BAB I PENDAHULUAN. kesakitan, infertilitas dan nyeri perut. Pengetahuan tentang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Adhesi intraperitoneum paska laparotomi merupakan masalah bagi dokter

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB I PENDAHULUAN. Adhesi peritoneal pasca operasi abdomen dan pelvis adalah konsekuensi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Adhesi Intra abdominal. pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang signifikan (Van goor.,2007).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. viserale, maupun antara peritoneum visceral dengan parietal. 1 Adhesi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. cepat. 15 Trauma atau cedera pada rongga perut akan memicu terbentuknya

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan adhesi (Fang, 2010; Binda,2006; Binda,2009) laparotomi berkisar antara 67% hingga 93%. Adhesi peritonium merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB 5 HASIL PENELITIAN

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

KADAR KORTISOL, TISSUE PLASMINOGEN ACTIVATOR (tpa) SERTA DERAJAT ADHESI PASCA LAPAROSKOPI DAN LAPAROTOMI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis

I. PENDAHULUAN. selain kelainan vaskular ( Junaidi, 2011). Terdapat dua macam stroke,

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG. Tumbuhnya insidensi lesi yang terjadi pada tulang. rawan ditandai oleh peningkatan tajam dari individu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

B A B PENDAHULUAN. seperti hernia inkarserata, masih merupakan perdebatan. Jaringan yang edema,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang. tidak dapat dipungkiri pada saat ini.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. seperti hernia inkarserata, masih merupakan perdebatan. Implantasi benda asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksius. yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan radang atau degenerasi pada jaringan yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

E. Keaslian Penelitian (Tabel.1) No Penulis Judul Hasil

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai perawatan jaringan periodontal dengan tujuan untuk menghilangkan poket

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu

SAMPUL DALAM... i. PRASYARAT GELAR... ii. LEMBAR PERSETUJUAN... iii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv. PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan

PENDAHULUAN MEMAR. vaskularisasijaringanyang terkena tumbukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas walaupun perkembangan terapi sudah maju. Laporan World Health

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus juga meningkatkan resiko persalinan prematur. KPD yang terjadi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB I PENDAHULUAN. yang diawali terjadinya ketuban pecah dini. Akan tetapi sulit menentukan

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID CARBOXYMETHYLCELLULOSE

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

PERAWATAN KOLOSTOMI Pengertian Jenis jenis kolostomi Pendidikan pada pasien

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox),

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlengketan langsung antara kedua organ. Berdasarkan etiologinya, adhesi

I. PENDAHULUAN. dunia, menurut Arthritis Research UK (2013) osteoartritis dapat mempengaruhi

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita *

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adhesi intraabdomen setelah operasi menyebabkan timbulnya beberapa hal seperti kesakitan, infertilitas dan nyeri perut. Pengetahuan tentang pathogenesis terjadinya adhesi intraabdomen dari segi seluler dan molekuler dapat membantu pencegahan secara efektif terjadinya adhesi intraabdomen. Setelah peritoneum mengalami trauma aktifitas fibrinolitik pada permukaan peritoneum menurun menyebabkan ekspresi dan sintesa dari beberapa mediator seluler dan adanya remodelling dari jaringan ikat (connective tissue). Adhesi intraabdomen setelah laparotomi menyebabkan angka kesakitan yang cukup tinggi (Van Goor, 2007). Pada beberapa studi terbaru dilaporkan 33% pasien yang menjalani operasi laparotomi datang kembali ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi. Adhesi intraabdomen congenital atau yang disebabkan oleh karena infeksi jarang menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Adhesi setelah laparotomi 40% menyebabkan terjadinya obstruksi usus dan 60-70% terjadi obstruksi pada usus halus. Adhesi intraabdomen juga menyebabkan waktu operasi yang lebih lama dan peningkatan angka komplikasi intraoperatif seperti: cedera usus, kandung seni, ureter dan perdarahan. Beberapa penyebab lain dari adhesi intraabdomen antara lain bacterial peritonitis, radioterapi, chemical peritonitis, benda asing, peritoneal dialisis yang berkepanjangan dan penyakit-penyakit infeksi pada rongga pelvis. Adhesi pada rongga pelvis dapat menyebabkan infertilitas dan nyeri (Rosental et al.,2004; Stout et al.,2005). 1

2 Nyeri unilateral pelvis pada umumnya berhubungan dengan adanya adhesi pada sisi yang sama. Beberapa studi melaporkan bahwa pembebasan adhesi saat operasi sangat bermanfaat untuk mengobati nyeri kronik pelvis. Pada penelitian clinical trial adhesiolysis dengan laparotomi dibandingkan dengan tanpa laparotomi didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan level nyeri pada 9-12 bulan setelah operasi (Peters et al.,2006). Hasil ini tidak menggembirakan oleh karena sudah diketahui bahwa laparotomi menyebabkan lebih banyak adhesi intraabdomen dibandingkan dengan laparoskopi. Sampai saat ini belum ada cara yang ideal untuk mencegah terjadinya adhesi intraabdomen pasca laparotomi. Tehnik operasi, handling jaringan yang baik, hemostasis yang baik, irigasi dengan cairan, pencegahan infeksi, pemakaian sarung tangan tanpa powder dan mengurangi trauma panas (thermal injury) adalah dikatakan sebagai usaha-usaha untuk mencegah terjadinya adhesi intraabdomen. Banyak jenis obat-obatan yang digunakan untuk pencegahan adhesi intraabdomen pasca operasi anatara lain: obat-obatan untuk mencegah inflamasi seperti steroid dan non steroid antiinflamasi, obat-obatan yang dapat mendegradasi fibrin seperti rekombinan tissue plasminogen activator dan pemakaian barrier untuk mencegah permukaan peritoneum dari perlekatan. Bahan yang umum dipakai sebagai barrier adhesi adalah Oxidized Regenerated Cellulosa (Interceed) dan Polytetrafluoroethylene (PTC), kedua bahan barrier tersebut terbukti aman dan efektif untuk mencegah adhesi intraabdomen (Fargular et al.,2000). Pada beberapa studi dilaporkan bahwa barrier tersebut bagus untuk mencegah terjadinya adhesi intraabdomen namun tidak dapat mengeleminasi secara komplit adhesi pada semua pasien. Pengetahuan

3 yang baik tentang pathogenesa terjadinya adhesi intraabdomen pada tingkat seluler dan molekuler sangat dibutuhkan untuk dapat mengetahui cara yang lebih efektif dalam mencegah terbentuknya adhesi intraabdomen pasca laparotomi. Membrana serosa peritoneum, pleura dan rongga pericardium berasal dari embryologi yang sama dan dilapisi oleh sel-sel mesothel. Sel mesothel tidak berhubungan dengan membrane basalis. Lapisan submesothelial mengandung Extracelluler Matrix (ECM). Apabila ada trauma yang ringan saja akan membuat sel mesothel segera menempel dengan membrane basalis. Inti dari sel mesothel adalah besar, menonjol dan mengisi hampir seluruh sitoplasma. Sel mesothel juga dapat mendistribusikan kromatin. Bila terjadi rangsangan secara invitro sel-sel mesothel dapat mensekresi Interleukin (IL)-1, 6, 8, tumor necrosing factor (TNF)-α dan transforming growth factor (TGF)-β. Sel mesothel dapat berperan dalam proses fibrinolitik dengan cara mengsekresi tissue plasminogen activator (TPA) dan plasminogen activator inhibitor (PAI). Disamping itu sel mesothel juga bisa mengekspresikan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan mensinthesa asam hialuronat dan prostaglandin. Leukosit peritoneum, sel mesothel dan makrofag merupakan komponen seluler penting dalam proses penyembuhan peritoneum. Penyembuhan peritoneum dimulai dengan adanya infiltrasi seluler dan respon pertumbuhan oleh sel mesothel yang ada di daerah peritoneum yang mengalami trauma. Dalam waktu satu sampai dengan dua hari setelah trauma sel yang pertama muncul adalah polymophonuklear (PMN), kemudian diikuti masuknya monosit yang kemudian berdeferensiasi menjadi makrofag dan menempel pada permukaan luka. Pada hari ke-3 sel mesothel mulai menutupi makrofag peritoneum yang ada dipermukaan

4 luka sehingga makrofag ini tertanam lebih dalam di dalam luka (Haney, 2000). Hari ke-4 sampai hari ke-7 sel-sel yang dominan pada peritoneum adalah sel mesothel. Hari ke-5 setelah trauma sel yang utama pada peritoneum adalah makrofag. Sel-sel mesothel mengalami proliferasi melalui dasar luka dan membentuk pulau-pulau sel. Pulau-pulau sel ini akhirnya menyebabkan penyembuhan luka peritoneum secara simultan dimana baik luka peritoneum yang besar maupun kecil membutuhkan waktu yang sama untuk proses penyembuhannya, berbeda dengan penyembuhan luka pada kulit yang mulai dari tepi-tepi luka itu sendiri. Trauma pada peritoneum menyebabkan iskemia pada peritoneum hal ini biasanya terjadi karena adanya gangguan aliran darah sebagai akibat dari tidak tumbuhnya pembuluh darah pada dasar luka atau karena gangguan peredaran darah oleh karena adanya sumbatan dari pada pembuluh darah itu sendiri. Adhesion bands biasanya muncul setelah operasi karena kedua permukaan peritoneum mengalami trauma. Setelah peritoneum mengalami trauma maka akan terjadi peningkatan permiabilitas pembuluh darah dan diikuti dengan eksudasi sel-sel radang yang akhirnya memacu terbentuknya matrik fibrin. Matrik fibrin ini secara perlahan-lahan menghilang dan diganti oleh jaringan fibroblast, makrofag dan sel giant. Matrik fibrin menghubungkan kedua permukaan peritoneum yang mengalami trauma dan membentuk fibrin band. Fibrin band dihancurkan oleh proses fibrinolisis menjadi molekul-molekul kecil yang disebut fibrin degradation products (FDP). Peritoneum yang iskemia juga menyebabkan menurunnya aktifitas fibrinolitik sehingga terbentuk fibrin band yang permanen. Fibrin band

5 ini lama kelamaan membentuk jaringan adhesi. Jaringan adhesi terdiri atas campuran makrofag, eosinophil, sel darah merah, debris, sel mast dan fibroblast. Fibrinolisis adalah suatu usaha untuk mengahancurkan bekuan fibrin dalam proses penyembuhan luka. Plasminogen dirubah menjadi plasmin oleh plasminogen activator (PA), plasminogen activator ada dua yaitu tissue plasminogen activator (t-pa) dan urikinase like plasminogen activator (u PA). Plaminogen Activator adalah serial protein yang merupakan family dari endoproteinase. Endoproteinase yang lain adalah cysteine proteinase, asparthyl proteinase dan metalloproteinase. Plasmin diproduksi oleh makrofag dan sel mesothel yang melapisi peritoneum. Fungsi utama plasmin adalah untuk mendegradasi fibrin. Sedangkan plasmin activator inhibitor-1 (PAI-1) dan PAI-2 berfungsi untuk menghambat proses fibrinolisis. Pada peritoneum yang meradang aktifitas dari PA sangat menurun, sedangkan aktifitas dari pada PAI sangat meningkat. Pada adhesi yang berat terjadi ekspresi berlebih dari PAI dan penurunan dari pada t-pa, hal ini tidak hanya terjadi pada daerah yang mengalami adhesi tetapi juga pada peritoneum yang berdekatan dengan daerah adhesi. Faktor lain yang juga berperan dalam pembentukan adhesi adalah interaksi antara sistem fibrinolisis dan proteinase yang lainnya, umumnya metalloproteinase (MMP) dan inhibitornya: tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP), dan ini berperan penting didalam proses remodelling extracellular matrix (ECM). Post surgical adhesion terjadi setelah trauma mesothelium yang biasanya rusak setelah tindakan manipulasi, kontak dengan instrument bedah, benda asing seperti benang, bedak sarung tangan dan diseksi

6 peritoneum yang massif. Adhesi muncul mulai hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah trauma. Penutupan dinding rongga abdomen setelah operasi terutama pada bagian peritoneum sangat bervariasai. Percobaan pada tikus yang dilakukan laparotomi, dimana setelah laparotomi dilakukan penjahitan peritoneum, kemudian setelah 14 hari dilakukan relaparotomi lagi pada sebagian hewan coba, ternyata tidak didapatkan perbedaan yang bermakna terjadinya adhesi intraabdomen antara peritoneum yang dijahit dan tidak dijahit. Pada umumnya setelah laparotomi para spesialis bedah umum dan kandungan melakukan penjahitan peritoneum dengan tujuan: (1) Mengembalikan posisi anatomi peritoneum untuk mempercepat penyembuhan, (2) Mempertahankan barier peritoneum untuk mencegah terjadinya infeksi, (3) Mencegah terjadinya wound herniation atau dehiscence, (4) Meminimalkan terjadinya adhesi intraabdomen (Dizerega,2004). Adapun cara penjahitan peritoneum ada bermacam-macam, dari segi tehnik penjahitan ada yang dijahit satu-satu (interupted) dan ada juga dengan jahitan jelujur (continous). Kemudian dari segi bahan benang: bahan natural (silk), bahan sintetis (multifilament; vicryl, monofilament: monocryl). Beberapa tahun terakhir bahan yang banyak dipilih untuk menjahit peritoneum adalah dari bahan yang sintetis yaitu multifilament. Penelitian pada tikus yang dilakukan laparotomim, kemudian satu kelompok tikus peritoneumnya dijahit dengan memakai benang monocryl dan satu kelompok lagi peritoneumnya tidak dijahit, setelah 40 hari dilakukan relaparotomi dan didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap terjadinya adhesi intraabdomen antara

7 peritoneum yang dijahit dengan yang tidak dijahit (Arildo de Toledo et al., 2008). Lapisan yang paling kuat dari dinding abdomen adalah fascia, lapisan inilah yang seharusnya dijahit dengan baik untuk mencegah terjadinya hernia sikatrikalis dikemudian hari, biasanya fasciaijahit dengan memakai benang polyglicolic acid. Sampai saat ini belum ada dilaporkan penjahitan peritoneum dengan menggunakan benang polyprofilene, sehingga penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang penjahitan fascia dengan benang polyglicolic acid dan polyprofilene dengan tujuan apakah penjahitan fascia dengan benang polyprofilene lebih baik hasilnya dibandingkan dengan benang polyglicolic acid dilihat dari ekspresi TGF-β, TNF-α, MMP-1 dan terjadinya adhesi intraabdomen. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah adhesi intraabdomen pada fascia abdominalis pasca laparotomi yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada yang dijahit dengan benang polyglicolic acid? 2. Apakah MMP-1 pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih tinggi dari pada yang dijahit dengan benang polyglicolic acid? 3. Apakah terjadinya infiltrasi Netrofil, Makrofag dan lymfosit pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyglicolic acid?

8 4. Apakah TGF-β pada fascia abdominalis pasca laparotomi yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyglicolic acid? 5. Apakah TNF-α pada fascia abdominalis pasca laparotomi yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang absobable? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan umum penelitian Untuk membuktikan bahwa penjahitan fascia abdominalis pasca laparotomi dengan benang polyprofilene lebih sedikit menimbulkan adhesi intrabdomen dari pada yang dijahit dengan benang polyglicolic acid. 1.3.2 Tujuan khusus penelitian 1.Untuk mengetahui adhesi intraabdomen pada fascia abdominalis pasca laparotomi yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah daripada dengan benang polyglicolic acid. 2.Untuk mengetahui kadar MMP-1 pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih tinggi dari pada dengan benang polyglicolic acid. 3.Untuk mengetahui terjadinya infiltrasi Netrofil, Makrofag dan lymfosit pada fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada fascia abdominalis dengan benang polyglicolic acid.

9 4.Untuk mengetahui kadar TGF-β pada fascia abdominalis pasca laparotomi yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada fascia abdominalis dengan benang polyglicolic acid. 5.Untuk mengetahui kadar TNF-α pada fascia abdominalis pasca laparotomi yang dijahit dengan benang polyprofilene lebih rendah dari pada fascia abdominalis dengan benang polyglicolic acid. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Bila terbukti bahwa penjahitan fascia abdominalis dengan benang polyprofilene lebih sedikit menimbulkan adhesi intrabdomen dibandingkan dengan fascia abdominalis yang dijahit dengan benang polyglicolic acid maka akan dapat menambah wawasan teori tentang mekanisme terjadinya adhesi intraabdomen pada tindakan laparotomi. 1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk melakukan tindakan pembedahan laparotomi, khususnya dalam proses penutupan dinding abdomen (fascia abdominalis) untuk mencegah terbentuknya adhesi intraabdomen pasca laparotomi.