BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum memiliki ciri-ciri adanya perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan peradilan tata usaha negara. 5 Oleh karena itu, demi terselenggaranya negara hukum diperlukan peraturan perundang-undangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 6 Demikian pula di bidang hukum acara pidana, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) sebagai pedoman beracara dalam perkara pidana. Dengan diundangkannya KUHAP, maka hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya yang merupakan produk dari pemerintah kolonial Belanda dicabut, yakni Her Herziene Reglement (HIR) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, sepanjang yang mengatur mengenai hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan mengenai acara pidana di dalam HIR mengutamakan 5 6 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 142. Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
2 kepentingan penguasa, sehingga kurang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia/tersangka/terdakwa. 7 Di samping itu juga tidak ada ketentuan di dalam HIR yang memberikan kewenangan kepada suatu lembaga untuk mengawasi sejauh mana penegak hukum melakukan tugasnya, hal ini memungkinkan tindakan sewenang-wenang. 8 Dibandingkan dengan HIR, KUHAP mengatur beberapa hal baru antara lain: 9 1. Hak-hak tersangka dan terdakwa (Pasal 50 - Pasal 68 KUHAP) 2. Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69 - Pasal 74 KUHAP) 3. Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi (Pasal 98 - Pasal 101 KUHAP) 4. Pengawasan pelaksanaan putusan hakim (Pasal 277 - Pasal 283 KUHAP) 5. Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni praperadilan (Pasal 77 - Pasal 83 KUHAP) Praperadilan merupakan hal baru dalam hukum acara pidana Indonesia berdasarkan KUHAP. Dengan adanya praperadilan maka tersangka dilindungi dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan/atau kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan tersangka. 10 Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan dan penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam masyarakat, kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang salah atau kadang-kadang 7 8 9 10 Ratna Nurul Afifah, 1986, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 2. Ibid. Loebby Loqman, 1987, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 7-8. S. Tanusubroto, 1983, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, hlm.1.
3 melampaui batas waktu yang telah ditentukan, tentu hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 11 Dengan adanya praperadilan, maka akan lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan amanat UUD 1945. Di samping itu, adanya lembaga praperadilan juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol horizontal terhadap kewenangan pejabat peradilan yang menggunakan upaya paksa. 12 Pengertian praperadilan sendiri di dalam KUHAP terdapat dalam Pasal 1 angka 10, yaitu: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 13 Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang diberikan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri sebagai wewenang dan fungi tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini. 14 Apabila selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri, mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata, maka selain 11 12 13 14 Ratna Nurul Afifah, Op. Cit., hlm. 3. Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 78. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
4 tugas tersebut, pengadilan diberi tugas tambahan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan permintaan ganti rugi atau rehabilitasi, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan. 15 Hal ini juga sejalan dengan ketentuan dalam BAB X Bagian Kesatu mengenai Praperadilan pada Pasal 77 KUHAP yang mana didalamnya juga terdapat ketentuan mengenai objek atau kewenangan praperadilan, yaitu: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 16 Objek dari lembaga praperadilan sebagaimana diatur di dalam KUHAP bersifat limitatif. Namun di dalam perjalanannya selama tiga dasawarsa lebih, objek dari lembaga praperadilan kemudian diperluas, tidak hanya terbatas sebagaimana termuat dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan mencakup pula keabsahan penetapan tersangka. 17 Hal ini berawal dari Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel yang menyatakan tidak sah penetapan tersangka atas nama Bachtiar Abdul Fatah, terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Pasific Indonesia. Kemudian pada tahun 2015, melalui Putusan Nomor 4/Pid.Prap/2015.PN.Jkt.Sel, Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan 15 16 17 Ibid., hlm. 2. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Berita Satu, ICJR Apresiasi Putusan MK yang Memperluas Objek Praperadilan, http://www.beritasatu.com/nasional/269415-icjr-apresiasi-putusan-mk-yang-memperluasobjek-praperadilan.htmli, diakses 9 Januari 2017.
5 permohonan tidak sahnya penetapan tersangka atas nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan, tersangka kasus dugaan korupsi ketika ia menjabat di kepolisian, yang pada saat itu dicalonkan menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Adanya putusan praperadilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi kemudian menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, seperti pendapat Harifin Tumpa, Mantan Ketua Mahkamah Agung, yang berpendapat bahwa Pasal 77 dan Pasal 95 KUHAP secara jelas menyebutkan bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan. 18 Di samping itu, putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi juga memicu banyaknya gugatan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka di tengah ketidakpastian hukum mengenai sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, seperti gugatan praperadilan oleh Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, dan Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Persero Suroso Atmo Martoyo. 19 Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang dengan putusan tersebut, maka sah tidaknya penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek praperadilan. Putusan tersebut adalah Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah. Salah satu 18 19 Kompas, Tanda Tanya di Balik Putusan Hakim Sarpin, http://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/08532481/tanda-tanya-di-balik-putusan- Hakim-Sarpin, diakses 5 Januari 2017. CNN Indonesia, Banjir Praperadilan Seperti Membuka Kotak Pandora, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150330180531-12-43060/banjir-praperadilanseperti-membuka-kotak-pandora/, diakses pada 5 Januari 2017.
6 permohonannya adalah mengenai Pasal 77 huruf a KUHAP, dan memohon kepada Majelis Hakim MK untuk memberikan putusan: 6. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. 20 Majelis Hakim MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, termasuk permohonan mengenai Pasal 77 huruf a KUHAP. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. 21 Dengan adanya putusan MK tersebut, maka sah tidaknya penetapan tersangka menjadi norma baru dalam ranah praperadilan. Hal ini dikarenakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Sifat final putusan MK mengandung arti bahwa putusan tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. 22 Sifat mengikat diartikan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap objek sengketa. 23 Dengan demikian nilai mengikat dari 20 21 22 23 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 atas nama Pemohon Bachtiar Abdul Fatah, tanggal 28 April 2015, hlm. 23. Ibid. Pasal 10 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) S. F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 211.
7 putusan MK yang final adalah sama dengan nilai mengikat sebuah undangundang hasil produk politik. 24 Berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, maka sah tidaknya penetapan tersangka sah menjadi bagian dari objek praperadilan. Tersangka menurut ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dasar penetapan tersangka dilihat dari bunyi pasal tersebut adalah adanya bukti permulaan, akan tetapi KUHAP tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan. Selain frasa bukti pemulaan, terdapat frasa bukti permulaan yang cukup di dalam Pasal 17 KUHAP yang mengatur mengenai penangkapan, yang mana perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14. Kemudian apabila melihat pada bunyi Pasal 21 ayat (1) KUHAP, terdapat frasa bukti yang cukup. Pasal tersebut memberikan pedoman bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan 24 Malik, 2009, Telaah Makna Putusan MK yang Final dan Mengikat, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009, hlm. 88.
8 kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Merujuk pada Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, terlihat terdapat istilah yang hampir mirip, yaitu bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. 25 Eddy O.S. Hiariej menyebutkan bahwa walaupun istilah tersebut kedengarannya sama, tetapi secara prinsip berbeda. Sayangnya, KUHAP tidak memberi penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan dari ketiga istilah itu. 26 Berdasarkan doktrin, kata-kata bukti permulaan dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal selaku physical evidence atau real evidence. 27 Pasal 184 KUHAP yang merupakan bagian dari Bab XVI mengenai Pemeriksaan di Pengadilan, mengatur mengenai ketentuan alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selanjutnya, untuk menakar bukti permulaan tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, 25 26 27 Eddy O.S. Hiariej, 2015, Menyandera dengan Status Tersangka, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/21/14130431/menyandera.dengan.status.tersangk a, diakses 1 Februari 2017. Ibid. Ibid.
9 pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. 28 Berbeda dengan KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) memberikan batasan yang dimaksud bukti permulaan, yaitu dalam Pasal 44 ayat (2) yang berbunyi Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Dengan pertimbangan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup memerlukan penjelasan, agar terpenuhi asas lex certa dan lex stricta untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, selain memutuskan bahwa penetapan tersangka termasuk kewenangan lembaga praperadilan, juga di dalam amarnya memutuskan: Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 28 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 98.
10 sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 29 Dengan adanya putusan di atas, dalam hal terdapat permohonan praperadilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, hakim akan memeriksa apakah terdapat bukti permulaan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan dalam pertimbangannya, selain adanya bukti permulaan, juga disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). 30 Selain itu, terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, yang pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki pokok perkara. Perma di atas sesungguhnya hanya menegaskan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh lembaga praperadilan berdasarkan KUHAP maupun Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dalam lingkup pemeriksaan pendahuluan, bukan memeriksa pokok perkara. Dalam hal ini perlu dikaji lebih lanjut apakah di dalam praktik, kewenangan lembaga praperadilan yang 29 30 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 atas nama Pemohon Bachtiar Abdul Fatah, tanggal 28 April 2015, hlm. 109. Ibid., hlm. 98.
11 tidak diperbolehkan memeriksa pokok perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada selama ini sudah diterapkan dalam pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di Indonesia. Tentunya apabila dalam praktik terdapat permasalahan-permasalahan terhadap penerapan ketentuan peraturan, maka dimungkinkan terdapat kelemahan-kelemahan pada pengaturan yang ada selama ini, sehingga diperlukan pembaruan undangundang yang mengatur mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, yang merupakan salah satu objek praperadilan. Prospek pengaturan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana. Lebih lanjut, saat ini sedang ada upaya pembaruan KUHAP melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), wacana pembaharuan KUHAP telah muncul sejak tahun 1999 dengan dibentuknya tim ahli yang diketuai oleh Andi Hamzah yang bertugas menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). 31 Dalam perkembangannya, RKUHAP secara rutin masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik lima tahunan maupun prioritas satu tahunan. Mulai kurun waktu 2000-2004, 2004-2009, 2009-2014, hingga 2015-2019. 32 Draft RKUHAP terakhir adalah tahun 2012, terdiri dari 286 pasal, yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR tanggal 11 Desember 31 32 Miko Ginting, 2015, Evaluasi terhadap Pembaharuan RKUHAP, Jurnal Peradilan Indonesia, Vol. 3, Juli-Desember 2015, hlm. 31. Ibid.
12 2012, yang mana pembahasan RKUHAP tersebut terhenti di akhir periode DPR tahun 2009-2014. 33 Perkembangan terakhir, RKUHAP kembali masuk dalam Prolegnas Tahun 2015-2019 dengan pengusul dari DPR. 34 Dalam RKUHAP terdapat wacana adanya lembaga hakim pemeriksa pendahuluan sebagai pengganti lembaga praperadilan. Dalam konsep lama RKUHAP, hakim pemeriksa pendahuluan ini disebut hakim komisaris, namun karena menimbulkan kontroversi yang tajam kemudian dirumuskan kembali menjadi hakim pemeriksa pendahuluan. 35 Istilah hakim komisaris dapat berkonotasi sudah usang karena sudah pernah dipraktekkan zaman dahulu, khususnya di Eropa Kontinental, seperti Perancis dan Belanda. Baik hakim komisaris maupun hakim pemeriksa pendahuluan, keduanya disusun antara lain untuk meningkatkan fungsi lembaga praperadian yang sudah ada dalam KUHAP. Oleh karena itu, Dr. Adnan Buyung Nasution pernah mengusulkan agar tetap mempertahankan istilah praperadilan saja dengan memperbaiki substansi, mekanisme, dan prosedur praperadilan. 36 Namun terlepas dari kontroversi istilah tersebut, kenyataannya lembaga praperadilan yang ada dalam KUHAP setelah berjalan sejauh ini telah gagal untuk mengontrol penerapan upaya paksa. 37 Kegagalan ini menurut Luhut M. Pangaribuan antara lain karena tidak adanya mekanisme yang efektif untuk 33 34 35 36 37 Jan S. Maringka, 2015, Kewenangan Kejaksaan sebagai Dominus Litis, Jurnal Peradilan Indonesia, Vol. 3, Juli-Desember 2015, hlm. 15. DPR, Prolgenas 2015-2019, http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list, diakses 17 Februari 2017. Luhut M. Pangaribuan, 2014, Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dalam Rancangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Teropong, Vol. 1, Agustus 2014, hlm. 6. Ibid. Ibid.
13 mengontrol upaya paksa, khususnya dalam tahap pemeriksaan pendahuluan atau proses penyidikan. Hal ini dikarenakan dasar untuk menentukan status seseorang sebagai tersangka karena adanya bukti permulaan dan bukti yang cukup untuk menahan, prosesnya tidak transparan dan akuntabel, melainkan hanya berdasarkan proses internal dan diskresioner. 38 Dalam RKUHAP disebutkan bahwa hakim pemeriksa pendahuluan adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam undang-undang ini. 39 Kewenangan-kewenangan lembaga praperadilan pada KUHAP dialihkan menjadi kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan. Kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan ada pada Pasal 111 RKUHAP yaitu sebagai berikut: Hakim Pemeriksa Pendahuluan berwenang menetapkan atau memutuskan : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b. pembatalan atau penangguhan penahanan; c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i. layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. 38 39 Ibid. Pasal 1 angka 7 RKUHAP Konsep Tahun 2012.
14 j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. 40 Berdasarkan kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan di atas, objek praperadilan terkait sah tidaknya penetapan tersangka belum diakomodir dalam RUU KUHAP. Oleh karena itu, melihat bahwa KUHAP terkait lembaga praperadilan telah diperbaharui dengan merujuk pada Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yaitu dengan bertambahnya objek praperadilan berupa sah tidaknya penetapan tersangka, sedangkan di dalam RUU KUHAP hal tersebut belum diatur, maka dalam hal ini hendaknya diperlukan suatu pengaturan tambahan di masa yang akan datang untuk memeriksa sah tidaknya penetapan tersangka agar menjamin perlindungan hak asasi manusia. Pengaturan tersebut tentunya juga harus dilakukan dengan melihat apakah di dalam praktik terdapat permasalahan penerapan dari pengaturan yang ada selama ini. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan dalam pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, dan juga bagaimana seharusnya prospek pengaturan KUHAP yang ideal terhadap pengujian sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan di masa yang akan datang. 40 Pasal 111 RKUHAP Konsep Tahun 2012.
15 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah: 1. Bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan dalam pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka? 2. Bagaimana seharusnya pengaturan praperadilan dalam hal pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Tujuan subjektif Sebagai tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan objektif Tujuan objektif dari penulisan hukum ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan peraturan perudangundangan dalam pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. b. Untuk menganalisis dan mengkaji prospek pengaturan praperadilan dalam hal pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang.
16 D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu: 1. Segi teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia dalam kaitannya dengan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. 2. Segi praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sekaligus evaluasi bagi para hakim dalam memeriksa praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka karena penelitian ini menjelaskan bagaimana seharusnya peraturan perundang-undangan diterapkan untuk memeriksa praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Diharapkan pula penelitian ini menjadi acuan sekaligus evaluasi bagi DPR dalam menyusun dan merumuskan KUHAP yang baru ke depannya, karena penelitian ini menjelaskan mengenai prospek pengaturan yang ideal di masa yang akan datang mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, yang merupakan objek praperadilan pada saat ini. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, belum ada penelitian maupun karya-karya ilmiah sejenis yang membahas dan menganalisis permasalahan yang sama persis dengan penelitian ini. Namun
17 demikian, penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yaitu: 1. Penulisan hukum yang berjudul Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap Sah Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan oleh Taufan Trianggara Atmaja, dengan rincian sebagai berikut: 41 a. Rumusan masalah: 1) Bagaimana sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014? 2) Bagaimana sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan setelah adanya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014? b. Kesimpulan: 1) Sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 ada yang ditolak dan diterima sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan yang menolak karena ketentuan mengenai kewenangan praperadilan telah jelas diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Putusan yang menerima menganggap penetapan tersangka adalah hasil dari penyidikan, dan karena Pasal 77 KUHAP tidak mengatur dan melarang, maka dilakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan memasukkan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. 41 Taufan Trianggara Atmaja, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 terhadap Sah Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
18 2) Setelah adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, banyak permohonan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka diajukan. Selain itu, permohonan yang diterima maupun ditolak bukan lagi masalah mengenai objek dari praperadilan namun lebih kepada substansi mengenai penetapan tersangkanya sah atau tidak menurut hukum. c. Perbedaan dengan penelitian penulis Penulisan hukum di atas memiliki kemiripan dengan penelitian ini karena sama-sama mengkaji praperadilan terkait sah tidaknya penetapan tersangka. Akan tetapi, penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada kondisi sebelum maupun setelah adanya Putusan MK No. 21/PUU- XII/2014. Analisis kondisi setelah Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 pada penelitian di atas dilakukan dengan menganalisis apakah hakim menerima atau mengesampingkan Putusan MK tersebut, yaitu pada Putusan No. 67/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dengan Pemohon Dahlan Iskan dan Putusan No. 72/Pid.Prap/2015/PN/Jkt.Sel dengan Pemohon Otto Cornelis Kaligis, yang mana penulis sebelumnya belum menemukan adanya ketidakkonsistensian penerapan peraturan perundang-undangan di dalam praktik pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Sementara itu, penelitian yang dilakukan penulis menggunakan putusan-putusan yang berbeda, yang mana terdapat ketidakkonsistensian penerapan peraturan perundang-undangan di dalam praktik pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Penelitian yang dilakukan penulis juga
19 menganalisis prospek pengaturan yang ideal pada masa yang akan datang mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka yang merupakan objek praperadilan pada saat ini, yang mana tidak dilakukan oleh penulis sebelumnya. 2. Penulisan hukum yang berjudul Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka oleh Rizka Fakhry A., dengan rincian sebagai berikut: 42 a. Rumusan masalah: 1) Bagaimana pendapat penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka? 2) Bagaimana implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadian dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka? b. Kesimpulan: 1) Perluasan kewenangan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dapat dipahami dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun, perluasan kewenangan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka tidak dapat dipahami berdasarkan gagasan awal pembentukan praperadilan yaitu sebagai suatu forum bagi tersangka 42 Rizka Fakhry A., 2015, Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
20 untuk komplain terkait upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap dirinya. 2) Perluasan kewenangan yang diberikan kepada praperadilan melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang tidak diikuti dengan penguatan konstruksi pengaturan praperadilan justru menimbulkan kekacauan dalam implementasinya. Absennya aturan mengenai hukum acara praperadilan berdampak pada pembuktian maupun upaya hukumnya sehingga cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan masyarakat. c. Perbedaan dengan penelitian penulis Penelitian yang disebutkan di atas pada dasarnya juga memiliki kesamaan dengan penelitian penulis karena mengkaji praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Namun demikian, penelitian di atas lebih menitikberatkan pada analisis sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia dan gagasan awal pembentukan praperadilan, selain itu penelitian di atas juga menitikberatkan pada implikasi lemahnya pengaturan praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Sementara itu, penelitian ini lebih mengkaji bagaimana seharusnya pengaturan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang dengan terlebih dahulu menganalisis penerapan peraturan perundang-undangan dalam
21 pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka di Indonesia. 3. Penulisan hukum yang berjudul Analisis Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Terkait Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan oleh Gaza Carumna I., dengan rincian sebagai berikut: 43 a. Rumusan masalah: 1) Bagaimana sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai objek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014? 2) Apa pertimbangan hakim yang bersangkutan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan? b. Kesimpulan: 1) Sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai objek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, hakim hanya dapat menginterpretasikan dengan menggunakan metode interpretasi restriktif karena tidak jelasnya kewenangan praperadilan di dalam KUHAP. Termasuk dalam interpretasi restriktif adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis, yang mana berdasarkan kedua metode tersebut, sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai objek praperadilan. 43 Gaza Carumna I., 2016, Analisis Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Terkait Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
22 2) Alasan hakim yang bersangkutan mengabulkan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan pada Putusan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel adalah ada tidaknya dua alat bukti untuk dijadikan dasar guna menetapkan tersangka. Adapun penggunaan metode interpretasi ekstesif dalam putusan tersebut bertentangan dengan lex stricta. Pada Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, hakim mengabulkan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan karena menganggap praperadilan sebagai sarana menguji tindakan upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Menurut hakim, penetapan tersangka termasuk upaya paksa. Dalam putusan tersebut penggunaan metode interpretasi ekstensif tidak bertentangan dengan lex stricta. c. Perbedaan dengan penelitian penulis: Penulisan hukum di atas pada dasarnya juga sama-sama mengangkat tema praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Perbedaannya, penelitian di atas menganalisis penemuan hukum hakim terkait sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, sedangkan penelitian ini mengkaji politik hukum terkait praperadilan dalam hal sah tidaknya penetapan tersangka. Berdasarkan uraian tersebut di atas, belum ditemukan penulisan hukum maupun penelitian lain yang sama persis dengan penelitian hukum yang dilakukan penulis, sehingga keaslian penulisan hukum ini dapat
23 dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi, yaitu asas kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka.