BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontak antara Cina dengan Nusantara sudah terjadi sejak berabad-abad lalu, dan Cina mengalami migrasi besar-besaran sekitar abad 16 (Purcell, 1997: 33 dalam Supardi, 2000: 6). Migrasi besar-besaran ini terjadi karena kerusuhan, kelaparan, dan keadaan yang sudah tidak kondusif di Cina. Kerja sama Cina dan Eropa pada awalnya cukup baik. Akan tetapi, sekitar tahun 1740 kedua pihak ini mengalami perselisihan. Pada tahun tersebut terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Cina di Batavia yang diakibatkan pertambahan jumlah penduduk yang pesat, bahan makanan yang kurang, serta pengangguran yang meningkat. Masalah tersebut menyebabkan orang-orang Cina berusaha keluar dari Batavia dan kebanyakan dari mereka melarikan dirinya ke Jawa, dan kota Surakarta adalah salah satunya. Awalnya, orang Cina datang ke Pulau Jawa untuk keperluan berdagang. Mereka datang dengan menggunakan kapal yang bergantung oleh adanya angin musim. Menurut Pratiwo (2010: 9-10), saat orang Cina datang ke Indonesia, mereka membawa porselin dan sutera yang akan ditukarkan dengan komoditas lokal, seperti beras dan hasil tani lainnya. Setelah urusan dagang mereka selesai, orang Cina akan menunggu angin musim (angin utara) untuk pulang ke tanah kelahiran mereka. Selama menunggu angin musim tiba, mereka akan menetap di 1
2 Jawa untuk sementara. Pada akhirnya tidak semua orang Cina kembali ke tanah kelahirannya, beberapa dari mereka memutuskan untuk tinggal secara permanen. Orang Cina yang masih menetap di Nusantara tetap mempertahankan tradisi dan kebiasaan mereka, misalnya upacara cap go me, qing ming, dan phe cun (Salmon dan Lombard, 2003: 87-90). Jumlah orang Cina yang ada di Nusantara semakin bertambah setiap waktunya dan terbentuklah pemukiman orang Cina, yang lebih dikenal dengan pecinan (Pratiwo, 2010: 9-10). Pemukiman Cina ini biasanya terdiri dari rumah penduduk Cina, pasar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, dan tempat ibadah yang biasa disebut kelenteng. Di Cina sendiri terdapat beberapa istilah asli untuk menyebut tempat ibadah tersebut, yang juga digunakan di Indonesia, yaitu bio atau miao. Berdasarkan leksikografis, kelenteng merupakan bangunan sakral yang digunakan sebagai tempat ibadah atau tempat pemujaan masyarakat etnis Cina. Istilah kelenteng hanya dapat dijumpai di Indonesia dan diidentikan dengan bunyi. Menurut Moerthiko (1980: 97) dalam Supardi (2000: 21), bunyi klinting-klinting pada genta kecil atau bunyi klonteng-klonteng pada genta besar menyebabkan bangunan suci tersebut dinamakan kelenteng. Penyebutan klinting-klinting atau klonteng-klonteng dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan onomatope, yang berarti tiruan bunyi. Suara tersebut terdengar pada saat umat sedang melakukan upacara sembahyang. Penamaan dari kelenteng biasanya berdasarkan dari dewa utama, nama tempat bangunan itu berdiri, atau komunitas
3 yang ada di tempat itu. Untuk bangunan kelenteng, letak yang sesuai adalah dekat dengan sumber air, bukit, gunung, atau lembah. Kelenteng Poo An Kiong merupakan salah satu kelenteng yang terdapat di Kota Solo, yang masih berdiri kokoh sampai sekarang. Kelenteng tersebut terletak di Jl. Komodor Yos Sudarso no. 122, Surakarta, yang berdiri pada tanggal 8 Agustus tahun 1828. Kelenteng Poo An Kiong berdiri pada tanah hibah yang diberikan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta. Pendirian kelenteng ini dipelopori oleh Tjan Kong Bok, yang kemudian diteruskan oleh Kapiten Kwee Tjien Gwan. Dewa utama pada Kelenteng Poo An Kiong adalah Kwee Sing Ong dengan gelar Kong Tek Tjoen Ong. Dewa ini dipercaya sebagai dewa pelindung umat manusia. Saat ini, Kelenteng Poo An Kiong masih digunakan untuk sembahyang secara rutin dengan menggunakan penanggalan lunar (Moerthiko, 1980: 230-231). Kelenteng Poo An Kiong mempunyai keunikan tersendiri, yaitu tidak adanya ruang terbuka. Ruang terbuka merupakan tempat yang berfungsi sebagai tempat sembahyang yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ruang terbuka ini biasanya merupakan ruang dengan penurunan tinggi lantai dan tidak beratap. Tidak adanya atap pada ruang terbuka mempunyai maksud agar doa yang disampaikan oleh para umat bisa langsung menuju kepada Tuhan. Pada Kelenteng Poo An Kiong ruang terbuka ini digantikan dengan ruang sembahyang yang mendekati bagian teras, sehingga mempunyai kesan sebagai ruang terbuka (Indartoro,1987:17-18). Orang Cina mempunyai kreativitas seni yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari arsitektur yang ada pada bangunan Cina. Arsitektur merupakan bagian dari
4 suatu bangunan dan memiliki fungsi sebagai prasarana upacara keagamaan. Bentuk arsitektur bangunan Cina, khususnya kelenteng tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Untuk membangun kelenteng orang Cina masih menggunakan feng shui, dengan harapan mereka akan berlimpah berkah. Penerapan feng shui pada kelenteng salah satunya dapat dilihat pada penetapan lokasi kelenteng yang berdekatan atau menghadap jalur air. Dalam khasus Kelenteng Poo An Kiong, bangunan ini berada di pinggir jalan raya jauh dari letak pecinan dan berada di jajaran ruko. Dahulu sebelum menjadi ruko seperti sekarang ini, Kelenteng Poo An Kiong letaknya dikelilingi olah aliran air, yang oleh masyarakat sekitar disebut Kali Larangan. Seiring dengan berjalannya waktu, aliran air ini ditutup dan dijadikan sebagai jalan umum. Telah diketahui bahwa orang-orang Cina yang datang ke Nusantara pada masa lampau tidak sepenuhnya meninggalkan budaya mereka. Mereka datang, menetap, dan membangun pemukiman yang di dalamnya terdapat kebudayaan yang berasal dari tanah kelahiran mereka yang diterapkan di Nusantara. Menurut Moedjiono (2011: 19), budaya Cina sangat berkaitan dengan simbolisme yang di dalamnya terdapat makna mengenai seluruh aspek kehidupan. Simbol ini dapat diwujudkan dalam simbol nonfisik dan simbol fisik. Simbol nonfisik bisa berupa tata cara dalam ritual atau upacara keagamaan, sedangkan simbol fisik dituangkan dalam ragam hias dan warna-warna dalam bangunan yang masing-masing mempunyai makna tersendiri. Arsitektur Cina tidak dapat dilepaskan dari warna-warna yang beragam. Warna-warna yang ada pada bangunan melambangkan keanekaragaman kehidupan manusia. Warna-warna
5 yang ada pada kelenteng ini adalah warna kuning, merah, hijau, emas, dan biru. Selain warna, komponen arsitektur yang tidak kalah penting adalah ragam hias atau biasa disebut juga ornamen. Ragam hias merupakan salah satu komponen dalam arsitektur yang mehiasi suatu bangunan. Menurut Ismayanto (2002: 12), ragam hias merupakan unsure-unsur yang digunakan untuk menambah keindahan suatu benda yang diterapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga terlihat lebih indah dan harmonis. Ragam hias memiliki dua fungsi, yaitu sebagai dekorasi dan sebagai lambang atau simbol. Ragam hias sebagai dekorasi berarti ragam hias tersebut hanya digunakan untuk memperindah suatu bangunan. Ragam hias dengan fungsi seperti ini tidak masalah apabila tidak ada dalam suat kelenteng, karena keberadaannya tidak mengganggu keseimbangan arsitektur kelenteng, misalnya relief cerita (Munandar, 1995: 1). Ragam hias sebagai lambang atau simbol berarti ragam hias tersebut memiliki makna atau arti tertentu. Biasanya ragam hias yang ada pada bangunan kelenteng melambangkan keselamatan, kemakmuran, dan kebesaran atau kebanggaan (Herman, 1991). Menurut Moedjiono (2011), ragam hiasan yang ada pada kelenteng dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu hewan (fauna), tumbuhan (flora), fenomena alam, legenda, dan geometri. Penelitian ini akan membahas variasi jenis, bentuk, dan makna ragam hias. Penelitian tentang hal ini penting karena melalui ragam hias pada kelenteng dapat diketahui ajaran dan konsep pemikiran masyarakat Cina pada waktu itu, hidup mereka selaras dengan alam dan tidak dapat dipisahkan dari roh leluhur mereka.
6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang menarik untuk diangkat pada penelitian ini adalah : 1. Apa sajakah variasi jenis dan bentuk ragam hias yang ada di Kelenteng Poo An Kiong? 2. Bagaimana makna yang terkandung dalam ragam hias di Kelenteng Poo An Kiong? 1.3 Tujuan Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan variasi dari ragam hias yang terdapat di Kelenteng Poo An Kiong. Selain itu, dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui konsep pemikiran masyarakat Cina yang direpresentasikan dalam ragam hias pada Kelenteng Poo An Kiong. 1.4 Tinjauan Pustaka Kelenteng Poo An Kiong pernah diteliti oleh Dyah Susilowati Pradnya Paramita pada tahun 2008. Judul penelitian tersebut adalah Konsep Kehidupan Pada Kelenteng Sam Kouw di Surakarta. Studi Kasus: Kelenteng T ien Kok Sie, Kelenteng Poo An Kiong dan Cetiya Ksiti Garbha. Penelitian ini membahas dan menjelaskan mengenai konsep kehidupan dalam tata ruang kelenteng Sam Kouw di Surakarta. Buku mengenai Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma juga diperlukan sebagai referensi. Buku ini disusun oleh Bidang Litbang Perhimpunan
7 Tempat Ibadat Tri Dharma pada tahun 2007. Pada buku ini dibahas mengenai ajaran Tri Dharma, upacara keagamaan, kelenteng, dan lambang-lambang dalam kelenteng. Pada buku Hastaleleka, terdapat artikel Desril Riva Shanti yang berjudul Sistem Kepercayaan Etnik Cina Berdasarkan Ornamen Klenteng Hok Tek Bio/ Vihara Dhanagun Bogor. Artikel ini menunjukkan keragaman ornamen pada Kelenteng Hok Tek Bio. Artikel ini juga menjelaskan arti yang terkandung pada ornamen yang ada pada kelenteng tersebut. Setiap kelenteng pasti memiliki patung dewa maupun lukisan para dewa sebagai ornamen. Patung maupun lukisan dewa satu dengan yang lain memiliki cerita atau sejarah yang berbeda-beda. Oleh karena itu buku mengenai Dewa- Dewi Kelenteng yang disusun oleh Ir. E. Setiawan digunakan sebagai referensi. Penelitian sebelumnya di kelenteng ini membahas mengenai konsep kehidupan melalui tata ruang kelenteng, sedangkan penelitian mengenai ragam hias belum pernah dilakukan pada Kelenteng Poo An Kiong. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk membahas mengenai ragam hias pada Kelenteng Poo An Kiong. Skripsi peneliti akan membahas tentang Variasi Jenis, Bentuk, dan Makna Ragam Hias Pada Klenteng Poo An Kiong, Surakarta, Jawa Tengah. 1.5 Metode Penelitian Metode merupakan bagian penting pada suatu penelitian, khususnya pada kegiatan penelitian di bidang ilmu arkeologi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat memberikan
8 gambaran yang ada pada objek yang diperoleh pada proses penelitian (Tanudirjo, 1989: 34). Model penalaran yang digunakan pada penelitian ini adalah penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan penalaran yang mengkaji fakta atau gejala khusus yang kemudian disimpulkan sebagai gejala yang mempunyai sifat umum. Beberapa tahap penelitian ini, adalah sebagai berikut. 1.5.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh data yang diperlukan dengan sebanyak-banyaknya, yang dapat diperoleh dari data lapangan dan studi pustaka, sebagai data utama dan wawancara sebagai data pendukung penelitian. a. Data lapangan diperoleh dengan cara mengamati objek secara langsung, yaitu pada bangunan Kelenteng Poo An Kiong. Observasi dilakukan pada seluruh ragam hias yang ada pada bangunan, yang meliputi: bagian atap kelenteng, bagian teras kelenteng, dan bagian ruang utama kelenteng. Selanjutnya, data di lapangan yang didapatkan didokumentasikan dalam bentuk foto, yang nantinya akan memperjelas objek yang akan dideskripsikan. Selain itu, fungsi lain dari pendokumentasian adalah sebagai bukti visual dalam penelitian ini. b. Studi pustaka digunakan untuk memperoleh data relevan yang dapat mendukung penelitian ini. Pustaka yang dimaksud berupa artikel mengenai Sejarah berdirinya Kelenteng Poo An Kiong, arsip yang berkaitan dengan Kelenteng Poo An Kiong, laporan penelitian mengenai Kelenteng Poo An Kiong, buku-buku yang berkaitan dengan arsitektur pada kelenteng dan
9 bangunan Cina, serta buku-buku yang berkaitan dengan ragam hias yang ada pada bangunan kelenteng. c. Wawancara dalam penelitian merupakan data pelengkap yang digunakan untuk membantu menafsirkan data yang diperoleh dari lapangan yang tidak didapatkan dalam studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan pemuka agama yang memiliki pengetahuan mengenai sejarah pembangunan Kelenteng Poo An Kiong dan juga kepada humas dari Kelenteng Poo An Kiong. 1.5.2 Analisis Data dan Pembahasan Analisis data dilakukan untuk mengolah data yang sudah didapatkan melalui observasi, studi pustaka, dan wawancara yang nantinya digunakan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Untuk menjawab bentuk dan variasi ragam hias yang ada di Kelenteng Poo An Kiong, dilakukan dengan mendeksripsikan semua ragam hias yang ada pada kelenteng, dengan membaginya sesuai dengan lokasinya, posisi, dan jenis. Bagian terakhir dari penelitian ini adalah mengungkapkan makna yang terkandung pada ragam hias yang terdapat Kelenteng Poo An Kiong. 1.5.3 Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan tahap terakhir yang dilakukan pada penelitian ini. Kesimpulan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Kesimpulan akan memaparkan mengenai variasi bentuk berdasarkan jenis ragam hias di Kelenteng Poo An Kiong, serta makna dari setiap ragam hias yang ada di Kelenteng Poo An Kiong.