1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

Rekomendasi Kebijakan 2013

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional.

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 Mengingat b. bahwa untuk itu perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan dan

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: HARY TAMA SIMANJUNTAK

MODUL I MODUL II HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERIKANAN (UNCLOS 1982)

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) MK DASAR KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP (PSP-301 )

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI ZEE INDONESIA Ida Kurnia*

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional UU No. 24 Tahun 2000 LN. No. 185 Tahun 2000, TLN No

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UPAYA KONSERVASI INDONESIA ATAS SUMBER DAYA IKAN DI LAUT LEPAS

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STRATEGI PERDAGANGAN TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

Transkripsi:

1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan yang berlebihan sepanjang tahun 1970-2009 (Gambar 1). Persentase overexploited terus meningkat dari 10 persen pada tahun 1974 menjadi 26 persen pada tahun 1989. Setelah Tahun 1990, angka overexploited terus meningkat meski lebih lambat. Sementara itu, fully exploited mengalami perubahan sangat kecil dari waktu ke waktu. Hal ini digambarkan dengan persentase yang stabil sekitar 50 persen sepanjang tahun 1974-1985, kemudian turun menjadi 43 persen pada tahun 1989 sebelum secara bertahap meningkat menjadi 57,4 persen pada Tahun 2009. Pada tahun yang sama, angka non-fully exploited mencapai 12,7 persen. Sumber FAO, 2012 Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974 Berdasarkan data tersebut, sediaan ikan dunia telah mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya penduduk dunia yang membutuhkan protein ikan. FAO (2010) mengungkapkan bahwa penduduk dunia mencapai tujuh milyar dengan sediaan konsumsi ikan per kapita mencapai 18,8 kg.

2 Penyebab meningkatnya kebutuhan ikan dunia, yaitu (Wahyuni, 2007) : (1) meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, (2) meningkatnya kualitas hidup yang diikuti dengan bergesernya komposisi makanan ke makanan sehat yang dicirikan dengan rendahnya kandungan kolesterol (pola red meat ke white meat), (3) masyarakat dunia semakin sibuk (people on the run) sehingga memerlukan makanan sehat dan siap saji, (4) dampak globalisasi menyebabkan aktivitas perikanan melampaui batasbatas negara, sehingga dituntut pula penyediaan makanan yang dapat diterima secara internasional, karena ikan merupakan alternatif komoditas makanan yang memenuhi syarat tersebut, dan (5) ketakutan akan tertularnya penyakit kuku dan mulut, sapi gila, anthraks, flu burung akibat konsumsi daging-daging ternak dan unggas (hewani) semakin menguatkan asumsi bahwa alternatif terbaik yang dapat dilakukan adalah mengkonsumsi ikan. Meningkatkan kebutuhan akan protein ikan tersebut, menuntut produksi ikan sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan juga meningkat. Worm et.al (2006) mengungkapkan bahwa pada tahun 2048 akan terjadi kehancuran perikanan global. Pendapat tersebut dibantah oleh Branch (2008) karena dianggap mengabaikan berbagai faktor, diantaranya adalah regulasi internasional dan nasional dalam mewujudkan perikanan dunia yang berkelanjutan. Terlepas dari perdebatan kedua pakar tersebut di atas, perikanan tangkap dihadapkan pada ancaman kelangkaan ikan global. Hal ini diperkuat oleh laporan FAO (2012), bahwa produksi perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77 dan 86 juta ton dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 78,9 juta ton pada tahun 2011. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Branch di atas, bahwa untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan adalah penyusunan regulasi internasional dan nasional. Terkait dengan penurunan sediaan ikan, hingga saat ini telah dikeluarkan beberapa hukum internasional dalam rangka mewujudkan perikanan bertanggung jawab dan berkelanjutan. Beberapa hukum internasional yang telah dikeluarkan antara lain; (1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), (2) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas

3 (FAO-Compliance Agreement 1993), (3) The United Nations Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement 1995), dan (4) FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Salah satu ketentuan yang diatur dari keempat hukum internasional tersebut adalah kegiatan penangkapan ikan di laut lepas. Hal ini dikarenakan, laut lepas yang memiliki rezim kebebasan menangkap ikan (freedom on fishing) yang diartikan sebagai wilayah tak bertuan. Berdasarkan perkembangan permasalahan yang terjadi di laut lepas tersebut, maka setiap negara baik yang wilayahnya berdekatan dengan laut lepas maupun negara yang jaraknya jauh dengan laut lepas namun armada tangkapnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas dianjurkan untuk membentuk organisasi-organisasi sub-regional dan regional atau yang sering disebut dengan organisasi pengelolaan perikanan regional atau regional fisheries management organization (RFMO). Perkembangan RFMO didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak (beruaya) dan melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan kerusakan ikan di negara lain. Hal inilah yang mendorong kepentingan bersama dalam membentuk RFMO di suatu kawasan (Satria, et.al, 2009). Beberapa organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan yang terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya adalah: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Dengan demikian, Indonesia harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam hal penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkap ikan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang ada (Satria, et.al, 2009). Kepatuhan suatu negara dalam melakukan penangkapan ikan di laut lepas secara bertanggung jawab dan berkelanjutan adalah hal yang mutlak dilakukan. IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated

4 Fishing (IPOA on IUU Fishing) memasukan pengertian kegiatan perikanan yang tidak sah (illegal fishing) di laut lepas. IPOA IUU Fishing menyebutkan kegiatan illegal fishing di laut lepas apabila dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut dan mengikat negara tersebut, ataupun ketentuan hukum internasional yang terkait lainnya. Dengan demikian, diperlukan peran aktif suatu negara pada suatu RFMO, dimana armada tangkapnya melakukan penangkapan ika di wilayah laut lepas yang menjadi kewenangan pengaturan RFMO tersebut. Peningkatan kerjasama perlu dilakukan melalui peran serta aktif pemerintah Indonesia di RFMO dan meningkatkan kerjasama Indonesia dengan negara-negara lain di sekitar kawasan perairan Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia, khususnya di kawasan Samudera Pasifik yang Indonesia belum menjadi anggota WCPFC. Hal ini perlu dilakukan guna memfasilitasi kepentingan pembangunan pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia, termasuk meningkatkan posisi Indonesia dalam negoisasi-negoisasi dalam rangka kesepakatan pengelolaan sumber daya ikan. Penguatan posisi Indonesia diharapkan dapat menguntungkan perikanan nasional, antara lain adanya kompensasi dan keuntungan-keuntungan pengelolaan perikanan tuna bagi Indonesia, mengingat adanya fakta yang menyebutkan bahwa sumber daya tersebut memijah di perairan Indonesia. Peran aktif Indonesia dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC, merupakan bentuk diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan perikanan nasional. Analisa strategi dibutuhkan guna memperkuat posisi Indonesia terhadap negara lain, memperoleh kedudukan yang penting di antara negara anggota dan sejajar di antara negara-negara maju dalam kerjasama pengelolaan perikanan regional. Sementara itu, dalam diplomasi di WCPFC, Indonesia harus memerhatikan kewajiban-kewajiban yang melekat sebagaimana diatur dalam Konvensi Pembentukan WCPFC, Conservation and Management Measures (CMM) serta resolusi yang berkembang. Hal ini dikarenakan, sebagai subjek hukum internasional, WCPFC memiliki kemampuan untuk mengeluarkan

5 hukum yang akan dijadikan sumber hukum (Starke, 2001). Dengan demikian, Konvensi WCPFC dan aturan pelaksanaannya (CMM dan Resolusi) harus dikaji karena akan menimbulkan implikasi bagi Indonesia, baik sebagai CNM (Contracting Non Member) maupun anggota (member). 1.2 Permusan Masalah Asas kebebasan penangkapan ikan di laut lepas mengancam keberlanjutan highly migratory species dan straddling fish stock. Faktor-faktor utama yang berpengaruh tersebut, yaitu overfishing dan dampak aktivitas manusia. Oleh karena itu, dikeluarkan berbagai instrumen internasional, baik yang mengikat (hard law) maupun yang bersifat sukarela (soft law). Instrumen internasional tersebut memberikan amanat kepada setiap negara, baik negara pantai (coastal state) maupun negara penangkap ikan jarak jauh (distant water fisheries nation) untuk bekerjasama dalam pengelolaan perikanan regional atau internasional. Salah satu organisasi pengelolaan perikanan regional yang harus diperhatikan adalah WCPFC. Dalam hal ini Indonesia belum menjadi anggota penuh WCPFC. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan di laut lepas umumnya dan keterlibatan Indonesia di WCPFC khususnya harus dicarikan solusinya. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola oleh WCPFC? 2. Bagaimana dampak ekonomi aturan WCPFC bagi nelayan Indonesia? 3. Langkah kebijakan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat peran serta dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola oleh WCPFC.

6 2. Menganalisis dampak ekonomi terhadap ketentuan WCPFC bagi nelayan Indonesia. 3. Menganalisis perumusan kebijakan Indonesia dalam memperkuat peran serta dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan regional di Samudera Pasifik, khususnya di wilayah yang dikelola oleh WCPFC. 2. Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran pengelolaan perikanan di laut lepas yang dikelola oleh organisasi pengelolaan perikanan regional. 3. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai kajian kebijakan geopolitik nasional. 1.5 Kerangka Pemikiran Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa perikanan global dihadapkan pada permasalahan ancaman kelangkaan ikan. Laut lepas yang selama ini berlaku rezim hukum kebebasan di laut lepas (freedom on the high seas), termasuk didalamnya adalah kebebasan perikanan (freedom on fishing), adalah salah satu penyebab ancaman perikanan global. Hal ini dikarenakan kegiatan perikanan di laut lepas diibaratkan tidak bertuan. Oleh karena itu, masyarakat dunia melalui FAO menggagas pembentukan organisasi pengelolaan perikanan regional (regional fisheries management organization/rfmo). Landasan hukum pengelolaan perikanan di laut lepas, termasuk amanat pembentukan RFMO diantaranya adalah UNCLOS 1982, FAO Compliance Agreement 1993, UNIA 1995, CCRF 1995 dan IPOA on IUU Fishing 2001. Kebijakan nasional Indonesia mengenai pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan perikanan di laut lepas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah melalui Undang- Undang No. 45 Tahun 2009. Menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor

7 31 Tahun 2004, disebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Kebijakan ini dimaksudkan agar pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan (Pasal 6 ayat 1). Selanjutnya, dalam rangka memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama pengelolaan perikanan pada forum regional dan internasional, pemerintah Indonesia berusaha untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dimaksud (Pasal 10). Berdasarkan uraian diatas, Indonesia mempunyai landasan hukum yang kuat untuk berperan serta dalam mewujudkan perikanan bertanggung jawab (responsible fisheries) dan berkelanjutan (sustainable fisheries), khususnya di wilayah laut lepas yang biasanya dikelola oleh organisasi pengelolaan perikanan regional. Hal ini mencerminkan bahwa Indonesia telah siap dalam mewujudkan pengelolaan perikanan global. Salah satu RFMO yang wilayah pengelolaannya berhadapan dengan perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) adalah WCPFC. Dalam rangka menyusun strategi kebijakan Indonesia di WCPFC, maka diperlukan analisa peraturan terhadap konvensi pembentukan WCPFC. Analisa peraturan digunakan dalam rangka menganalisis hak dan kewajiban yang akan menjadi peluang (keuntungan) dan tantangan (kerugian) bila kita meratifikasi Konvensi WCPFC. Hasil analisa peraturan menjadi pegangan dalam penguatan strategi kebijakan geopolitik Indonesia di WCPFC. Hal ini dikarenakan, dipastikan adanya larangan terhadap kegiatan yang menyebabkan perikanan tidak berkelanjutan, salah satunya adalah penangkapan juvenile tuna (baby tuna). Padahal, nelayan Indonesia tidak membedakan baby tuna dengan tuna besar. Akibatnya adalah, kebijakan tersebut akan merugikan perekonomian nelayan,

8 khususnya nelayan skala kecil. Terkait dengan potensi kehilangan hasil tangkapan akibat larangan penangkapan baby tuna, maka akan digunakan lost productivity method. Analisa ini akan mengungkapkan seberapa besar nelayan Indonesia akan mengalami kehilangan potensi ekonomi akibat kebijakan larangan penangkapan baby tuna. Analisa berikutnya adalah integrasi analisa SWOT dengan AHP yang dikenal dengan istilah AWOT. Analisa ini diharapkan mampu menghasilkan strategi kebijakan Indonesia dalam keterlibatan pengelolaan perikanan di laut lepas, khususnya di wilayah yang menjadi kewenangan pengelolaan WCPFC. Dengan demikian, tujuan dan target penelitian ini adalah penguatan Indonesia di WCPFC, pengelolaan perikanan global, dan kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia. Secara lebih jelasnya, kerangka penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

9 Landasan Hukum: UNCLOS FAO Compliance UNFSA CCRF IPOA on IUU Fishing Ancaman Kelangkaan Perikanan Global Pengelolaan Perikanan Laut Lepas Landasan Hukum (Nasional): Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Menteri WCPFC Status Produksi Perikanan Konvensi WCPFC, CMM dan Resolusi Analisis Peraturan Perundangan Aturan penangkapan baby tuna Implikasi Ketentuan WCPFC Analisis WTA Strategi Kebijakan Indonesia Analisis Kebijakan AWOT Tujuan dan Target: Penguatan Indonesia di WCPFC Pengelolaan Perikanan Global Kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia Gambar 2 Kerangka Penelitian Keterangan: Batas Penelitian Feed Back Keterkaitan dan Hubungan

10