BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang Undang No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. oleh penderita gangguan jiwa antara lain gangguan kognitif, gangguan proses pikir,

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat serius dan memprihatinkan. Kementerian kesehatan RI dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia memiliki tiga komponen utama sehingga disebut. makhluk yang utuh dan berbeda dengan mahkluk lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terbatas antara individu dengan lingkungannya (WHO, 2007). Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO, 2015), sekitar

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

PENGARUH PELATIHAN KADER TERHADAP KEMAMPUAN KADER MELAKUKAN PERAWATAN PASIEN GANGGUAN JIWA DIRUMAH

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American Nurses

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan

PENGARUH PELATIHAN KADER KESEHATAN JIWA TERHADAP PERSEPSI KADER DALAM MERAWAT ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang masih. banyak ditemukan di setiap negara. Salah satunya adalah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. mental dalam beberapa hal disebut perilaku abnormal (abnormal behavior). Hal

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendidikan, pekerjaan dan pergaulan (Keliat, 2006). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. melanjutkan kelangsungan hidupnya. Salah satu masalah kesehatan utama di dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut undang undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sosial, kesehatan jiwa maupun persepsi kesehatan umum (Chan et al, 2006 cit

BAB 1 PENDAHULUAN. melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak dari segi

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah kondisi maladaptif pada psikologis dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. signifikan dengan perubahan sosial yang cepat dan stres negatif yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbedaan

Tim Riset : Budi Anna Keliat Ni Made Riasmini Novy Helena C.D.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia hidup di lingkungan yang terus berubah, dan perubahan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan Nasional Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang. kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang kesehatan.

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang. Gangguan jiwa adalah sebuah penyakit dengan. manifestasi dan atau ketidakmampuan psikologis atau perilaku yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. kurang baik ataupun sakit. Kesehatan adalah kunci utama keadaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA SUPPORT SYSTEM KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. berpikir, gangguan perilaku, gangguan emosi dan gangguan persepsi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan laju modernisasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas di seluruh dunia (Prince et al, 2007). Meskipun penemuan terapi. mengakibatkan penderitaan yang besar pada individu,

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin,

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. (Stuart, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

KONSEP DASAR KEPERAWATAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006). pasien mulai mengalami skizofenia pada usia tahun.

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan kehidupan sehari-hari, hampir 1 % penduduk dunia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya distress ( tidak nyaman, tidak tentram dan rasa nyeri ), disabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai

STRATEGI DINAS KESEHATAN MEMPERKUAT KESEHATAN MENTAL MELALUI PELAYANAN PRIMER. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

64 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Syarniah 1, Akhmad Rizani 2, Elprida Sirait 3 ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satunya adalah masalah tentang kesehatan jiwa yang sering luput dari

BUKU PEGANGAN KADER KESEHATAN JIWA BUKU PEGANGAN KADER KESEHATAN JIWA NAMA KADER ALAMAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana. individu tidak mampu mencapai tujuan, putus asa, gelisah,

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (UU No. 18 tahun 2014). Tidak berkembangnya koping individu dengan baik dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa. Menurut Keliat, dkk, (2013:2), gangguan jiwa yaitu suatu perubahan yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, prilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan prilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia (UU No. 18 tahun 2014). Gangguan jiwa dibagi menjadi gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional. Gangguan jiwa berat ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi (Riskesdas, 2013). Data statistik WHO dalam Hawari (2009), menyebutkan jumlah dari penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 mencapai 450 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya sudah mengalami peningkatan. Menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat pertama dari seluruh negara di dunia dengan penderita gangguan jiwa terbanyak (Lestari dan Kartinah, 2012). 1

2 Berdasarkan data Riskesdas 2013 sebanyak 1.728 orang Indonesia mengalami gangguan jiwa berat dengan prevalensi gangguan jiwa berat adalah 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak terdapat pada DI Yogyakarta dan Aceh, disusul Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi Rumah Tangga (RT) yang pernah memasung Anggota Rumah Tangga (ART) gangguan jiwa berat sebesar 14,3%. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia adalah 6,0%. Provinsi tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data BPS (2010), Bali memiliki luas wilayah 5.636,66 km 2 dan jumlah penduduk sebesar 3.890.757 orang. Gangguan jiwa di Bali berdasarkan laporan data kesakitan jiwa Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 diklasifikasikan berdasarkan jenis penyakitnya yaitu gangguan mental organik, gangguan dan penggunaan NAPZA, skizofrenia dan gangguan psikotik lain, gangguan psikotik akut, bipolar, depresif, neurotik, retardasi mental, gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja, epilepsi, dan tindakan bunuh diri, diperoleh hasil data kesakitan jiwa yang dirujuk sebanyak 2810 jiwa, rawat jalan 1529 jiwa, pulang sebanyak 758 jiwa. Dengan total kasus lama sebanyak 5086 jiwa, dan kasus baru 3162 jiwa. Total jumlah gangguan jiwa yaitu 8248 jiwa (Dinkes. Prov. Bali, 2014). Menurut laporan Bali Post tanggal 20 September 2013, berdasarkan wawancara kepada Kabid Pelayanan Medik RSJ Provinsi Bali dr. I Wayan Sukarta, MPH, menilai jumlah pasien yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali, dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan gangguan jiwa masyarakat Bali meningkat. Beliau menjelaskan laporan data lima tahun terakhir, kunjungan pasien rawat jalan di RSJ Provinsi Bali terus meningkat cukup signifikan. Tercatat, pada tahun 2008 sebanyak 7.087 orang, tahun 2009 sebanyak 7.989, tahun 2010 sebanyak 829, 2011 sebanyak 15.943, 2012 sebanyak 19.923 orang. Sementara jumlah kunjungan pasien yang menjalani rawat inap pada tahun 2008 sebanyak 4.451, tahun 2009 sebanyak 4.640, tahun 2010 sebanyak 4.920, tahun 2011 sebanyak 5.234, dan tahun 2012

3 sebanyak 5.060 orang. Dari data tersebut terlihat jumlah penderita gangguan jiwa meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2015 menyatakan terdapat 740.602 jiwa penduduk di kota Denpasar. Terdapat 252 orang dengan gangguan jiwa yang datang berobat ke Puskesmas. Angka tertinggi terdapat pada wilayah kerja Puskesmas II Dentim dengan total jumlah penduduk 62.255 orang terdapat 59 (41,2%) ODGJ yang datang dan tercatat di Puskesmas. Sedangkan apabila menurut data Riskesdas 2013 dimana jumlah gangguan jiwa berat Provinsi Bali sebanyak 2,3% permil, antara jumlah penduduk dan jumlah ODGJ tersebut didapat estimasi ODGJ di wilayah Puskesmas II Dentim sebanyak 143 orang. Sehingga terdapat selisih 84 (58,8%) ODGJ di wilayah Puskesmas II Dentim belum ditemukan. Gangguan jiwa biasanya dapat disebabkan bukan karena faktor tunggal tetapi bisa dari badan (somatogenik), lingkungan sosial (sosiogenik), dari psikis (psikogenik), maupun kultural. Gejala gangguan jiwa meliputi gangguan penampilan dan perilaku, gangguan bicara dan bahasa, gangguan proses berpikir, sensorium dan fungsi kognitif, gangguan emosi/perasaan, gangguan persepsi, gangguan psikomotor, gangguan kemauan, gangguan kepribadian, dan gangguan pola hidup Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik (Maramis, 2009). Dewasa ini banyak persepsi yang salah atau mitos yang terkait mengenai gangguan jiwa. Berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Leis, dkk, (2011) yang berjudul Perceptions of Mental Health Services among Low-Income, Perinatal African-American Women penelitian ini mendapatkan hasil bahwa persepsi responden masih beranggapan bahwa pemberi pelayanan kesehatan mental seperti psikiatri, psikologis, pekerja sosial (kader) hanya berfokus pada psicotherapy medication, dan masih menunjukkan sikap yang emosional dan uncaring kepada pasien. Disamping itu responden juga beranggapan apabila

4 pemberi pelayanan kesehatan mental datang melakukan kunjungan rumah, semua masalah atau keluhan akan disamakan dan diberikan resep untuk datang ke pelayanan kesehatan. Stigma psikiatri di Indonesia beranggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh pengaruh jahat, roh halus, lemah iman dan guna-guna sehingga menyebabkan pasien dibawa berobat ke dukun dan paranormal, hal ini dipengaruhi karena kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai gangguan jiwa (Keliat,dkk, 2006). Masyarakat cenderung baru mendatangi pelayanan kesehatan atau kesehatan jiwa bila gangguan jiwa yang dihadapi oleh penderita sudah berat atau bahkan mengganggu orang lain (Directorate of Mental Health Care, 2006). Kurangnya pengetahuan dan kesalahan persepsi keluarga maupun masyarakat dapat mengakibatkan terlambatnya pemulihan dan meningkatnya resiko kekambuhan, sedangkan apabila terdapat pemahaman serta persepsi yang benar dari masyarakat akan muncul perlakuan yang tepat bagi pasien dengan gangguan jiwa (Keliat,dkk, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan strategi khusus untuk mengatasi serta mencegah terjadinya gangguan kesehatan jiwa masyarakat. Adapun upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa ada tiga, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Keliat,dkk, 2011). Menurut studi pendahuluan yang dilakukan oleh Marchira (2011) bagi negara berkembang seperti Indonesia dengan sumber daya kesehatan jiwa yang terbatas, hal yang paling realistis adalah mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer, contohnya puskesmas. Pencegahan primer dilakukan pada kelompok masyarakat yang sehat dimana pencegahan bertujuan untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa serta mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat. Metode yang sudah dilakukan dalam menangani pasien gangguan jiwa saat ini lebih kepada pemberian psikofarmaka dan penanganan secara psikologis. Penanganan dilakukan oleh dokter maupun perawat melalui pemberian terapi pada pasien. Pemberian pelayanan kesehatan bukan hanya terbatas pada pasien, tetapi

5 keluarga dan masyarakat gangguan jiwa pada pasien (Sulistiowati, 2012). juga sangat berperan dalam proses penyembuhan Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing (CMHN) pertama kali di Aceh (NAD). CMHN yang merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik, tsunami, gempa ketika terjadi bencana di Aceh. Program CMHN membentuk desa siaga sehat jiwa (DSSJ), dimana masyarakat didalamnya difokuskan untuk saling bekerja sama mengatasi masalah kesehatan jiwa sehingga masyarakat lebih siap dalam merawat ODGJ saat berada dirumah (Keliat,dkk, 2011). Pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran individu/masyarakat terhadap masalah kesehatan sehingga secara mandiri ia dapat memperbaiki kesehatannya (Laverack, 2006). Depkes RI (2010) menargetkan pada tahun 2015 sekitar 80% Desa dan Kelurahan yang ada di Indonesia telah menjadi desa dan kelurahan siaga aktif. Pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif dilaksanakan secara bertahap, dengan memperhatikan kriteria atau unsur-unsur yang harus dipenuhi. Salah satu unsur desa siaga aktif yaitu keberadaan kader pemberdayaan masyarakat/kader kesehatan desa dan kelurahan siaga aktif (Depkes RI, 2010). Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih oleh masyarakat, dapat bekerja secara sukarela. Dengan terbentuknya kader kesehatan, yang merupakan perpanjagan tangan dari petugas kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat (Arifin, 2012). Program Depkes RI tahun 2010 tersebut senada dengan program pengembangan DSSJ dimana menurut Keliat, dkk, (2011) desa harus memiliki kader sebagai perwujudan dari pelayanan kesehatan berkelanjutan, yaitu pendidikan kesehatan jiwa untuk masyarakat sehat, pendidikan kesehatan jiwa untuk resiko masalah

6 psikososial, resiko jiwa untuk mengalami gangguan jiwa, terapi aktivitas bagi pasien gangguan jiwa mandiri, rehabilitasi bagi pasien gangguan jiwa mandiri, askep bagi keluarga pasien gangguan jiwa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2010) dapat disimpulkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara keaktifan kader kesehatan dengan pengembangan program desa siaga. Kader dapat menyampaikan pesanpesan kepada masyarakat akan lebih mudah dan merupakan perwujudan dari pembangunan dalam bidang kesehatan. Untuk meningkatkan derajat kesehatan jiwa di komunitas juga perlu dibentuk kader kesehatan jiwa (keswa). Menurut Keliat pada tahun 2010 dalam penelitian (Pramujiwati, dkk, 2013) peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri. Kader juga mampu memberikan motivasi perawatan dan pengobatan untuk menurunkan tanda dan gejala harga diri rendah serta meningkatkan kemampuan positif pasien. Provinsi Bali jika dilihat dengan menggunakan data Riskesdas (2013), masih sekitar 2,3% permil penderita gangguan jiwa dimasyarakat yang belum teridentifikasi. Hal ini mungkin dapat disebabkan antara lain belum terdatanya pasien gangguan jiwa dimasyarakat karena belum pernah dirawat di RSJ atau keluarga yang menutupi pasien sakit. Hal ini bisa dikarenakan Bali belum memiliki kader keswa sehingga kasus angka kejadian gangguan jiwa dimasyarakat masih belum banyak ditemukan. Melalui kader keswa dimana tugas salah satunya adalah kunjungan rumah yang dapat membantu penemuan kasus baru. Dengan adanya kader keswa, maka masyarakat akan lebih terpapar mengenai kesehatan jiwa yang nantinya akan mempermudah proses penemuan kasus baru di masyarakat. Lebih jauh, ke depan kader kesehatan jiwa yang dibentuk itu akan berperan sebagai support system di masyarakat (Pramujiwati, dkk, 2013). Kader kesehatan jiwa mampu melaksanakan hal yang sederhana seperti, deteksi dini kasus gangguan jiwa, penggerakan keluarga sehat, resiko, dan sakit untuk ikut

7 penyuluhan kesehatan jiwa, penggerakan ODGJ untuk ikut rehabilitasi dan TAK, serta kunjungan rumah untuk pasien yang mandiri (Keliat, 2010). Kader kesehatan perlu dilatih dalam meningkatkan kemampuan kader agar dapat mengelola dan menjalankan pelayanan kesehatan khususnya dalam menyampaikan informasi dan pendidikan kesehatan secara langsung kepada masyarakat sekitar (Menkes, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sukiarko (2007) yang menyimpulkan bahwa pelatihan kader dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dalam kegiatan Posyandu. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Kusumawati dan Darnoto (2008) disimpulkan bahwa pelatihan kader dapat meningkatkan pengetahuan ketrampilan sekaligus dedikasi kader agar timbul kepercayaan diri untuk dapat melaksanakan tugas sebagai kader dalam melayani masyarakat baik di posyandu maupun saat melakukan kunjungan rumah. Mengingat masih terdapat stigma psikiatri dan persepsi masyarakat yang salah terhadap orang dengan gangguan jiwa, oleh karena itu menurut peneliti penting adanya peran serta masyarakat sebagai support system kesehatan jiwa di komunitas. Salah satu peran serta masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan jiwa adalah adalah dengan membentuk Kader Kesehatan Jiwa (Kader Keswa), yang diharapkan melalui kader dapat memberikan warna baru dimasyarakat tentang kesehatan jiwa. Saat ini Kader Keswa belum dibentuk di Provinsi Bali, disamping itu juga kasus gangguan jiwa di Kota Denpasar masih banyak yang belum ditemukan. Oleh karena itu peneliti menganggap metode penyelenggaraan pelatihan kader Keswa ini dianggap potensial penting untuk mengatasi masalah yang ada dan juga untuk mengetahui pengaruh pelatihan kader kesehatan jiwa terhadap persepsi kader dalam merawat orang dengan gangguan jiwa.

8 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah pelatihan kader kesehatan jiwa berpengaruh terhadap persepsi kader dalam merawat orang dengan gangguan jiwa? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan kader kesehatan jiwa terhadap persepsi kader dalam merawat orang dengan gangguan jiwa. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi persepsi kader kesehatan jiwa sebelum pelatihan dalam merawat orang dengan gangguan jiwa. b. Mengidentifikasi persepsi kader kesehatan jiwa sesudah pelatihan dalam merawat orang dengan gangguan jiwa. c. Menganalisis pengaruh pelatihan kader kesehatan jiwa terhadap persepsi kader dalam merawat orang dengan gangguan jiwa. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu bagi tenaga kesehatan terutama pada bidang komunitas dalam kegiatan di bidang pendidikan dan pelatihan serta pengabdian kepada masyarakat b. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan kerangka pemikiran pada penelitian yang akan datang untuk meneliti pengaruh pelatihan kader kesehatan jiwa terhadap persepsi kader dalam merawat orang dengan gangguan jiwa dengan menggunakan sampel yang lebih luas.

9 1.4.2 Manfaat Praktis a. Memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar dalam hal kegiatan pelatihan kader kesehatan jiwa terhadap persepsi kader dalam merawat orang dengan gangguan jiwa guna mewujudkan Desa Siaga Sehat Jiwa dengan aplikasi konsep CMHN. b. Dengan adanya pelatihan kader dan perubahan persepsi diharapkan kader yang paling dekat dengan masyarakat secara langsung mampu memberikan pengaruh kepada masyarakat sehingga mampu meluruskan persepsi masyarakat yang salah tentang gangguan jiwa.