BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Populasi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai angka lebih dari 237 juta jiwa dan 99,49 juta terdiri dari usia 15-19 tahun yang artinya penduduk usia remaja di Indonesia mendominasi sekitar 41,8% dari total jumlah penduduk (bps.go.id, 2016). Rata-rata usia seorang siswa memasuki SMA adalah 15 tahun dan lulus dari SMA pada usia 18 tahun. Erikson dalam teori psikososialnya menyebutkan bahwa individu pada usia 10-20 tahun memasuki masa remaja sehingga dapat dikatakan bahwa siswa SMA berada pada usia remaja (Santrock, 2011). Siswa sekolah menengah biasanya mulai memilih jurusan yang diminati saat berada di kelas sebelas, sehingga siswa sudah harus mempersiapkan penjurusan sejak kelas sepuluh. Namun banyak sekali siswa sekolah menengah yang ragu atau bahkan tidak tahu akan memilih jurursan apa di Perguruan Tinggi. Seperti penelitian Hayadin (2006) yang menemukan bahwa mayoritas siswa SMA belum memiliki keputusan yang jelas tentang studi yang akan digelutinya. Hal ini didukung oleh Gianakos yang menyebutkan bahwa sekitar 50% siswa SMA mengalami kebimbangan dalam menentukan pilihan jurusan untuk karir mereka kedepan (Creed, Patton, & Prideaux, 2006). Ditambah lagi hasil penelitian langsung pada siswa SMA dan menemukan bahwa mereka merasa bimbang, ragu, bahkan kesulitan dalam membuat keputusan studi lanjut mereka kelak (Ardiyanti, 2014;Yulianto, 2012;Syahraini, 2012;Budiningsih, 2012). 1
Padahal remaja memiliki tugas perkembangan persiapan tuntutan dan peran sebagai orang dewasa, salah satunya tuntutan karir (Santrock, 2011). Kebimbangan dan keraguan dalam menentukan pilihan jurusan dikhawatirkan menyebabkan kekecewaan pada seorang individu. Susilowati (Intani & Surjaningrum, 2010) menyebutkan masalah yang mungkin muncul pada siswa yang salah jurusan antara lain masalah psikologis, akademis, dan relasional seperti menjaga jarak dengan teman atau menarik diri dari pergaulan. Salah jurusan juga menimbulkan rasa kecewa dan menyesal. Hal ini menjadi sangat penting mengingat bahwa memilih jurusan adalah langkah pertama dalam dunia karir yang memiliki dampak jangka panjang. Menurut Super (dalam Brown & Lent, 2013) ada lima tahapan perkembangan karir seorang individu. Tahap pertama adalah pertumbuhan (usia 0-14 tahun), tahapan ini masih dibagi dalam empat sub tahap yaitu keingintahuan, fantasi, minat dan kapasitas. Rasa ingin tahu yang besar pada anak-anak membantu membangun konsep diri di masa depan dalam peran sosial dan juga pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Tahap kedua adalah eksplorasi (usia 15-24 tahun) yang terdiri dari tiga sub tahap: (a) usia 15-17 tahun, remaja mulai mengkristalisasikan pilihan dengan merefleksikan konsep diri yang jelas dan stabil sesuai dengan kemampuan, (b) usia 18-21 tahun remaja mulai mempersempit pilihan karir sesuai dengan minat dan kemampuan, (c) usia 22-24 tahun komitmen remaja yang rendah sangat dipengaruhi oleh pengalaman kerja yang nantinya akan didapatkan. Tahap ketiga (usia 25-44 tahun), pada tahap ini seorang individu mulai membangun posisi di tempat kerja dan menunjukkan performa kerja dengan mengadopsi budaya yang ada, membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja dan kerja yang produktif. Tahap keempat adalah pemeliharaan (usia 45-65 2
tahun) tugas individu pada tahap ini adalah mempertahankan apa yang telah dicapai, melanjutkan pekerjaan, menambah pengetahuan dan inovatif dalam menjalankan rutinitas. Tahap terakhir adalah tahap pelepasan (usia 65 tahun keatas) individu mengalami penurunan energi, mengurangi pekerjaan dan menyerahkannya pada rekan kerja yang lebih muda serta mulai mempersiapkan masa pensiun. Sesuai dengan tahapan perkembangan karir di atas, siswa SMA masuk dalam tahap eksplorasi. Tahap eksplorasi menurut Super yaitu tahap dimana remaja harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dalam mengkristalisasi jurusan yang akan dipilih, menspesifikkannya, dan mengimplementasikannya (Athanasou & Esbroeck, 2008). Mengkristalisasi pilihan dan menspesifikkannya berguna bagi remaja agar dapat disesuaikan dengan minat, keterampilan, dan juga nilai-nilai tujuan yang akan dicapai. Philip Kotler menjabarkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi seorang individu dalam mengambil keputusan. Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan. Faktor pertama adalah budaya. Budaya adalah penyebab paling dasar seseorang dalam pengambilan keputusan karena di dalamnya mengandung nilai-nilai, dan membentuk persepsi yang terbangun di masyarakat. Faktor budaya masih dibagi menjadi tiga sub faktor, yaitu adat, sub adat, dan kelas sosial. Faktor kedua adalah sosial. Sebagai makhluk sosial tentu saja pengambilan keputusan seorang manusia banyak dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan Kotler menyebutkan bahwa orang-orang di kelompok kecil memiliki pengaruh yang langsung terhadap pengambilan keputusan seorang individu. Faktor sosial dibagi menjadi tiga sub faktor, yaitu kelompok kecil, keluarga, serta peran dan status individu. Faktor ketiga adalah faktor personal. Hal ini berkaitan dengan karakteristik individu sendiri dan gaya 3
hidupnya. Faktor personal dibagi menjadi empat sub faktor, yaitu umur, kedudukan, gaya hidup, dan konsep diri. Terakhir adalah faktor psikologis. Pengambilan keputusan seseorang didasari oleh beberapa faktor psikologis, diantaranya motivasi, persepsi, pengetahuan, dan kepercayaan dan sikap (Kotler & Armstrong, 2012). Pengambilan keputusan siswa untuk memilih jurusan sebagai langkah awal perjalanan karirnya tidak jauh dari referensi yang didapatkan dari orang-orang di sekitarnya, salah satunya adalah keluarga seperti yang telah dijabarkan di atas. Dukungan sosial dari orang tua siswa sangat membantu siswa dalam mengambil keputusan, seperti yang dikatakan Vignoli (2005) bahwa hubungan antara orang tua dan remaja memberikan banyak dukungan emosional saat remaja mengambil keputusan memilih jurusan. Seiring dengan penelitian Bowlby yang menyatakan bahwa kedekatan yang hangat yang diberikan orang tua kepada remaja membantu remaja untuk merasa percaya diri dalam melakukan aktivitas eksplorasi tentang masa depan karir melalui pemilihan jurusan di sekolah (Vignoli, Croity-Belz, Chapeland, Fillipis, & Garcia, 2005). Data pada tahun 2014 menunjukkan sekitar 74,26 juta orang menamatkan SMA atau sederajat dan lebih dari tiga juta siswa bersekolah di sekolah berasrama (Fitri, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa sekolah berasrama saat ini cukup diminati oleh masyarakat Indonesia. Sekolah berasrama di Indonesia banyak didominasi oleh sekolahsekolah yang berbasis agama seperti pondok pesantren. Namun, baik pondok pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasis agama saat ini tidak melulu belajar agama. Sekolah-sekolah berasarama saat ini lebih modern dengan memiliki lebih dari satu jurusan layaknya sekolah-sekolah fomal. Jenjang sekolah menengah atas biasanya 4
memiliki setidaknya dua jurusan, IPA dan IPS. Beberapa sekolah juga memiliki penjurusan yang lebih banyak seperti jurusan bahasa atau jurusan keagamaan. Selain itu ada juga sekolah-sekolah yang memiliki pilihan jurusan yang lebih spesifik seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seperti halnya anak SMA di sekolah negeri atau umum, siswa di sekolah berasrama juga mengalami kebimbangan dan kekurangan informasi pengetahuan tentang penjurusan dan karir. Purnamasari (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa wawasan dan persiapan karir pada siswa di Pondok Pesantren cukup rendah. Hal itu terkait keterbatasan siswa dalam memperoleh informasi, mengembangkan keterampilan, dan mengeksplorasi pengetahuan tentang penjurusan dan karir. Berbicara tentang sekolah berasrama berarti juga berbicara tentang hubungan orang tua dan anak yang jauh secara fisik. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa sekolah berasrama mewajibkan murid-muridnya untuk tinggal di asrama dengan banyak peraturan dan tidak bisa sembarangan keluar masuk asrama selain kepentingan yang mendesak atau saat liburan. Sehingga hubungan dengan orang tua hanya bisa dilakukan melalui telepon atau pesan singkat. Siswa yang tinggal di asrama selama 24 jam dalam sehari berinteraksi dan menjalani kehidupan bersama teman-temannya. Bimbingan dari orang dewasa sangat sedikit sekali didapatkan di asrama, sehingga pengaruh dari teman sebaya yang berada di dalam asrama lebih besar dampaknya terhadap siswa. Santrock menyebutkan bahwa interaksi remaja dengan teman-teman sebayanya menjadi lebih banyak dan lebih intim dibanding dengan orang tuanya (Santrock, 2011), begitu pula dalam hal pengambilan keputusan. 5
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa siswa yang tinggal di asrama tidak dapat dipantau langsung oleh orang tua. Siswa yang tinggal di asrama mendapat sedikit sekali perhatian dari orang yang lebih dewasa. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan di asrama diatur oleh sistem aturan yang diberlakukan di asrama. Namun, kedekatan antara orang tua dan anak tidak hanya dilihat dari sentuhan fisik saja. Bentuk cinta dan juga dukungan dari orang tua kepada anak dapat diwujudkan dalam bentuk verbal atau tulisan. Orang tua dan anak tetap dapat berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhan emosional dan sosialnya, atau sekedar bertukar fikiran, melalui banyak hal seperti telepon atau media sosial. Fasilitas di sekolah-sekolah berasrama untuk menunjang terjaganya komunikasi orang tua dan anak semakin baik. Pengadaan telepon umum atau juga komputer dan akses internet di tiap akhir pekan mendukung berjalannya komunikasi antara orang tua dan anak selama anak bersekolah di asrama. Selain itu, orang tua mempunyai kebebasan untuk menjenguk anaknya yang tinggal di asrama kapan pun mereka mau bahkan untuk menginap selama beberapa hari dengan tetap menghormati aturan yang ada di asrama. Hal-hal yang disebutkan di atas adalah pengalaman pribadi peneliti. Perlu disadari oleh para orang tua yang mensekolahkan anak-anaknya di asrama bahwa bukan berarti peran mereka sebagai orang tua terlepas setelah anak berangkat ke asrama. Tugas orang tua dalam mendampingi remaja dalam masa-masa pekembangannya sangatlah penting. Orang tua masih harus memberikan dukungan moral, spiritual, dan juga materi. Dukungan moral dari orang tua contohnya seperti perhatian, penghargaan, dan empati. Dukungan spiritual untuk anak seperti mendoakan anak agar menjadi anak yang baik pun tidak kalah pentingnya. Selain itu, dukungan 6
material yang nampak kecil namun sebenarnya cukup penting seperti mengirim uang saku tepat waktu, memenuhi kebutuhan untuk sekolah dan untuk di asrama. Orang tua kadang lupa bahwa hal-hal di atas sangat perlu dilakukan justru ketika anak-anak berada jauh dari mereka. Maslihah (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa pemenuhan kebutuhan afeksi dan perhatian dari orang tua kepada remaja sangat penting meskipun remaja tinggal di asrama. Dukungan sosial orang tua menyentuh kebutuhan emosional remaja sehingga remaja merasa menerima penghargaan dan kasih sayang dari orang tua meski jarak secara fisik berjauhan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Biro Kemitraan Keluarga-Sekolah dan Kemasyarakatan di Asutralia bahwa keterlibatan orang tua di sekolah berasrama menunjukkan dampak positif bagi kesejahteraan sosial dan emosional remaja terutama di tahun pertama remaja masuk sekolah berasrama (Bosch, 2015). Kondisi yang saling berjauhan antara orang tua dan remaja ditambah komunikasi antar keduanya yang tidak dapat dilakukan setiap hari menjadi pertanyaan besar tentang seberapa jauh dukungan yang diberikan oleh orang tua terhadap remaja dalam menghadapi situasi ini. Menurut penuturan beberapa siswa dan guru Bimbingan Konseling tentang masalah pengambilan keputusan pemilihan jurusan dan menemukan bahwa siswa sama sekali bingung atau bahkan tidak tahu jurusan apa yang akan dipilihnya kelak sebagai langkah awal menjejaki dunia karir. Posisi orang tua sebagai orang yang lebih berpengalaman dianggap penting dalam membantu memberikan dukungan pada siswa, sehingga peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara 7
dukungan sosial antara orang tua dengan pengambilan keputusan pemilihan jurusan pada siswa yang bersekolah di sekolah berasrama. Peneliti menganggap bahwa penelitian ini penting dilakukan karena beberapa hal. Pertama, peran orang tua dalam mendampingi proses perkembangan anak selama masa remaja tidak berhenti ketika anak berangkat ke asrama sehingga bagaimanapun orang tua punya andil yang besar untuk memberi perhatian kepada anak-anaknya. Kedua, dukungan sosial dari orang tua tidak hanya ditunjukkan dengan sentuhan fisik. Namun juga dapat dilakukan secara verbal atau tekstual sehingga orang tua yang berjauhan jaraknya dengan anak-anak mereka tetap dapat memberikan perhatian dan dukungan. Ketiga, penelitian-penelitian sebelumnya banyak dilakukan di sekolah sekolah umum yang siswanya bisa pulang ke rumah masing-masing dan bertemu orang tua di rumah setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Sedangkan kehidupan di sekolah berasrama sangat unik, orang tua tidak dapat memantau langsung kegiatan anakanaknya sehingga dukungan sosial hanya dapat dilakukan melalui media komunikasi. Keempat, penelitian tentang hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan pengambilan keputusan memilih jurusan pada siswa di sekolah islam berasrama minim jumlahnya. Penelitian-penelitian sebelumnya di sekolah berasrama terkait dukungan sosial orang tua dengan penyesuaian diri dan motivasi sehingga penelitian ini perlu dilakukan. 8
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan pengambilan keputusan pemilihan jurusan pada siswa yang bersekolah di sekolah berasrama. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan psikologi tentang dukungan sosial orang tua dengan pengambilan keputusan siswa di sekolah berasrama. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu membantu para guru di bagian Bimbingan Konseling untuk menyadarkan para orang tua pentingnya dukungan sosial mereka untuk anak-anak saat ingin mengambil keputusan memilih jurusan. Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi bagi para orang tua agar dapat membantu anak-anak mereka dalam proses eksplorasi tentang studi dan karir. 9