BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LIMBAH PEMANENAN KAYU, FAKTOR EKSPLOITASI DAN KARBON TERSIMPAN PADA LIMBAH PEMANENAN KAYU DI IUPHHK-HA PT. INDEXIM UTAMA, KALIMANTAN TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PE ELITIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

POTENSI LIMBAH DAN TINGKAT EFEKTIVITAS PENEBANGAN POHON DI HUTAN DATARAN RENDAH TANAH KERING META FADINA PUTRI

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan bahan 3.3 Pengumpulan Data

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

II. TINJAUAN PUSTAKA

III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif karena penelitian ini hanya

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Eucalyptus grandis mempunyai sistematika sebagai berikut: : Eucalyptus grandis W. Hill ex Maiden

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat

Iklim Perubahan iklim

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan

Ciri Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Rawa Gambut Tropika. (Characteristics of Logging Waste in Tropical Peat Swamp Forest)

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

I. PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Oktober November 2014 di Desa Buana Sakti, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur.

Transkripsi:

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Indonesia memiliki berbagai tipe hutan, yaitu: Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan Pantai. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), Indonesia memiliki hutan hujan tropis seluas ± 89.000.000 ha dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Iklim selalu basah 2. Tanah kering dan berbagai macam jenis tanah 3. Topografi berbukit pada tanah dataran rendah (< 1000 m dpl) dan terdapat pada dataran tinggi sampai dengan ketinggian 4000 m dpl 4. Hutan hujan tropis dibedakan menurut ketinggiannya menjadi hutan hujan dataran rendah, hutan hujan sedang dan hutan hujan dataran tinggi. 2.2 Limbah Pemanenan Kayu 2.2.1 Pengertian Limbah Pemanenan Kayu Limbah adalah suatu zat yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang tidak bernilai ekonomis. Limbah pemanenan adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan akan tetapi terpaksa ditinggalkan di hutan (Sastrodimedjo & Simarmata 1981). Limbah pemanenan kayu adalah pohon atau bagian pohon yang tertinggal dan belum dimanfaatkan di areal tebangan yang berasal dari pohon yang ditebang dan pohon-pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan (Simarmata & Haryono 1986), berikut hasil volume dan jenis limbah berdasarkan sumbernya.

5 Tabel 1 Volume dan jenis limbah eksploitasi hutan berdasarkan sumbernya di HPH Padeco dan Bamasco Volume Jenis Limbah (m 3 /ha) Pohon yang Ditebang Pohon Rusak Akibat Total HPH Tunggak Batang Di atas Jumlah Penebangan Penyaradan limbah Bebas Bebas Cabang Cabang Padeco 5,49 3,57 3,92 13,48 8,14 0,80 22,41 Bamasco 3,48 2,42 2,16 8,18 6,30 1,00 15,46 Total 8,97 5,99 6,08 21,84 14,44 1,80 37,87 Rata-rata 4,49 2,99 3,04 10,82 7,22 0,90 18,94 Persentase limbah 44,23 27,69 28,69 57,12 38,13 4,75 100 Sumber: Simarmata dan Haryono (1986) Menurut Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), besarnya limbah yang ditinggalkan dari setiap pohon yang ditebang berdasarkan perhitungan pemanfaatan kayu sampai batas dahan pertama adalah 26 % sedangkan jika dihitung berdasarkan pemanfaatan kayu sampai batas diameter ujung 30 cm adalah 33,1 %. Selanjutnya kedua penulis tersebut mengemukakan bahwa dari setiap pohon yang ditebang, sebesar 71,5 % dari limbah yang terjadi ditinggalkan di areal tebangan dan sisanya sebesar 28,5 % berada di logyard atau logpond. Berdasarkan hasil penelitian Widiananto (1981) mengenai limbah tebangan di areal konsesi HPH PT. ITCI, Kalimantan Timur, diperoleh limbah tebangan sebesar 39,89 % dari total volume pohon. Limbah tebangan berupa batang sebesar 26,52 % dan limbah tebangan berupa cabang sebesar 13,37 %. 2.2.2 Klasifikasi Limbah Soewito (1980) menyatakan bahwa limbah yang terjadi di areal tebangan berasal dari: 1. Limbah dari pohon yang ditebang. Limbah dari pohon yang ditebang terjadi karena pengusaha hutan hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran (panjang dan diameter) dan kualitas. Bagian-bagian kayu yang cacat alami (berlubang, bengkok) dan pecah atau patah batang akibat benturan ketika roboh, ditinggalkan di dalam hutan.

6 2. Limbah akibat kerusakan tegakan tinggal. Penebangan dan pembuatan jalan sarad yang kurang hati-hati dan tidak berencana dapat menyebabkan pohon lain yang dipertahankan menjadi rusak, umumnya ialah patah tajuk, luka batang atau banir atau roboh. Sastrodimedjo dan Simarmata (1981) mengklasifikasi limbah berdasarkan tempat terjadinya, sebagai berikut: 1. Limbah yang terjadi di areal tebangan (cutting area), limbah tebangan ini dapat berupa kelebihan tunggak yang diizinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang, sisa cabang dan ranting. 2. Limbah yang tejadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang tidak memenuhi syarat baik kualitas maupun ukurannya. 3. Limbah yang terjadi di Tempat Penumpukan Kayu (TPK), umumnya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah, dan terserang jamur. Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan: 1. Bentuknya a. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan. b. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologis, dan lain-lain. c. Berupa sisa bagian pohon yakni dahan, ranting, maupun tunggak. d. Berupa sisa bagian produksi atau akibat proses produksi. 2. Pengerjaan kayunya a. Limbah pemanenan yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan kayu yang dapat berupa kayu-kayu yang tertinggal di hutan, TPn dan TPK. b. Limbah pengolahan kayu yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu seperti pabrik gergajian, plywood dan lain-lain. 3. Tempat terjadinya a. Limbah yang terjadi di tempat penebangan b. Limbah yang terjadi di tempat pengumpulan kayu (TPn) c. Limbah yang terjadi di tempat penimbunan kayu (TPK)

7 Limbah diklasifikasikan berdasarkan sumbernya untuk mengetahui dari bagian pohon yang mana limbah berasal, yaitu: klasifikasi berdasarkan sumber limbah itu sendiri dan terbatas pada areal tebangan. Sumber limbah berasal dari pohon yang ditebang, pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan, sedangkan limbah yang berasal dari pohon yang ditebang berasal dari tunggak, limbah batang bebas cabang, batang kayu di atas cabang pertama (Simarmata & Haryono 1986). 2.2.3 Batasan Limbah Sinaga et al. (1984) menyebutkan bahwa limbah pemanenan kayu meliputi: 1. Limbah tunggak di bagian atas batas yang diperkenankan. 2. Bagian-bagian dari kayu bulat yang pecah atau tercabut seratnya sampai batas cabang. Budiaman (2000) menyebutkan bahwa limbah pemanenan kayu adalah kayu bulat berupa bagian batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang, dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam. 2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama. 3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama. 4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas. 5. Potongan kecil adalah bagian batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis fisik lainnya yang mengurangi nilai ekonomis kayu.

8 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah Limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain topografi, kerapatan tegakan, keterampilan penebangan dan operator traktor serta kebutuhan kayu. Faktor alam tersebut sukar diatasi, walaupun dapat diatasi sudah tidak efisien lagi dengan biaya yang dikeluarkan (Simarmata & Haryono 1986). Timbulnya limbah juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasaran, jenis dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasarnya pada saat itu. Dengan demikian ukuran serta kualitas yang tidak memenuhi syarat pada saat itu akan menjadi limbah. Faktor penyebab limbah yang tidak dapat dikuasai adalah faktor alam, yaitu kayu tidak dapat dimanfaatkan karena letaknya tidak memungkinkan pemanenan secara ekonomis antara lain di dalam jurang, atau pada lereng-lereng yang curam, juga apabila pohon yang ditebang ternyata busuk, berlubang atau cacat (Soemitro 1980). Sastrodimejo dan Simarmata (1981) menyatakan bahwa limbah pemanenan kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut: 1. Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan. 2. Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang. Pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering. 3. Peralatan, pemilihan jenis dan kapasitas alat yang keliru dapat menyebabkan kayu tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya. 4. Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi. 5. Sistem upah yang menarik akan memberikan rangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan bersedia melaksanakan sesuai yang diharapkan. 6. Kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan. 7. Permintaan pasar

9 Simarmata (1985) secara umum menunjukkan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Faktor alam a. Jenis kayu b. Keadaan tanah dan topografi c. Kerapatan pohon atau tegakan d. Keadaan cuaca 2. Faktor manajemen dan pemasaran a. Teknik, alat dan pemasaran b. Harga kayu c. Bentuk, ukuran, dan kondisi kayu yang laku di pasar d. Jenis industri yang ada. Hasil penelitian Lim (1992) di IUPHHK PT Kayu Pasaguan menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara luas bidang dasar pohon yang ditebang dengan volume limbah yang terjadi, yang terdiri atas limbah tunggak, limbah batang bebas cabang, limbah batang bagian atas, limbah cabang, limbah kerusakan tegakan tinggal. Semakin besar luas bidang dasar pohon yang ditebang, maka semakin besar volume limbah yang dihasilkan. Penyebab-penyebab terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, sebagai berikut : 1. Secara alami, yaitu kayu ditinggalkan karena ada cacat alami sehingga tidak dapat dipasarkan pada saat ini, seperti kayu berlubang, busuk, dan gerowong. 2. Secara mekanis, yaitu kayu ditinggalkan karena ada kerusakan pada kayu akibat kegiatan pemanenan, seperti pecah, patah, dan lain-lain (Sianturi et al. 1984) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lempang et al. (1995) peubah yang berpengaruh nyata terhadap besarnya limbah pemanenan kayu yaitu panjang kayu di tempat penebangan, rata-rata diameter tebangan, volume kayu di tempat tebangan, dan panjang kayu di TPn. Menurut Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), terjadinya limbah tebangan yang cukup besar disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut: 1. Kesalahan dalam melaksanakan teknik penebangan.

10 Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang benar dapat menyebabkan bagian pangkal pohon tercabut, retak atau yang disebut barber chair, sehingga akan mengurangi batang yang seharusnya dapat dipakai. 2. Kesalahan dalam menentukan arah rebah. Dalam melaksanakan penebangan pada umumnya operator chainsaw belum memperhatikan arah rebah yang baik. Sering terjadi rebah ke arah jurang, menimpa batang lain, selokan, tunggak dan lain-lain, sehingga batang retak dan pecah. 3. Kesalahan dalam pemotongan batang. Karena diperkirakan tidak kuat disarad sekaligus, maka pohon-pohon tersebut sering kali dipotong menjadi beberapa batang. Pekerjaan demikian ini dikerjakan sendiri oleh penebang tanpa bantuan scaler, sehingga menimbulkan limbah. 4. Manajemen yang kurang baik. Sering terjadi ketidaklancaran hubungan antara kegiatan yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini kerjasama yang baik antara unit-unit kegiatan pemanenan akan menjamin lancarnya kayu sampai di logpond. Sehingga dapat menghindari terlalu lamanya kayu yang tertinggal di hutan atau logyard yang dapat memberikan peluang untuk terjadinya limbah karena penurunan kualita. 2.2.5 Upaya untuk Meminimalkan Besarnya Limbah Pemanenan Hutan Menurut Budiaman (2000) volume limbah kayu bulat dapat dikurangi apabila dilakukan perbaikan dalam teknik penebangan dan pembagian batang. Peningkatan keterampilan pekerja melalui latihan kerja yang diberikan dapat memperkecil jumlah limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan (Sinaga et al. 1984). Soewito (1980) mengemukakan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi limbah pemanenan kayu, sebagai berikut: 1. Mendirikan industri pengolahan hasil hutan yang memanfaatkan log berkualitas rendah. 2. Penyusunan pedoman pemanenan kayu.

11 3. Peningkatan kemampuan manajemen dan keterampilan pelaksana melalui pendidikan dan latihan. Untuk mengurangi limbah pemanenan kayu dapat di tempuh melalui dua pendekatan, sebagai berikut: 1. Kegiatan sebelum pemanenan kayu Dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penggunaan teknis dan peralatan pemanenan yang sesuai, dilaksanakannya peraturan TPTI dengan sungguhsungguh dapat mengurangi timbulnya limbah. 2. Kegiatan setelah pemanenan kayu Limbah yang terjadi, baik pada kegiatan penebangan maupun industri akan dapat dikurangi dengan adanya peningkatan pemanfaatannya (Sastrodimedjo & Simarmata 1981). Klassen (2006) menyebutkan contoh spesifik dari limbah kayu yang dapat dihindarkan sebagai berikut : 1. Tunggak yang terlalu tinggi Kelebihan tunggak adalah bentuk nyata limbah kayu yang dapat dan mudah dihindari melalui pengawasan tempat kegiatan penebangan. Penelitian menunjukkan, limbah ini mewakili 1-2 % dari seluruh limbah kayu yang dapat dihindari. 2. Pemotongan banir dan ujung puncak pohon yang tidak tepat Cara memotong kayu log dari pohon yang ditebang akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan limbah. Sering kali penebang memotong pohon jauh di atas banir dimana diameter pohonnya mulai mengecil. Lubang kecil pada banir tersebut yang mengakibatkan berkurangnya volume kayu berkualitas karena dipotong, padahal sebenarnya seluruh log bisa ditarik ke TPn. Limbah kayu yang berada pada kategori ini, mewakili 35-55 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari. 3. Meninggalkan pohon yang sudah di tebang dalam hutan Umumnya, kategori limbah kayu seperti ini merupakan 25-30 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari. 4. Mengenali pohon yang tidak ditebang

12 Menebang pohon yang mempunyai lubang sangat besar menjadi sangat tidak ekonomis untuk ditebang dan seharusnya dapat dihindari karena menyebabkan kerusakan yang tidak perlu pada pohon sekitarnya. Pohon berlubang juga memiliki nilai sebagai pohon bibit atau benih dan pada banyak kasus mempunyai fungsi ekologis dalam hutan. Penebang biasanya dapat menduga apakah suatu pohon berlubang dengan cara memukulkan parangnya pada pohon. Bila pohon dicurigai berlubang besar, penebang harus melakukan potongan secara vertikal untuk menentukan besarnya lubang. Bila ukuran lubang pada pohon tersebut melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, pohon tersebut tidak perlu ditebang. Menurut Thaib (1991) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya limbah pemanenan kayu, sebagai berikut: 1. Melakukan inventarisasi tegakan sebelum tebangan dengan teliti. 2. Membuat rencana operasional dilengkapi petunjuk teknis pelaksanaan pemanenan dengan memperhatikan kondisi areal setempat. 3. Peningkatan daya guna peralatan yang ada. 4. Melaksanakan penyempurnaan sistem pengupahan pada kegiatan pemanenan yang merangsang upaya penekanan kayu limbah pemanenan. 5. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan pada kegiatan pemanenan. 6. Meningkatkan keterampilan penebang berupa pelatihan menebang dan pembagian batang. 2.3 Faktor Eksploitasi Sianturi et al. (1984) mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfaatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah. Oleh karena itu persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan tersebut.

13 Dengan cara penetapan yang demikian maka kayu yang dimanfaatkan akan meningkat, yaitu dalam memanfaatkan kayu limbah yang selama ini umumnya ditinggalkan di hutan untuk menghindari royalti dari kayu tersebut. Faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama (Dulsalam & Simarmata 1985). Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan. Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi, sebagai berikut: 1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran. 2. Faktor teknis meliputi : a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan. b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran. c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat. Kelas diameter menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap besarnya faktor eksploitasi. Makin besar diameter batang maka semakin besar limbah pemanenan kayu, sehingga faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam & Simarmata 1985). Hubungan antara diameter setinggi dada dan panjang kayu bebas cabang dengan faktor eksploitasi di hutan alam Dipterokarpa Pulau Laut

14 merupakan fungsi kuadratik, dan berlaku bagi Unit Kegiatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Selatan. Besarnya faktor eksploitasi di hutan alam Pulau Laut yaitu 80% (Sianturi et al. 1984). Besarnya faktor eksploitasi rata-rata jenis Meranti di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur adalah 0,8. Faktor eksploitasi ini dipengaruhi oleh diameter batang, makin besar diameter batang makin besar faktor eksploitasi. Pada penelitian Lempang et al. (1995) besarnya faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,8. 2.4 Siklus Karbon Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO 2 di atmosfer dan CO 2 di lautan ke dalam bentuk organik maupun inorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil, alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO 2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO 2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC 2000 diacu dalam Novita 2010). Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 tera ton = 10 12 t = 10 18 g). Sumber terbesar lainnya terdapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomassa pohon, tumbuhan bawah, nekromassa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau 5% dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4 kali lebih banyak daripada yang disimpan dalam biomassa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO 2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO 2 per tahun 3,3 Gt (Hairiah et al. 2001). Kinderman et al. (1993) diacu dalam Novita (2009) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah,

15 ketersediaan kandungan hara dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah dan tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah). Hairiah et al. (2001) menyatakan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi CO 2 di atmosfer dari 285 ppmv (part per million on a volume basis) sebelum revolusi industri pada abad ke-19 hingga 336 ppmv di tahun 1998. Penyebab utama naiknya gas rumah kaca salah satunya adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama di negara-negara tropis. 2.5 Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk CO 2 apabila hutan tersebut dibakar. Whitmore (1985) menyatakan bahwa biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO 2 dari udara dan merubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih. Berdasarkan hasil penelitian Tresnawan dan Rosalina (2002), besarnya biomassa primer adalah 366,95 ton/ha terdiri dari 348,02 ton/ha biomassa pohon, 11,74 ton/ha nekromassa pohon, 0,83 ton/ha tumbuhan bawah, 5,35 ton/ha serasah

16 kasar dan 1,01 ton/ha serasah halus. Besarnya biomassa hutan bekas tebangan tahun 2000 adalah 348,14 ton/ha yang terdiri dari 221,39 ton/ha biomassa pohon, 119,13 ton/ha nekromassa pohon, 0,92 ton/ha tumbuhan bawah, 5,77 ton/ha serasah kasar dan 0,93 ton/ha serasah halus. Besarnya biomassa hutan bekas tebangan tahun 1998 adalah 312,37 ha/ton terdiri dari 189,26 ton/ha biomassa pohon, 116,68 ton/ha nekromassa pohon, 1,09 ton/ha tumbuhan bawah, 4,67 ton/ha serasah kasar, dan 0,67 ton/ha serasah halus. 2.6 Karbon Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak konsentrasi karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan (Whitmore 1985). Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa karbon merupakan unsur yang mempunyai porsi terbesar di dalam kayu jika dibandingkan dengan unsur lain dan karbon merupakan elemen yang dominan atas berat biomassa tanaman. Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa komponen karbon daratan menurut keberadaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Simpanan karbon di atas permukaan tanah meliputi : 1. Biomassa pohon. Biomassa pohon dapat dibedakan menjadi biomassa daun, ranting, kulit, cabang dan batang. 2. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput, dan gulma. 3. Nekromassa yaitu batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang. 4. Serasah yaitu bagian tanaman/tumbuhan yang gugur berupa daun dan ranting. Simpanan karbon di bawah permukaan tanah terdiri dari : 1. Biomassa akar. Pada tanah hutan biomassa akar lebih terkonsentrasi pada akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang memiliki daur hidup lebih pendek.

17 2. Bahan organik tanah. Bahan organik tanah meliputi sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi. Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi karena keragaman jenis vegetasi yang tinggi, tumbuhan bawah dan serasah di permukaan tanah yang banyak. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam biomassa berupa daun, batang, ranting, cabang, bunga dan buah. Menurut Junaedi (2007), hutan tropis dataran rendah areal bekas tebangan menyimpan masa karbon di atas permukaan tanah sebesar 57,68-107,71 ton C/ha dan hutan primer sebesar 229,33 ton C/ha. Hasil penelitian Kusuma (2009) menyatakan bahwa pendugaan potensi karbon di atas permukaan tanah pada tegakan hujan tropis bekas tebangan 1983, menghasilkan massa karbon yang tersimpan adalah 93.440,999 kg C/ha di sekitar TPn, di tengah antara ujung sarad dan TPn 74.636,359 kg C/ha dan di sekitar ujung jalan sarad 73.633,59 kg C/ha sedangkan di plasma nutfah sebagai hutan primer sebesar 123.157,90 kg C/ha. setiap hektarnya rata-rata tersimpan potensi karbon 91.218,51 kg C/ha. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mampu menyerap CO 2. Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material yang sukar lapuk di tanah (Whitmore 1985). Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global (Rahayu et al. 2005).

18 2.7 Kadar Abu Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium, kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi 1990). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) kayu mengandung senyawa organik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsurunsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silika. Karena mineralmineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu. 2.8 Kadar Zat Terbang Kadar zat terbang menunjukan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950 C yang terkandung pada arang terhadap berat kering bahan bebas air. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan yaitu senyawa alifatik, terpena, dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer 1989).