Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

dokumen-dokumen yang mirip
Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. Kata kunci: perbankan, syariah

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PENGGELAPAN DANA SIMPANAN NASABAH SEBAGAI KEJAHATAN PERBANKAN 1 Oleh: Rivaldo Datau 2

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

4 Lihat UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan. 5 Lihat UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.


PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Hukum perbankan adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1998 sampai sekarang perbankan syariah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 45/PUU-XIV/2016 Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

3 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang. 4 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hak

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 19/PUU-XII/2014 Penyelenggaraan Organisasi KONI dan Penyelesaian Sengketa Keolahragaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

Lex Crimen Vol. V/No. 6/Ags/2016

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

I. PEMOHON - Magda Safrina, S.E., MBA... Selanjutnya disebut Pemohon

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA. Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha

DAFTAR PUSTAKA. , 2007, Perbankan Syariah Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014

BAB I PENDAHULUAN. diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Transkripsi:

KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 1 Oleh: Tri Rama Kantohe 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan kedudukan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan Syariah dan bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan Syariah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Perbankan Syariah adalah sistem perbankan yang dibangun, dibentuk dan diwujudkan berdasarkan pada Prinsip Syariah, suatu prinsip dalam Hukum Islam yang mengatur persoalanpersoalan ekonomi atau keperdataan (muamalat) dengan ciri khas atau karakteristiknya yang berbeda dari sistem Perbankan Konvensional. Berdasarkan pada landasan hukum utamanya yakni Undang- Perbankan Syariah, telah beroperasi berbagai badan hukum perbankan syariah seperti PT. Bank Muamalat Indonesia, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank BRI Syariah, PT. Bank BCA Syariah dan lain sebagainya. 2. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah merupakan penyelesaian sengketa yang timbul antara nasabah dengan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang berdasarkan pada Pasal 55 ayat (1) Undang- Perbankan Syariah, ditentukan sebagai kompetensi mutlak atau absolut dari Peradilan Agama dalam menyelesaikannya. Kedudukan dan kompetensi mutlak Peradilan Agama telah diperkuat lagi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasan tersebut memberikan peluang bagi Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sepanjang disepakati oleh para pihak berdasarkan pada isi Akad. Selain penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Peradilan Agama, peluang penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dapat diberlakukan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Kata kunci: Kedudukan, peradilan agama, penyelesaian sengketa, perbankan syariah. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbankan di Indonesia, baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah dalam menjalankan tugas dan fungsinya banyak bersentuhan dengan masyarakat sebagai nasabah, bahkan hubungan hukum antara perbankan dengan nasabahnya adalah hubungan hukum yang jelas dan tegas dalam upaya memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap para pihak. Konkretisasi adanya hubungan hukum tersebut sebagai contoh lain ialah dalam kegiatan perbankan menghimpun dana dari masyarakat dalam perbankan konvensional dirumuskan pada Pasal 1 Angka 5 Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 3 Berdasarkan rumusan tentang Simpanan, jelaslah simpanan terwujud di dalam suatu hubungan hukum yakni hukum perjanjian, sebagaimana pada frasa dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. Pada perbankan syariah berdasarkan Undang- Undang No. 21 Tahun 2008, dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 20, bahwa Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah berdasarkan akad wadi ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 4 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Flora P. Kalalo, SH, MH; Dr. Elisabeth E. Winokan, SH, M.Si 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711288 3 Lihat UU No. 10 Tahun 1998 jo. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Pasal 1 Angka 5) 4 Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Pasal 1 Angka 20) 57

Kedua pengertian Simpanan sebagai dana yang dipercayakan oleh nasabah tersebut mengandung unsur penting yakni simpanan nasabah bank adalah suatu perjanjian sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Hukum Perjanjian. Menurut Munir Fuady, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 5 Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini secara garis besar dibedakan atas 2 (dua) bagian, yakni Pertama, mencari dan menemukan keterkaitan antara pengaturan tentang peradilan agama dan kedudukannya di dalam perbankan syariah; dan kedua, adalah tentang penerapan penyelesaian sengketa perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, yang dalam amar putusannya menyatakan: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian: 1. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang- Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945); 2. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang- Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 6 Permasalahan yang bertitik tolak dari Ketentuan Pasal 55 ayat-ayatnya Undang- Perbankan Syariah, yang menyatakan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. 5 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 180 6 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 (Amar Putusan) (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Ketentuan Pasal 55 ayat-ayatnya tersebut diberikan penjelasannya pada ayat (2), bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad adalah sebagai berikut: a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurut Penulis, ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang- Perbankan Syariah, secara tegas menyatakan kompetensi atau yurisdiksi Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, akan tetapi penjelasan atas Pasal 55 ayat (1) memberikan peluang dilakukannya penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum. Perihal persengketaan itu sendiri terkait erat dengan upaya secara damai berdasarkan ketentuan hukum dalam menjembatani hubungan di antara para pihak bersengketa agar mencapai kesepakatan yang diterima bersama. Menurut Rachmadi Usman, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan. 7 Kedudukan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah bagian dari proses penyelesaian sengketa secara litigasi sedangkan proses yang lainnya seperti penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut musyawarahmufakat maupun arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non-litigasi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan kedudukan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah? 7 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal. 5 58

2. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah? C. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. 8 PEMBAHASAN A. Pengaturan Kedudukan Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pengaturan yang berkaitan erat dengan kedudukan Peradilan Agama, ditemukan dalam Undang- Perbankan Syariah, yang pada Pasal 55 ayatayatnya, menyatakan sebagai berikut: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Ketentuan Pasal 55 ayat-ayatnya tersebut hanya diberikan penjelasan pada ayat (2), yang menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad adalah upaya sebagai berikut: a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lainnya; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pada Pasal 55 ayat (1) secara tegas ditentukan kompetensi absolut dari Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kompetensi atau yurisdiksi 8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 24 secara absolut, juga dikenal sebagai relatif yang menurut A. Ridwan Halim dijelaskannya bahwa: a. Kompetensi absolut atau kompetensi mutlak, yaitu kewenangan atau kekuasaan hakim untuk memeriksa suatu perkara ditinjau dari persoalan atau perkara yang dihadapi, misalnya: 1) Untuk perkara-perkara yang bersifat umum, maka hal ini merupakan kompetensi mutlak dari hakim pengadilan negeri setempat, dimana domisili tergugat barang bersengketa itu terletak; 2) Untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan masalah-masalah keagamaan (Islam), maka hal ini menjadi kompetensi mutlak hakim pengadilan agama; 3) Untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan permohonan keringanan pajak dan sejenisnya, hal ini merupakan kompetensi majelis pertimbangan pajak, dan sebagainya. b. Kompetensi relatif atau kompetensi nisbi, yaitu kewenangan atau kekuasaan hakim untuk memeriksa suatu perkara ditinjau dari: 1) Domisili tergugat atau para penggugat; 2) Daerah dimana barang bersengketa terletak; 3) Domisili pilihan yang ditentukan menurut perjanjian oleh para pihak sebelum sengketa terjadi. 9 Berdasarkan pada kutipan uraian tersebut, jelaslah bahwa di dalam Pasal 55 ayat (1) Undang- Perbankan Syariah, ditentukan kompetensi mutlak dari peradilan agama di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan perbankan syariah. Tetapi ketentuan Pasal 55 ayat (2) menurut Penulis, merupakan ketentuan yang bertentangan dengan kompetensi mutlak yang ditentukan pada ayat (1). B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 Terhadap Peradilan Agama 9 A. Ridwan Halim, Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 37 59

Ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang diberlakukan sejak disahkan dan diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008, adalah peraturan perundang-undangan berbentuk Undang- Undang yang mengatur tentang Perbankan Syariah di Indonesia, yang mengaturnya sebagai peraturan perundangan bersifat khusus. Penjelasan Umumnya menjelaskan antara lain, sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang- Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk Komite Perbankan Syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwalian dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur-unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. 10 Pada bagian lainnya dijelaskan pula bahwa, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui peradilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak. Berdasarkan pada Penjelasan Umum tersebut, dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, diatur dalam Bab IX di bawah judul Penyelesaian Sengketa, yang pada Pasal 55 ayat-ayatnya, menyatakan sebagai berikut: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. 10 Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Penjelasan Umum) (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Ketentuan Pasal 55 ayat (1) tersebut secara tegas dan jelas menentukan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, tetapi ketentuan Pasal 55 ayat (2) memberikan peluang dilakukannya penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan lainnya yaitu Peradilan Umum. Hanya pada Pasal 55 ayat (2) Undang- Perbankan Syariah yang diberikan penjelasannya bahwa, yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad adalah upaya sebagai berikut: a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa kedudukan dan status hukum antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum adalah sederajat karena diatur berdasarkan peraturan perundangan dengan jenis Undang-Undang yang berarti satu sama lain tidak bersifat subordinasi, dalam arti kata, Peradilan Agama bukan berada di bawah Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 55 ayat (1) telah menyatakan kompetensi absolut Peradilan Agama, namun ketentuan ayat (2) sesuai penjelasannya memberikan peluang penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum. Kedua Lembaga peradilan ini adalah bagian penting dalam pembahasan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut litigasi, walaupun penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut, juga mengatur penyelesaian sengketa secara non-litigasi, baik melalui musyawarah, mediasi perbankan maupun arbitrase. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) pada frasa Sesuai dengan isi Akad dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 55 ayat (3) tersebut, tidak ada jaminan bahwa isi Akd yang telah disepakati bersama adalah tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah, oleh karena dapat saja isi Akad mengandung unsur zalin terhadap 60

pihak lain, mengandung unsur gharar dan lain sebagainya. Berdasarkan pada Pasal 24 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedudukan dan peran Mahkamah Konstitusi mendapat landasan konstitusionalnya, yang dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menjadi Undang-Undang, yang pada Pasal 1 Angka 3, menyatakan bahwa, permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: a. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Pembubaran partai politik; d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau e. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia berkenaan dengan konsepsi mengenai hak menguji (toetsingsrecht) yang mengenal dua macam, yaitu: a. Hak menguji formal (formeele toetsingrecht), adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pengujian secara formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. b. Hak menguji secara materiil (materiele toetsingrecht), adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah isi suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuatan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 12 Dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang- Perbankan Syariah, yang menjelaskan pilihan hukum sesuai dengan isi Akad, maka peraturan perundangan telah menyerahkan pilihan hukum mana yang akan ditempuh dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU- X/2012 mengadili dan menyatakan pada amar putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian: a. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang- Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945); b. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang- Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat); 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 11 Lihat UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 1 Angka 3) 12 I. Gde Pantja Astawa dan Suprin Na a, Op Cit, hal. 118 61

3. Menolak Permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. 13 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU- X/2012 tersebut, telah mengembalikan kepastian hukum dan memperkuat eksistensi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagai kewenangan atau kompetensi yang mutlak. Menurut penulis, implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan kekuatan hukum dari ketentuan Pasal 55 ayat (2) beserta penjelasannya menjadi lemah. Walaupun Pasal 55 ayat (2) tidak termasuk dalam amar putusan, oleh karena hanya menyatakan Penjelasan Atas Pasal 55 ayat (2) dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun substansi Pasal 55 ayat (2) menjadi lemah. Dengan demikian terjadi kekosongan hukum dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan tersebut, dan tepatlah apa yang disimpulkan oleh Edi Hudiata, bahwa kekosongan hukum dan norma yang kabur akibat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 harus dicari solusinya, yaitu dengan menggunakan prinsip penemuan hukum (rechtsvervinding), melalui metode interpretasi sistematis dan logis, maka penyelesaian sengketa melalui lembaga nonlitigasi dirujuk kepada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 14 Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut lebih menguatkan kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, sekaligus menutup peluang ditempuhnya penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui lembaga peradilan lain, khususnya Peradilan Umum. Dalam kaitan inilah, ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang- Undang No. 21 Tahun 2008 apabila tetap dipertahankan walaupun putusan Mahkamah Konstitusi menganulir Penjelasannya, maka penyelesaian sengketa secara non-litigasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam upaya mencari keadilan bagi para pihak. 13 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 (Amar Putusan) 14 Edi Hudiata, Penyelesaian Sengketa Perbankana Syariah Pasca Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 : Litigasi dan Non- Litigasi, UII Press, Yogyakarta, 2015, hal. 140 Ketentuan Pasal 55 ayat (2) tersebut tanpa dikaitkan dengan penjelasannya, memberikan peluang bagi penyelesaian sengketa secara non-litigasi, baik melalui musyawarah, mediasi maupun arbitrase, khususnya berdasarkan kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai bagian dari proses-proses alternatif penyelesaian sengketa. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang pada Pasal 58 menyatakan Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. 15 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perbankan Syariah adalah sistem perbankan yang dibangun, dibentuk dan diwujudkan berdasarkan pada Prinsip Syariah, suatu prinsip dalam Hukum Islam yang mengatur persoalan-persoalan ekonomi atau keperdataan (muamalat) dengan ciri khas atau karakteristiknya yang berbeda dari sistem Perbankan Konvensional. Berdasarkan pada landasan hukum utamanya yakni Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, telah beroperasi berbagai badan hukum perbankan syariah seperti PT. Bank Muamalat Indonesia, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank BRI Syariah, PT. Bank BCA Syariah dan lain sebagainya. 2. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah merupakan penyelesaian sengketa yang timbul antara nasabah dengan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang berdasarkan pada Pasal 55 ayat (1) Undang- Perbankan Syariah, ditentukan sebagai kompetensi mutlak atau absolut dari Peradilan Agama dalam menyelesaikannya. Kedudukan dan kompetensi mutlak Peradilan Agama telah diperkuat lagi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasan tersebut memberikan peluang bagi 15 Lihat UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 58) 62

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sepanjang disepakati oleh para pihak berdasarkan pada isi Akad. Selain penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Peradilan Agama, peluang penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dapat diberlakukan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. B. Saran 1. Dalam rangka pembaruan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, perlu tetap diperintahkan dan ditentukan kompetensi mutlak/absolut dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. 2. Perlunya ketegasan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum untuk menolak memeriksa dan mengadili sengketa perbankan syariah dengan alasan/dalih bahwa tidak memiliki kewenangan atau kompetensi dalam memeriksa dan mengadili sengketa perbankan syariah. DAFTAR PUSTAKA Adolf Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007., Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal, Seni Media, Bandung, 2011. Anshori Abdul Ghofur, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), Refika Aditama, Cetakan Pertama, Bandung, 2009. Astawa I. Gde Pantja dan Na a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. Fuady Munir, Arbitrase Nasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003., Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015. Halim A. Ridwan, Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005 Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Hudiata Edi, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan Nomor 93/PUU- X/2012: Litigasi dan Non-Litigasi, UII Press, Yogyakarta, 2015. Marwan M. dan Jimmy P., Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009. Miru Ahmadi, Hukum Kontra dan Perancangan Kontra, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014. Rachmadi Takdir, Mediasi. Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011 Sholahuddin Muhammad, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan dan Bisnis Syariah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011. Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013. Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005. Usman Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012., Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013. Wibowo Edy dan Widodo Untung Hendy, Mengapa Memilih Bank Syariah?, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang- Perbankan Syariah. Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 63

tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Websites Perbankan Syariah, dimuat pada: https //id.wikipedia.org/wiki/perbanka n-syariah. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2016. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase, Dimuat pada http://startegihukum.net/prosedurpenyelesaian-sengketa-melaluiarbitrase. Diakses tanggal 2 Agustus 2016 64