Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-visible pada panjang gelombang 280 nm. Setiap tahapan produksi bakteriosin diukur konsentrasi proteinnya. Konsentrasi protein dalam supernatan bebas sel, presipitat bakteriosin dan bakteriosin kasar dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi Protein Bakteriosin Tahapan Konsentrasi (mg/ml) Supernatan Bebas Sel 74,0 ± 18,38 Presipitat Bakteriosin (sebelum dialisis) 120,5 ± 7,78 Bakteriosin Kasar (setelah dialisis) 151,0 ± 2,83 Supernatan bebas sel merupakan hasil dari sentrifugasi dan sudah dinetralkan menjadi ph 6. Presepitat bakteriosin merupakan hasil dari tahap purifikasi menggunakan pengendapan bakteriosin. Presipitat bakteriosin berbentuk cairan pekat kental berwarna coklat gelap. Tujuan dari purifikasi untuk mengendapkan protein bakteriosin. Presipitat bakteriosin kemudian dialisis untuk menghilangkan garam ammonium sulfat dengan menggunakan membran dialisis dalam buffer pottasium phospat. Ammonium sulfat yang terkandung di dalam presipitat akan diikat oleh buffer dengan cara didialisis sehingga hasilnya disebut bakteriosin kasar. Bakteriosin kasar berbentuk cairan pekat yang berwarna gelap. Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 2C12 menunjukkan nilai konsentrasi yang semakin meningkat dari tahap supernatan bebas sel, presipitat bakteriosin hingga tahap bakteriosin kasar. Protein mengabsorbsi sinar ultraviolet maksimum pada panjang gelombang 280 nm (Sudarmadji et al., 1989). Penggunaan protein berdasarkan absorbsi sinar UV adalah mudah, cepat, dan tidak merusak bahan. Bertambahnya jumlah konsentrasi protein menunjukkan proses purifiksi bertingkat dimulai dengan penambahan ammonium sulfat 20%, 40%, 60%, dan 80% tersebut dapat meningkatkan konsentrasi protein. 23
Konsentrasi protein yang meningkat karena bakteriosin mengalami proses pemurnian saat proses dialisis dan purifikasi sehingga protein menjadi pekat. Kualitas Mikrobiologis Daging Segar sebagai Bahan Pembuat Sosis Daging Sapi Daging segar yang digunakan haruslah melewati uji kualitas mikrobiologis terlebih dahulu. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan keamanan dari daging segar tersebut. Uji mikrobiologi yang dilakukan untuk mengetahui jumlah awal total mikroba (TPC), Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella spp. Uji kualitas mikrobiologis diperlukan untuk mengetahui apakah daging segar yang digunakan untuk pengolahan dan pengawetan aman untuk dikonsumsi. Bila jumlah bakteri yang terdapat di dalam daging segar melebihi batas aman, maka bila tetap dikonsumsi akan menimbulkan penyakit. Total awal mikroba, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella spp. dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kualitas Mikrobiologis Daging Segar Peubah Nilai Batas Maksimum (*) Total mikroba 2,19x10 4 cfu/g 1x10 4 cfu/g Staphylococcus aureus 4,71x10 2 cfu/g 1x10 1 cfu/g Escherichia coli 0,00 5x10 1 cfu/g Salmonella spp. 0,00 (**) Negatif Keterangan: (*) Sumber SNI No 01-6366-2000 (**) Analisis secara kuantitatif Tabel 5 menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus telah melebihi batas cemaran maksimum menurut SNI No 01-6366-2000 yaitu 1x10 1 cfu/g. Populasi yang besar dari Staphylococcus aureus berarti bahwa adanya kontaminasi dari pekerja yang kurang memperhatikan sanitasi dalam proses pengerjaan. S.aureus terdapat juga di dalam kerongkongan dan hidung, sehingga dengan mudahnya akan berpindah ke tangan dan rambut (Gamman dan Sherington, 1992). Menurut Le Loir et al. (2003), lebih dari 30% populasi manusia adalah pembawa Staphylococcus aureus. Kontaminasi dari peralatan terjadi akibat alat-alat yang digunakan dalam penyembelihan yang tidak steril. Segala sesuatu yang kontak secara langsung atau tidak langsung dengan daging dapat menyebabkan kontaminasi. Besarnya 24
kontaminasi pada daging akan menentukan kualitas dan umur simpan daging (Soeparno, 2005). E. coli dan Salmonella spp. tidak terdapat pada daging segar. Menurut SNI No. 01-6366-2000 bahwa daging segar tidak boleh terdapat Salmonella spp. dan jumlah E. coli memiliki batas aman yaitu 5x10 1 cfu/g. Hasil a w yang diperoleh dari daging segar seperti pada Tabel 6 yaitu 0,87. Hasil tersebut didukung dengan nilai a w pertumbuhan minimal untuk E. coli yaitu 0, 95 dan nilai a w pertumbuhan minimal untuk Salmonella spp. yaitu 0,94 (Soeparno, 2005). Total mikroba pada daging segar 2,19x10 4 cfu/g melebihi batas maksimum yaitu 1x10 4 cfu/g. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari mikroorganisme di dalam daging termasuk temperatur, kadar air, oksigen, ph, dan kandungan gizi daging. Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme tersebut, termasuk mikroorganisme perusak atau pembusuk karena kadar air tinggi, kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitasnya yang berbeda, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, mempunyai nilai ph 5,3-6,5 yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (Soeparno, 2005). Nilai ph dan a w daging dalam dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Analisis Kualitas Fisik pada Daging Segar Peubah Nilai ph daging 5,48 a w daging 0,87 Sumber: Situmorang et al. (2012) Pengukuran ph bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman yang disebabkan oleh adanya ion hidrogen. Derajat keasaman atau ph merupakan konsentrasi dari ion hidrogen yang terdisosiasi dalam larutan. Daging segar yang digunakan pada penelitian ini mempunyai ph 5,48. Hasil tersebut sesuai dengan ph daging ultimat menurut Forrest et al. (1975) yaitu 5,4-5,6. Menurut Soeparno (2005), ph ultimat daging merupakan kondisi yang baik untuk tumbuhnya sebagian bakteri. Nilai ph daging ultimat yaitu nilai ph yang dicapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada ph rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif pada serangan-serangan enzim 25
glikolitik (Lawrie, 1995). Soeparno (2005) menyatakan bahwa bakteri S. aureus dapat tumbuh baik pada ph 4,0-8,0 dan E. coli tidak dapat tumbuh dibawah ph 4,4. Hal ini juga membuktikan bahwa pada daging segar yang digunakan untuk membuat sosis terdapat bakteri S. aureus sedangkan E. coli tidak terdapat dalam daging. Badan Standardisasi Nasional (1995) yang menyatakan bahwa daging segar normal mempunyai nilai ph sekitar 5,3 5,8. Nilai ph yang rendah berperan untuk menghambat pertumbuhan populasi mikroba patogen ini. Nilai ph juga dapat digunakan sebagai indikator pengendalian pertumbuhan mikroba patogen. Pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh aktivitas air. Aktivitas air ditentukan pada tekanan uap air pada kondisi kesetimbangan produk pangan dengan tekanan uap air jenuh pada temperatur yang sama. Nilai a w daging segar adalah 0,99 atau lebih tinggi. Aktivitas air (a w ) yaitu air bebas yang digunakan mikroba untuk pertumbuhan. Bakteri membutuhkan a w yang lebih tinggi daripada jamur atau ragi. Jamur membutuhkan a w yang lebih rendah untuk pertumbuhannya. Nilai a w daging segar yaitu 0,87. Nilai a w minimum untuk Staphylococcus yaitu 0,86 sehingga terbukti bahwa di dalam daging segar yang digunakan terdapat bakteri ini. Jumlah total mikroba yang melebihi batas aman diakibatkan sanitasi yang buruk. Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi Salah satu produk pengolahan daging yaitu sosis. Daging segar yang telah diuji, diolah menjadi sosis. Terdapat empat pengujian yang dilakukan untuk dapat melihat kualitas mikrobiologis sosis sapi yaitu nilai total mikroba, jumlah kuantitatif Salmonella spp., Eschericia coli, dan Staphylococcus aureus. Nilai Total Mikroba Sosis Daging Sapi. Total jumlah mikroba perlu diketahui untuk memastikan suatu bahan pangan apakah layak atau tidak untuk dikonsumsi. Hal ini ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan. Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap nilai total mikroba dapat dilihat pada Tabel 7. 26
Tabel 7. Nilai Total Mikroba Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda Perlakuan Umur simpan (hari) Rata-rata 0 3 6 9 -------------------------(log cfu/g)----------------------- (log cfu/g) (cfu/g) Kontrol 3,18±0,25 2,15±0,36 3,26±0,84 4,75±2,05 3,34±0,87 2,18x10 3 Nitrit 0,3% 3,00±0,26 2,23±0,27 3,60±0,32 3,65±0,17 3,12±0,26 1,32x10 3 Bakteriosin 3,25±0,28 2,24±0,47 2,30±1,21 3,66±0,22 2,86±0,55 7,24x10 2 0,3% Rata-rata 3,14±0,26 a 2,21±0,37 b 3,06±0,79 a 4,03±0,81 c Nilai populasi 1,38x10 3 1,62x10 2 1,14x10 3 1,07x10 4 (cfu/g) Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Populasi total mikroba menandakan jumlah keseluruhan mikroba pada sosis. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bahan pengawet dan lama penyimpanan terhadap jumlah total bakteri sosis tidak berpengaruh nyata, artinya tidak ada pengaruh dari interaksi antara bahan pengawet dengan umur simpan. Menurut SNI No. 01-3820-1995, batas maksimal total mikroba produk sosis adalah 1x10 5 cfu/g. Berdasarkan Tabel 7, lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap total mikroba yaitu semakin lama penyimpanan, semakin bertambah jumlah total mikroba. Buckle et al. (1987) menyatakan penyimpanan dingin diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 1,0-3,5 C, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan. Suhu tersebut merupakan suhu untuk pertumbuhan bakteri psikrofilik. Saat penyimpanan sosis, suhu dingin yang digunakan yaitu 4-6 C. Faktor yang paling berpengaruh terhadap masa simpan adalah jumlah mikroba awal (Soeparno, 2005). Jumlah total mikroba pada penyimpanan hari ke-0 (1,38x10 3 cfu/g) hingga hari ke-3 (1,62x10 2 cfu/g) mengalami penurunan akibat suhu dingin sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat tetapi tidak bisa dihentikan pertumbuhannya sehingga penyimpanan hari ke-6 (1,14x10 3 cfu/g) hingga hari ke-9 (1,07x10 4 cfu/g) jumlah mikroba mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah mikroorganisme juga berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah total bakteri pada daging segar telah melebihi batas aman, tetapi setelah daging diolah menjadi sosis dengan pemanasan pasteurisasi pada suhu 60 70 C selama 45 menit, jumlah total bakteri 27
menurun. Hal ini dikarenakan beberapa mikroorganisme yang mati pada suhu tersebut. Fardiaz (1992), mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, diantaranya ketersediaan nutrisi, ph, aktivitas air, ketersediaan oksigen dan potensi oksidasi reduksi. Sosis aman untuk dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-9 karena masih dalam batas aman konsumsi menurut SNI No. 01-3820-1995. Analisis Kuantitatif Escherichia coli pada Sosis Daging Sapi. Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap populasi E. coli dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Populasi E. coli Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda. Perlakuan Umur simpan (hari) 0 3 6 9 --------------------------------(log cfu/g)---------------------------- Kontrol 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Nitrit 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Bakteriosin 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa tidak ditemukannya E. coli pada produk sosis. Hal ini menandakan bahwa dalam proses pembuatan atau produksi sosis dilakukan secara bersih dan higienis. Batas aman total E. coli dalam produk sosis adalah 1x10 3 cfu/g menurut SNI No. 01-3820-1995. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa konsentrasi zat pengawet merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan antimikroba. Tabel 5 pada daging segar menyatakan bahwa tidak ditemukannya bakteri ini, sehingga berpengaruh saat daging telah diolah menjadi sosis. Dua tipe dari enterotoksin yaitu enteroksin tahan panas yang masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100 C selama 15 menit dan enterotoksin yang tidak tahan panas yang dapat dimusnahkan setelah dipanaskan pada suhu 60 C selama 30 menit (Fardiaz, 1989). Analisis Kuantitatif Salmonella spp. pada Sosis Daging Sapi. Salmonella spp. merupakan bakteri enteropatogenik yang umumnya terdapat dalam jumlah kecil di 28
dalam makanan, meskipun demikian jumlah tersebut sudah cukup menimbulkan gejala penyakit. Salmonella. merupakan bakteri Gram negatif yang dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enterik, dan diare (Mckane dan Kandel,1985). Hasil yang didapatkan untuk pengujian Salmonella spp. secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Populasi Salmonella Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda. Perlakuan Umur simpan (hari) 0 3 6 9 -----------------------------------(log cfu/g)----------------------------- Kontrol 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Nitrit 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Bakteriosin 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa uji Salmonella menunjukan bahwa bakteri tersebut tidak ditemukan pada produk sosis daging sapi di semua perlakuan pada umur simpan yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa sejak awal tidak ada kontaminasi Salmonella spp. dan tidak adanya kontaminasi selama penyimpanan berlangsung. Populasi Salmonella spp. yang diperbolehkan menurut SNI No. 01 3820 1995 yaitu negatif. Bakteri Salmonella spp. ini termasuk termasuk bakteri enteropatogenik oleh karena itu pada produk pangan harus negatif dari cemaran bakteri Salmonella spp. Pada Tabel 5, tidak ditemukan bakteri Salmonella pada daging segar. Jumlah bakteri pada segar berpengaruh pada bakteri di dalam sosis. Analisis Kuantitatif Staphylococcus aureus pada Sosis Daging Sapi. Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang bersifat anaerobik. Staphylococcus aureus berbentuk tunggal atau berpasangan, berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini termasuk dalam bakteri patogen dan dapat menyebabkan keracunan pangan sehingga perlu diketahui keberadaannya dalam produk pangan. Bakteri ini merupakan indikator sanitasi tangan pekerja, sehingga penting untuk mengetahui keamanan mikrobiologis dari suatu produk. Hasil analisis Staphylococcus aureus pada sosis yang diberi perlakuan dalam dilihat pada Tabel 10. 29
Tabel 10. Jumlah populasi Staphylococcus aureus Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda Perlakuan Umur simpan (hari) Rata-rata 0 3 6 9 --------------------------(log cfu/g)----------------------- (log cfu/g) (cfu/g) Kontrol 2,46±0,14 1,86±0,34 3,43±0,36 3,77±0,13 2,88±0,24 a 7,59x10 2 Nitrit 0,3% 3,09±1,33 1,99±0,26 2,91±0,25 3,36±0,45 2,84±0,57 a 6.91x10 2 Bakteriosin 1,48±1,32 1,03±0,90 1,54±1,42 2,41±0,22 1,62±0,97 b 4,2x10 1 0,3% Rata-rata 2,35±0,93 bc 1,63±0,5 c 2,63±0,67 ab 3,18±0,27 a Nilai populasi (cfu/g) 2,23x10 2 4,26x10 1 4,26x10 2 1,51x10 3 Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata Tabel 10 menunjukkan bahwa interaksi antara bahan pengawet dan umur simpan tidak berpengaruh pada pertumbuhan bakteri S. aureus. Bahan pengawet berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan populasi S. aureus. Penambahan bakteriosin dapat menghambat perkembangan bakteri patogen yang mempunyai kekerabatan dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin. Arief et al. (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh L. plantarum 2C12 mengandung bakteriosin. Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) digunakan sebagai pengawet makanan dan berpotensi sebagai pengganti antibiotik (Reenen et al., 2006). Pada Tabel 10 terlihat bakteriosin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dibanding dengan kontrol dan nitrit. Berdasarkan penambahan bahan pengawet, terlihat bahwa sosis dengan penambahan bakteriosin yang dapat dikonsumsi yaitu 4,2x10 1 cfu/g sesuai dengan SNI No. 01-3820-1995 dibandingkan dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. Dwidjoseputro (1990) membedakan antimikroba berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap berbagai mikroorganisme, yaitu antimikroba yang berspektrum luas, yaitu antimikroba yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme dan antimikroba 30
yang berspektrum sempit, yaitu antimikroba yang efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Bakteriosin memiliki spektrum yang sempit, lebih efektif menghambat bakteri yang kekerabatannya dekat yaitu bakteri Gram positif. Staphylococcus aureus lebih sensitif dibanding E. coli terhadap antimikroba, hal ini disebabkan S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang komposisi dinding selnya lebih sederhana daripada Gram negatif, sehingga bakteriosin lebih dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dibandingkan dengan bakteri E. coli. Dinding sel Gram positif mempunyai komposisi lipid rendah dan hanya mempunyai lapisan peptidoglika. Umur simpan juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Batas maksimum pencemaran menurut SNI No. 01-3820-1995 yaitu 1x10 2 cfu/g. Semakin lama penyimpanan menunjukkan pertambahan jumlah Staphylococcus aureus karena bakteri ini mudah sekali untuk tumbuh. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat tumbuh pada variasi suhu 6-48 C dengan suhu pertumbuhan optimal pada suhu 20-37 C. Staphylococcus aureus termasuk bakteri yang memiliki kemampuan tumbuh pada berbagai kondisi, sehingga dapat tumbuh di berbagai jenis makanan. Berdasarkan rata-rata lama penyimpanan, sosis aman dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-3 (4,26x10 1 cfu/g) menurut SNI No. 01-3820-1995, selebihnya sosis tidak aman untuk dikonsumsi. Sosis dengan penambahan bakteriosin dapat dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-6 karena masih memenuhi standar keamanan pangan sedangkan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit hanya dapat dikonsumsi hingga hari ke-3. Peningkatan jumlah Staphylococcus aureus berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah S. aureus pada daging segar telah melebihi batas aman tetapi berkurang saat telah diolah menjadi sosis. Hal ini karena bakteri ini dapat dihambat dengan pemanasan pasteurisasi pada suhu 60-70 C selama 45 menit. Bakteri ini dapat semakin bertambah akibat suhu penyimpanan pada refrigerator 4-6 C. Penyimpanan dingin tidak dapat menghambat pertumbuhan S. aureus. Nilai a w juga mendukung pertumbuhan bakteri S. aureus. 31
Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi Faktor yang mepengaruhi pertumbuhan bakteri pada daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yaitu nilai nutrisi daging, kadar air, ph, dan potensi oksidasi-reduksi. Faktor luar yaitu temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan kondisi daging. Nilai ph dan Aktivitas Air. Nilai ph berpengaruh pada pertumbuhan mikroba. Pada dasarnya, setiap mikroba memiliki kisaran nilai ph yang berbeda. Bakteri Gram negatif lebih sensitif di kisaran ph rendah daripada Gram positif. Nilai ph sosis dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda dan pada lama penyimpanan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rataan Nilai ph dan a w Sosis Daging Sapi Selama Masa Simpan Bahan Pengawet ph a w Kontrol 5,74±0,20 0,87±0,04 Nitrit 0,3% 5,82±0,14 0,91±0,02 Bakteriosin 0,3% 5,69±0,18 0,86±0,04 Sumber: Situmorang et al., 2012 Nilai ph optimum pertumbuhan bakteri adalah 6,5-7,5. Sosis dengan penambahan bakteriosin memiliki derajat keasaman yang lebih rendah, sehingga terbukti bahwa rataan jumlah total mikroba pada Tabel 7 memiliki jumlah paling sedikit dibanding dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. Penurunan ph merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada ph netral, dan ph 6,0 8,0 merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan kapang dan kamir dapat tumbuh pada ph yang lebih rendah dengan kisaran ph 3,0 6,0 (Buckle et al., 1987). Nilai ph sosis daging sapi mengalami peningkatan dari nilai ph daging segar seperti pada Tabel 6. Hal ini disebabkan daging segar yang telah diolah bersama dengan bumbu-bumbu dan diberi penambahan bahan pengawet dapat menaikkan ph sosis daging sapi. Nilai ph yang paling meningkat yaitu pada sosis dengan penambahan nitrit dan nilai ph yang paling rendah yaitu sosis dengan penambahan bakteriosin. 32
Semua makhluk hidup termasuk mikroba membutuhkan air. Jumlah mikroba yang terdapat di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan mikroba. Kebutuhan mikroorganisme akan air, disebut aktivitas air. Nilai a w juga berpengaruh terhadap pertumbuhan total mikroba. Nilai a w pada makanan dapat berubah sesuai dengan waktu dan tidak lepas dari pengaruh temperatur, tekanan udara dan komposisi makanan itu sendiri. Nilai a w sangat dipengaruhi oleh kelembaban ruangan, pangan yang disimpan di dalam ruangan yang lembab (RH tinggi) akan mudah menyerap air sehingga nilai aktivitas air (a w ) meningkat. Semakin lama penyimpanan, semakin tinggi nilai a w sosis. Penambahan bahan pengawet juga berpengaruh pada nilai a w pada sosis. Nilai a w pada sosis dengan penambahan bakteriosin lebih rendah dibandingkan dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. Nilai a w sosis berkisar 0,86 hingga 0,92. Nilai ini sesuai dengan nilai a w minimum untuk pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yaitu 0,86 (Soeparno, 2005). Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa populasi Staphylococcus aures lebih sedikit dibanding dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. 33