1 BAB I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Tesis ini mendiskusikan komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Undang-undang No. 21 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan instrumen kebijakan publik Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk memberikan solusi atas masalah krusial yang terjadi di Papua. Masalah tersebut meliputi: 1) konflik politik, berfokus pada isu tuntutan Papua merdeka yang dipandang oleh pemerintah Indonesia sebagai gerakan separatis, 2) konflik sosial antar warga, sebagai akibat tidak adanya solusi yang memadai atas menguatnya konflik politik yang muncul lebih dahulu, serta 3) ketertinggalan pembangunan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat asli Papua, dibandingkan sebagian besar Provinsi lain di Indonesia. Sudah cukup banyak kajian yang dilakukan oleh para ilmuwan sebelumnya yang menggambarkan Otsus Papua dalam pelaksanaan pembangunan politik, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, budaya di Provinsi Papua (ICS 2003; Pekei, 2003; Karma 2003; Winar, 2005; Solossa, 2003; Hugi, 2010; Lefaan, 2012; Baho, 2009). Kajian yang dilakukan oleh ICS (2003) menegaskan Otsus belum efektif karena lemahnya sosialisasi pemerintah. Kajian yang 1
2 dilakukan oleh Pekei (2003) menegaskan pembangunan dalam rangka Otsus tidak dilakukan secara murni, konsekuen dan tidak merata. Kajian yang dilakukan oleh Karma (2003) menegaskan otsus bermasalah pada kewenangan pelaksanaan pembangunan strategi yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi. Kajian yang dilakukan oleh Winar (2005) menegaskan dana otsus tidak efektif di gunakan untuk pendidikan dan perbaikan gizi masyarakat. Karya ilmiah disertasi yang dilakukan oleh Lefaan (2012) menegaskan kuatnya etnosentrisme dan politik representasi di era Otsus Papua. Karya ilmiah tesis yang dilakukan oleh Baho (2009) menegaskan dampak dana otsus terhadap indeks pembangunan manusia di Kabupaten Sorong. Kajian yang dilakukan oleh Salossa (2003) menegaskan evaluasi pelaksanaan satu tahun Otsus dan lain-lain. Bergulirnya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada tahun 2001 sampai dengan sekarang, perkembangan Otsus mengalami perubahan yang signifikan. Otsus meberikan keluasaan, peluang seluas-luasnya bagi pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahannya dan meracang pembangunan sesuai dengan kondisi permasalahan di daerahnya. Otsus juga memberikan peluang untuk putra-putri asli Papua untuk memegang jabatan-jabatan strategis politik dengan menetapkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Walikota di Provinsi Papua harus berasal dari warga keturunan asli Papua. Jabatan Kepala-kepala Dinas Birokrasi Pemerintahan dalam pelayanan publik juga di dominasi oleh putra-putri asli Papua.
3 Undang-undang Nomor 32 Tahun tentang cara pemilihan kepala daerah dari tidak langsung menjadi langsung (Pemilukada). Dengan adanya perubahan kebijakan sistem politik itu, maka menguatnya politik identitas etnisitas di daerah semakin menguat di Provinsi Papua, semakin menojol peran elite-elite lokal asli Papua dan kekuasaan birokrasi pemerintahan di daerah memiliki kesempatan yang lebih untuk memainkan perannya. Para elite daerah juga lebih leluasa menjalankan strategi-strategi politik untuk mencapai kepentingan politiknya. Acapkali etnisitas dan agama di manfaatkan untuk menjadi senjata yang ampuh mematikan untuk posisi nilai tawar menciptakan isu sebagai Kendaran politik kekuasaan dalam birokrasi pemerintah daerah Provinsi Papua. Terjadi fenomena politik Otsus di Papua dengan menguatnya isu etnisitas dan agama yang mempunyai banyak pengikut yang memiliki ikatan-ikatan primodial dengan Si pemimpin, itu semakin menonjol di birokrasi pemerintahan daerah Provinsi Papua, serta meningkatnya dominasi salah satu suku/etnisitas di dalam struktur Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berasal dari salah satu etnisitas tertetu di Provinsi Papua. Dalam rekrutmen pegawai pemerintahan lebih banyak terakomodir pada salah satu marga-marga suku/etnis tertentu di Provinsi Papua. Juga kepala-kepala Dinas esalon I hingga esalon IV kini banyak dipegang oleh salah satu suku/etnis tertentuh asli Papua yang mendominasi hirarki kekuasaan birokrasi pemerintahan di Provinsi Papua. Dalam penyelenggaraan kekuasaan Birokrasi pemerintahan pada umumnya birokrasi pemerintahan harus mampu berkerja secara profesional dan berkompenten dalam memberikan pelayanan publik dan akses secara optimal
4 pada, etnik-etnik asli di Provinsi Papua. Pelayanana publik sebagai kewajiban aparatur pemerintahan Papua harus memberikan akses pelayanan kepada setiap etnik-etnik asli di Papua dengan merata, berkeadilan, transparansi, akuntabel, terjangkau dan tidak membeda-bedakan suku, agama yang dilayani di instansi birokrasi Pemerintahan Provinsi Papua. Kota Sorong merupakan salah satu Kota yang terletak di bagian kepala burung atau pintu masuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang tidak lepas dari kemajemukan etnisitas. Masyarakat Kota Sorong adalah masyarakat majemuk dengan etnisitas yang bersifat dinamis dan terbuka. Budaya-budaya yang dimiliki oleh masyarakat Kota Sorong sangat beragam. Kerangaman ini dapat dilihat dari adanya beberapa etnik masyarakat asli Papua yang telah mendiami sebagian besar Kota Sorong dan dengan lebel nama suku/etnis masing-masing kampung, yaitu: Teminabuan, Maybrat, Raja Ampat, Biak, Moy, Serui dan lain-lain sebagainya. Suku-suku yang banyak yang tersusun oleh berbagai keragaman tradisibudaya kelompok masyarakat itu, tidak hanya berpeluang menjadikan kuat di masa mendatang, tetapi juga perpotensi mendorong timbulnya benih-benih konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi Ketahanan Wilayah Kota Sorong Provinsi Papua Barat, jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik. Hubungan sosial didalam masyarakat juga akan terganggu baik secara vertikal maupun secara horizontal. Konflik secara vertikal dapat dilihat dengan adanya saling merebut kekuasaan antara pejabat publik, partai politik dan adanya perilaku KKN serta perilaku negatif lainnya. Konflik secara horizontal dialami oleh masyarakat lapisan bawah adalah terabaikan pelayanan
5 publik salah satu kelompok suku atau mendiskriminasi salah satu suku, secara tidak langsung tidak merasakan dampak dari kebijakan Pemerintah serta program otsus itu sendiri. Apa yang dialami oleh masyarakat kalangan bawah ini menjadi menarik untuk dikaji karena terdapat berbagai macam etnis dengan berbagai macam latar belakang etnisitas yang berbeda turut serta berperan serta mengisi implementasi otonomi khusus Papua. Dengan demikian tulisan ini mencoba menganalisis komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Studi Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui permasalahan dampak etnisitas terhadap birokrasi pemerintahan dan akses pelayanan publik selama ini yang terjadi setelah pelaksanaan otonomi khusus. Untuk maksud tersebut, peneliti melakukan pengamatan di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Maka peneliti mengambil judul komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah, (Studi di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat) agar masalah tersebut dapat dikaji lebih mendalam. 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarka dari uraian latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka perumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut ini:
6 1. Bagaimana komposisi etnisitas di birokrasi pemerintahan dalam implementasi otonomi khusus di Kota Sorong? 2. Bagaimana dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus dan bagaimana implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Kota Sorong? 1.3 Keaslian Penelitian Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa pasca bergulirnya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada tahun 2001 sampai dengan sekarang, sudah sangat banyak penelitian-penelitian yang dilakukan secara kritis baik oleh mahasiswa, Intitusi, Pemerintah, LIPI, LSM, ICS, maupun kajian-kajian ilmiah yang berkaitan dengan Otonomi Khusus di Provinsi Papua, dan di seluruh Kabupaten, Kota, di Provinsi Papua dengan sudut pandang yang berbeda. Banyak juga individu yang melakukan penelitian berkenaan dengan implementasi Otonomi Khusus maupun etnisitas yang dilakukan di wilayah Papua, antar lain: Lefaan Avelinus (2012), Asri (2009), Maryanah Tebah (2007), Pakei Beni (2003), Karma Constan (2003), Winar Ditto (2005), dan Baho Yunus (2009). Namun sejauh yang peneliti telusuri, sejumlah penelitian di Perpustakaan Pascasarjana UGM maupun dalam katalog Tesis dan Disertasi di Komputer Perpustakaan Pusat Pascasarjana UGM belum ditemukan penelitian tentang komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap
7 ketahanan wilayah, (Studi di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong Provinsi Papua Barat) belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya. 1.4 Tujuan Penelitian Terkait dengan Tujuan dari Penelitian ini ialah: 1. Untuk mengetahui bagaimana komposisi etnisitas di birokrasi pemerintahan dalam implementasi otonomi khusus di Kota Sorong. 2. Untuk mengetahui bagaimana dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus dan bagaimana implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Kota Sorong. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang positif bagi: 1. Informasi kepada masyarakat khususnya di Kota Sorong terhadap Dampak Etnisitas dalam Akses Pelayanan Publik dalam Implementasi Otonomi Khusus. 2. Upaya pemberian saran dan masukan serta informasi bagi Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong dalam kaitannya Komposisi etnisitas di birokrasi pemerintahan dalam implementasi otonomi khusus di Kota Sorong.
8 3. Perkembangan teori dan konsep ilmu pengetahuan pada umumnya dan lebih khusus ilmu pengetahuan, yaitu sebagai Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah.