1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai. Waduk juga merupakan penampungan alami dalam pengumpulan unsur hara, bahan padatan, dan bahan kimia toksik baik pada air maupun dasar/sedimen perairan dan unsur tersebut merupakan sumber kontaminan yang utama. Pada umumnya unsur kontamin terdiri dari minyak, pestisida, dan substansi toksik yang dapat merusak kehidupan dasar perairan serta ikan yang hidup didalamnya. Menurut Darmono (2008) kondisi hujan asam dan asam dari aliran air yang mengalir ke danau atau waduk merupakan masalah yang serius pada danau atau waduk karena asam dapat tertimbun didalamnya dan menjadi racun. Karena hujan asam akan mempercepat proses bioakumilasi logam berat. Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum pada tahun 1988 yang terletak antara Waduk Saguling dan Jatiluhur. Posisi Waduk Cirata berada pada ketinggian 221 m dpl, luas 6.200 ha, dan kedalaman mencapai 106 m dengan volume air maksimum 2.165 juta m 3 (Husen, 2004). Sedangkan menurut Radiarta et al., (2005) Waduk Cirata telah mengalami penurunan (degradasi), kedalam maksimum hanya mencapai 89 m. Kisaran kedalaman yang paling dominan pada Waduk Cirata adalah 21-30 m yang mencapai 26%. Pada awal pembangunannya, Waduk Cirata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik dan air irigasi untuk pertanian serta pengendalian banjir. Namun dengan perkembangan waktu dan kebutuhan manusia, keberadaan Waduk Cirata telah membuka peluang bagi perkembangan sektor dan subsektor pembangunan lain seperti perikanan, air minum, pariwisata, dan perhubungan. Dalam rangka pemanfaatan waduk begi kegiatan perikanan, dalam pengelolaannya harus dapat mengoptimalkan produksi ikan, menghindari konflik, dan menjaga kelestarian lingkungan serta sumberdayanya sehingga pemanfaatan tersebut dapat berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
106 106 107-6 -6-7 -7-8 -8 107 108 108 2 Waduk Cirata Gambar 1. Gambaran umum Waduk Cirata dilihat dari Citra Landsat ETM 7 akuisisi bulan September 2004 Sesuai dengan sifatnya, Waduk Cirata merupakan sumber daya alam yang akan mengalami penurunan daya guna apabila pengaruh lingkungan yang ditimbulkan olah aktifitas manusia dan industri terlalu berat. Penurunan daya guna ini dapat berupa penurunan kualitas perairan yang bersifat fisik, kimia, maupun biologi. Adanya masukan limbah yang merupakan bahan asing bagi perairan akibat dari aktifitas manusia, akan menyebabkan terjadinya pencemaran perairan yang dapat mengakibatkan perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi perairan tersebut. Dampak aktifitas manusia yang signifikan mempengaruhi penurunan kualitas perairan Waduk Cirata adalah budidaya ikan dengan teknologi Keramba Jaring Apung (KJA). Menurut Misbah (2004) dampak positif dari kegiatan budidaya ikan dengan KJA adalah meningkatkan pendapatan daerah setempat, mengurangi jumlah pengangguran, dan meningkatkan pendapatan nasional. Selain dampak positif, KJA juga mempunyai dampak negatif apabila tidak mengikuti pada standard oprating procedure (SOP) yaitu mempercepat penurunan kualitas
3 air. Penurunan kualitas air berdampak pada penurunan daya dukung Waduk Cirata. Komoditas ikan yang dibudidayakan di Waduk Cirata adalah ikan mas, nila, patin, dan bawal. Menurut DKP (2007), daya dukung suatu perairan untuk kegiatan budidaya dalam KJA adalah tingkat maksimum produksi (ikan) yang dapat didukung oleh suatu perairan pada tingkat perubahan konsentrasi total P yang masih dapat diterima oleh masyarakat yang terkait dengan perairan yang bersangkutan. Daya dukung waduk untuk perikanan budidaya ialah sejumlah atau besaran stok ikan maksimal atau potensi produksi yang bisa ditampung atau dipelihara dengan berbagai sarana pemeliharaan di waduk dengan memperhatikan keberlanjutan waduk yang tidak mengurangi kualitas lingkungan yang diperlukan bagi pelaku budidaya dan masyarakat lain pengguna waduk. Keberlanjutan waduk berorientasi pada pemanfaatan waduk yang maksimal dalam upaya pengelolaan konservasi agar waduk bisa digunakan bagi pelaku budidaya generasi sekarang dan yang akan dating, bahkan bagi pemanfaatan waduk lainnya. Perkembangan KJA di Waduk Cirata terus meningkat dari tahun ke tahun, (Garno & Adibroto 1999) melaporkan pada tahun 1999 terdapat 27.786 KJA dengan produksi ikan 25.114 ton. Jumlah 27.786 KJA ini menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada sekitar 198,376 ton. Pada tahun 2003 dilaporkan bahwa jumlah KJA yang ada di Waduk Cirata sebanyak 38.276 unit yang menutupi permukaan waduk sebesar 15%-20%, dengan sisa pakan yang berada di dasar waduk sebesar 279.121 ton (Prihadi 2004). Pada tahun 2009 jumlah KJA yang ada di Waduk Cirata sebanyak 51.418 unit, tetapi yang aktif melakukan kegiatan budidaya hanya sebesar 60% atau sebanyak 30.850 unit dengan jumlah rumah tangga petani (RTP) 2.838 (BPWC 2009). Faktor manusia sangat berperan dalam memperburuk kondisi lingkungan waduk. Penumpukan limbah yang diakibatkan dari sisa-sisa KJA seperti banyaknya busa yang mengambang, drum-drum bekas yang tenggelam, dan lainlain memberikan andil terhadap percepatan tingkat pencemaran lingkungan (Misbah, 2004). Bahkan hasil penelitian dari PPSDAL-UNPAD serta Departemen Teknologi Lingkungan ITB telah ditemukan bahan pencemar yang berasal dari
4 logam berat, yang merupakan sumber polutan sangat tidak diharapkan karena akan berdampak cukup serius. Sumber kegiatan yang memberikan kontribusi logam berat ke Waduk Cirata ada dua yaitu kegiatan di darat (eksternal) dan kegiatan di Waduk Cirata itu sendiri (internal). Kegiatan eksternal yang memberikan kontribusi logam berat adalah pencucian emas, pabrik tekstil, pabrik cat, industri deterjen, pabrik baterai, kegiatan pertanian, kendaraan bermotor, dan kegiatan limbah domestik yang dibuang melalui sungai. Kegiatan di Waduk Cirata (internal) yang memberikan kontribusi logam berat adalah kegiatan lalulintas kapal motor (perahu), pakan ikan, anti poling, sisa minyak dalam drum pelampung, dan buangan domestik dari penjaga KJA. Menurut BPWC (2009) material yang digunakan untuk KJA khususnya pelampung 28.824,93 unit (56,06%) dari besi dan 22.593,07 (43,94%) dari busa yang berpotensi sebagai sumber logam Pb. Akibat dari pencemaran logam berat ini menyebabkan perubahan struktur komunitas perairan, jaring makanan, tingkah laku biota, efek fisiologi, genetika, dan resistensi terhadap penyakit (Moriarty, 1987). Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan unsur yang berbahaya di permukaan bumi, sehingga kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah besar dunia saat ini. Permasalahan spesifik logam berat di lingkungan yaitu terakumulasinya logam berat yang menyebabkan tingkat toksisitas pada tanah, udara, dan air terus meningkat. Secara kimia sifat logam berat yaitu ionik, sehingga mudah mengendap pada sedimen dan mempunyai waktu tinggal (residence time) sampai ribuan tahun. Logam berat bisa juga terakumulasi dalam tubuh ikan melalui beberapa jalan yaitu: pernapasan (respirasi), saluran makanan (biomagnifikasi), dan melalui kulit (difusi) (Darmono, 2008). Dampak dari akumulasi logam berat pada ikan adalah menurunkan tingkat kematangan gonad, menutup membran insang sehingga ikan kekurangan oksigen, serta menghambat pertumbuhan. Faktor lain dari akumulasi logam berat pada organ tubuh ikan adalah ikan yang diproduksi menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Di dalam ekosistem perairan pada umumnya logam berat berikatan dalam senyawa kimia atau dalam bentuk logam ion, bergantung pada kompartemen
5 tempat logam tersebut berada. Tingkat kandungan logam berat pada setiap kompartemen sangat bervariasi, bergantung pada lokasi, jenis kompartemen, dan tingkat pencemarannya. Kompartemen sedimen menempati urutan pertama sebagai tempat akumulasi logam berat yang paling tinggi, sehingga kompartemen sedimen ini menjadi penting untuk diamati kontribusinya terhadap akumulasi pada biota air. Sedangkan air merupakan kompartemen kedua setelah sedimen. Menurut Darmono (2008) tingkat konsentrasi logam berat dalam lingkungan perairan dibedakan menurut tingkat pencemarannya, yaitu: polusi berat, polusi sedang, dan non polusi. Oleh karena itu, pencemaran logam berat dalam lingkungan perairan perlu dikaji dengan serius, karena efek dari toksisitas logam berat tersebut bisa mengganggu keseimbangan lingkungan hidup. Untuk mengukur pencemaran logam berat dalam lingkungan perairan, baik pengaruh jangka pendek maupun jangka panjang perlu diketahui dulu sifat dari siklus biogeokimiawi logam berat tersebut. Siklus perputaran logam berat dalam air bisa dipelajari dengan konsep pendekatan sistem kehidupan air yang terdiri dari sejumlah kompartemen dan peragaan alur dari perpindahan logam tersebut. Menurut Hart & Lake (1987) salah satu siklus biogeokimiawi logam berat dalam air yaitu kompartemen sedimen dasar perairan yang merupakan kompartemen terbesar dari logam berat pada setiap ekosistem perairan. Beberapa hasil penelitian tentang logam berat yang sering mencemari habitat perairan ialah Hg, Cr, Cd, As, dan Pb (Anonimus, 1976). Menurut Darmono (2001) yang termasuk dalam kelompok logam berat yang toksik adalah Pb, Cd, dan Hg. Sedangkan menurut Effendi (2003) urutan toksisitas logam berat di perairan adalah Hg, Cu, Cd, dan Zn. Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan, bahwa senyawa anorganik yang paling toksik dalam perairan adalah As, Ba, Cd, Cr, Hg, Se, dan Ag. Sanusi (1985) mengemukakan air limbah industri umumnya mengandung unsur logam berat beracun seperti Hg, Cd, Pb, Cu, Zn, dan Ni. Hasil kajian beberapa peneliti di Waduk Cirata melaporkan bahwa kondisi logam beratnya sudah kritis. Menurut Prihadi (2004), kandungan logam berat di Waduk Cirata sudah melampaui batas ambang yang diizinkan terutama Hg, Pb,
6 dan Zn 2+. Kadar Hg sebanyak 5 10 µg/l akan berdampak dalam meningkatkan protein plasma sehingga ikan sulit untuk menyerap protein dan akan menurunkan tingkat respirasinya sehingga pertambahan berat akan menurun, demikian juga dengan konsentrasi Pb sebesar 0,1 µg/l akan menurunkan laju tumbuh dan konsentrasi Zn 2+ maks 0,2 mg/l akan menurunkan growth rate ikan yang dipelihara (Jorgensen, 1989). Menurut hasil pemantauan kualitas air Waduk Cirata Desember 2002 yang dilakukan tim terpadu dari instansi tekait di wilayah Pemda Jawa Barat dan ITB dikemukakan bahwa konsentrasi beberapa jenis logam berat seperti: Pb (0,010-0,015 mg/l), Zn (0,019-0,038 mg/l), Cr (0,002-0,005 mg/l), Cu (0,0034-0,0068 mg/l), Cd (0,006 mg/l), As (0,025-0,038) mg/l), dan Hg (0,00012-0,00017 mg/l). Hasil pemantauan BPWC Triwulan IV (2007) terhadap konsentrasi beberapa logam berat di air Waduk Cirata yaitu: Fe (0,73 mg/l), Hg (0,13 μg/l), Cu (0,007 mg/l), Zn (0,008 mg/l). Menurut Amin (2008) jenis logam berat pada tubuh ikan mas yang dipelihara di Waduk Cirata, yaitu: Hg (0,00131 mg/kg), Pb (0,61 mg/kg), Cd (0,075 mg/kg), Zn (40,09 mg/kg), Cu (3,37 mg/kg), dan Ni (2,26 mg/kg). Hasil penelitian awal (Juni 2008) akumulasi logam berat pada sedimen menunjukkan nilai Hg (26,83 mg/kg), Pb (2,38 mg/kg), Cd (0,32 mg/kg), dan Fe (29,50 mg/kg), konsentrasi logam berat pada air yaitu: Hg (0,002 mg/l), Pb (0,11 mg/l), Cd (0,3 mg/l), dan Fe (0,02 mg/l), dan logam berat pada daging ikan patin sebagai berikut: (Pb (0,10 mg/kg), Hg (0,0001 mg/kg), Cd (0,26 mg/kg) dan Fe (0,52 mg/kg). Hal ini menunjukkan bahwa logam berat Hg, Pb, Cd, dan Fe meberikan dampak yang cukup besar terhadap pencemaran pada ikan patin maupun perairan Waduk Cirata itu sendiri. Sifat dari logam berat yaitu tidak bisa direduksi serta terakumulasi baik pada air, makhluk hidup, maupun sedimen. Sehingga jika terjadi umbalan (up welling) yaitu perbedaan suhu di permukaan dan dasar perairan, maka logam berat yang ada di dasar perairan akan teraduk dan terbawa ke permukaan perairan. Logam berat merupakan salah satu kontaminan yang terbawa oleh air dapat mengakibatkan kematian pada ikan yang dipelihara dan biota lainnya, serta memberikan andil dalam menimbulkan pencemaran. Penomena alam seperti ini
7 sering terjadi di Waduk Cirata sehingga mengakibatkan kematian ikan secara massal dan pada akhirnya mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Salah satu komoditas ikan yang dibudidayakan di Waduk Cirata adalah ikan patin (Pangasius djambal). Ikan ini mempunyai nilai ekonomis tinggi, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungan, relatif tahan terhadap penyakit, dan merupakan komoditas unggulan bagi produksi perikanan air tawar Indonesia. Menurut Cholik et al., (2005) ikan patin termasuk dalam kelompok karnivora tetapi dapat memakan biji-bijian dan kacang-kacangan, sehingga diduga tingkat respirasi bahan kimia diantaranya logam berat menjadi tinggi. Tingkat akumulasi logam berat oleh ikan patin sangat penting untuk diketahui karena berhubungan dengan keamanan pangan bagi manusia. 1.2. Pendekatan dan Perumusan Masalah Kegiatan budidaya KJA di Waduk Cirata sampai tahun 2009 sudah melebihi daya dukung peruntukannya. Sehingga kualitas perairan Waduk Cirata mengalami penurunan dan sudah ada berubahn tatanan lingkungan dari kondisi awal ke kondisi yang lebih buruk sebagai akibat masuknya bahan-bahan pencemar. Sumber pencemaran ini sebagian besar berasal dari pertambangan, peleburan logam, pencucian tambang emas, limbah rumah tangga, kegiatan pertanian, dan jenis industri lainnya. Cemaran yang masuk ke ekosistem perairan Waduk Cirata diketegorikan dalam 2 jenis yaitu: limbah anorganik dan organik. Salah satu cemaran limbah anorganik adalah logam berat baik yang masuk dalam kelompok toksik maupun esensial. Media akumulasi logam berat dalam ekosistem perairan yaitu pada sedimen dan air. Akumulasi logam berat dari tiap kompartemen tersebut akan terakumulasi oleh biota perairan diantaranya ikan patin melalui proses pernapasan (osmoregulasi), pencernaan (biomagnifikasi) dan difusi. Jika akumulasi logam berat oleh ikan patin melebihi standar keamanan pangan maka akan berdampak buruk bagi yang mengkonsumsinya serta dapat mengakibatkan kematian pada ikannya itu sendiri. Untuk itu, pengkajian akumulasi logam berat pada organ tubuh ikan patin yang dipelihara di Waduk
8 Cirata dan Laboratorium sangat perlu untuk dianalisis karena akan berhubungan dengan keamanan pangan. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan kandungan logam berat Hg, Pb, Cd, dan Fe dalam sedimen dan air Waduk Cirata, serta akumulasinya pada organ tubuh ikan patin (insang, hati, daging) dalam satu siklus budidaya. 2). Menentukan hubungan kandungan logam berat pada sedimen, air, dan organ tubuh ikan patin. 3). Menganalisis besarnya akumulasi logam berat pada ikan patin yang dipelihara pada akuarium yang diberi media sedimen dari Waduk Cirata dan tidak diberi sedimen. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kandungan logam berat di perairan Waduk Cirata, serta akumulasinya pada organ tubuh ikan patin (insang, hati, dan daging) dalam satu siklus budidaya. 1.4. Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : 1. Kandungan logam berat Hg, Pb, Cd, dan Fe pada sedimen dan air Waduk Cirata telah melewati ambang batas baku mutu peruntukannya. 2. Terdapatnya korelasi kandungan logam berat pada sedimen, air, dan organ tubuh ikan patin dalam satu siklus budidaya. 3. Kandungan logam berat Hg, Pb, Cd, dan Fe pada organ tubuh (insang, hati, dan daging) dalam satu siklus budidaya ikan patin akan melewati batas ambang beku mutu keamanan pangan. 4. Ikan yang dibudidayakan pada akuarium yang menggunakan sedimen kandungan logam beratnya akan tinggi.