2008 284.964 1.195.064 4,2 2009 299.669 1.395.742 4,7 2010 303.375 1.343.043 4,4 2011 297.130 1.420.000 4,8 2012 318.471 1.450.000 4,6 Sumber : BPS Sulawesi Selatan, 2012. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa luas panen dan produktifitas berfluktuatif dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 luas panen mencapai 284.964 hektar dan meningkat menjadi 318.471 pada tahun 2012. Sedangkan produktivitas dari tahun 2008 hanya 4,2 t/ha meningkat menjadi 4,6 ton/ha, ini 653
Bunyamin Z. dan N.N. Andayani: Analisis Usahatani Jagung menandakan bahwa baik dari segi pengembangan lahan maupun teknologi, provinsi Sulawesi Selatan, kedepannya sangat berpotensi untuk mendukung swasembada jagung nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rincian penggunaan sarana produksi sebagai berikut: (Table 2) Tabel 2. Penggunaan sarana produksi pada usahatani jagung hibrida pada ekosistem lahan tadah hujan,di Sulawesi Selatan, 2012. Varietas Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp) Benih 15 kg 945.000 15 kg 945.000 15 kg 945.000 15 kg 945.000 Urea 300 kg 1.800.000 300 kg 1.800.000 300 kg 1.800.000 300 kg 1.800.000 Ponska 200 kg 520.000 200 kg 520.000 200 kg 520.000 200 kg 520.000 KCl 100 kg 700.000 100 kg 700.000 100 kg 700.000 100 kg 700.000 Calaris 2 botol 570.000 2 botol 570.000 2 botol 570.000 2 botol 570.000 Gramoxon 3 botol 150.000 3 botol 150.000 3 botol 150.000 3 botol 150.000 Jumlah 4.685.000 4.685.000 4.685.000 4.685.000 Besarnya biaya untuk sarana produksi Bima 2 47,29%, Bima 3 40,75%, Bima 4 40,65% dan Bima 5 42,76% dari total keseluruhan biaya usahatani. Biaya sarana produksi yang banyak dibutuhkan adalah untuk pembelian pupuk Urea, Ponska dan KCl yaitu sebanyak Rp 3.020.000 atau 64,46% untuk semua varietas dari jumlah keseluruhan biaya untuk sarana produksi. Biaya untuk pembelian benih jagung hibrida sebanyak 15 kg sebesar Rp 945.000 atau hanya 20,17% dari keseluruhan biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi lain yang diperlukan adalah sebesar Rp 720.000 (15,36%) untuk pembelian gramoxon dan Calaris. Biaya tenaga kerja lebih besar dibandingkan biaya sarana produksi yaitu masing-masing varietas Bima 2 sebesar 52,70%, Bima 3 sebesra 59,24%, Bima 4 sebesar 59,34%, Bima 5 sebesar 57,23% berbanding masing-masing Bima 2 47,29%, Bima 3 40,75%, Bima 4 40,65% dan Bima 5 42,76%, dan pengeluaran yang tinggi dari biaya tenaga kerja adalah kegiatan pengolahan tanah serta pada panen dan prosessing, perincian dapat dilihat pada Tabel 3. 654
Tabel 3. Biaya tenaga kerja pada usahatani jagung hibrida pada ekosistem lahan tadah hujan, di Sulawesi Selatan 2012. Perlakuan / Nilai (Rp) Pengolahan Tanah (Traktor) 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 Penanaman 500.000 500.000 500.000 500.000 Pemupukan I 300.000 300.000 300.000 300.000 Pemupukan II 300.000 300.000 300.000 300.000 Penyiangan Herbisida 2x 200.000 200.000 200.000 200.000 Pengairan (4x) 800.000 800.000 800.000 800.000 Panen dan Prosessing (10%* 1.620.000 3.210.000 3.240.000 2.670.000 Hasil) Jumlah 5.220.000 6.810.000 6.840.000 6.270.000 Jadi total biaya produksi usahatani jagung hibrida pada ekosistem lahan tadah hujan adalah untuk Bima 2 sebesar Rp 9.905.000, Bima 3 Rp. 11.495.000, Bima 4 Rp. 11.525.000, Bima 5 Rp. 10.955.000 dengan rincian biaya sarana produksi Bima 2 47,29%, Bima 3 40,75%, Bima 4 40,65% dan Bima 5 42,76%, dan biaya tenaga kerja Bima 2 sebesar 52,70%, Bima 3 sebesra 59,24%, Bima 4 sebesar 59,34%, Bima 5 sebesar 57,23%. Pada Table 4, dapat dilihat bahwa produksi tertinggi yaitu Bima 4 dan terendah yaitu Bima 2, serta berbanding lurus dengan nilai produksinya. Sedangkan Biaya produksi tertinggi yaitu Bima 4 sebesar Rp. 11.525.000 dan terendah sebesar Rp. 9.905.000. Dari sisi keuntungan yang terbesar pada Bima 4 sebesar Rp. 20.875.000. Tabel 4. Produksi dan penerimaan usahatani jagung hibrida pada ekosistem lahan tadah hujan di Sulawesi Selatan, 2012. Varietas / Nilai (Rp) Produksi (t/ha) 5,4 10,7 10,8 8,9 Nilai Produksi (Rp) 16.200.000 32.100.000 32.400.000 26.700.000 Biaya Produksi (Rp) 9.905.000 11.495.000 11.525.000 10.955.000 Keuntungan (Rp) 6.295.000 20.605.000 20.875.000 15.745.000 Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa diantara beberapa varietas jagung hibrida, penerimaan yang paling tinggi adalah pada varietas Bima 4 sebesar Rp. 32.400.000 dengan keuntungan sebesar Rp. 20.875.000. Dilihat dari segi efisiensi ekonomi ternyata usahatani jagung hibrida Bima 2, Bima 3, Bima 4, Bima 5 655
Bunyamin Z. dan N.N. Andayani: Analisis Usahatani Jagung menguntungkan petani terutama dilihat dari nilai R/C ratio yang nilainya masingmasing >1 yaitu 1.64, 2.79, 2.81, 2.44. Tabel 5. Analisis BEP per Usahatani Jagung, 2012. Varietas / Nilai (Rp) Penerimaan (Rp) 16.200.000 32.100.000 32.400.000 26.700.000 Keuntungan (Rp) 6.295.000 20.605.000 20.875.000 15.745.000 BEP Yield (kg/ha) 3.002 3.825 3.850 3.650 BEP Price (Rp/kg) 1.835 1.075 1.075 1.225 R/C 1,64 2,79 2,81 2,44 Indikator lainnya yang dapat dijadikan acuan untuk kelayakan usahatani adalah Titik Impas Produksi (TIP) dan Titik Impas Harga (TIH). Berdasarkan kedua indikator ini, maka usahatani jagung hibrida Bima 2, Bima 3, Bima 4 dan Bima 5 layak untuk diusahakan. Hal ini ditunjukan oleh nilai TIP masing-masing sebesar 3.002 kg/ha, 3.825 kg/ha, 3.850 kg/ha dan 3.650 kg,h. Sedangkan TIH masing-masing varietas yaitu Rp 1.835/kg, Rp 1.075/kg, Rp 1.075/kg, Rp 1.225/kg. Produksi berarti bahwa tingkat produksi sebesar ini petani tidak mengalami kerugian maupun keuntungan, sedangkan produksi yang diperoleh melebihi angka TIP, begitu juga dengan Titik Impas Harga Pemasaran jagung di Provinsi Sulawesi Selatan tidak mengalami hambatan, karena walaupun produksi melimpah ada yang menampung, baik dari pedagang lokal mapun pedagang dari daerah propinsi lain. Harga jagung saat penelitian rata-rata Rp 3.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penghasil jagung lainnya yang hanya berkisar Rp 2.200-Rp 2.500/kg Dengan harga jagung import dapat mempengaruhi harga jagung lokal, karena selama ini harga jagung impor lebih murah dibandingkan harga jagung lokal, padahal sudah dikenakan bea masuk jagung impor 5%. Kalau kebijakan impor tidak dibatasi, maka sistem tata niaga masih dikuasai oleh pedagang dan usahatani jagung tidak diimbangi dengan menggunakan teknologi budidaya bukan tidak mungkin petani akan tidak tertarik lagi pada usahatani jagung. KESIMPULAN 1. Usahatani jagung hibrida pada agroekosistem lahan tadah hujan layak dan menguntungkan untuk di usahakan dan dikembangkan di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di daerah Maros Kecamatan Bantimurung. 656
2. Titik impas produksi (BEP Yield) tertinggi 3.850 kg/ha pada Bima 4 dan terendah 3.002 kg/ha pada Bima 2, titik impas harga (BEP Price) tertinggi Rp 1.835/kg pada Bima 2, terendah Rp. 1.075/kg pada Bima 3 dan Bima 4 dan nisbah penerimaan dibanding biaya tertinggi R/C 2,81 pada Bima 4 dan terendah R/C ratio 1,64 pada Bima 2. 3. Perlu adanya campur tangan pemerintah terutama pada kebijakan harga dan kebijakan impor, perbaikan tata niaga dan perbaikan teknologi budidaya. DAFTAR PUSTAKA Badan Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2009. Sulawesi Selatan Dalam Angka, Provinsi Sulawesi Selatan. Setiawan, D,H., dan Agus Andoko. 2008. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. Penerbit PT.Agro Media Pustaka. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Sudjana, A dan R. Setiyono, 1993. Jagung untuk Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus. 657