BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. matinya orang misalkan pembunuhan, aparat kepolisian sebagai penyidik yang

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

FUNGSI BARANG BUKTI BAGI HAKIM DALAM MEJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan.

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali

BAB I PENDAHULUAN. menindaklanjuti adanya laporan atau pengaduan tentang suatu perbuatan yang

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. perampokan dan lain-lain sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Tindak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN


BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media cetak tetapi juga media kominikasi elektronik. oleh masyarakat untuk mencari dan mengetahui informasi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. Disamping itu masih banyak kasus-kasus tindak pidana pembunuhan lainnya yang tidak termuat lewat media tetapi terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Pembunuhan adalah perampasan hak untuk hidup yang dilakukan oleh orang lain, bukan oleh dirinya sendiri (bunuh diri) atau oleh binatang. Sifat perbuatannya yang bertentangan dengan keadilan, maka orang yang melakukan pembunuhan pasti akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya itu secara hukum. Rumusan perbuatan tersebut dalam undang-undang sebagaimana tertuang di dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah sebagai berikut : Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun 1. Pasal 340 KUHP menyatakan sebagai berikut : Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun 2. 1 Moelyatno, 2003. KUHP. Jakarta: Bumi Aksara, hlm 122. 2 Ibid. 1

Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan pembunuhan adalah kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja 3. Pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu sama dengan antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan akan dilakukan 4. Atas dasar adanya niat untuk melanggar undang-undang maka perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sangat dibutuhkan adanya bukticukup yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekatkan pada kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana sehingga suatu tindak pidana dapat terungkap dan pelakunya dijatuhi putusan yang seadil-adilnya. Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana diwajibkan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu menyangkut hukum pidana materiil dan formal (hukum acara pidana). Sedangkan fungsi hukum acara pidana menurut Van Bemmelen adalah: a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pemberian keputusan oleh hakim;dan c. Pelaksanaan keputusan 5. 3 Adami Chazawi, 2001. Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, edisi revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 56. 4 R. Soesilo, 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politea, hlm. 208. 5 Andi Hamzah, 1984. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 18. 2

Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui tahapantahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan undangundang, dalam hal ini hukum acara pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian. Pembuktian dalam perkara pidana dalam Pasal 183 KUHAP memerlukan adanya alat bukti yang sah, sebagaimana diterangkan sebagai berikut : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari : keterangan saksi,keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Yang dimaksud dengan ahli berdasarkan bunyi Pasal 1 butir ke-28 KUHAP adalah seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan 6. Dimaksud dengan keterangan ahli dalam bunyi Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 6 Lihat KUHAP Pasal 1 butir 28, hlm 9. 3

Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli dapat berupa keterangan lisan atau keterangan tertulis. Keterangan lisan merupakan alat bukti keterangan ahli yaitu segala apa yang disampaikan oleh ahli di persidangan dengah di bawah sumpah. Adapun keterangan tertulis merupakan alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP. berikut : Mengenai alat bukti surat, dalam Pasal 187 KUHAP menyatakan sebagai a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundanganperundangan atau surat yang dibuat oleh penjabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain 7. Berdasarkan ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP tersebut di atas maka keterangan tertulis dari seorang ahli termasuk di dalamnya. Alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf c KUHAP termasuk di dalamnya adalah Visum Et Repertum. Visum et repertum keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia 8. Dokter berperan utama sebagai pelaksana pembuatan Visum et Repertum, khususnya dalam kasus-kasus kematian 7 Lihat KUHAP pasal 187. 8 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm 6. 4

seseorang yang diduga sebagai korban tindak pidana yang memerlukan dilakukannya tindakan bedah mayat forensik (otopsi) untuk memastikan penyebab kematian korban. Pada akhir tahun 2016 tepatnya bulam Desember, Kota Semarang dikejutkan dengan penemuan korban pembunuhan, yaitu seorang waria tanpa identitas yang mayatnya ditemukan di kebun tebu desa Kandari Gunungpati Semarang. Kuat diduga kematian korban disebabkan oleh perbuatan orang lain karena di tubuh korban ditemukan tanda-tanda kekerasan. Dari contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa suatu peristiwa yang karena sifatnya melanggar hukum, menggerakan hukum untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. Proses pencarian kebenaran materiil diawali dengan proses penyelidikan. Yang dimaksud dengan penyelidikan menurut Pasal 1 butir ke 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Proses penyelidikan mengawali proses selanjutnya yaitu proses penyidikan. Dalam pemeriksaan perkara oleh penyidik, apabila penyidik melihat perlu bisa dihadapkan seorang ahli ilmu pengetahuan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus untuk dimintai pendapatnya dalam membantu penyidikan perkara pidana 9. Di dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang 9 Lihat pasal 120 ayat 1 KUHAP 5

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan, bahwa Permintaan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2) ini biasa dikenal dengan permintaan keterangan ahli yang dituangkan dalam laporan atau Visum Et Repertum yang meskipun dalam ketentuan KUHAP tidak menjelaskan tentang kata Visum Et Repertum tetapi terdapat didalam Stb. Tahun 1937 No.350 tentang Visa Reperta. Kalimat Visa Reperta merupakan bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu; dan reperta berarti laporan. Apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti kata, Visa reperta, berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu. Visum et repertum merupakan bentuk tunggal dari Visa et Reperta. Stb. Tahun 1937 No.350 selengkapnya menyatakan, bahwa Visa Reperta para dokter yang dibuat atas dasar sumpah jabatan seorang dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pendidikannya, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam Pasal 2 yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam perkara-perkara 6

pidana, selama berisi keterangan mengenai apa saja yang dilihat dan ditemukan oleh dokter itu pada saat melakukan pemeriksaan. Visum et repertum haruslah memenuhi syarat formal dan materiil. Syarat formal, yaitu menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatannya. Syarat materiil dalam pembuatan Visum et Repertum adalah berkaitan dengan isi, yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa, pada saat diterimanya surat permintaan Visum et Repertum dari penyidik. Visum et Repertum sah sebagai alat bukti dalam perkara pidana, apabila pembuatannya memenuhi syarat formil dan syarat materiil 10. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pokok masalah tersebut adalah peranan ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap korban tindak pidana pembunuhan, agar kebenaran materiilnya dapat dengan jelas terungkap? Hal inilah yang mendorong penulisan hukum ini mengambil judul : PERANAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DALAM MENGUNGKAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (STUDI KASUS PEMBUNUHAN WARIA DI GUNUNGPATI, SEMARANG) 10 Y.A.Triana Ohoiwutun, 2006. Profesi Dokter Dan Visum Et Repertum. Malang: Dioma, hlm 36. 7

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diuraikan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan ilmu kedokteran forensik dalam pengungkapan identitas dan sebab-sebab kematian pada korban tindak pidana pembunuhan? 2. Kendala-kendala apa saja yang muncul dan upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam proses pengungkapan tindak pidana pembunuhan? C. Tujuan Penelitian Perumusan tujuan agar penulisan hukum yang sedang dilaksanakan tidak menyimpang dari tujuan semula. Kemudian dirumuskanlah tujuan dari penulisan hukum ini yaitu sebagai berikut : 1. Mengetahui peranan ilmu kedokteran forensik dalam pengungkapan identitas dan sebab-sebab kematian pada korban tindak pidana pembunuhan. 2. Mengetahui kendala yang muncul dan upaya yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut. 8

D. Kegunaan Penelitian Penulisan hukum ini dimaksudkan dapat memberikan manfaat yang baik dan maksimal, secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Kegunaan Akademis Hasil dari penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, dan menambah bahan-bahan penulisan hukum lainnya,terutama di bidang hukum pidana serta bermanfaat dalam memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan teoritisi, khususnya dalam memperluas wawasan dibidang hukum pidana dan ilmu kedokteran forensik. 2. Kegunaan Praktis Adapun kegunaan praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Hukum Pidana. b. Bagi masyarakat umum Penelitian ini diharapkan dapat memberikan fakta atau bukti riil kepada masyarakat umum mengenai peranan ilmu kedokteran forensik dalam pengungkapan tindak pidana pembunuhan berencana. 9

E. Metode Penelitian Dalam suatu karya ilmiah yang ada, salah satunya bertujuan untuk menemukan kebenaran data valid atau kebenaran ilmiah. Digunakan langkahlangkah, dengan mengikuti prosedur-prosedur penelitian ilmiah dan juga menggunakan metode-metode tertentu dalam usaha untuk mengadakan penelitian. Pada umumnya penelitian bertujuan untuk menemukan data, mengembangkan dan menguji suatu penelitian 11. Dalam kaitannya dengan hal-hal di atas, penulis menggunakan metodemetode seperti tersebut di bawah ini : 1. Metode Pendekatan Berdasarkan pada kerangka berfikir yaitu yuridis normatif, artinya disamping meneliti objek yang bersifat yuridis, juga melihat kenyataan dan didasarkan pada pengalaman yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Metode pendekatan ini digunakan agar tercapai keseimbangan antara hal-hal yang bersifat yuridis normatif dengan hal-hal yang bersifat yuridis empiris. Keseimbangan yang ada nantinya dapat digunakan untuk melihat bagaimana peranan ilmu kedokteran forensik dalam pengungkapan tindak pidana pembunuhan dengan peraturan-peraturan yang ada. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Metode deskriptif adalah menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang ada 11 Sutrisno Hadi, 1994. Metodologi Reasearch Jilid 4. Yogyakarta: Andi Offset, hlm 3. 10

secara rinci, sistematis, dan menyeluruh sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan peranan ilmu kedokteran dalam pengungkapan tindak pidana pembunuhan. 3. Objek Penelitian Objek pada penelitian adalah seluruh informasi yang berkaitan dengan peranan ilmu kedokteran forensik yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan. Elemen penelitian berupa dokumen dokumen visum et repertum pada kasus pembunuhan seorang waria yang mayatnya ditemukan di kebun tebu desa Kandari Gunungpati Kota Semarang. 4. Teknik Pengumpulan Data Setiap penelitian ilmiah memerlukan data dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Data harus diperoleh dari sumber data yang tepat, karena sumber data yang tidak tepat mengakibatkan data yang terkumpul tidak relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga dapat menimbulkan tertentu 12. Keuntungan dari teknik ini adalah terletak pada ketepatan memilih sumber data sesuai dengan variable yang diteliti. Pengambilan sampel tentang responden ditentukan dengan berdasarkan kriteria tertentu yang memiliki sifat-sifat yang dipunyai oleh populasi. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, difokuskan pada pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan 12 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung: Landar Maju, hlm 74. 11

kekaburan dalam pembahasan. Data yang diperlukan dalam skripsi ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yang berguna untuk menganalisa pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi : 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-ndangan, antara lain: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebut juga Kitab Undang Undang Acara Pidana; d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; g) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 12

2) Bahan hukum sekunder Pengumpulan bahan sekunder adalah pengumpulan bahan yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis. Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi kepustakaan (library research), yaitu yang mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen, maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana. bahan sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a) Buku-buku yang berkaitan dengan ilmu hukum dan Peranan ilmu kedokteran forensik dalam pengungkapan tindak pidana pembunuhan. b) Kepustakaan yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan. c) Kepustakaan yang berhubungan dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa. d) Akses internet. 3. Bahan hukum tersier a) Kamus Besar Bahasa Indonesia; b) Kamus Hukum b. Wawancara Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. 13

Untuk kepentingan kroscek data maka wawancara dilakukan dengan: 4 Penyidik Kepolisian 3 dokter forensik 5. Metode Pengolahan Data dan Penyajian Data Data yang diperoleh dari penelitian telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, kemudian diolah diperiksa, dipilih, dilakukan editing dan coding. Setelah proses pengolahan data selesai dan untuk menjawab pertanyaan penelitian maka data disusun secara sitematis disajikan dalam bentuk uraianuraian. 6. Metode Analisa Data Data dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh dipilih dan disusun secara kualitatif yaitu untuk mendapatkan data yang diperlukan, selanjutnya disusun karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam penariakan kesimpulan, peneliti menggunakan metode indukti, yaitu metode yang berhubungan dengan permaslahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip khusus menuju penelitian yang umum. Data yang diperoleh dari hasil survey lapangan maupun hasil studi kepustakaan dikumpulkan, kemudian dianalisis. 14

F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hasil penelitian ini dibagi dalam empat bab. Masingmasing babnya terdapat keterkaitan antara satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian yang meliputi: metode pendekatan, spesifikasi penelitian, objek penelitian, teknik pengumpulan data, metode pengolahan data dan penyajian data, metode analisis data dan sistematika penulisan. Bab II berisi tinjauan pustaka yang akan menguraikan mengenai landasan teori yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas. Teori-teori dan pandangan dari beberapa sarjana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana digunakan untuk mendasari penganalisaan masalah. Bab ini terdiri dari 9 (sembilan) sub bab, sub bab A membahas Pengertian Peranan, sub bab B membahas Pengertian Ilmu Kedokteran Forensik, sub bab C membahas Pengertian Korban, sub bab D membahas Pengertian Otopsi, sub bab E membahas Pidana dan Pemidanaan, sub bab F membahas Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan, sub bab G membahas Penyelidikan dan Penyidikan, sub bab H membahas Fungsi atau Kedudukan Alat Bukti Keterangan Ahli dan Visum et Repertum di Pengadilan, sub bab I membahas Barang Bukti Medik. 15

Bab III berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan terdiri dari beberapa sub bab yaitu: A. Peranan ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap identitas dan sebabsebab kematian korban tindak pidana pembunuhan, kronologi penemuan jenazah, peranan ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap identitas korban, peranan ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap sebab-sebab kematian korban, dan identitas korban yang sesungguhnya. B. Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses mengungkap korban tindak pidana pembunuhan. Bab IV adalah penutup, yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran. 16