1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya dan mencapai puncaknya pada tahun 1980 yang mencapai 2 juta ton. Setelah itu impor beras mulai menurun pada tahun 1981 sampai dengan 1984. Usaha untuk menuju swasembada beras telah lama dilakukan. Pemerintah mencanangkan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) antara lain di bidang pertanian untuk mendukung program pangan nasional. Sejak Pelita I (1969/1970), produksi beras mengalami peningkatan. Saat Pelita I dimulai, produksi beras Indonesia baru mencapai 11,67 juta ton dengan produktivitas 1,45 ton ha -1. Dengan usaha keras, swasembada pangan tercapai pada tahun 1984, dimana kebutuhan beras dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri yang mencapai 25,84 juta ton dan produktivitasnya hampir dua kali lipat produktivitas tahun 1969, yaitu 2,68 ton beras ha -1. Produksi beras nasional meningkat terus dan pada tahun 1990 mencapai 45,18 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 29 juta ton beras Salah satu daerah penghasil beras di Indonesia adalah di sepanjang pantai utara propinsi Jawa Barat, terutama di daerah irigasi Jatiluhur. Pada tahun 2002, produktivitas gabah kering giling di daerah tersebut mencapai 4,5 sampai 5 juta ton ha -1 dengan luas tanam padi mencapai sekitar 230.000 hektar. Produktivitas tersebut dicapai melalui penerapan dan inovasi teknologi yang dikembangkan pemerintah, misalnya penggunaan benih unggul, pengendalian organisme pengganggu, dan pengolahan tanah Selain itu, saluran irigasi teknis yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II juga merupakan faktor penting dalam peningkatan produktivitas beras di daerah irigasi Jatiluhur. Untuk mengelola jaringan irigasi, Perum Jasa Tirta dibagi menjadi 3 divisi, yaitu Barat, Utara dan Timur. Divisi Barat berkantor di Bekasi yang terbagi menjadi beberapa seksi, salah satunya adalah Seksi Lemahabang. Masing-masing Seksi dibagi lagi menjadi beberapa Pengamat Irigasi. Salah satu Pengamat Irigasi di bawah Seksi Lemahabang, yaitu Pengamat Irigasi Cikarang merupakan suatu unit
2 kerja yang cukup besar, mempunyai bendung sendiri dan mengelola jaringan irigasi untuk lahan persawahan seluas ± 10 000 hektar. Dalam penyediaan dan penyaluran air serta pemeliharaan sistem irigasi di daerah irigasi Jatiluhur terdapat permasalahan teknis maupun non teknis. Permasalahan teknis yang timbul dalam penyediaan irigasi adalah air sebagai sumberdaya yang vital semakin langka dan semakin terbatas ketersediaannya, sementara kebutuhan air untuk sektor pertanian dan non-pertanian semakin meningkat. Apalagi pada musim kemarau, persediaan air berkurang mengakibatkan suplai air irigasi ke areal pertanaman juga berkurang. Permasalahan teknis lainnya adalah timbulnya kerusakan-kerusakan di daerah aliran sungai, pencemaranpencemaran yang terjadi pada sumber irigasi dan menciutnya areal sawah beririgasi. Hal tersebut disebabkan perubahan fungsi lahan yang semula adalah lahan pertanian menjadi lahan industri. Pawitan (1997) menyatakan makin berkurangnya penyediaan air untuk sektor pertanian disebabkan pemakaian air untuk sektor industri yang makin bertambah. Hingga tahun 2020, diperkirakan kebutuhan air untuk industri akan meningkat tiga kali lipat dari kebutuhan tahun 1990, atau meningkat menjadi 43-56 m 3 /detik (Rachman 1999). Selain permasalahan teknis pada jaringan irigasi, terdapat juga permasalahan non teknis yaitu tanggung jawab pengelolaan jaringan irigasi terutama pada saluran tersier. Menurut Sinotech (1978), peranan kelompok petani pemakai air irigasi dalam pemeliharaan saluran irigasi masih lemah. Selain itu, berkurangnya minat pemuda untuk bekerja sebagai petani juga berpengaruh pada penyediaan tenaga kerja dalam proses produksi padi (Prasetyo 2002) Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 210.000.000 jiwa lebih (Prasetyo 2002). Dengan tingkat laju pertambahan penduduk seperti sekarang, diperkirakan jumlah populasi penduduk akan makin bertambah besar sehingga diproyeksikan lahan pertanian akan semakin menyempit. Dengan makin bertambahnya jumlah penduduk, diperkirakan juga tingkat permintaan terhadap produk pertanian baik beras maupun palawija akan bertambah. Permasalahan ini menuntut manajemen irigasi yang baik dan terpadu dalam mengintensifkan budidaya padi dan palawija agar produktivitas lahan meningkat.
3 Salah satu usaha pra panen yang dapat dilakukan untuk pengaturan alokasi air adalah dengan melakukan pergiliran pembagian air. Lahan persawahan di DI Jatiluhur dibagi menjadi beberapa golongan dimana seluruh petak pertanaman dalam satu golongan mendapatkan jatah air yang sama sesuai dengan kegiatan produksi. Pembagian tersebut diputuskan dalam rapat panitia irigasi yang terdiri dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan dan wakil petani. Sebelum tahun 1996, panitia irigasi telah mencoba beberapa konfigurasi pembagian air, yaitu 3 golongan, 4 golongan, 5 golongan, 6 golongan dan 7 golongan. Saat konfigurasi 3 golongan ditetapkan, ternyata banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal penanaman tersebut. Pada penggunaan konfigurasi 5 golongan, 6 golongan atau 7 golongan terjadi banyak pemborosan air irigasi. Setelah melalui berbagai pendekatan kepada petani, sejak tahun 1996, panitia irigasi membagi daerah irigasi Jatiluhur menjadi 4 golongan. Hal tersebut didasarkan pada kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi dimana konfigurasi 4 golongan cukup sesuai dengan situasi yang ada di lapangan. Dengan diberlakukannya sistem tersebut, semua petak pertanaman dalam satu golongan harus melakukan kegiatan produksi yang sama. Saat ini proses penyusunan rencana tanam di daerah irigasi Jatiluhur dilakukan pada pertemuan para stakeholder yang tergabung dalam Panitia Irigasi tingkat desa. Para stakeholder tersebut adalah pihak petani diwakili oleh P3A, Dinas Pertanian dari Kantor Kecamatan terkait dan Ulu-ulu. Pada pertemuan ini, pengurus P3A menyampaikan kesiapan petani yang menjadi anggotanya untuk memulai musim tanam. Materi yang disampaikan adalah jenis tanaman yang akan dibudidayakan, luas lahan budidaya, waktu mulai tanam, jumlah sarana produksi pertanian dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta permintaan mengenai pengaliran air irigasi di petak persawahannya. Pihak Dinas Pertanian dalam hal ini penyuluh pertanian menyampaikan saran mengenai jenis tanaman yang sebaiknya dibudidayakan dan cara-cara melakukan budidaya yang benar. Sementara itu ulu-ulu akan melakukan perhitungan mengenai berapa banyak air irigasi yang dibutuhkan untuk mengairi daerah persawahan di desa tersebut dan melakukan penetapan sementara mengenai jadwal pembagian air dari masing-masing petak tersier.
4 Pada rapat panitia irigasi, setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul akan dilakukan rekapitulasi rencana musim tanam untuk desa tersebut. Berdasarkan rekapitulasi tersebut kemudian laporan rencana musim tanam dibuat dan dikirimkan ke kecamatan. Pada tingkat kecamatan, laporan rencana tanam dari seluruh desa di kecamatan tersebut akan dievaluasi oleh panitia irigasi tingkat kecamatan yang terdiri dari Camat sebagai ketua panitia, Kepala Cabang Dinas Pertanian, Koordinator Penyuluh Pertanian dan Pengamat Irigasi dari Perum Jasa Tirta II sebagai sekretaris. Panitia irigasi tingkat kecamatan akan mengkoordinasikan mengenai kesiapan musim tanam dari masing-masing desa dan mengkonfirmasikan luas lahan yang akan ditanami pada masing-masing petak tersier dari setiap desa. Pada panitia irigasi tingkat kecamatan inilah akan dicapai keputusan menyangkut luas lahan dari masing-masing petak tersier dan golongan dari petak tersier tersebut. Setelah itu kemudian dibuat laporan rekapitulasi musim tanam dari seluruh kecamatan dan dikirimkan ke seksi pengairan dari Perum Jasa Tirta II. Seksi pengairan akan merekapitulasi seluruh laporan rencana musim tanam dari seluruh kecamatan dan melaporkannya ke panitia irigasi tingkat kabupaten yang terdiri dari bupati sebagai ketua, kepala divisi dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian dan Dinas Pengairan. Kemudian laporan dari masing-masing kabupaten akan dikirimkan ke tingkat propinsi untuk disahkan oleh Gubernur Jawa Barat serta direktur utama Perum Jasa Tirta II. Pada beberapa tahun terakhir, terutama setelah krisis moneter tahun 1997-1998, banyak pihak terkena dampak yang ditimbulkan krisis tersebut dan tidak terkecuali petani. Kenaikan harga sarana produksi pertanian, terjadinya fenomena El-Nino, cuaca/iklim yang makin sulit diramal dengan tepat, kebutuhan air untuk industri yang main meningkat dan semakin banyak tenaga kerja sektor pertanian yang lari ke sektor industri berpengaruh terhadap kemampuan petani untuk bercocok tanam (Prasetyo 2002). Permasalahan yang timbul adalah (1) petani mengalami keterlambatan untuk memulai musim tanam dan (2) sistem irigasi menjadi kurang efektif karena kekurangan tenaga kerja. Keterlambatan musim tanam telah menjadi masalah klasik di daerah irigasi Jatiluhur yang antara lain disebabkan masalah teknis pertanian misalnya ketersediaan faktor produksi yang tidak cukup ataupun masalah sosial dari pihak petani sendiri (Erizal 1988).
5 Keterlambatan memulai musim tanam menyebabkan pemberian air yang siasia. Selain itu, keterlambatan memulai musim tanam menyebabkan terjadinya penambahan golongan yang tidak sesuai dengan ketetapan semula sehingga banyaknya golongan yang seharusnya 4 menjadi 7 atau 8 golongan. Terlepas dari permasalahan keterlambatan musim tanam, kegiatan pergiliran pembagian air irigasi ini bertujuan untuk mengurangi beban puncak penggunaan air irigasi bila kegiatan musim tanam dilakukan serentak di seluruh lahan pertanian. Akan tetapi karena adanya permasalahan tersebut, penerapan golongan pemberian air menjadi tidak efektif. Ada beberapa kelemahan dari perencanaan irigasi golongan yang saat ini sedang dijalankan. Kelemahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah kurangnya penggunaan metode ilmiah dalam perencanaan golongan. Sedangkan jenis yang kedua adalah pada bidang administrasi perencanaan. Kedua jenis kelemahan dibahas pada alinea berikut. Kurangnya penggunaan metode ilmiah saat rapat panitia irigasi untuk penentuan golongan pemberian air adalah tidak adanya proses optimisasi. Oleh sebab itu tidak diketahui apakah hasil penggolongan dapat menghasilkan keuntungan yang maksimum untuk wilayah tersebut. Kelemahan di bidang administrasi antara lain disebabkan karena hirarki pelaporan yang berjenjang dan dilakukan secara manual di setiap tingkat membutuhkan waktu yang cukup lama pada saat evaluasi laporan. Belum lagi bila terdapat kesalahan yang disebabkan oleh informasi dari petani yang tidak tepat atau kesalahan yang disebabkan oleh manusia (human-error). Selain itu, perencanaan sistem irigasi golongan pada umumnya mengikuti perencanaan golongan musim tanam sebelumnya atau penetapan golongan yang dilakukan pada saat rapat P3A kurang memperhatikan ketersediaan sumber daya misalkan modal, air irigasi atau sarana produksi pertanian. Oleh karena itu, apabila musim tanam sudah akan dimulai dan petani tersebut mengalami kekurangan modal akan dapat membuat petani yang bersangkutan menunda musim tanamnya. Hal tersebut berakibat pada data yang sudah terlanjur di rekapitulasi akan menjadi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
6 Kelemahan administrasi yang terakhir adalah adanya ketidakseragaman dalam format laporan rekapitulasi rencana musim tanam. Hal ini dapat menyulitkan dalam pembacaan dan pengambilan keputusan di kepanitian irigasi. Dalam pengoperasiannya, selain memperbaiki administrasi perencanaan musim tanam, Perum Jasa Tirta II bersama anggota panitia irigasi lainnya harus lebih efisien dengan mengefektifkan penggunaan infrastruktur irigasi yang ada, memberikan pelayanan yang terbaik untuk petani, dan meminimisasi kehilangan air. Adanya pembagian golongan dan perbedaan kegiatan produksi, menuntut adanya penjadwalan pemberian irigasi yang terpadu dan optimal dengan memperhitungkan ketersediaan air, kendala kapasitas jaringan irigasi, efisiensi operasi dan kepuasan pelanggan. Agar lebih efisien dalam pengoperasian sistem irigasi dibutuhkan optimisasi penjadwalan pemberian air melalui saluran irigasi primer, sekunder maupun tersier untuk membantu panitia irigasi dalam menyeimbangkan tuntutan-tuntutan di atas. Dengan cara ini diharapkan dapat dihasilkan suatu pola pemberian air irigasi yang efisien dan merata berdasarkan kendala di daerah tersebut. Kebutuhan air dan letak dari tiap-tiap golongan di daerah irigasi berpengaruh terhadap penentuan penjadwalan pemberian air melalui saluran irigasi karena penjadwalan yang tepat dengan mempertimbangkan adanya ketersediaan dan kebutuhan air, efisiensi irigasi akan dapat ditingkatkan. Akan tetapi untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air, selain pemberian air irigasi yang tepat waktu, juga terdapat adanya pergeseran waktu pemberian air irigasi baik yang dipercepat maupun diperlambat Parameter-parameter yang diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan dalam proses optimisasi pemberian air irigasi dikategorikan menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah parameter yang tidak mempunyai acuan lokasi (non-spatial) dan bagian kedua adalah yang mempunyai acuan lokasi (spatial). Sebagai contoh parameter non-spatial adalah jumlah ketersediaan air, jumlah ketersediaan faktor produksi seperti jumlah buruh, jumlah benih, jumlah alat mesin pertanian dan lain-lain. Data-data tersebut tidak menunjuk pada suatu lokasi tertentu, akan tetapi hanya bersifat kuantitatif. Sedangkan contoh parameter spatial adalah lokasi pintu air irigasi (intake) yang dalam penelitian ini disebut dengan unit
7 irigasi. Data lokasi unit irigasi harus secara jelas menyebutkan posisi unit tersebut berdasarkan pada acuan lokasi tertentu, yang dalam hal ini dapat berupa peta dengan acuannya masing-masing. Dalam penyusunan rencana irigasi, setiap tahun panitia irigasi selalu dihadapkan pada permasalahan yang kompleks karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan tersebut adalah mencatat data kesiapan petani untuk memulai musim tanam, menghitung kebutuhan air irigasi, menghitung ketersediaan air irigasi, menentukan golongan pemberian air irigasi, dan menyalurkan air irigasi untuk ke seluruh lahan pertanian. Dari daftar pekerjaan tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengoptimumkan penentuan golongan pemberian air irigasi menggunakan proses simulasi. Selain itu penelitian ini juga memperlihatkan perbandingan keuntungan antara hasil simulasi dan hasil penentuan golongan yang ditetapkan oleh panitia irigasi. Dengan optimisasi penentuan golongan, diharapkan keuntungan dari hasil pertanian setempat meningkat sehingga dapat mendukung program pangan nasional dan program revitalisasi pertanian. Ketersediaan air yang terbatas dapat mengakibatkan penurunan produksi pertanian. Walaupun kekurangan ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan air tanah maupun air permukaan namun pada daerah-daerah yang berdekatan dengan kotakota besar kerapkali air belum mencukupi kebutuhan (Kasryno et al. 1997). Prinsip penjadwalan irigasi adalah menyeimbangkan ketersediaan dan kebutuhan air dengan memperhitungkan waktu pemberian air, besarnya debit yang diminta dan kapasitas saluran irigasi. Akan tetapi proses penjadwalan irigasi yang berlaku saat ini tidak selalu efektif dikarenakan banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi tingkat kebutuhan air seperti kondisi cuaca/iklim yang makin sulit diramal dengan tepat, misalnya mundurnya musim hujan, dan musim kemarau yang semakin panjang sehingga terjadi bencana kekeringan. Pengaturan pemberian air irigasi di lapangan kebanyakan dilakukan hanya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dari manajemen pengelola daerah irigasi. Tujuan Penelitian
8 1. Membangun model perencanaan sistem irigasi golongan untuk optimisasi penyaluran air irigasi di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang, Divisi I, Perum Jasa Tirta II. 2. Membangun model sistem irigasi rotasi sebagai alternatif sistem irigasi golongan yang dapat digunakan pada saat kebutuhan air irigasi lebih besar daripada ketersediaannya. 3. Membangun sistem pendukung keputusan dengan aplikasi model perencanaan sistem irigasi golongan dan sistem irigasi rotasi. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini akan dihasilkan suatu model optimisasi pemberian air bagi daerah irigasi dengan jenis tanaman padi dan palawija, dan model untuk memprediksi kebutuhan air irigasi saat pelaksanaan musim tanam. Model-model tersebut akan berguna bagi: 1. Panitia irigasi dalam menetapkan golongan pemberian air yang optimum berdasarkan kondisi jaringan irigasi yang ada pada daerah irigasi tersebut. Dengan optimisasi golongan ini efisiensi pemberian air yang berkenaan dengan keterlambatan musim tanam dapat ditingkatkan, sehingga pemberian air menjadi efektif. 2. Panitia irigasi dalam mengantisipasi musim kemarau panjang, karena dengan pola tanam yang lebih baik, ketersediaan air yang terbatas dapat dijadwalkan pemberiannya berdasarkan luas lahan maksimum yang dapat ditanami. Dengan pola pemberian air secara rotasi, penggunaan air akan sesuai dengan kebutuhan air tanaman dan ketersediaannya sehingga pemborosan air yang tidak perlu akan dapat dihindari dan menghemat biaya produksi. 3. Panitia irigasi pada saat pelaksanaan irigasi dimana juru harus mengevaluasi kondisi tanaman untuk memprediksi kebutuhan air tanaman. Dengan memperhitungkan faktor lainnya yang mempengaruhi kebutuhan air seperti cuaca dan suhu maka model ini akan dapat memprediksi kebutuhan air secara lebih akurat. 4. Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan sistem pengelolaan dan pelayanan irigasi.