BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB I PENDAHULUAN I.1

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH

BAB I PENDAHULUAN I.1

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

GROUND PENETRATING RADAR (GPR)

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

DAFTAR PUSTAKA. Anonim, 2013, "Modul Lidar untuk pemula, PT. ASI Pudjiastuti Geosurvey, Jakarta

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

JENIS CITRA

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

2 TINJAUAN PUSTAKA. Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV)

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1Open Pit Mining dan Batubara [en.wikipedia.org]

TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS)

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

Rancang Bangun Prototipe Alat Pemetaan Topografi Tanah Menggunakan Sensor IMU 10 DOF

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin modern belakangan ini membuat teknologi survei dan pemetaan akan kebutuhan tentang data kebumian yang dapat memberikan suatu informasi posisi dan ruang dari keadaan real world yang sangat teliti akan terus berkembang. Dalam penyediaan data geospasial, harus dapat memenuhi permintaan kebutuhan dan perubahan data kebumian, sehingga dalam hal ini sangat dibutuhkanlah suatu cara atau teknik pemetaan yang cepat dan efisien namun tidak mengabaikan aspek ketelitiannya. Maka dari itu, untuk mewujudkannya dibutuhkanlah suatu teknologi yang dapat menghasilkan data output yang memiliki keakuratan tinggi, cepat dan menjangkau daerah yang luas. Kebutuhan data yang selalu meningkat tidak dapat lepas dari besarnya peran data geospasial terhadap berbagai jenis pekerjaan dalam bidang survei dan pemetaan, seperti pengukuran ataupun pemetaan topografi, perencanaan wilayah, kehutanan, pertambangan, dan aplikasi lain-lainnya. Salah satu contoh teknologi survei dan pemetaan yang modern yaitu ALS (Airborne Laser Scanning). Dibandingkan dengan metode konvensional seperti pengukuran dengan menggunakan total station dan GPS yang telah sering digunakan. Teknologi ini menawarkan beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh metode konvensional. Dalam hal pengumpulan data permukaan bumi, teknologi ini memerlukan waktu untuk pengumpulan dan pengolahan data yang lebih singkat, keakuratan yang lebih tinggi, dan juga penggunaan biaya yang lebih murah untuk pemetaan daerah yang luas. Apabila dibandingkan dengan metode pengukuran teristris dengan menggunakan total station metode ini lebih memberikan banyak keuntungan (Lohani 1996). Namun, hasil yang didapat dari pengukuran ALS ini tidak memberikan tekstur visual kenampakan asli dari obyek yang diakuisisi yaitu hanya

berupa kumpulan sebaran titik-titik yang memiliki koordinat, sehingga tidak memberikan gambaran permukaan bumi dengan baik (Lohani, 1996). Pemotretan udara bersamaan dengan akuisisi data ALS dapat digunakan untuk permodelan gambaran permukaan bumi. Proses pemotretan udara berlangsung beriringan dengan proses akuisisi data oleh ALS (Siribounma, 2005). Dengan kata lain pada saat ALS melakukan scanning, secara bersamaan kamera berada di satu wahana dengan ALS juga melakukan pemotretan. Hasil dari pemotretan udara yang berupa kumpulan foto-foto kemudian dibuat menjadi ortofoto untuk ditumpang tindihkan dengan hasil ukuran data ALS. Airborne Laser Scanning (ALS) merupakan teknologi penginderaan jauh aktif yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan informasi spasial objek dalam bentuk data point cloud 3D (Alsubaie dkk., 2012 dalam Subakti, 2015). Klasifikasi data LIDAR merupakan langkah penting untuk pengolahan fitur berupa ground dan non ground point. Klasifikansi point cloud kedalam layer gound dan non ground point penting dilakukan untuk memperoleh informasi spasial yang berguna untuk rekonstruksi model kota 3D (Changa dkk., 2008 dalam Subakti, 2015). Model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan (terrain) dan objek yang terdapat di wilayah kota (Sai, 2011). Model 3D memiliki tingkat detail informasi yang beragam bergantung pada jenis informasi dan detail objek yang akan direpresentasikan (OGC, 2012). Dalam melakukan representasi model 3D terdapat tingkatan kedetailan atau dikenal sebagai levels of detail (LOD) (Gröger dkk., 2008). Terdapat lima tingkatan LOD, di mana setiap tingkatan LOD akan memberikan informasi lebih detail (OGC, 2012). LOD0 merupakan representasi dua setengah dimensi dari digital terrain model (DTM), LOD1 adalah model blok tanpa struktur atap, LOD2 bangunan 3D memiliki struktur atap, LOD3 menunjukkan model arsitektur dengan lebih rinci dan struktur atap, pintu, jendela dan LOD4 melengkapi dari model LOD3 dengan menambahkan struktur interior seperti kamar, tangga dan furniture (Kolbe, 2009 dalam Subakti, 2015). Data LIDAR dapat digunakan untuk membuat model kota 3D dalam LOD1, dimana informasi 3D yang berkaitan dengan digital terain model (DTM) dan model bangunan. Model kota 3D city modelling hasil pengolahan data LIDAR dapat

digunakan dalam pembuatan model kota 3D city modelling (Malambo dan Hahn, 2010). Pada proyek ini diharapkan mampu memecahkan masalah bagaimana permodelan kota 3D dengan menggunakan data hasil akuisisi dan mempertimbangkan kenampakan obyek dari foto. Keseluruhan proses pemodelan akan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) Microstation v8i untuk pembuatan model tiga dimensi dari hasil pemotretan udara dan Lidar. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup dari kegiatan merupakan sebagai acuan kerja dan batasan yang akan dilaksanakan pada proyek ini. Berikut lingkup kegiatan dalam proyek ini : 1. Data yang digunakan untuk pembuatan model kota 3D ini hasil pengukuran Lidar dan foto udara tahun 2012. 2. Pengolahan data mentah Lidar hingga menjadi data DEM tidak termasuk menjadi cakupan proyek ini. I.3. Tujuan Proyek ini bertujuan untuk membuat model kota 3D yang dihasilkan dari data foto udara dan Lidar. I.4. Manfaat Manfaat dari proyek ini adalah untuk mengintegrasi data foto udara dengan data Lidar dalam pembentukan model kota 3D. I.5. Landasan Teori I.5.1. Lidar (Light detecting and ranging) LIDAR (Light Detection and Ranging) adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakan sinar laser yang dipasang pada suatu pesawat udara. Metode untuk menentukan jarak suatu obyek adalah dengan menggunakan pulsa laser. Laser didapatkan dengan melewatkan sinar dengan frekuensi tertentu ke sebuah prisma sehingga sumber cahaya yang relative lemah dapat menempuh jarak yang jauh dengan sedikit reduksi

(Sutanta, 2002). Laser tersebut didapatkan dengan melewatkan sinar dengan frekuensi tertentu ke sebuah prisma, ilustrasi tentang prinsip teknologi ALS dapat dilihat pada gambar 1.1. Seperti teknologi radar, yang menggunakan gelombang radio, jarak menuju obyek ditentukan dengan mengukur selang waktu antara transmisi pulsa dan sinyal yang dipancarkan. Suatu panjang gelombang cahaya di mulai dari sekitar 1 mm untuk inframerah jauh, dan sekitar 10 nm untuk ultraviolet. Lidar beroperasi pada inframerah dekat dengan memancarkan atau menghamburkan pulsa laser pada objek yang diindra (Uddin, 2002). Lidar merupakan teknologi baru dalam teknik survei dan pemetaan dengan menembakan sinar laser yang memanfaatkan suatu emisi gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometrik tiap titik laser (Harnanto, 2012). Point cloud merupakan titik-titik yang memiliki koordinat tiga dimensi yang berasal dari multi return sinyal dari ALS pada suatu obyek yang kemudian dapat dimodelkan secara tiga dimensi. Rentang atau jarak antara scanner ke target dan informasi posisi dan orientasi yang diperoleh dari Global Positioning System (GPS) dan Inertial Measurenment Unit (IMU) dapat menetukan suatu target dan lokasi dengan memiliki akurasi yang sangat tinggi dalam ruang tiga dimensi (Liu, et al, 2007).

Gambar I.1. Prinsip teknologi Lidar (Lohani, 1996) I.5.1.1. Prisip Kerja Lidar. Prinsip kerja Lidar mirip dengan alat Electronic Distance Measurement (EDM), yaitu sinar laser (pulsa atau suatu gelombang yang kontinyu) dilepaskan dari pemancar dan energi pantulannya ditangkap kembali oleh sensor penerima. Dengan didasarkan pada waktu perjalanan sinar laser dari saat dipancarkan dan diterima kembali oleh reflektor maka dapat ditentukan jarak antara sensor dengan objek yang memantulkan sinar laser tersebut, seperti yang di ilustrasikan pada gambar I.2. Gambar I.2. Prinsip kerja Lidar (Lohani, 1996) Prinsip secara umum di mana suatu sensor dari ALS memancarkan sinar laser (pulsa atau suatu gelombang yang kontinu) ke permukaan bumi oleh transmitter,

kemudian pantulannya ditangkap kembali oleh sensor penerima. Pantulan dari objek akan direkam oleh receiver sebagai data jarak. Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu (t L ) diukur maka jarak antara sensor dengan obyek dapat diukur dengan persamaan berikut ini (Wehr, 2009). R = c/ 2. t L (I.1) Keterangan : R = Jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m) c = Konstanta kecepatan cahaya (3.10 8 m/s) t L = Travelling Time (ns) Karena jarak yang harus dilewati oleh sinar laser sebanyak dua kali, yaitu jarak dari sensor menuju ke target dan dan kembali lagi ke sensor, sehingga faktor pembagi dua harus dimasukan. I.5.1.2. Komponen Lidar. ALS merupakan suatu sistem terintegrasi dari beberapa komponen yang bekerja secara bersama-sama. Komponen-komponen ALS tersebut diantaranya adalah sensor laser, Global Positioning System (GPS), dan Inertial Navigation System (INS). (Liu, 2010 dalam Octariady, 2013). 1. Aerial Platform. Sistem ALS harus dipasangkan pada wahana pesawat survei atau helikopter pada saat akuisisi data dalam kegiatan survei. Pusat dari koordinat platform biasanya terletak pada IMU. 2. Laser Scanner Unit. Sensor Lidar berfungsi untuk memancarkan sinar laser ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek. Lidar melakukan penyiaman dengan pola penyiaman tertentu, seperti yang di tunjukkan pada gambar I.3 (Liu, 2010 dalam Octariady, 2013).

(a) Zig-zag pattern (b) Parallel line patern (c) Elliptical pattern h 1Gambar I.3. Macam-macam pola penyiaman ALS (Lohani, 1996) Gelombang laser yang dipancarkan oleh sensor Lidar terdiri atas dua bagian, yaitu gelombang hijau dan gelombang inframerah. Gelombang hijau berfungsi sebagai gelombang penetrasi jika suatu sinar laser mengenai daerah perairan dan untuk gelombang inframerah berfungsi untuk mengukur data ketinggian permukaan bumi. Kekuatan dari sensor LIDAR berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu : kekuatan laser yang dihasilkan, cakupan pancaran sinar gelombang laser, dan jumlah sinar laser yang dipancarkan tiap detiknya. Faktor ini sangat mempengaruhi kualitas data yang dihasilkan oleh sensor LIDAR. Secara umum sistem Lidar wahana udara merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) yang secara jelas dengan mengintegrasikan DGPS (Differential Global Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit (Wehr dan Lohr, 1999). Laser dari sensor akan mengukur jarak ke permukaan tanah atau objek dan menghasilkan posisi 3 Dimensi bila dikombinasikan dengan posisi dan orientasi dari sensor. 3. Global Positioning System. Dalam system LIDAR, GPS dipakai sebagai system penentuan posisi tiga dimensi secara teliti. Penentuan posisi pusat proyeksi LIDAR dapat dilakukan secara differensial. Penentuan posisi secara differensial dapat digunakan untuk penentuan posisi obyek-obyek yang diam

maupun bergerak. Prinsip pentuan posisi secara differensial (Abidin, 2007), adalah: a. Memerlukan minimal 2 buah receiver,satu ditempatkan pada titik yang telah diketahui koordinatnya (monitor station). b. Posisi titik ditentukan relatif terhadap monitor station c. Efektivitas dari differencing proces sangat tergantung pada jarak antara monitor station dengan titik yang akan ditentukan posisinya (semakin pendek semakin efektif). d. Titik yang ditentukan posisinya selalu kinematik. Pada sistem Lidar ini GPS yang digunakan dalam suatu pengukuran ada dua jenis, yaitu GPS yang dipasang di titik referensi sebagai base station, dan GPS yang ditempatkan pada tubuh pesawat sebagai rover. GPS yang ditempatkan pada titik referensi ini harus diaktifkan pada saat pesawat mulai lepas landas hingga pesawat mendarat agar dapat merekam posisi lintasan pesawat dalam pengambilan data selama penerbangan.data GPS yang telah dihasilkan kemudian diolah secara post processing dan kemudian digabungkan dengan data IMU sehingga diperoleh koordinat yang terdefenisi secara geografis. GPS ini digunakan sebagai alat pengukur posisi yang memiliki tingkat kestabilan yang baik untuk pengamatan dalam jangka waktu yang cukup lama. 4. Inertial Navigation System. Dengan digunakannya pesawat sebagai wahana untuk meletakkan peralatan LIDAR, maka terdapat faktor-faktor yang diakibatkan oleh pergerakan pesawat yang akan mempengaruhi hasil dari suatu pengukuran. Agar didapat hasil pengukuran yang baik dengan tingkat kesalahan sekecil mungkin, maka pada pesawat udara diberi alat untuk merekam posisi pesawat saat melakukan scanning area, alat ini dinamakan Inertial Navigation System. Alat ini akan merekam arah pergerakan dan rotasi dari pesawat. INS akan menghasilkan nilai dari 3 sumbu utama, yaitu sumbu: X (roll ), Y ( pitch), dan Z ( yaw atau heading). Sistem INS ini akan berpengaruh dalam penentuan orientasi 3D setiap pusat proyeksi LIDAR.

Dalam komponen ini juga akan menentukan perhitungan orientasi 3D posisi tiap titik terhadap kesalahan roll, pitch, dan yaw (heading) pada tiap posisi Lidar yang berdasarkan grafitasi lokal dan utara sebenarnya. Sistem referensi INS menggunakan kaedah tangan kanan. Dimana sumbu X searah dengan pergerakan pesawat dan sumbu Y searah dengan sayap kanan pesawat (Harnanto, 2012). Pada Gambar I.3 adalah ilustrasi hubungan antara komponen-komponen antara INS, GPS, Scanner dan platform tersebut : h 2Gambar I.4. Sistem koordinat Lidar (Habib, 2008) Pada gambar 1.4 di jelaskan antara hubungan antara IMU/INS, GPS dan laser scanner serta sistem koordinat tanah diwujudkan dalam persamaan (I.2) berikut ini. = + R yaw, pitch, roll + R yaw, pitch, roll R ω, φ, κ R αβ [ ] (I.2)

Keterangan: R yaw, pitch, roll R ω, φ, κ R αβ : posisi titik objek : vektor antara origin di tanah dengan sistem koordinat IMU : bore-sighting offset : jarak dari laser scanner ketitik obyek : matrik rotasi hubungan sistem koordinat tanah dan IMU : matrik (angular bore-sighting) : matrik rotasi hubungan laser unit dan sistem koordinat laser beam dengan α dan β merupakan mirror scan angle. Koordinat pada setiap titik obyek diperoleh dari pengukuran jarak oleh laser scanner itu sendiri yang merupakan suatu fungsi persamaan jarak, pengukuran GPS, pengukuran IMU, dan parameter kalibrasi. I.5.1.3. Karakteristik Point Cloud. Point cloud merupakan hasil dari pengukuran Lidar dan dapat di definisikan menjadi dua bagian yaitu ground dan non ground feature. Untuk titik ground dapat menampilkan tanah pada suatu daerah. Titik non-ground merupakan hasil dari pantulan sinar laser yang mengenai suatu obyek sebelum laser sampai pada permukaan. Obyek yang berada di atas terain dapat terbentuk secara alamiah ataupun struktur buatan dari manusia. Dapat di contohkan dalam fitur non-ground seperti bangunan, pohon semak belukar, dan jembatan. Menurut Harnanto, (2012), dalam suatu kasus tertentu ada beberapa bentuk permukaan yang sulit untuk diklasifikasikan sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan. Seperti untuk mengidentifikasikan jurang yang memiliki bentuk topografi yang ekstrim dan sulit untuk mengindentifikasi suatu tanggul yang berdekatan dengan bangunan. Dalam kenyataannya suvei dengan menggunakan Lidar data yang diperoleh banyak dari point cloud yang berasal dari bangunan, vegetasi dan buatan manusia. Klasifikasi dpat menunjukan suatu titik yang dikelompokan ke dalam layer layer yang memiliki kesamaan karakteristik. Dapat di contohkan yaitu klasifikasi penyebaran titik ke dalam vegetasi, bangunan atau ground class yang dimana untuk setiap kelas dapat menunjukan suatu informasi alamiah. (Harnanto, 2012)

I.5.2. Pulse Rates dan Return I.5.2.1. Pulsa rates. Gelombang elektromagnetik NIR dalam bentuk laser ditembakkan oleh sensor dan ditangkap oleh mirror yang berotasi dengan sudut tertentu dan terukur. Pergerakan mirror ini sangat teliti dan terukur sehingga posisi setiap pulse yang ditembakkan akan terukur sudutnya dengan kemampuan alat Lidar dengan 500 khz, artinya dalam 1 detik sensor akan menembakkan pulse sebanyak 500.000. Setiap masing-masing pulse yang ditembakkan itu akan digerakkan oleh mirror sehingga setiap pulse akan datang dari sudut yang berbeda sewaktu mengenai obyek di permukaan tanah. Sudut pergerakan mirror tercatat oleh recorder alat Lidar. Bentuk foot print (laser yang mengenai obyek di permukaan bumi) tergantung dengan arah scanning mirrornya. Arah scanning mirror yang berbeda, akan memberi bentuk arah foot print yang berbeda Hal ini akan mempengaruhi kemampuan laser untuk penetrasi ke permukaan bumi. Dengan kemampuan ALS 70 CM untuk double scan rate, maka bentuk jalur scanning di permukaan tanah akan seperti pada gambar I.5 (Anonim, 2013). Gambar I.5 Pola scanning dengan double scan pada ALS 70CM (Anonim, 2013)

I.5.2.2. Pulsa return. Pulse yang ditembakkan dari sensor ke permukaan bumi dipantulkan kembali dan direkam oleh sensor. Pulse yang mengenai obyek akan mempunyai bentuk gelombang yang berbeda (discrete) dari gelombang asal. Setiap discrete gelombang ini akan dihitung waktu (T) untuk mengetahui posisi pada waktu keberapa gelombang mengalami discrete. Besar kecilnya discrete menandakan kuat lemahnya gelombang pantulan yang mengenai obyek. Kuat lemahnya pantulan menandakan jenis obyek, warna obyek dan juga jenis pantulan 1st, 2nd, atau last return. Semakin keras obyek (aspal, batu, dll) akan mempunyai pantulan yang kuat, semakin gelap warna obyek pantulan akan lemah, dan sedangkan benda yang mempunyai kadar kelembaban tinggi akan mempunyai pantulan yang lemah. Last return akan mempunyai pantulan yang lemah dibanding dengan 1st return, karena waktu perjalanan gelombang lebih lama. Pada ALS 70CM mempunyai kemampuan untuk menerima atau merekam semua pulse yang kembali, sehingga semakin banyak informasi yang bisa didapat (Anonim, 2013). Gambar I.6 Pulse return dan bentuk pulse yang mengenai obyek (Anonim, 2013)

I.5.3. Definisi DEM, DTM, dan DSM Terdapat banyak istilah yang memiliki pengertian hampir sama tentang model permukaan digital, yaitu Digital Elevation Model, Digital Height Model, Digital Surface Model, Digital Terrain Model, dan juga Digital Ground Model. Istilahistilah tersebut diartikan berbeda di setiap negara (Li dan Zhu, 2005). MTD (Digital Terrain Model) mempunyai arti representasi terain permukaan bumi dengan spasi grid seragam pada nilai z, dengan elevasi fitur topografi pada permukaan tanah yang mempunyai koordinat x, y, z dan breaklines yang mempunyai spasi koordinat tidak teratur yang secara karakteristik membentuk terin permukaan bumi sebenarnya (Istarno, 2014). Istilah DTM dengan DEM hampir sama yaitu representasi relief dari terain serta informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan manusia, namun DTM mencakup unsur unsur dengan elevasi yang signifikan dari fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point (DEM) dan hidrologic condition sehingga DTM mampu memodelkan relief secara lebih realistik atau sesuai dengan kenyataan (ASPRS, 2007 dalam Kartika, 2010 ). Breakline menggambarkan perubahan linier secara mendadak dari permukaan bumi. Dua bentuk paling umum breaklines adalah sebagai berikut (NDEP, 2004, dalam Harnanto, 2012). a. Soft breaklines. Memastikan bahwa nilai z berada disepanjang fitur yang linier seperti elevasi disepanjang pipa, tengah jalan atau drainase. Soft breaklines identik dengan 3-d breaklines karena digambarkan sebagai koordinat XYZ. b. Hard breaklines Mendefinisikan perubahan permukaan secara mendadak dalam permukaan yang halus, seperti pegunungan dan bangunan (building footprints). Meskipun sering digambarkan sebagai 3-D breaklines, dapat juga digambarkan sebagai 2-D breaklines, karena fitur bangunan biasanya digambarkan dengan koordinat XY. DTM dapat menyajikan bentuk relief permukaan bumi secara kontinyu dengan menggunakan model matematika yang mengacu kepada fungsi interpolasi. Fungsi ini

dalam pembentukan DTM berfungsi untuk menentukan nilai tinggi suatu titik berdasarkan titik yang saling berdekatan yang di ketahui tingginya ( Harnanto, 2012) h 3Gambar I.7. Gambaran DSM dan DTM (Anonim, 2013) DSM merupakan permukaan yang reflektif fitur tanah yang ditangkap oleh sensor, baik fitur alami ataupun fitur buatan manusia (NDEP, 2004 dalam Harnanto, 2012). Lidar first return merupakan pantulan laser pertama setelah mengenai suatu obyek yang direkam oleh sensor. DSM dapat memberikan suatu informasi bentuk dan macam fitur alami atau buatan yang berada di atas tanah. I.5.4. Ortofoto Ortofoto adalah foto yang dapat menyajikan suatu gambaran obyek pada suatu posisi ortografik yang benar yang dihasilkan dari foto persfektif melalui proses yang disebut rektifikasi diferensial (Wolf,1994 dalam Harnanto, 2012). Pertampalan kedepan antara dua foto yang berurutan adalah 60% ± 5%, sedangkan untuk pertampalan kesamping pada jalur terbang yang berdampingan yaitu 30% ± 5% untuk tinggi terbang lebih dari 1500 m dan 30% ± 10 % untuk tinggi terbang kurang dari 1500 m (Syaifudin, 2008 dalam Harnanto, 2012). Menghasilkan foto udara format medium dengan menggunakan sensor 60 megapiksel dengan ukuran piksel dan ukuran gambar 6 µm dan 8956 x 6708 piksel.

Gambar I.8. Kamera digital (Leica, 2013) Penggabungan dari dua buah foto ataupun lebih yang saling bertampalan akan menampilkan suatu gambar yang saling berkesinambungan pada suatu daerah yang dapat disebut mosaik foto udara. Untuk dapat membentuk suatu mosaik foto, tiap tiap foto udara harus berada pada suatu sistem koordinat yang sama. Menurut Wolf (1994), pada foto yang miring, pergeseran letak gambar oleh relief tergantung kepada tinggi terbang, jarak titik dari nadir, kelengkungan bumi dan ketinggian. Pergeseran letak oleh suatu variasi skala dan relief sembarang foto dapat dihilangkan dalam prosesnya sehingga skala menjadi seragam pada keseluruhan foto. Obyek pada foto dapat diamati secara kualitatif seperti karakteristik obyek (bentuk, tekstur, pola), tutupan lahan dan penggunaan lahan. Sedangkan secara kualitatif untuk mengetahui ukuran dan orientasi posisi dapat diperoleh dari posisi pada gambar. Ini dikarenakan pada tiap foto yang sudah dilakukan processing data memiliki informasi spasial (Harnanto, 2012). Lidar dilengkapi juga dengan kamera digital untuk memperoleh informasi data berupa foto. Gambar I.8 menampilkan kamera digital yang digunakan sebagai sensor untuk pengambilan data. I.5.5. Pemodelan Kota 3D Sebuah model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan bumi dan obyek yang ada di daerah perkotaan. Model kota 3D dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pemahaman mengenai keadaan sebenarnya dari kota. Dengan demikian model kota 3D dapat digunakan untuk beberapa keperluan diantara

yang berkaitan dengan manajemen dan perencanaan perkotaan, studi lingkungan dan manajemen bencana (Rodrígueza dkk., 2011). Hal ini dikarenakan pada model 3D ini dinilai lebih atraktif dan lebih informatif dalam memberikan informasi terutama informasi yang terkait dengan informasi geospasial bagi sebagian besar pengguna. Model 3D mampu merepresentasikan keadaan hampir sama di lapangan atau di dunia nyata (Real World). Komponen- komponen penyusun dari model terdiri dari koordinat X, Y, dan Z. Nilai Z memberikan nilai ketinggian bagi sebuah obyek. Model 3D terbentuk dari Triangulasi Irregular Network (TIN) yang saling berhubungan sehingga dapat diperoleh kerangka untuk membangun model 3D. Pada pelaksanaan pembuatan model tiga dimensi daerah perkotaan Makassar dan model situasinya berdasarkan Level of Detail (LoD) yang terdiri atas : 1. Level of Detail 00 2. Level of Detail 01 3. Level of Detail 02 4. Level of Detail 03 LoD adalah tahap-tahap dalam pembuatan model dan model situasi yang menunjukkan progress dari model 3D mengenai tingkat kedetilan obyek-obyek dan situasinya. Biljecki dan Stoter (2013) mengatakan bahwa LoD adalah sebuah konsep yang terdapat pada macam-macam disiplin ilmu yang terkait dengan komputer grafik, kartografi, dan desain sirkuit listrik. Bagi para pengguna sistem informasi geografis, level of detail lebih relevan pada permodelan kota (Biljecki dan Stoter, 2013). LoD 00 meliputi kegiatan dijitasi pada layar komputer secara langsung dan memberikan key dan value pada tiap-tiap obyek yang didijitasi. Dijitasi pada layar secara langsung ini dilakukan dengan perangkat lunak. Data ini masih berupa data dua dimensi sehingga data ini kemudian akan diperoses lebih lanjut agar menjadi data. Data merupakan data planimetris dari obyek bangunan yang tidak memiliki nilai ketinggian. Obyek-obyek bangunan yang masih berformat 2D ini kemudian diberi nilai ketinggian oleh pengguna sehingga akan nampak seperti bangunan yang ada di lapangan dan tidak lagi berbentuk planimetris.

LoD 01 meliputi kegiatan pembuatan model sehingga obyek-obyek yang sebelumnya memiliki format 2D menjadi obyek-obyek karena memiliki nilai tinggi. Data ini berupa blok-blok. Obyek-obyek bangunan sudah mulai menunjukkan ketinggian setelah diberi nilai tinggi. Pada tingkat level ini, tingkat kedetailan obyek hanya berupa blok-blok bangunan yang memiliki ketinggian dan belum sampai menunjukkan adanya kedetailan lain seperti bentuk atap, fasad. Contoh LoD 01 dapat dilihat pada gambar I.9. h 4Gambar I.9. Level of detail 01 (Biljecki, 2013) LoD 02 digunakan untuk menambah tingkat kedetailan pada obyek. Pada LoD 02 obyek bangunan sudah tampak adanya bentuk atap dan atap sudah tidak berbentuk datar. Contoh LOD 02 dapat dilihat pada gambar 1.10.

h 5Gambar I.10. Level of detail 02 (Biljecki, 2013) LoD 03 digunakan untuk membuat obyek bangunan 3D menjadi fasad, yaitu obyek bangunan telah menunjukkan sisi luar atau eksterior pada bagian depan, belakang, dan samping. Eksterior dapat ditunjukkan dengan adanya jendela, pintu, dll. Contoh LOD 3 dapat dilihat pada gambar I.11. h 6Gambar I.11 Level of detail 03 (Biljecki, 2013) Tujuan dari LoD 03 adalah untuk memberikan gambaran obyek lebih detail daripada LoD 02 dan LoD 01 yang hanya memberikan bentuk berupa data 2D pada LoD 01 dan berupa blok-blok bangunan pada LoD 02.

I.5.6. Foto Udara Format Medium Octariady (2013) menyatakan bahwa, kamera format menengah adalah kamera dengan format gambar yang biasanya berukuran sekitar 4.000 x 4.000 piksel = 16 megapiksel (Petrie, 2003). Sebagian besar frame kamera format medium yang sering digunakan untuk akuisisi data dari udara telah dimodifikasi terlebih dahulu, yang mana sebelumnya didasarkan pada film kamera kini diganti dengan digital back. Sangat sedikit frame kamera format menengah yang benar-benar dibuat untuk operasi foto udara (Petrie dan Walker, 2007 dalam Octariady, 2013). Ada dua jenis kamera format menengah, yang pertama yaitu kamera format menengah analog, dimana film digantikan oleh digital back. Contohnya yaitu digital back format menengah yang dikembangkan oleh Creo Inc. (Leaf Valeo 22), Imacon (Ixpress), Kodak (DCS Pro Back), MegaVision (S4), PhaseOne (H25, H20), SinarBron Imaging (Sinarback 54, 44) yang digunakan untuk memodifikasi kamera analog Contax, Hasselblad, LINHOF, Mamiya atau Rollei. Untuk ukuran cakupan secara keseluruhannya mulai dari 4000 x 4000 piksel hingga 5400 x 4100 piksel. Pada jenis ini, umumnya memiliki ukuran film atau frame sekitar 60 mm X 60 mm atau 60 mm X 70 mm dengan panjang fokus 55 mm (standar) dan 35 m (opsional). Tipe yang berikutnya adalah yang didesain seperti kamera digital. Dalam hal ini ukuran filmnya lebih kecil dari tipe analog, namun jenis inilah yang sering dipakai atau diintegrasikan dengan sistem Lidar (Cramer, 2004 dalam Octariady, 2013). Salah satu kamera format menengah yang digunakan adalah kamera Leica RCD 30 yaitu kamera format menegah yang terdiri satu kamera di dalam satu rangkaian sistem kamera. Berdasarkan ukuran sensornya kamera ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis kamera yakni ukuran sensor 80 megapiksel dengan ukuran piksel dan ukuran gambar sebesar 5.2 µm dan 10320 x 7752 piksel, ukuran sensor 60 megapiksel dengan ukuran piksel dan ukuran gambar 6 µm dan 8956 x 6708 piksel.