TINJAUAN PUSTAKA Oriented Strand Board (OSB) Awalnya produk OSB merupakan pengembangan dari papan wafer (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika pada tahun 1954. Limbah-limbah kayu yang digunakan untuk membuat OSB merupakan weed species, yaitu jenis-jenis yang tertinggal di areal hutan bekas tebangan setelah penebangan kayu jenis douglas-firs, true-firs, spruces dan pines di Barat Laut USA (Bowyer et al, 2003). Dalam Nuryawan & Massijaya (2006) diterangkan bahwa industri OSB sebenarnya dapat memanfaatkan log berdiameter kecil dan berbentuk tidak beraturan (bengkok dan sebagainya) untuk digunakan sebagai bahan baku. Meskipun demikian, log dengan bentuk lurus dan memiliki diameter sekitar 14 inchi (35 cm) lebih disukai dengan alasan kemudahan dalam proses pengulitan (debarking) yang biasanya menggunakan alat ring type debarker. Di Indonesia OSB baru diteliti pertama kali pada akhir tahun 1996 di Bogor. Kemudian antara tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 yang masuk dalam periodisasi penelitian dan pengembangan (Research and Development) OSB, penelitian-penelitian yang dilakukan di Indonesia menyangkut OSB masih sangatlah minim (Nuryawan & Massijaya, 2006). Bahan Baku Kayu Secara umum semua jenis bahan yang mengandung lignoselulosa dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan papan OSB. Namun demikian kayu,
terutama yang memiliki berat jenis (BJ) 0.35-0.65 lebih disukai dan disarankan untuk digunakan (Tambunan, 2000). Prospek pengembangan OSB diperkirakan cukup baik mengingat ketersediaan kayu gergajian dan kayu lapis dipasaran yang semakin langka sebagai akibat dari industri perkayuan, terutama di Indonesia kekurangan bahan baku yang sebagian besar dipasok dari hutan alam. Sementara di sisi lain perkembangan HTI dengan tanaman fast growing species justru meningkat semakin pesat. Hal ini berdasarkan laporan Departemen Kehutanan (2006) tentang peningkatan produksi kayu bulat hampir 100% pada tahun 2005 dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 24 juta m 3, dimana peningkatan produksi ini didominasi dari kayu bulat yang berasal dari HTI yang mencapai separuhnya atau sebesar 12 juta m 3. Didukung dengan ketersediaan kayu dari HTI yang diperkirakan masih akan terus meningkat, maka sudah saatnya produk OSB diteliti dan dikembangkan lebih lanjut di Indonesia. Pada penelitian ini digunakan tiga jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) berdiameter kecil, yaitu kayu jenis Akasia (Acacia mangium Willd.), Ekaliptus (Eucalyptus sp.), dan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.). Pemilihan ketiga jenis kayu tersebut dengan harapan dapat mewakili kayu-kayu dari HTI di Indonesia, dimana Akasia (Acacia mangium Willd.) mewakili jenis kayu yang sudah dikomersilkan di hutan tanaman industri, Ekaliptus (Eucalyptus sp.) mewakili jenis kayu yang dibudidayakan oleh Perum Perhutani dan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) mewakili kayu yang banyak dibudidayakan di hutan rakyat (Nuryawan, 2007).
Berikut ini adalah gambaran singkat tentang karekteristik ketiga jenis kayu yang digunakan tersebut: Akasia (Acacia mangium Willd.) Ciri umum kayu ini terasnya berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu. Batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Corak polos atau berjalur-jalur dengan warna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Tekstur halus sampai agak kasar dan merata, dengan arah serat biasanya lurus kadang-kadang berpadu. Kekerasannya agak keras sampai keras dengan berat jenis (BJ) rata-rata 0,61 (0,43-0,66). Kelas awet III dan kelas kuat (II-III) (Mandang & Pandit, 2002) Ekaliptus (Eucalyptus sp.) Ciri umum kayu ini terasnya berwarna merah muda atau coklat merah, gubal merah muda pucat. Corak polos, tekstur agak kasar sampai kasar dengan arah serat berpadu sampai sangat bepadu, adakalanya bergelombang. Kekerasannya agak keras sampai keras dengan berat jenis (BJ) rata-rata 0,57 (0,39-0,81). Kelas awet IV (V-II) dan kelas kuat (II-IV) (Mandang & Pandit, 2002) Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Ciri umum kayu ini terasnya berwarna putih atau putih kekuning-kuningan, gubal putih kadang-kadang kehijauan. Tidak tegas batas antara teras dan gubal. Corak polos, tekstur agak kasar sampai kasar dengan arah serat lurus sampai berpadu. Kekerasannya agak lunak dengan berat jenis (BJ) rata-rata terendah 0,42
dan tertinggi 0,61 dari lima jenis. Kelas awet IV-V dan kelas kuat III (II-IV) (Mandang & Pandit, 2002) Proses Pembuatan OSB Proses pembuatan OSB pada dasarnya hampir sama dengan tahapan pada produksi papan partikel, hanya saja ada pengorentasian arah strand saat pembentukan lembaran dan pelapisan bahan anti air pada sisi-sisi tebalnya. Lowood (1997) dan Youngquist (1999) menerangkan secara garis besar proses pembuatan OSB adalah sebagai berikut: 1. Pengupasan kulit kayu (debarker) dan Pembuatan strands 2. Pengeringan 3. Blending 4. Pembentukan lembaran 5. Pengempaan panas 6. Finishing, pengepakan, dan pengangkutan Kualitas dan Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Produksi OSB Bowyer et al. (2003) menyatakan ada lima hal primer yang perlu diperhatikan ketika memproduksi panel struktural untuk penggunaan yang spesifik, yaitu: 1. Keawetan garis rekat diperlukan untuk menghindari delaminasi. 2. Syarat kekuatan untuk panel struktural 3. Diperlukan kualitas permukaan yang baik 4. Syarat khusus (ketahanan terhadap lapuk ataupun api)
5. Perbedaan harga pasar Stabilitas Dimensi Seperti halnya produk panel kayu lainnya, OSB juga memiliki berbagai kelemahan dalam hal stabilitas dimensi. Walaupun demikian OSB dapat menggantikan kayu lapis karena memiliki kekuatan dan kekakuan yang sama dengan atau lebih baik daripada kayu lapis (Nuryawan & Massijaya, 2006). Selain dalam hal kekuatan dan kekakuan, OSB setara atau lebih baik dari panel struktural lainnya dalam hal, variabilitas ukuran dan ketebalan, serta penampilan dan kemampuan penyerapan cat. Sebagai panel struktural yang memiliki penampilan menarik, OSB memenuhi semua kriteria yang baik digunakan untuk kebutuhan penggunaan akhir yang spesifik di semua tipe bangunan (SBA, 2008). Diantara berbagai jenis panel struktural lainnya, OSB mendapat penilaian baik untuk ketahanan, yang berarti bahwa OSB dirancang untuk mampu bertahan jika keterlambatan konstruksi terjadi. OSB juga tidak memerlukan perawatan khusus, hanya perlu perlakuan yang sama dengan produk kayu lainnya. Sama halnya dengan produk kayu struktural lainnya, kontak langsung yang cukup lama dengan hujan atau air harus dihindarkan sebab OSB seperti semua produk kayu lainnya, akan bereaksi jika terjadi perubahan pada temperatur dan kelembaban tertentu (SBA, 2008). OSB memiliki kecenderungan mengembang pada bagian tebal karena bagian ini lebih porous dibandingkan keseluruhan papan. Sebaliknya pada kayu lapis pengembangan tebalnya terjadi pada keseluruhan bagian papan sebagai akibat pengembangan vinir kayunya (Nuryawan & Massijaya, 2006).
Pengembangan tebal OSB pada umumnya lebih besar dibandingkan kayu lapis karena adanya pelepasan tekanan dari strands penyusunnya. Kayu lapis relatif akan kembali ke keadaan semula saat dikeringkan, sementara OSB saat dikeringkan akan lebih sulit untuk kembali ke keadaan semula karena memiliki compaction ratio lebih tinggi dibandingkan dengan kayu lapis (Nuryawan & Massijaya, 2006).