APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP)

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT SEBAGAI OIL WELL CLEANING VINI VIRDIANA MULIDEAS

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER

ANALISIS TINGKAT KECENDERUNGAN PEMBENTUKAN SCALE PADA FORMULA SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY

ANALYSIS OF CEMENT QUANTITY IN RESERVOIR ROCK TO OIL RECOVERY THROUGH IMBIBITION PROCESS WITH NON-IONIC SURFACTANT (LABORATORY STUDY)

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

RELATIVE PLUGGING INDEX LARUTAN SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT MENGGUNAKAN MEDIA PEMBAWA AIR INJEKSI LAPANGAN MINYAK T MISSHELLY FRESTICA

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben

FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) UNTUK ACID STIMULATION AGENT PADA LAPANGAN SANDSTONE (STUDI KASUS: LAPANGAN B)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan yang cukup serius selama 30 tahun terakhir ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, fungsinya bagi kehidupan tidak pernah bisa digantikan oleh senyawa

Tinjauan Pustaka. Enhanced oil recovery adalah perolehan minyak dengan cara menginjeksikan bahanbahan yang berasal dari luar reservoir (Lake, 1989).

PENYISIHAN KESADAHAN dengan METODE PENUKAR ION

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

Analisa Klorida Analisa Kesadahan

STUDI AWAL REVERSE OSMOSIS TEKANAN RENDAH UNTUK AIR PAYAU DENGAN KADAR SALINITAS DAN SUSPENDED SOLID RENDAH

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

3 METODOLOGI PENELITIAN

STUDI KARAKTERISTIK DAN KESTABILAN EMULSI MINYAK MENTAH INDONESIA

PEMBAHASAN. I. Definisi

BAB II INJEKSI UAP PADA EOR

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Perbandingan Stabilitas Lapisan Hidrofobik Pada Substrat Kaca Dengan Metode Sol-Gel Berbasis Water-glass dan Senyawa Alkoksida

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

4 Hasil dan Pembahasan

Bab IV Model dan Optimalisasi Produksi Dengan Injeksi Surfaktan dan Polimer

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

BAB.IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data analisis kandungan Resin, Wax dan Aspalten di dalam minyak mentah dapat dilihat pada Tabel 4.1.

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN MANFAAT BAGI MITRA

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

STUDI PENENTUAN RANCANGAN FLUIDA INJEKSI KIMIA

ION EXCHANGE DASAR TEORI

EKSTRAKSI ASPHALTENE DARI MINYAK BUMI

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS

Pelarutan Minyak Beku Pada Sumur Produksi Dengan Campuran Pelarut Organik

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

ILMU KIMIA ANALIT. Dr. Ir. Dwiyati Pujimulyani, MP

PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)

BAB III METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK DASAR PENENTUAN KADAR NIKEL SECARA GRAVIMETRI. Pembimbing : Dra. Ari Marlina M,Si. Oleh.

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Kelompok B Pembimbing

METODOLOGI PENELITIAN

Dapat juga digunakan sebuah metode yang lebih sederhana: Persentase kehilangan panas yang disebabkan oleh gas kering cerobong

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI KETERBASAHAN BATUAN PADA RESERVOIR YANG MENGANDUNG MINYAK PARAFIN PADA PROSES IMBIBISI

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

i APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP) RIZKY RAMADINI FEBRINDA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Surfaktan dari Minyak Sawit untuk Pembuangan Deposit Wax pada Perforasi dan Sistem Pipa Sumur Produksi (Studi Kasus Sumur Minyak XP) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2017 Rizky Ramadini Febrinda NIM F34120095

ABSTRAK RIZKY RAMADINI FEBRINDA. Aplikasi Surfaktan dari Minyak Sawit untuk Pembuangan Deposit Wax pada Perforasi dan Sistem Pipa Sumur Produksi (Studi Kasus Sumur Minyak XP). Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI. Pembentukan dan penumpukan wax pada produksi minyak bumi menimbulkan berbagai permasalahan seperti menurunnya produksi minyak bumi akibat penyumbatan perforasi dan pipa oleh wax. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan formulasi optimal wax dissolver untuk melarutkan wax menggunakan campuran pelarut dengan surfaktan anionik berbahan dasar minyak sawit serta mendapatkan informasi kinerja wax dissolver yang dihasilkan. Formulasi wax dissolver dimulai dengan menentukan pelarut terbaik sebagai pelarut utama dengan melihat kelarutan terbesar yang dapat diperoleh. Pelarut sistem biner dipilih dari beberapa campuran larutan (pelarut A : pelarut B, pelarut A : pelarut C dan pelarut A : pelarut D) serta beberapa rasio (1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4). Wax dissolver diformulasi dengan mencampur pelarut biner dengan surfaktan anionik dalam konsentrasi yang berbeda (0%, 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%). Berdasakan uji kinerja yang dilakukan, wax dissolver yang tersusun atas pelarut A dan B dengan rasio 1:1 dan dengan penambahan surfaktan 5% merupakan wax dissolver dengan hasil kinerja optimal. Karakteristik wax dissolver dengan 5% surfaktan yaitu memiliki nilai IFT 2.04x10-3 dyne/cm, densitas 0.83 g/cm 3 dan viskositas 0.95 cp. Berdasarkan kinerjanya, uji visual pada tabung ulir menunjukkan adanya perubahan sifat adhesif wax terhadap kaca dengan adanya penambahan surfaktan 5% pada pelarut. Sudut kontak pada core mengalami peningkatan dari 23.99 o menjadi 45.79 o yang menunjukkan perubahan sifat kebasahan pada core dari oil wet menjadi cenderung water wet. Kelarutan pada logam mencapai 61.55%. Wax dissolver menunjukkan nilai filtration ratio (Fr) 1.08. Memiliki ketahanan suhu yang baik serta dapat meningkatkan recovery minyak mentah antara 44.7% hingga 49.2%. Kata kunci: Surfaktan anionik, deposit wax, minyak sawit, perforasi, wax dissolver ABSTRACT RIZKY RAMADINI FEBRINDA. Wax Removal from Perforation and Tubing by Palm Oil Surfactant Application (XP Oil Well Case Study). Supervised by ERLIZA HAMBALI. The build-up of wax and the deposition of wax on crude oil production causes many problems such as decreasing production by wax pluging on perforation and tubing. The objective of this research were to get an optimum wax dissolver formulation by mixing solvents with palm oil based anionic surfactant and to obtain information of its performance. Wax dissolver formulation started by determining the best solvent as a primer solvent based on the highest solubility. Solvent using binary system was selected on several solvent mixtures (solvent A : solvent B, solvent A : solvent C and solvent A : solvent D) and several ratio (1:1,

iii 1:2, 1:3, and 1:4). Wax dissolver were formulated by mixing the best binary system solvent with different concentration of anionic surfactant (0%, 1%, 3%, 5%, 7%, and 10%). The results shows that the best wax dissolver was mixture of 5% surfactant in solvent A-solvent B on 1:1 ratio. This wax dissolver shows the lowest IFT value 2.04x10-3 dyne/cm, density value of 0.83 g/cm 3 and viscosity value of 0.95 cp. Visual observation on glass tube shows that by adding 5% surfactant into solvents could modify wax adherence to the glass surface. Wax dissolver could alter core wettability from oil wet to more water wet by increasing contact angle from 23.99 o to 45.79 o. Solubility up to 61.55% on metal surface. Filtration ratio, 1.08. Wax dissolver has good heat resistance and could increase crude oil recovery from 44.7% up to 49.2%. Keywords: Anionic surfactant, deposit wax, palm oil, perforation, wax dissolver

v APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP) RIZKY RAMADINI FEBRINDA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

vii Judul Skripsi : Aplikasi Surfaktan Minyak Sawit untuk Pembuangan Deposit Wax pada Perforasi dan Sistem Pipa Sumur Produksi (Studi Kasus Sumur Minyak XP) Nama : Rizky Ramadini Febrinda NIM : F34120095 Disetujui oleh Prof Dr Erliza Hambali Pembimbing I Diketahui oleh Prof Dr Ing Ir Suprihatin Ketua Departemen Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2016 ini ialah kinerja surfaktan, dengan judul Aplikasi Surfaktan dari Minyak Sawit untuk Pembuangan Deposit Wax pada Perforasi dan Sistem Pipa Sumur Produksi (Studi Kasus Sumur Minyak XP). Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Erliza Hambali selaku pembimbing, serta para teknisi SBRC LPPM IPB dan teman-teman yang telah membantu jalannya penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2017 Rizky Ramadini Febrinda

ix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 METODE 3 Waktu dan Tempat 3 Alat dan Bahan 3 Metode Penelitian 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 Analisis Sifat Fisik-Kimia Air Formasi dan Crude Oil 5 Karakteristik Surfaktan 7 Seleksi Rasio Pelarut 8 Formulasi dan Sifat Fisik Wax Dissolver 13 Kinerja Wax Dissolver 14 SIMPULAN DAN SARAN 21 Simpulan 21 Saran 21 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 24 RIWAYAT HIDUP 37

DAFTAR TABEL 1 Hasil analisis fluida air lapangan X 5 2 Hasil analisis fluida sumur P minyak lapangan X 6 3 Hasil pengukuran viskositas lapangan X pada berbagai suhu 6 4 Sifat fisikokimia surfaktan 7 5 Sifat fisik wax dissolver 13 6 Hasil uji tegangan antar muka (IFT) 16 7 Recovery minyak bumi pada uji core flooding 20 DAFTAR GAMBAR 1 Sumur dengan casing perforasi 1 2 Deposit wax pada pipa 2 3 Hasil pemisahan padatan dari crude oil XP 9 4 Pengaruh jenis dan rasio pelarut terhadap total wax terlarut 10 5 Pengaruh jenis dan rasio pelarut terhadap efisiensi melarutkan wax 10 6 Pengaruh penggunaan sistem dan rasio pelarut biner terhadap kelarutan wax 11 7 Endapan wax setelah sentrifugasi pada penggunaan pelarut A-pelarut B (1:1) 12 8 Viskositas wax dissolver pada berbagai suhu dan berbagai surfaktan 13 9 Grafik hasil uji kelarutan wax oleh wax dissolver 14 10 Hasil uji kelarutan 15 menit setelah sentrifugasi 15 11 Pengaruh wax dissolver pada berbagai konsentrasi surfaktan terhadap sudut kontak pada core 17 12 Pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap kebasahan pada logam 18 13 Penampakan visual uji kebasahan pada logam 18 14 Grafik uji stabilitas wax dissolver surfaktan minyak sawit 5% terhadap suhu reservoir 19 DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis air formasi dan minyak mentah 24 2 Prosedur analisis wax dissolver 27 3 Prosedur analisis kinerja wax dissolver 28 4 Hasil uji tegangan antar muka wax dissolver 30 5 Hasil uji viskositas wax dissolver 31 6 Hasil uji densitas wax dissolver 31 7 Hasil uji droplet wax dissolver 31 8 Hasil uji kelarutan wax 34 9 Hasil uji sudut kontak pada core 35 10 Hasil uji sifat kebasahan pada logam 35 11 Hasil uji filtrasi 35 12 Hasil uji stabilitas terhadap suhu 36 13 Hasil uji core flooding 36

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada proses produksi minyak bumi terdapat berbagai kendala dan permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul yaitu terbentuk dan terakumulasinya wax pada perforasi dan sistem pipa sumur produksi. Letak perforasi dan pipa produksi atau tubing pada sumur produksi dapat dilihat pada Gambar 1. Penumpukan wax pada perforasi dan pipa sumur produksi ini dapat menyebabkan menurunnya produksi minyak bumi akibat tersumbatnya jalur alir minyak bumi akibat tertutup oleh tumpukan wax. Wax merupakan molekul parafin yang umum terdapat pada minyak bumi. Wax pada kondisi suhu tinggi memiliki wujud cair, oleh karena itu kondisi wax pada reservoir yang berada di bawah permukaan tanah berwujud cair. Pada saat pengambilan minyak bumi ke permukaan, suhu akan menurun dan menyebabkan wax berubah wujud menjadi padat. Pada perforasi terjadi pembentukan wax awal dengan adanya pendinginan serta penumpukan wax yang terjadi secara bertahap (Adewusi 1997). Penumpukan wax pada perforasi dapat menyumbat jalur keluar minyak mentah dari dalam pori batuan reservoir. Perubahan wujud wax menjadi padat ketika melewati pipa menuju permukaan menyebabkan wax menempel pada dinding pipa. Penempelan wax pada dinding pipa menyebabkan tersumbatnya jalur pada pipa. Hal ini menimbulkan beberapa kerugian, di antaranya menurunkan kemampuan alir minyak mentah serta kerugian secara ekonomi yaitu biaya downtime yang mahal (Wei 2015). Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menghilangkan atau mencegah pembekuan wax pada saat diambil ke permukaan agar wax tidak menyumbat pipa. Gambar 1 Sumur dengan casing perforasi (Hyne 2011) Berdasarkan Al-Yaari (2011), penghilangan wax yang terdeposit pada dinding pipa seperti yang terlihat pada Gambar 2, dapat dilakukan dengan berbagai teknik. Beberapa teknik yang dapat dilakukan yaitu pemanfaatan reaksi

2 kimia, teknik mekanis, penggunaan panas, penggunaan aditif kimia serta penggunaan produk mikrobial. Gambar 2 Deposit wax pada pipa PT Geo Cepu Indonesia telah berupaya melakukan penanganan terhadap wax yang terkumpul pada sistem pipa. Terdapat dua cara yaitu dengan injeksi steam dan injeksi larutan parasol. Injeksi steam dilakukan dengan volume tertentu hingga wax pada dinding pipa mencair. Namun ketika panas dari steam menghilang wax akan kembali mengeras dan menempel kembali di permukaan pipa. Cara lainnya yaitu menggunakan injeksi parasol yang merupakan injeksi pelarut dengan menggunakan campuran xilen dengan solar dengan perbandingan 1:1 dan dilakukan soaking selama 2 hari. Baik injeksi parasol maupun injeksi steam perlu dilakukan secara berkala karena tetap terjadi pembentukan wax. Berdasarkan Al-Yaari (2011), penanganan secara kimia untuk menghilangkan wax dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut berupa diesel oil atau solar, dan kondensat kerosin. Larutan tersebut dapat melarutkan wax dengan kadar aspaltin yang rendah. Surfaktan atau surface activating agent merupakan senyawa kimia yang aktif mengurangi energi bebas di permukaan atau antar muka suatu larutan. Molekul surfaktan berupa molekul amphifilik yang menyukai lingkungan yang polar dan non polar secara bersamaan. Molekul surfaktan terbagi menjadi bagian kepala yang hidrofilik dan bagian ekor yang hidrofobik. Bagian hidrofilik memiliki kelarutan terhadap pelarut polar, sedangkan bagian hidrofobik memiliki kelarutan terhadap pelarut non polar. Dua sisi dengan jenis kelarutan yang berbeda pada surfaktan menyebabkan surfaktan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka antara air dengan minyak atau senyawa polar dengan senyawa non polar. Surfaktan dapat diperoleh baik dari bahan petrokimia maupun bahan oleokimia. Salah satu bahan surfaktan oleokimia yang sering digunakan di Indonesia yaitu kelapa sawit. Kegunaan surfaktan beragam seperti emulsifier, foaming agent, dan wetting agent. Fungsi tersebut dimanfaatkan oleh banyak industri mulai dari industri pangan, agrokimia hingga industri petrokimia. Pengembangan penggunaan surfaktan berbasis minyak sawit seperti metil ester sulfonat (MES) dan alkil poliglikosida (APG) pada industri petrokimia sudah dilakukan. Salah satu aplikasi yang dilakukan yaitu pada metode enhanced oil

recovery (EOR) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi minyak bumi. Beberapa metode EOR dengan menggunakan surfaktan berbasis minyak sawit yang sudah diteliti yaitu enhanced water flooding dengan pelarutan surfaktan APG di dalam air injeksi untuk recovery sumur minyak tua (Oktavian 2011) dan penggunaan surfaktan MES sebagai acid stimulation agent untuk melarutkan scale yang menyebabkan penyumbatan (Raysa 2013). Pada penelitian ini digunakan surfaktan anionik berbasis minyak sawit. Surfaktan ini digunakan untuk meningkatkan kinerja pelarut dalam melarutkan wax yang menyebabkan penyumbatan pada pipa produksi. 3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa tujuan, yaitu: Mendapatkan formulasi optimal untuk melarutkan wax menggunakan campuran pelarut dengan surfaktan yang berbahan dasar minyak sawit Mendapatkan informasi kinerja campuran pelarut yang dihasilkan. METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Surfaktan, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Institut Pertanian Bogor dari bulan Agustus hingga Desember 2016. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam studi optimasi surfaktan untuk peluruhan deposit wax yaitu stirrer, neraca analitik, spinning drop tensiometer TX500C, oven, viskometer Brookfield, densitymeter Anton Paar DMA 4500M, contact angle analyser Phoenix 300, koin logam, alat sentrifugasi, ph Meter Schott, pipet volumetrik, pompa vakum, hot plate stirrer, kertas saring whattman 1.2 µm, mikroskop kamera Leica ICC 50 HD dan gelas kaca. Bahan baku yang diperlukan yaitu sampel crude oil dari sumur P lapangan X, air formasi lapangan X, aquades, surfaktan, core berea, pelarut A, pelarut B, pelarut C dan pelarut D. Metode Penelitian Analisis Sampel Air Formasi dan Minyak Mentah (Crude oil) Analisis sampel air formasi dan minyak mentah dilakukan pada air formasi dan minyak mentah yang berasal dari lapangan X. Sampel minyak mentah yang digunakan bersumber dari lapangan X sumur P (XP). Analisis yang dilakukan

4 pada fluida minyak yaitu densitas, specific gravity, API gravity, viskositas pada berbagai suhu dan pour point. Analisis Surfaktan Surfaktan yang diperlukan untuk formulasi merupakan surfaktan anionik dari minyak sawit dalam keadaan netral. Surfaktan dianalisis dengan uji viskositas, densitas, ph serta tegangan antar muka dengan air formasi pada suhu 60 o C sesuai dengan suhu reservoir. Seleksi Rasio Pelarut Pemilihan pelarut diawali dengan memisahkan wax dari minyak mentah dengan sentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan sedang. Pemilihan pelarut dilakukan dengan melakukan penentuan pelarut primer terlebih dahulu. Pelarut yang digunakan yaitu pelarut A, pelarut B, pelarut C dan pelarut D. Uji kelarutan dilakukan dengan melarutkan wax menggunakan pelarut dengan tiga rasio berbeda antara wax dengan pelarut yaitu 1:1, 1:2 dan 2:1 berdasarkan bobot. Pelarut dan rasio antara wax dengan pelarut dipilih berdasarkan efisiensi kelarutan wax XP terbaik. Pelarut primer yang telah diperoleh dicampur dengan pelarut lainnya dengan rasio 1:1, 1:2, 1:3 dan 1:4 antara pelarut primer dengan pelarut lain membentuk pelarut sistem biner dengan rasio antara pelarut dengan wax menggunakan rasio terbaik pada hasil uji kelarutan menggunakan pelarut tunggal. Uji kelarutan untuk pemilihan rasio pelarut dilakukan dengan melarutkan wax di dalam tabung ulir. Larutan wax disentrifugasi untuk memisahkan wax terlarut dengan wax tidak terlarut serta dilakukan pengamatan visual 15 menit setelah sentrifugasi. Pada uji kelarutan, persentase kelarutan diperoleh dari pembagian bobot wax yang hilang terhadap bobot wax awal yang digunakan. Wax terlarut dan wax yang tidak menempel pada dinding tabung mengindikasikan bahwa pelarut dapat digunakan untuk melepas wax deposit pada tabung kaca. Formulasi dan Uji Sifat Fisik Wax Dissolver Rasio pelarut terbaik digunakan untuk formulasi wax dissolver dengan penambahan surfaktan. Penambahan surfaktan yang dilakukan yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10%. Formulasi yang diperoleh diuji viskositas, densitas, dan uji droplet. Uji droplet dilakukan dengan menggunakan mikroskop kamera Leica ICC 50 HD. Uji Kinerja Wax Dissolver Uji kinerja wax dissolver dilakukan pada penggunaan wax dissolver yang mengandung surfaktan pada wax XP. Uji kinerja yang dilakukan yaitu uji kelarutan wax, uji tegangan antar muka (IFT) dan penampakan visual pada tabung ulir, uji sudut kontak wax dissolver pada core berea, sifat kebasahan wax pada koin logam, uji filtrasi, uji ketahanan wax dissolver terhadap suhu dan uji core flooding.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sifat Fisik-Kimia Air Formasi dan Crude oil Analisis air formasi dilakukan pada air yang bersumber dari lapangan X. Air formasi merupakan air yang berasal dari dalam reservoir dan telah berinteraksi dengan mineral-mineral dalam batuan. Hal ini menyebabkan air mengandung berbagai macam ion. Kandungan kation yaitu ion kalsium (Ca 2+ ), magnesium (Mg 2+ ), besi (Fe 2+ ) dan barium (Ba 2+ ). Kandungan anion yaitu ion klorida (Cl - ), ion karbonat (CO 3 2- ), ion bikarbonat (HCO 3 - ) dan ion sulfat (SO 4 2- ) (Oktavian 2011). Kandungan ion dari mineral tersebut menunjukkan bahwa air formasi memiliki sifat air sadah. Selain itu terlihat bahwa hasil uji kandungan garam tinggi pada air formasi. Kandungan garam dan komponen mineral pada air formasi dapat dilihat pada hasil analisis air formasi pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil analisis fluida air lapangan X No Parameter Unit Nilai Metoda 1 Sodium (Na + ) mg/l 3545 3120 B, 3030 E 2 Potasium (K + ) mg/l 80.1 3120 B, 3030 E 3 Kalsium (Ca 2+ ) mg/l 41.3 3120 B, 3030 E 4 Magnesium (Mg 2+ ) mg/l 33.6 3120 B, 3030 E 5 Fe 2+ mg/l <0.03 3120 B, 3030 E 6 Barium (Ba 2+ ) mg/l 1.77 3120 B, 3030 E 7 Strontium (Sr 2+ ) mg/l 19 3120 B, 3030 E 8 Klorida (Cl - ) mg/l 7496 4500-Cl-D 9 Sulfat (SO 2-4 ) mg/l <1.44 4500-SO 2-4 -E 10 Bikarbonat (HCO 3 - ) mg/l 621 2320 B 11 Karbonat (CO 2-3 ) mg/l 509 2320 B 12 ph - 8.1 4500-H + -B 13 Salinity as NaCl mg/l 13000 2540 B 14 Total hardness as CaCO 3 mg/l 231 2340 B 15 Total Dissolved Solid Mg/L 10780 2540 C 16 Total Suspended Solid mg/l 22 2540 D 17 Turbidity NTU 6.02 2130 B 18 Dissolved Oxygen mg/l 4.86 4500-O-G 19 Oil & Grease mg/l 2.28 5520 B 20 Elec. Conductivity µs/cm 21500 2510 B 21 Densitas g/cm 3 1.0074 ASTM D 792 22 Spesific Gravity - 1.005 ASTM 1209 23 Viskositas cst 0.9728 SASTM D 445

6 Air formasi yang dianalisis merupakan air formasi yang berasal dari lapangan X. Kondisi air formasi yang diperoleh menjadi penentu penggunaan surfaktan yang berbahan dasar minyak sawit. Berdasarkan Matheson (1996), surfaktan yang diperoleh dari hasil sulfonasi minyak sawit memiliki karakteristik dispersi dan detergensi yang baik terutama pada air dengan kesadahan yang tinggi. Surfaktan dari minyak sawit juga memiliki sifat tidak beracun, mudah didegradasi serta biaya produksi yang relatif rendah. Berdasarkan karakteristik tersebut diharapkan surfaktan dapat bekerja dengan baik dengan adanya air formasi di dalam reservoir. Tabel 2 Hasil analisis fluida sumur P minyak lapangan X Parameter Hasil Analisa Densitas (g/cm 3 ) (15 o C) 0.87 Densitas (g/cm 3 )(60 o C) 0.83 API Gravity (15 o C) 31.98 Viskositas (cp) (60 o C) 3.16 Pour Point ( o C) 27 Tabel 3 Hasil pengukuran viskositas lapangan X pada berbagai suhu No. Suhu ( o C) Hasil Analisa Viskositas (cp) 1 35 65.87 2 40 13.88 3 45 5.84 4 50 4.21 5 55 3.69 6 60 3.16 Berdasarkan Hyne (2011), karakteristik dari minyak mentah dideskripsikan dan dibandingkan dengan kondisi minyak mentah lain berdasarkan densitas dalam skala american petroleum institute (API) gravity. Skala tersebut menjadi standar penilaian dalam industri petroleum. Nilai API gravity diperoleh dengan menggunakan rumus : API gravity = 141.5 SG pada 15 o C 131.5 SG pada perhitungan API gravity merupakan spesific gravity. Spesific gravity merupakan densitas relatif yang diperoleh dari hasil perbandingan densitas minyak terhadap densitas air yang diasumsikan sebesar 1 g/cm 3. Nilai API gravity

pada suhu 15 o C berkisar antara 5 hingga 55. API gravity dengan nilai 35 hingga 45 menunjukkan minyak dengan karakteristik minyak ringan dengan kandungan wax yang rendah. Berdasarkan Ekaputra et al. (2014), minyak dapat dikategorikan sebagai minyak ringan ketika memiliki nilai API gravity yang besar. Berdasarkan rumus perhitungan API gravity semakin besar nilai API gravity maka akan semakin kecil nilai spesific gravity atau semakin kecilnya nilai densitas dari minyak mentah. Kondisi densitas yang rendah menunjukkan bahwa minyak dapat mengalir dengan bebas pada suhu ruang yang juga mengindikasikan viskositas dan kandungan wax yang rendah (Ekaputra et al. 2014). Berdasarkan Ekaputra et al. (2014), nilai pour point yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan wax pada minyak mentah juga tinggi. Berdasarkan ASTM D-97 (2005), pour point merupakan titik minimum suatu fasa dapat mengalir atau dapat dituangkan. Pada produksi minyak mentah, penyumbatan tidak selalu mengindikasikan pour point yang tinggi, namun penyumbatan akibat pour point yang tinggi mengindikasikan adanya pemisahan wax dari minyak mentah. Hasil uji pada minyak mentah menunjukkan nilai API gravity 31.98 o dan pour point yang tinggi yaitu 27 o C, seperti yang terlihat pada Tabel 2, hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan wax dalam minyak mentah XP tinggi. Hasil uji viskositas minyak mentah terhadap suhu seperti yang terlihat pada Tabel 3, menunjukkan bahwa semakin menurunnya suhu maka viskositas akan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ekaputra et al. (2014), yang menyatakan bahwa viskositas meningkat dengan menurunnya suhu akibat terbentuknya formasi gel pada minyak mentah. Berdasarkan Munson et al. (2009), meningkatnya suhu akan menyebabkan menurunnya kohesifitas molekul fluida yang diiringi dengan berkurangnya resistensi pergerakan molekul. Viskositas menunjukkan resistensi pergerakan molekul sehingga ketika resistensi menurun maka viskositas juga menurun. Berdasarkan hasil uji karakteristik minyak mentah yang diperoleh maka diperlukan adanya penanganan terhadap kandungan wax yang tinggi pada minyak mentah XP yang dapat menyebabkan penyumbatan pada perforasi dan pipa produksi. Karakteristik Surfaktan Tabel 4 Sifat fisikokimia surfaktan No Parameter Satuan Hasil Analisa 1 Densitas g/cm 3 0.926 2 Viskositas cp 79.18 3 ph 6 4 Tegangan antar muka terhadap dyne/cm 3.87x10-3 air formasi X 5 Kelarutan dalam air formasi X Larut Sempurna 7 Uji berikutnya dilakukan pada surfaktan yang akan digunakan pada formulasi wax dissolver atau pelarut wax. Seluruh uji pada analisis surfaktan dilakukan pada suhu 60 o C sesuai suhu reservoir. Parameter utama dari surfaktan

8 yang akan digunakan yaitu ph dan tegangan antar muka (interfacial tension atau IFT). Surfaktan yang digunakan memiliki ph yang tidak asam atau ph tidak terlalu rendah. Nilai ph yang rendah dapat menyebabkan korosi pada dinding pipa yang terbuat dari logam. Kerusakan pada pipa tidak diinginkan sehingga dibutuhkan surfaktan dengan ph yang cenderung netral. Parameter surfaktan berikutnya yaitu nilai IFT. Berdasarkan Emegwalu (2009), surfaktan yang baik untuk digunakan pada improved oil recovery (IOR) harus memiliki nilai IFT mencapai nilai 10-3 dyne/cm. Fungsi surfaktan yang digunakan yaitu bertujuan untuk mengurangi tegangan antar muka minyak dengan air pada reservoir sehingga minyak yang terjebak akibat tekanan kapiler dapat bergerak dari dalam pori batuan reservoir sehingga dapat meningkatkan recovery minyak mentah. Selain itu penambahan surfaktan juga berfungsi untuk mencegah minyak kembali terjebak di dalam pori-pori. Hubungan antara angka kapilaritas dengan IFT dapat dilihat pada rumus sebagai berikut : N c = vμ σcosθ Keterangan: v = laju alir efektif (cm/s) μ = viskositas larutan pendesak (cp) σ = tegangan antarmuka (dyne/cm) θ = sudut kontak kebasahan/wetting angle Berdasarkan Emegwalu (2009), rumus tersebut digunakan untuk kondisi kapilaritas ketika surfaktan telah digunakan pada surfactant flooding, sehingga kondisi batuan telah berubah dari oil wet menjadi water wet. Angka kapilaritas (Nc) untuk water flooding pada batuan dengan kondisi water wet berada pada rentang 10-7 hingga 10-5. Angka kapilaritas kritis berada pada rentang 10-5 hingga 10-4. Angka kapilaritas pada kondisi oil wet berada pada rentang 10-2 hingga 10-1. Meningkatnya angka kapilaritas (Nc) mengindikasikan bahwa perolehan minyak sisa dari dalam pori meningkat dengan menurunnya saturasi minyak dalam poripori batuan. Pada rumus tersebut terlihat bahwa semakin kecilnya nilai IFT maka akan semakin besar angka kapilaritas (Nc) yang berarti akan semakin meningkatnya perolehan minyak mentah dari dalam pori-pori batuan. Hasil analisis karakteristik surfaktan menunjukkan bahwa surfaktan memiliki ph cenderung normal dengan nilai IFT yaitu 3.87x10-3 dyne/cm yang sesuai digunakan pada batuan reservoir. Pada hasil kelarutan di dalam air formasi menunjukkan bahwa surfaktan dapat larut sempurna di dalam air formasi X yang memiliki kesadahan tinggi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4. Seleksi Rasio Pelarut Wax merupakan komponen dari minyak mentah yang komposisi utamanya berupa parafin. Parafin atau molekul alkana yang merupakan rantai atom karbon lurus dengan ikatan jenuh. Formula umum dari jenis ikatan karbon ini yaitu C n H 2n+2 (Hyne 2011). Berdasarkan Burger et al. (1981), selain parafin, pada wax yang terdeposit juga mengandung gum, resin, komponen aspaltin, minyak mentah

dan air formasi. Konsistensi dari deposit wax bervariasi tergantung dari jumlah minyak yang terjebak di dalam wax. Selain itu, kehadiran air dapat menyebabkan terbentuknya emulsi formasi gel. Emulsi tersebut menjadi lebih stabil dengan adanya komponen polar lain di dalam minyak mentah seperti aspaltin dan resin (de Oliveira 2010). Oleh karena itu setiap minyak mentah dari sumber sumur berbeda perlu diteliti masing-masing karena memiliki karakteristik kristal wax dan kecenderungan terdeposisi yang berbeda. Wax mulai membentuk kristal ketika mengalami pendinginan dan mulai terjadi separasi wax ketika suhu menurun mencapai pour point. Pembentukan wax pada saat produksi berlangsung dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Terdapat dua isu permasalahan wax, yaitu pembentukan gel dan terjadinya penumpukan wax. Gel terbentuk ketika molekul wax terpresipitasi dari minyak dan membentuk struktur 3 dimensi di dalam pipa (Ellison et al. 2000). Seiring waktu, wax yang terbentuk akan menumpuk di permukaan pipa dan dapat menyebabkan permasalahan pada laju alir minyak pada saat produksi dilakukan. Wax yang menyumbat pipa dapat diatasi dengan penggunaan pelarut untuk melarutkan wax. Wax yang merupakan senyawa non polar dapat dilarutkan oleh pelarut yang memiliki kepolaran yang sama. Pada pemilihan pelarut tunggal, digunakan pelarut non polar berupa pelarut A, pelarut B, pelarut C dan pelarut D. Pelarut D merupakan minyak mentah lapangan X dari sumur produksi yang berbeda. Pelarut yang digunakan untuk uji pemilihan pelarut dipilih berdasarkan kepolaran wax dan pelarut yang merupakan senyawa non polar serta pertimbangan harga pelarut. 9 Gambar 3 Hasil pemisahan padatan dari crude oil XP Pemilihan pelarut terbaik diawali dengan pemisahan wax dari minyak mentah. Wax XP memiliki pour point pada suhu 27 o C yang merupakan suhu ruang, sehingga pemisahan wax dapat dilakukan pada suhu ruang dengan cara sentrifugasi. Pada hasil sentrifugasi terlihat bahwa minyak mentah XP terbagi menjadi dua fasa berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 3. Fasa terpisah berupa fasa padat yang merupakan wax yang terkumpul dan menempel di dasar tabung ulir dan fasa cair yang berupa minyak mentah tanpa komponen wax. Uji kelarutan wax dilakukan dengan perbandingan rasio antara wax dengan pelarut yaitu 1:1, 1:2 dan 2:1. Hasil uji dilihat dari total wax terlarut serta efisiensi

10 penggunaan pelarut dalam melarutkan wax. Efektivitas penggunaan pelarut dalam melarutkan wax ditunjukkan oleh total wax terlarut (%) dengan hasil uji seperti pada Gambar 4. Persentase total wax terlarut diperoleh dari membandingkan bobot wax yang hilang atau terlarut terhadap bobot awal sampel. Efisiensi penggunaan pelarut dalam melarutkan wax yang dinyatakan dalam persen dapat dilihat pada Gambar 5, yaitu berdasarkan perbandingan jumlah wax yang hilang atau terlarut terhadap jumlah pelarut yang digunakan. Persentase total wax terlarut terbesar diperoleh pada penggunaan pelarut A pada rasio 1:2 yaitu sebesar 72.1 %. Hasil efisiensi pelarut dalam melarutkan wax menunjukkan persentase terbesar pada penggunaan pelarut A dengan perbandingan 1:1 dengam persentase wax terlarut sebesar 58.21 %. Hasil terbaik ditunjukkan pada penggunaan pelarut A pada rasio 1:1. Persentase total kelarutan pada penggunaan pelarut A dengan rasio 1:2 lebih tinggi dari penggunaan rasio 1:1, namun tingkat efisiensi pada penggunaan rasio tersebut lebih rendah dari penggunaan rasio 1:1, yaitu hanya sebesar 36.05 %. Total Wax Terlarut (%) 80 60 40 20 0-20 A B C D Rasio (wax:pelarut) (w/w) : (1:2) (1:1) (2:1) -40 Jenis Pelarut Gambar 4 Pengaruh jenis dan rasio pelarut terhadap total wax terlarut 80 Efisiensi Melarutkan (%) 60 40 20 0-20 A B C D Rasio (wax:pelarut) (w/w) : (1:2) (1:1) (2:1) -40 Jenis Pelarut Gambar 5 Pengaruh jenis dan rasio pelarut terhadap efisiensi melarutkan wax Kemampuan suatu senyawa untuk melarutkan senyawa lainnya ditentukan oleh tingkat polaritas senyawa. Menurut Winarko et al. (2014), suatu senyawa dapat dilarutkan dengan pelarut yang memiliki kepolaran yang sama. Derajat polaritas tergantung pada besar tetapan dielektrik. Semakin besar tetapan dielektrik maka semakin polar pelarut tersebut. Berdasarkan Snyder (1974), tingkat kepolaran dapat dilihat berdasarkan indeks polaritas yang mengukur

kemampuan pelarut bereaksi dengan berbagai macam senyawa terlarut polar serta menyediakan pengelompokan pelarut berdasarkan kemampuan melarutkan. Berdasarkan hasil uji kelarutan dengan pelarut tunggal menunjukkan bahwa pelarut A memiliki kemampuan melarutkan terbesar. Berdasarkan kemampuan pelarut dalam melarutkan wax yang merupakan senyawa non polar, maka dapat disimpulkan bahwa pelarut A memiliki indeks kepolaran terkecil jika dibandingkan dengan pelarut B, pelarut C dan pelarut D. Hasil uji kelarutan dengan menggunakan pelarut berupa pelarut D menunjukkan persentase kelarutan wax yang negatif pada rasio 1:2. Pada hasil uji kelarutan terlihat bahwa semakin banyak rasio pelarut D maka endapan wax yang terendap di tabung ulir semakin meningkat. Hal ini terjadi dapat diakibatkan oleh pelarut D merupakan minyak mentah dari lapangan yang sama yaitu lapangan X, namun dari sumur yang berbeda sehingga mengandung wax dengan komposisi hidrokarbon yang berbeda. Berdasarkan Hyne (2011), minyak mentah terdiri dari empat tipe molekul hidrokarbon yang berbeda. Molekul hidrokarbon pada minyak mentah yaitu 15 hingga 60% parafin (C n H 2n+2 ), 30 hingga 60% naften (C n H 2n ), 3 hingga 30% senyawa aromatik atau molekul benzena dan 6% asphaltic. Menurut Burger et al. (1981), konsistensi dari deposit wax bervariasi tergantung dari jumlah minyak yang terjebak di dalam wax serta kehadiran komponen polar seperti air dan resin yang dapat menyebabkan terbentuknya emulsi formasi gel. 60 11 Persentase terlarut (%) 50 40 30 20 10 0 (1:1) (1:2) (1:3) (1:4) Rasio campuran pelarut (w/w) A : B A : C A : D Gambar 6 Pengaruh penggunaan sistem dan rasio pelarut biner terhadap kelarutan wax Pada hasil uji dengan pelarut tunggal, pelarut A menunjukkan persentase kelarutan tertinggi dalam melarutkan wax XP. Berdasarkan Bello et al. (2006), penggunaan sistem pelarut biner dapat menurunkan biaya operasional dalam menangani wax. Oleh karena itu dilakukan uji kelarutan berikutnya dengan menggunakan pelarut sistem biner dengan campuran pelarut A dengan pelarut lain yaitu pelarut B, pelarut C, dan pelarut D. Perbandingan yang digunakan antara pelarut A dengan jenis pelarut lainnya yaitu 1:1, 1:2, 1:3 dan 1:4 berdasarkan bobot. Perbandingan ini digunakan dengan pertimbangan bahwa harga pelarut A lebih mahal dibandingkan dengan harga pelarut lainnya. Pengamatan hasil kelarutan wax dilakukan setelah sentrifugasi dengan memisahkan wax terlarut dan

12 tidak terlarut untuk melihat kinerja pelarut dalam melarutkan wax, serta pengamatan secara visual pada wax tidak terlarut yang berada pada ujung tabung ulir setelah 15 menit sentrifugasi untuk melihat sifat adhesif wax tidak terlarut terhadap permukaan tabung. Pelarut yang digunakan dilihat kinerjanya dalam melarutkan wax XP dengan perbandingan antara pelarut dengan wax yaitu 1:1 berdasarkan bobot. Hasil uji menunjukkan bahwa campuran pelarut A dengan pelarut B dalam rasio 1:1 menunjukkan persentase kelarutan yang besar pada wax yaitu 49.79%. Hasil uji juga menunjukkan bahwa semakin meningkatnya rasio pelarut selain A, maka kinerja pelarut dalam melarutkan wax semakin buruk dengan menurunnya persentase kelarutan wax seperti yang terlihat pada Gambar 6. Berdasarkan Schirmer (2000), penggunaan pelarut campuran merubah indeks polaritas pelarut sehingga kemampuan melarutkan komponen terlarut juga berubah. Indeks polaritas senyawa campuran dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: PI SM = % SOL A x PI A + % SOL B x PI(B) Keterangan: PI(SM) = indeks polaritas senyawa campuran PI(A) = viskositas larutan pendesak (cp) PI(B) = tegangan antarmuka (dyne/cm) % SOL(A) = persentase pelarut A pada senyawa campuran % SOL(B) = persentase pelarut B pada senyawa campuran Gambar 7 Endapan wax setelah sentrifugasi pada penggunaan pelarut A : pelarut B (1:1) Berdasarkan rumus tersebut rasio pelarut yang digunakan sangat berpengaruh terhadap indeks polaritas senyawa campuran yang diperoleh. Oleh karena itu ketika rasio A pada uji pelarut biner semakin kecil maka indeks polaritas menjadi semakin besar serta kemampuan melarutkan wax menjadi semakin rendah. Pada pengamatan visual setelah 15 menit sentrifugasi pada Gambar 7, terlihat bahwa pada seluruh rasio pelarut biner yang digunakan, wax tidak terlarut masih melekat pada ujung tabung walaupun tabung sudah disimpan dalam

keadaan terbalik. Hal ini menunjukkan wax memiliki sifat adhesif terhadap permukaan tabung ulir. Formulasi dan Sifat Fisik Wax dissolver Wax dissolver diformulasi dengan mencampurkan pelarut A : pelarut B (1:1) dengan surfaktan minyak sawit dalam 5 konsentrasi berbeda, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10%. Konsentrasi surfaktan hanya hingga konsentrasi 10% dikarenakan surfaktan sudah tidak dapat terlarut sempurna. Penggunaan surfaktan diharapkan dapat dilakukan seefisien mungkin. Wax dissolver yang telah diformulasi dianalisis sifat fisiknya dengan beberapa parameter uji yaitu uji densitas, uji viskositas dan uji droplet. Tabel 5 Sifat fisik wax dissolver 13 Surfaktan (%) Densitas (g/cm 3 ) (60 o C) Viskositas (cp) (60 o C) Droplet (µm) 0 0.826 0.83 terlarut sempurna 1 0.826 0.83 terlarut sempurna 3 0.828 0.87 terlarut sempurna 5 0.831 0.95 terlarut sempurna 7 0.833 1.00 5.89 10 0.838 1.07 4.68 Gambar 8 Viskositas wax dissolver pada berbagai suhu dan berbagai surfaktan Pada hasil uji densitas wax dissolver, terlihat bahwa densitas wax dissolver semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Begitu pula pada hasil uji viskositas pada berbagai suhu. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, maka akan semakin tinggi pula viskositas dari wax dissolver. Pengaruh suhu terhadap viskositas wax dissolver terlihat pada Gambar 8. Pada grafik terlihat bahwa semakin tinggi suhu, maka viskositas wax dissolver semakin rendah.

14 Uji terakhir pada karakterisasi wax dissolver yaitu uji droplet. uji ini berguna untuk melihat tingkat kelarutan surfaktan pada larutan. Secara visual tidak seluruh surfaktan dapat terlarut dan terlihat terdapat endapan pada dasar gelas, dengan warna larutan yang semakin gelap dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Namun ketika uji droplet dilakukan, konsentrasi surfaktan 1 hingga 5% menunjukkan tidak adanya droplet surfaktan yang mengindikasikan bahwa surfaktan terlarut sempurna. Hasil uji oleh mikroskop tersebut menunjukkan bahwa surfaktan yang tidak terlarut memiliki sifat adhesi pada permukaan gelas. Dikarenakan jumlah yang tidak terlarut cenderung sedikit, maka surfaktan tidak terlarut tidak tersuspensi di dalam wax dissolver. Pada konsentrasi surfaktan 7 dan 10% terlihat adanya droplet surfaktan pada larutan. Ukuran droplet rata-rata pada penambahan konsentrasi surfaktan 7% yaitu 5.89 µm, dan 4.68 µm pada 10%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi 7 dan 10% surfaktan tidak larut sempurna di dalam wax dissolver. Hasil uji droplet dapat dilihat pada Tabel 5. Kelarutan wax oleh wax dissolver Kinerja Wax Dissolver Uji kelarutan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti pada uji pemilihan pelarut. Wax dilarutkan dengan wax dissolver di dalam tabung ulir lalu disentrifugasi untuk memisahkan bagian terlarut dengan tidak terlarut. Rasio wax terhadap wax dissolver yang digunakan yaitu 1:1, 1:2 dan 2:1. Tabung yang telah disentrifugasi dibalik untuk memisahkan wax terlarut dari endapan wax di dasar tabung. Hasil uji yang diharapkan yaitu sesuai seperti hasil uji IFT, dengan kelarutan tertinggi pada penggunaan wax dissolver dengan nilai IFT terendah. Selain itu dilakukan pengamatan secara visual pada endapan wax di tabung yang telah dibalik setelah 15 menit. Hal ini dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya pengaruh penggunaan surfaktan dalam formulasi wax dissolver terhadap sifat adhesi wax dengan permukaan media tempat menempelnya wax. Gambar 9 Grafik hasil uji kelarutan wax oleh wax dissolver

Hasil dari uji kelarutan diharapkan akan semakin meningkat dengan menurunnya sifat kohesi wax oleh surfaktan yang terdapat di dalam wax dissolver, sesuai dengan hasil uji IFT yang telah dilakukan. Hasil pengamatan kelarutan menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan IFT untuk jumlah kelarutan total. Pada Gambar 9 terlihat bahwa kelarutan terbesar tidak terlihat pada penggunaan wax dissolver dengan konsentrasi surfaktan 5%, dimana nilai IFT-nya merupakan nilai yang terkecil, namun terlihat pada penggunaan wax dissolver dengan konsentrasi surfaktan 3%. Kelarutan terus menurun hingga konsentrasi surfaktan 10%. Rasio dengan nilai kelarutan terbesar terlihat pada rasio wax terhadap pelarut yaitu 1:2 dengan konsentrasi surfaktan 3% dengan total kelarutan 67.41%. 15 Gambar 10 Hasil uji kelarutan 15 menit setelah sentrifugasi Pada pengamatan secara visual endapan wax yang didiamkan selama 15 menit setelah sentrifugasi terlihat adanya endapan wax yang terlepas dari ujung tabung. Pada Gambar 10 secara berurutan dari kiri ke kanan yaitu endapan hasil uji kelarutan dengan menggunakan wax dissolver surfaktan minyak sawit 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%. Wax yang terlepas dan turun ke bibir tabung menunjukkan bahwa sifat adhesi wax terhadap permukaan menempelnya wax menurun. Hal tersebut terlihat pada penggunaan wax dissolver dengan konsentrasi surfaktan 5% dan 7% yang merupakan dua formula wax dissolver dengan nilai IFT terkecil. Kondisi tersebut menunjukkan sifat kebasahan dari tabung kaca berubah dengan adanya penambahan surfaktan pada pelarut. Uji tegangan antar muka (IFT) Tegangan antar muka (IFT) merupakan salah satu parameter utama dalam berlangsungnya proses improved oil recovery (IOR). Fungsi dari turunnya tegangan antar muka oleh surfaktan beragam, tergantung dari tipe emulsi yang digunakan dan terdapat dalam suatu sistem. Beberapa fungsi surfaktan dalam penggunaan IOR yaitu memecah tegangan permukaan emulsi minyak terhadap batuan serta mengubah sifat kebasahan batuan menjadi suka air sehingga fasa minyak dapat lebih mudah mengalir (Shaw 1980). Semakin kecil nilai IFT yang diperoleh antara fasa minyak dengan fasa air, maka akan semakin mudah terjadinya emulsi suatu fasa fluida ke dalam fasa fluida lainnya (Raysa 2013). Kondisi tersebut pada wax dapat meningkatkan adhesi wax dengan senyawa polar yang secara bersamaan menurunkan sifat kohesi wax. Dengan menurunnya kohesi

16 wax diharapkan wax dapat dengan mudah terlarut di dalam wax dissolver. Nilai IFT wax dissolver yang diharapkan yaitu ultra-low interfacial tension (<10-2 dyne/cm) sehingga dapat merubah kondisi kebasahan media tempat menempelnya wax dari suka minyak menjadi suka air. Tabel 6 Hasil uji tegangan antar muka (IFT) Surfaktan (%) IFT (dyne/cm) 0 6.44x10-1 1 1.92x10-2 3 3.69x10-3 5 2.04x10-3 7 2.31x10-3 10 3.34x10-3 Berdasarkan hasil uji IFT pada tabel 6, terlihat bahwa tegangan antar muka terus menurun hingga penggunaan surfaktan dengan konsentrasi 5% pada wax dissolver, namun setelah konsentrasi 5% nilai IFT kembali naik. Pada uji tersebut terlihat bahwa semakin meningkatnya konsentrasi surfaktan maka nilai IFT terus menurun hingga titik tertentu. Berdasarkan Janku et al. (2012), meningkatkan konsentrasi surfaktan akan menurunkan tegangan permukaan hingga pelarut jenuh akan molekul surfaktan. Titih jenuh oleh surfaktan ini disebut sebagai critical micelle concentration (CMC), pada titik inilah terdapat nilai IFT minimum. Pada kondisi CMC penambahan surfaktan sudah tidak dapat menurunkan tegangan permukaan. Berdasarkan Miles dan Shedlovsky (1944), tegangan permukaan mengalami peningkatan setelah melewati kondisi CMC dapat diakibatkan oleh adanya komponen aktif lain di dalam sistem atau dengan adanya zat pengotor. Uji sudut kontak pada core Uji ini dilakukan untuk melihat perubahan sifat kebasahan (wetting) batuan (core) akibat penambahan wax dissolver. Menurut Pratomo (2005), sifat kebasahan pada batuan terbagi menjadi dua, yaitu water wet dan oil wet. Pada kondisi water wet, batuan cenderung diselubungi oleh air dan memiliki permeabilitas yang baik sehingga fluida dapat mengalir dengan mudah di dalam rongga batuan. Pada kondisi oil wet, batuan cenderung diselubungi oleh minyak yang dapat menurunkan permeabilitas akibat penebalan lapisan minyak pada batuan formasi. Penggunaan surfaktan dapat mengubah muatan listrik pada permukaan batuan atau logam dan dapat teradsorpsi ke dalam batuan sehingga sifat kebasahan dapat berubah (Allen dan Roberts 1982). Uji sudut kontak dilakukan dengan meneteskan crude oil ke atas core sintetik dengan empat tahapan perlakuan. Sebelum uji dilakukan, batu yang akan digunakan direndam di dalam toluen hingga tidak terdapat residu tersisa di dalam rongga batu. Pada tahap pertama, batu yang telah bebas residu divakum lalu direndam di dalam air formasi (AF) selama 1 minggu dengan tujuan membuat batu jenuh oleh air formasi (AF). Batu yang sudah dijenuhkan oleh AF ditetesi

minyak bumi untuk mengetahui sudut kontak awal batuan. Batu pada tahap pertama tersebut direndam dalam wax selama 1 hari lalu ditetesi kembali dengan minyak. Pada tahap ketiga, batu direndam di dalam wax dissolver selama 6 jam kemudian diuji dengan ditetesi minyak. Pada tahap terakhir, batuan pada tahap 3 direndam kembali dengan air formasi selama 1 hari, lalu sudut kontak diuji kembali dengan meneteskan minyak pada batuan. Seluruh kondisi perendaman dilakukan pada suhu 60 o C dengan tujuan meniru kondisi di dalam reservoir pada saat proses soaking untuk stimulasi dilakukan. Sudut kontak ( o ) 50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0 1 3 5 7 10 Konsentrasi surfaktan (%) Tahapan uji: Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Gambar 11 Pengaruh wax dissolver pada berbagai konsentrasi surfaktan terhadap sudut kontak pada core Hasil uji sudut kontak awal berada pada rentang 22.05 o hingga 24.47 o. Dari hasil tersebut terlihat bahwa sudut kontak cenderung kecil yang mengindikasikan bahwa batuan bersifat oil wet. Pada tahap kedua terjadi penurunan nilai sudut kontak dengan rentang nilai 19.12 o hingga 21.08 o. Penurunan nilai sudut kontak ini menunjukkan bahwa keberadaan wax dapat meningkatkan sifat oil wet pada batuan. Pada tahap ketiga dan keempat terlihat peningkatan nilai sudut kontak seperti yang dapat dilihat pada Gambar 11. Peningkatan nilai tertinggi terdapat pada penggunaan wax dissolver dengan Surfaktan minyak sawit 5% sebesar 45.79 o pada tahap keempat. Nilai sudut kontak terus menurun hingga wax dissolver dengan surfaktan 10%. Pada batuan reservoir, minyak mentah terjebak akibat adanya kohesifitas yang tinggi antar gelembung minyak dalam pori-pori reservoir yang menyebabkan tekanan kapiler yang tinggi (Rivai 2011). Penambahan wax dissolver pada tahap ke-3 perendaman, selain dapat melarutkan wax pada permukaan batuan, juga terdapat penempelan bagian hidrofobik dari surfaktan ke gelembung minyak pada pori-pori. Pada tahap ke-4, air formasi yang digunakan untuk merendam batuan membentuk emulsi dengan minyak di dalam pori-pori. Emulsi yang terjadi menyebabkan menurunnya kohesifitas antar molekul minyak sehingga menurunkan tekanan kapiler. 17

18 Sifat Kebasahan pada logam Uji ini dilakukan untuk melihat kemampuan wax dissolver dalam melarutkan wax pada permukaan logam tanpa pengadukan serta kemampuan dalam mengubah sifat kebasahan permukaan logam. Pengujian ini dilakukan sebagai simulasi melarutkan wax pada pipa produksi yang terbuat dari logam. Persentase bobot wax yang terlepas dan terlarut selama perendaman dengan wax dissolver dihitung sebagai persentase terlarut. Sifat kebasahan pada logam dilihat dari hasil perendaman secara visual. Hasil uji sifat kebasahan pada Gambar 12 yang menunjukkan nilai persentase kelarutan tertinggi pada penggunaan wax dissolver dengan surfaktan 5% dengan nilai kelarutan 61.55%. Gambar 13 menunjukkan penampakan visual hasil uji. Secara berturut-turut dari kiri ke kanan menunjukkan hasil perendaman pada wax dissolver dengan konsentrasi surfaktan 0%, 1%, 3%, 5%, 7% dan 10%. Pada pengamatan secara visual terlihat bahwa terdapat pelepasan wax dari pinggir luar logam pada penggunaan wax dissolver dengan surfaktan. Pada penggunaan wax dissolver tanpa surfaktan, secara visual terlihat bahwa wax terlepas dari endapan paling atas tanpa terlihatnya permukaan logam. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan surfaktan dapat mengubah sifat kebasahan logam menjadi water wet sehingga wax menjadi lebih mudah terlepas dari permukaan logam. Gambar 12 Pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap kebasahan pada logam Gambar 13 Penampakan visual uji kebasahan pada logam Berdasarkan hasil uji sudut kontak pada core dan sifat kebasahan pada logam, uji berikutnya berupa uji filtrasi, uji ketahanan wax dissolver terhadap suhu dan uji core flood, dilakukan pada wax dissolver yang memiliki hasil paling optimal yaitu pada wax dissolver dengan surfaktan 5%. Uji tersebut dilakukan untuk melihat kemungkinan kinerja wax dissolver dengan konsentrasi surfaktan 5% dalam melarutkan wax di dalam reservoir.

19 Uji filtrasi Uji filtrasi dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya presipitan di dalam wax dissolver. Adanya presipitan pada larutan dapat menyebabkan penyumbatan pori-pori reservoir (Rivai 2011). Uji dilakukan dengan cara melihat laju alir larutan pada ukuran pori tertentu yang merepresentasikan keadaan formasi batuan reservoir. Kinerja larutan surfaktan yang baik memiliki nilai filtration ratio (Fr) kurang dari 1.2. Semakin besar nilai Fr maka kemungkinan terjadinya penyumbatan akan semakin besar. Uji filtrasi dilakukan pada wax dissolver surfaktan minyak sawit 5% dengan dua kali pengulangan menggunakan kertas saring membran ukuran 1.2 mikron. Berdasarkan hasil uji filtrasi, didapat nilai Fr rata-rata 1.08. Nilai Fr yang diperoleh kurang dari 1.2, sehingga wax dissolver surfaktan minyak sawit 5% dapat dikatakan memiliki kinerja yang cenderung baik. Uji ketahanan suhu Kondisi suhu reservoir lebih tinggi dari suhu permukaan. Oleh karena itu dibutuhkan uji untuk melihat stabilitas kinerja wax dissolver pada suhu yang tinggi. Uji ketahanan suhu wax dissolver dilakukan dengan melakukan penyimpanan wax dissolver di dalam oven pada suhu 60 o C sesuai dengan suhu reservoir sumur X selama 14 hari. Selama waktu uji 14 hari dilakukan uji IFT pada hari ke 0, 1, 3, 5, 7 dan 14 untuk melihat perubahan nilai IFT yang terjadi pada wax dissolver. Hasil uji terlihat pada Gambar 14. Pada hari ke-0, wax dissolver memiliki nilai IFT 1.04x10-2 dyne/cm, nilai IFT menurun pada pemanasan hari pertama menjadi 9.15x10-3 dyne/cm. Nilai IFT pada hari berikutnya terus menurun hingga hari ke-14 menjadi 3.63x10-3 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa wax dissolver tetap stabil dan kinerja membaik karena nilai IFT terus menurun dengan adanya pemanasan pada suhu 60 o C. 1.20E-02 1.00E-02 IFT (dyne/cm) 8.00E-03 6.00E-03 4.00E-03 2.00E-03 0.00E+00 0 1 3 5 7 14 Lama Pemanasan (Hari ke - ) Gambar 14 Grafik uji stabilitas wax dissolver surfaktan minyak sawit 5% terhadap suhu reservoir

20 Uji core flooding skala laboratorium Injeksi wax dissolver untuk membersihkan pipa tidak hanya berpengaruh pada pembersihan wax yang melekat di dinding pipa. Injeksi wax dissolver akan masuk ke dalam reservoir yang juga akan mempengaruhi minyak pada batuan (core) reservoir. Menurut Rivai (2011), terdapat gaya tarik-menarik antara gelembung minyak dengan batuan di dalam reservoir yang menyebabkan tingginya tekanan kapiler. Tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan penyempitan pori-pori batuan. Penggunaan larutan surfaktan dengan nilai IFT yang rendah dapat menurunkan tekanan kapiler antara batuan dengan minyak (Raysa 2013), sehingga fasa minyak dapat keluar dari pori dan bertemu fasa minyak lain membentuk oil bank (Rivai 2011) yang dapat di recovery ketika dilakukan water flooding atau proses recovery minyak sekunder. Kemampuan wax dissolver dalam mempengaruhi dan mendesak minyak di dalam batuan diuji dengan uji core flooding dalam skala laboratorium. Uji dilakukan dengan menggunakan core berea yang merupakan core sintetik yang memiliki permeabilitas yang mirip dengan core native di lapangan X, yaitu sekitar 20-100 md. Uji dilakukan dengan menjenuhkan core dengan air formasi lalu direndam dalam air formasi selama 1 minggu. Volume ketika kondisi batuan telah jenuh dengan air formasi disebut dengan 1 pore volume (PV). Core yang telah jenuh dengan air formasi diinjeksi dengan minyak mentah hingga tidak ada air formasi yang keluar. Jumlah minyak di dalam core atau initial oil in place (IOIP) diukur dengan melihat jumlah air formasi yang keluar dari dalam core akibat didorong oleh minyak yang masuk. Selanjutnya dilakukan injeksi dengan air produksi atau air injeksi sebagai tahap recovery sekunder yaitu water flooding, hingga tidak ada lagi minyak yang keluar. Wax dissolver diinjeksikan sebanyak 0.3 PV, lalu dilakukan soaking selama semalaman (12 hingga 18 jam). Proses soaking dilakukan sebagai simulasi pembuangan wax deposit di lapangan X yang dilakukan selama 2 hari. Proses recovery minyak kembali dilakukan dengan injeksi air formasi sebanyak 2 hingga 5 PV hingga tidak ada lagi minyak yang diproduksi. Minyak yang telah ditampung diukur volume dan dihitung recovery yang diperoleh. Tabel 7 Recovery minyak bumi pada uji core flooding Kode core water flood (%IOIP) wax dissolver (%IOIP) Total Recovery (%) KB-3 34.5 44.7 79.2 KB-4 42.3 49.2 91.5 Wax dissolver terbuat dari larutan nonpolar yang mudah larut dalam minyak mentah. Oleh karena itu perlu diketahui jumlah recovery wax dissolver. Jumlah wax dissolver yang dapat diambil kembali dengan water flooding digunakan untuk mengurangi jumlah recovery total sehingga didapat jumlah recovery minyak tanpa adanya wax dissolver. Tahapan uji coreflood untuk mengetahui standar wax dissolver yang diperoleh kembali dilakukan tanpa adanya

tahapan penjenuhan core dengan minyak mentah. Hasil uji standar recovery wax dissolver yang didapat yaitu 16% dari wax dissolver yang diinjeksikan. Uji core flood dilakukan dengan dua kali pengulangan. Hasil recovery uji core flood terlihat pada Tabel 7. Penggunaan wax dissolver dapat meningkatkan recovery minyak 44.7% hingga 49.2% IOIP. Total minyak yang dapat diperoleh pada uji yaitu 79.2% dan 91.5% IOIP. 21 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Formulasi wax dissolver terbaik diperoleh dengan komposisi pelarut A dengan pelarut B 1:1, dengan penambahan surfaktan minyak sawit 5%. Karakteristik wax dissolver yang diperoleh yaitu memiliki nilai IFT pada suhu 60 o C sebesar 2.04x10-3 dyne/cm, densitas 0.83 g/cm 3 dan viskositas 0.95 cp. Berdasarkan kinerjanya, uji visual pada tabung ulir menunjukkan adanya perubahan sifat adhesif antara wax dengan kaca dengan adanya penambahan surfaktan minyak sawit 5% pada pelarut. Sudut kontak pada core mengalami peningkatan hingga 45.79 o yang menunjukkan perubahan sifat kebasahan pada core menjadi cenderung water wet. Kelarutan pada logam mencapai 61.55%. Uji filtrasi menunjukkan nilai filtration ratio (Fr) yang baik yaitu 1.08. Wax dissolver memiliki ketahanan suhu yang baik serta dapat meningkatkan recovery minyak mentah antara 44.7% hingga 49.2%. Saran Perlu ditambahkan aditif berupa pour point despressant (PPD) untuk mencegah terbentuknya kembali wax. DAFTAR PUSTAKA Adewusi VA. 1997. Prediction of wax deposition potential of hydrocarbon systems from viscosity-pressure correlations. Fuel. 70 (12) : 1079 1083. Allen TO dan Roberts AP. 1982. Production Operations: Well Completions, Workover, and Stimulation Second Edition, Volume 2. Oklahoma (US): Oil and Gas Consultants International, Inc. Al-Yaari M. 2011. Parafin wax deposition : mitigating and removal techniques. Simposium SPE International. Dhahran (SA), 14 16 Maret 2011 ASTM D 97. 2015. Standard test method for pour point of petroleum products. American Societyfor Testing and Materials. Bello OO, Teodoriu C dan Reinicke M. 2006. An evaluation of the performance of selected wax inhibitors on parrafin deposition of Nigerian crude oils. J Petrol Sci Tech. 24 : 195 206.

22 Burger ED, Perkins TK dan Striegler JH. 1981. Studies of wax deposition in the trans alaska pipelines. J Petrol Tech. 8788 : 1075 1086. Clesceri LS, Greenberg AE dan Eaton AD. 1999. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (SMEWW), 20 th Edition. Maryland (US) : United book press. De Oliveira MCK, Carvalho RM, Carvalho AB, Couto BC, Faria FRD, dan Cardoso RLP. 2010. Waxy crude oil emulsion gel: impact on flow assurance. Energy Fuels. 24: 2287 2293. Ekaputra AA, Sabil KM, Hosseinipour A dan Saaid IB. 2014. Impacts of viscosity, density and pour point to the wax deposition. J App Sci. 14 (23) : 3334-3338. Ellison BT, Gallagher CT, Frostman LM dan Lorimer SE. 2000. The physical chemistry of wax, hydrates and asphaltene. Offshore technology conference. Houston (US), 1 4 May 2000. Emegwalu CC. 2009. Enhanced oil recovery : surfactant flooding as a possibility for the norne e-segment [internet]. (diakses pada 2017 Feb 9). Tersedia pada : www.ipt.ntnu.no Hyne NJ. 2011. Nontechnical Guide to Petroleum Geology, Exploration, Drilling and Production, 3rd Edition. Oklahoma (US) : PennWell. Janku J, Bartovska L, Soukup J, Jursik M dan Hamouzova. 2012. Density and surface tension of aqueous solutions of adjuvants used for tank-mixes with pesticides. Plant soil environ. 58 (12) : 568-572. Matheson KL. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. Champaign : AOCS Press. Di dalam : Rasdiana FZ. 2016. Formulasi dan kinerja asphaltene dissolver menggunakan surfaktan anionik dari minyak sawit [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Miles GD dan Shedlovsky L. 1944. Minima in surface tensio-concetration curves of solutions of sodium alcohol sulfates. J Phys Chem. 48 (1) : 57 62. Munson BR, Young DF, Okiishi TH dan Huebsch WW. 2009. Fundamentals of Fluid Mechanics, Sixth Edition. Danvers (US) : John Wiley and Sons, Inc. Oktavian R. 2011. Kajian kinerja surfaktan alkil poliglikosida (APG) untuk aplikasi enhanced water flooding [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Pratomo A. 2005. Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit Pada Industri Perminyakan. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak sawit pada Berbagai lndustri. Bogor (ID), 24 November 2005. Raysa. 2013. Formulasi surfaktan MES sebagai acid stimulation agent untuk lapangan karbonat (studi kasus lapangan T) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Rivai M. 2011. Produksi dan formulasi surfaktan berbasis metil ester sulfonat dari olein sawit untuk aplikasi enhanced oil recovery [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Schirmer RE. 2000. Modern Methods of Pharmaceutical Analysis, Second Edition. California (US) : CRC pr. Shaw DJ. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Oxford (GB) : Butterworths. Snyder LR. 1974. Classification of the solvent properties of common liquids. Journal of chromatography. 92 : 223 230.

Wei B. 2015. Recent advances on mitigating wax problem using polymeric wax crystal modifier. J Petrol Explor Prod Tech. 5 : 391 401. Winarko S, Yanwirasti, Asri A, dan Agus S. 2014. Penurunan aktivitas poliferasi sel adenokarsinoma mamma mencit C3H akibat pemberian ekstrak etanol lengkuas (Alpina galanga). Majalah patologi. 23 (2) 23

24 Lampiran 1 Prosedur analisis air formasi dan minyak mentah 1. Metode ICP (inductively coupled plasma) (SMEWW 20 th 1999 : 3120 B) Alat yang digunakan terdiri dari spektrometer dan sumber ICP (inductively coupled plasma). Sampel berupa aerosol diinjeksikan ke dalam ICP. Molekul sampel yang masuk didisosiasi secara sempurna dengan rentang suhu pemanasan plasma berupa argon terionisasi 6000 hingga 8000 o K. Molekul yang telah terpisah diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil uji dapat dilihat melalui komputer dengan adanya computer-controlled readout system. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi kandungan alumunium, antimoni, arsen, barium, berilium, boron, cadmium, kromium, kobalt, tembaga, besi, litium, magnesium, mangan, molibdenum, nikel, potasium, selenium, silika, perak, sodium, strontium, thalium, vanadium dan seng. 2. Metode penyerapan asam nitrat (SMEWW 20 th 1999 : 3030 E) Metode ini merupakan metode untuk preparasi sampel sebelum diukur kandungannya dengan menggunakan berbagai teknik instrumental. Metode dibagi menjadi dua sesuai keperluan untuk menganalisis komponen dengan konsentrasi tinggi (>0.1 mg/l) dan konsentrasi rendah (<0.1 mg/l). Pada persiapan untuk analisis konsentrasi tinggi, 100 ml sampel dimasukkan ke dalam beaker dan ditambahkan 5 ml HNO 3. Sampel dididihkan dengan kondisi adanya boiling chips dan beaker dalam kondisi tertutup. Setelah mendidih, sampel dididihkan secara perlahan (slow boil) dan dievaporasi hingga volume mencapai 20 ml sebelum terjadi presipitasi sampel. Lalu, penambahan HNO 3 dengan pemanasan terus dilakukan hingga sampel terlihat terang, dengan larutan yang bening. Biarkan sampel kering. Selanjutnya beaker dicuci dengan air bebas metal dan disaring jika perlu. Filtrat dipindahkan ke 100 ml volumetric flask dengan penambahan 5 ml air sebanyak 2 kali. Larutan sampel didinginkan lalu diaduk hingga tercampur sempurna. Pada persiapan sampel untuk konsentrasi rendah, pipa polipropilen dengan ukuran 17x100 mm direndam dalam 2N HNO 3 selama beberapa hari lalu dicuci 3 kali dengan menggunakan air bebas metal. Selanjutnya pipa dikeringkan dengan suhu rendah selama semalaman. Sebanyak 10 ml sampel dipipet ke dalam pipa. HNO 3 sebanyak 0.5 ml dipipet ke dalam pipa lalu dipanaskan dengan block heater dengan suhu 105 o C. Penutup diletakkan tidak menutup sempurna pada tiap tabung untuk membiarkan uap asam keluar dan mencegah terjadinya kontaminasi. Sampel dipanaskan dengan waktu minimum 2 jam dengan kondisi tidak sampai mendidih. HNO 3 ditambahkan secukupnya hingga larutan menjadi bening. Pipa didinginkan dan disimpan pada suhu 4 o C hingga analisis siap dilakukan. 3. Metode titrasi (SMEWW 20 th 1999 : 2320 B) Metode ini digunakan untuk menghitung ion hidroksil yang ada pada sampel sebagai hasil dari dissosiasi atau hidrolisis larutan karena bereaksi dengan asam (H 2 SO 4 atau HCl). Alkalinitas yang diperoleh tergantung pada ph akhir yang digunakan. Alkalinitas phenolphtalein merupakan hasil dari titrasi sampel

hingga ph 8.3. Alkalinitas total diperoleh dari titrasi hingga ph tertentu sesuai dengan kondisi uji yang dapat dilihat pada tabel yang disediakan. Sampel dikatakan memiliki alkalinitas rendah memiliki nilai titrasi < 20 mg CaCO 3 /L. Alkalinitas diklasifikasi menjadi 3 yaitu bikarbonat (HCO 3 - ), karbonat (CO 3 2- ) dan hidroksida (OH - ) yang dapat dibedakan berdasarkan kandungan alkalinitas phenolphtalein. Indikator warna yang bisa digunakan yaitu phenolphtalein atau metacresol purple untuk titrasi hingga ph 8.3, dan Bromcresol green atau campuran bromcresol green-methyl red untuk ph 4.5. Sampel yang digunakan tidak di saring, diencerkan maupun dikonsentratkan. Alkalinitas, mg CaCO 3 /L = (A x N x 50,000)/mL sampel A = ml larutan asam standar yang digunakan N = Normalitas larutan asam standar Pada alkalinitas rendah : Alkalinitas, mg CaCO 3 /L = ((2B-C) x N x 50,000)/mL sampel B = ml larutan asam standar yang digunakan hingga ph awal C = ml larutan asam standar yang digunakan hingga ph lebih kecil 0.3 dari ph awal N = Normalitas larutan asam standar 4. Total padatan (SMEWW 20 th 1999 : 2540 B) Metode 2540 pada SMEWW merupakan metode yang dilakukan untuk mengetahui kandungan padatan pada larutan yang homogen. Metode 2540 B digunakan untuk mengetahui total padatan yang dapat diperoleh dengan pengeringan pada suhu 103 hingga 105 o C, didinginkan lalu ditimbang. Evaporasi terus dilakukan hingga bobot sampel konstan atau hingga bobot berkurang 4% dari bobot awal. Kalkulasi dilakukan sebagai berikut : mg total padatan/l = ((A B) x 1000)/sample volume, ml keterangan : A = Bobot residu kering + bobot cawan (mg) B = Bobot cawan (mg) 5. Total padatan terlarut (SMEWW 20 th 1999 : 2540 C) Metode ini digunakan untuk mengukur total padatan terlarut. Sampel diaduk dengan magnetic stirrer hingga homogen lalu dipipet dengan volume tertentu ke glass fiber filter dengan kondisi vakum. Filter dicuci dengan 10 ml air dengan reagent-grade sebanyak 3 kali. Total filtrat ditimbang dengan cawan evaporasi lalu dievaporasi dengan suhu 180 ± 2 o C selama 1 jam, didinginkan lalu ditimbang. Evaporasi terus dilakukan hingga bobot sampel konstan atau hingga bobot berkurang 4% dari bobot awal. Kalkulasi yang dilakukan sebagai berikut : 25

26 mg total padatan/l = ((A B) x 1000)/sample volume, ml keterangan : A = Bobot residu kering + bobot cawan (mg) B = Bobot cawan (mg) 6. Total padatan tidak terlarut (SMEWW 20 th 1999 : 2540 D) Metode ini digunakan untuk mengetahui total padatan tidak terlarut pada larutan. Sampel diaduk dengan magnetic stirrer hingga homogen lalu dipipet dengan volume tertentu ke glass fiber filter dengan kondisi vakum. Filter dicuci dengan 10 ml air dengan reagent-grade sebanyak 3 kali. Proses penyedotan vakum dilakukan selama 3 menit setelah pencucian filter dengan reagent-grade water. Filter dengan padatan yang tidak tersaring dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 103 hingga 105 o C, didinginkan lalu ditimbang. Evaporasi terus dilakukan hingga bobot sampel konstan atau hingga bobot berkurang 4% dari bobot awal. Kalkulasi yang dilakukan sebagai berikut : mg total padatan/l = ((A B) x 1000)/sample volume, ml keterangan : A = Bobot residu kering + bobot filter (mg) B = Bobot filter (mg) 7. Hardness (SMEWW 20 th 1999 : 2340 D) Metode ini digunakan untuk menentukan hardness suatu larutan berdasarkan kandungan mg CaCO 3 per liter larutan. Penentuan hardness dilakukan dengan cara kalkulasi dari hasil penentuan kandungan kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) pada larutan. Perhitungan yang dilakukan yaitu : Hardness, setara dengan mg CaCO 3 /L = 2.497 [Ca, mg/l] + 4.118 [Mg, mg/l] 8. Metode partisi gravimetri (SMEWW 20 th 1999 : 5520 B) Metode ini digunakan untuk mengukur kandungan oil and grease pada air. Sampel yang telah diperoleh ditandai ketinggiannya pada botol atau bobot botol ditimbang, hal ini dilakukan untuk menentukan volume sampel. Sampel diasamkan dengan penambahan HCl dengan perbandingan 1:1, atau H 2 SO 4 dengan perbandingan 1:1 hingga mencapai ph 2 atau kurang dari 2 (pada umumnya penambahan 5 ml asam cukup untuk 1 L sampel). Sampel ditransfer ke separatory funnel dengan liquid funnel. Botol sampel dicuci dengan 30 ml pelarut untuk ekstraksi yang berupa n-hexan atau campuran pelarut. Pelarut tersebut digunakan untuk mencuci separatory funnel. Campuran sampel dengan pelarut dikocok 2 menit hingga terjadi pemisahan layer. Layer bagian air dan layer komponen organik dikeluarkan ke kontainer sampel. Layer pelarut dialirkan melewati kertas saring dan 10 g Na 2 SO 4, lalu dimasukkan ke labu distilasi. Pelarut

di distilasi dari labu dengan water bath dengan suhu 85 o C atau suhu lain sesuai dengan pelarut yang digunakan. Setelah kondensasi yang dapat dilihat berhenti, water bath ditutup dengan suhu tetap pada suhu 85 o C lalu distilasi dilakukan kembali di atas penutup water bath selama 15 menit. Udara dikeluarkan dari dalam labu dan lakukan distilasi dalam kondisi vakum selama 1 menit. Labu distilasi didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang. Jumlah oil and grease pada sampel dapat dihitung dengan : mg oil and grease/l = ((A B) x 1000)/ ml sample Keterangan : A = Bobot yang diperoleh dr labu yang telah ditera B = Bobot residu dari blanko pelarut Lampiran 2 Prosedur analisis wax dissolver 1. Tegangan antarmuka (SBRC 2012) IFT (Interfacial Tension) atau tegangan antarmuka merupakan parameter yang sangat penting untuk menentukan apakah suatu jenis surfaktan bagus atau tidak sebagai injection chemical. Teknik pengukuran dilakukan atas dasar percepatan gravitasi bumi yang memberi pengaruh pada lebar drop cairan yang berada pada tabung putar dengan arah longitudinal. Surfaktan yang memiliki kualitas yang baik mempunyai nilai IFT sekitar 10-3 Dyne/cm. Pengukuran tegangan antarmuka minyak dengan air dilakukan dengan menggunakan Spinning Drop Interfacial Tensiometer. Uji dilakukan dengan memasukkan sampel formula ke dalam alat yang kecepatan putarnya diatur 6000 rpm pada suhu ruang, lalu diukur lebar droplet yang terbentuk. Nilai tegangan antarmuka dapat dihitung juga dengan menggunakan rumus berikut. 2. Viskositas Y = ¼ ω 2 D 3 Δp, dengan syarat: (L/D 4) Keterangan : Y = nilai tegangan antarmuka (dyne/cm) ω = kecepatan angular (s -1 ) D = radius droplet pada axis (cm) Δp = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g/cm 3 ) Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra. Spindle yang tersedia dipasang ke viskometer dan kemudian diturunkan perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Untuk memperoleh sampel yang mewakili, ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle pada garis kira-kira 3.2 mm diatas bagian spindle yang meruncing dan kabel pengukuran suhu pada alat dipasangkan. Rhometer kemudian dijalankan 27

28 dengan kecepatan 6 rpm dan kemudian baca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas akan terbaca secara otomatis oleh alat. 3. Densitas Uji densitas dilakukan dengan menggunakan Densitymeter DMA 4500M Anton Paar. Sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit. Setelah alat dinyalakan, pilih mode density, lalu sambungkan selang pompa ke adapter dan aktifkan. Lakukan kalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20 o C terbaca 0.00120 gram/cm 3 (faktor koreksi + 0.00005), dalam rentang 0.00125 hingga 0.00115. Pengukuran dilakukan pada temperatur ruang. Sampel yang telah disiapkan dinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe. Pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatakan valid oleh alat. Setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali. Bilas kembali U-tube dengan menggunakan pelarut yang mudah mengering sebanyak 2 atatu 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi lebih akurat. 4. Pengukuran ph Pengujian ph dilakukan dengan menggunakan ph-meter Schott. Nilai ph dari surfaktan ini menggunakan prinsip potensiometrik. Kesalahan pengukuran dihindari dengan cara melakukan kalibrasi menggunakan larutan buffer standar. Alat ph-meter Schott menggunakan buffer ph 4.0, 7.0, dan 10.0 sebagai larutan standar. Kalibrasi dilakukan dengan mencelupkan elektroda gelas ke dalam larutan standar hingga alat menunjukkan nilai yang sesuai. Elektroda gelas dicelupkan ke sampel yang berupa MES. Pembacaan dilakukan setelah alat menunjukkan nilai yang stabil. Untuk memperoleh tingkat akurasi yang baik, pengukuran dilakukan secara duplo. Selisih maksimal angka yang diperoleh dari dua kali pengukuran lebih dari 0.2. Jika selisihnya lebih dari 0.2 maka harus dilakukan kalibrasi alat dan pengukuran ulang. Lampiran 3 Prosedur analisis kinerja wax dissolver 1. Uji sudut kontak pada core (SBRC 2012) Uji dilakukan dengan mengukur sudut kontak (θ) yang terbentuk oleh permukaan padatan dengan garis singgung terhadap permukaan fluida pada titik kontak dengan padatannya. Sampel batuan yang akan diuji sudut kontaknya dengan minyak awalnya dilakukan proses pencucian dengan toluena. Pengujian dilakukan dengan empat tahap perendaman. Tahap perendaman yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Batuan yang telah dicuci direndam dalam air formasi selama 1 minggu kemudian diuji sudut kontaknya dengan meneteskan minyak pada batuan.

2. Batuan yang sama (batuan tahap 1) direndam dalam wax selama 1 hari, lalu dicuci dengan air formasi kemudian diuji sudut kontaknya dengan meneteskan minyak pada batuan. 3. Batuan pada tahap 2 direndam dengan menggunakan wax dissolver kemudian diuji dengan ditetesi minyak. 4. Batuan pada tahap 3 direndam kembali dengan menggunakan air formasi selama 1 hari kemudian diuji dengan ditetesi minyak. *) Keterangan : semua perendaman batuan dilakukan suhu reservoir (60 o C). 2. Uji kebasahan pada logam (Rasdiana 2016) Pengujian ini mengacu pada percobaan yang dilakukan oleh Rasdiana, 2016 dengan modifikasi. Pengujian dilakukan sebagai simulasi pelarutan wax yang menumpuk pada permukaan logam. Logam disiapkan dengan ketebalan 0.3 cm dan diameter 3.8 cm. Setelah itu, logam dibersihkan dari pengotor dan lemak menggunakan etanol. Setelah dibersihkan, logam dikeringkan dari etanol yang tersisa. Kemudian logam ditimbang dan dinyatakan sebagai bobot awal logam. Sebanyak 1 g sampel wax ditimbang, sampel wax dioleskan pada potongan logam, kemudian ditempatkan dalam jar yang berisi larutan wax dissolver sebanyak 10 ml dan dilakukan perendaman selama 1 jam. Kemudian potongan logam diangkat dan diamati perubahan yang terjadi secara visual dan dilakukan penimbangan pertambahan bobot logam setelah pelarutan. 29 3. Uji Filtrasi (SBRC 2012) Filtration Ratio diperoleh melalui uji filtrasi yang dilakukan dengan menggunakan filter apparatus. Sebelum pengujian, seluruh bagian apparatus dipastikan dalam keadaaan bersih. Tangki nitrogen, pressure vessel, dan membrane filter holder dihubungkan dengan tabung dan valve. Selanjutnya dihubungkan dengan tabung drain. Membran filter dimasukkan ke dalam membrane filter holder secara tepat. Membran filter dibasahi dan jangan sampai ada udara yang keluar. Dimasukkan 200 250 ml larutan surfaktan dengan salinitas optimal ke dalam pressure vessel lalu ditutup hingga rapat bagian atas dan bagian suplai. Selanjutnya valve ditutup dan diberikan tekanan 20 psig melalui regulator nitrogen. Graduated cylinder ditempatkan di bawah outlet filter lalu valve pada dasar filter pressure vessel dibuka dan hitung waktu dengan menggunakan stopwatch. Tekanan yang digunakan (20 psig) harus konstan. Larutan dalam filter dipastikan sesuai dengan suhu reservoir. Catat kumulatif waktu dari tiap kenaikan filter sebanyak 20 ml. Filtrasi dilanjutkan sampai 200 ml larutan sudah terfiltrasi atau filtrasi telah berhenti. Membran filter diperiksa apakah terdapat sobekan atau kerusakan lainnya seperti bagian yang tidak terbasahi dari filter. Jika terdapat kerusakan maka prosedur harus diulangi. Adanya material lain pada filter dicatat. Untuk mengetahui laju alir dari bahan dan mengetahui filtration ratio (Fr) dari fluida yang digunakan perhitungan Fr, perhitungannya dijabarkan pada rumus di bawah ini:

30 Fr = t200 t180 t80 t60 < 1.2 Keterangan: t200 = waktu akumulasi filtrasi fluida mencapai 200 ml t180 = waktu akumulasi filtrasi fluida mencapai 180 ml t80 = waktu akumulasi filtrasi fluida mencapai 80 ml t60 = waktu akumulasi filtrasi fluida mencapai 60 ml 4. Uji stabilitas wax dissolver terhadap suhu (Thermal stability test) Sebanyak 20 ml formula surfaktan dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu reservoir. Setelah satu hari, diamati perubahan yang terjadi dan didokumentasikan serta diukur densitas dan IFT dari masing-masing larutan. Seluruh botol disimpan kembali pada oven bersuhu reservoir (60 o C) lalu diamati dan didokumentasikan serta diukur nilai IFT masing-masing larutan. Uji ini dilakukan selama 14 hari dengan pengamatan dilakukan pada hari ke 0,1, 3, 5, 7 dan 14. 5. Uji core flood Tahapan uji core flood yang dilakukan untuk stimulasi matriks dimulai dengan mensaturasi batuan reservoir (core) bersih dengan air formasi/air produksi dari sumur. Core yang telah jenuh akan air formasi direndam dalam air formasi selama 1 minggu. Setelah itu, core disaturasi dengan minyak mentah (water displacement by oil) sampai tidak diperoleh lagi air formasi yang keluar dari batuan. Air formasi atau air produksi diinjeksikan sampai tidak ada minyak yang keluar. Selanjutnya formula surfaktan diinjeksikan sebanyak 0.3 PV. Proses soaking core di dalam core holder dilakukan selama 12 hingga 18 jam. Air formasi diinjeksikan kembali hingga tidak ada minyak lagi yang terproduksi. Minyak yang diproduksi ditampung dan diukur volumenya. Lampiran 4 Hasil uji tegangan antar muka wax dissolver Surfaktan (%) IFT ± stdev (dyne/cm) 0 6.44x10-1 ± 0.00 1 1.92x10-2 ± 0.00 3 3.69x10-3 ± 0.00 5 2.04x10-3 ± 0.00 7 2.31x10-3 ± 0.00 10 3.34x10-3 ± 0.00

31 Lampiran 5 Hasil uji viskositas wax dissolver Viskositas (cp) Suhu ( o Surfaktan (%) C) 0 1 3 5 7 10 30 1.160 1.200 1.325 1.330 1.515 1.610 40 1.015 1.025 1.150 1.215 1.295 1.405 50 0.895 0.910 0.960 1.090 1.090 1.205 60 0.850 0.870 0.870 0.950 0.995 1.065 Lampiran 6 Hasil uji densitas wax dissolver Surfaktan (%) Densitas ± stdev (g/cm3) 0 0.826 ± 0.000 1 0.826 ± 0.000 3 0.828 ± 0.000 5 0.831 ± 0.000 7 0.833 ± 0.000 10 0.838 ± 0.000 Lampiran 7 Hasil uji droplet wax dissolver a Penampakan visual formulasi wax dissolver

32 34 Lampiran 7 Hasil uji droplet wax dissolver (lanjutan...) b Hasil uji droplet Konsentrasi Surfaktan (%) 0 Ukuran Droplet Wax Dissolver (µm) Simplo ket. Duplo ket. larutan terlarut sempurna larutan terlarut sempurna 1 larutan terlarut sempurna larutan terlarut sempurna 3 larutan terlarut sempurna larutan terlarut sempurna

33 Lampiran 7 Hasil uji droplet wax dissolver (lanjutan...) Konsentrasi Surfaktan (%) Ukuran Droplet Wax Dissolver (µm) Simplo ket. Duplo ket. 5 larutan terlarut sempurna larutan terlarut sempurna 7 Ukuran droplet : Ukuran droplet : 3.67 3.47 6.80 4.61 8.48 8.33 Rata-rata : 6.32 5.47 SD : 2.44 2.54 10 Ukuran droplet : Ukuran droplet : 6.36 1.90 2.64 5.52 Rata-rata : 3.35 SD : 1.91

34 Lampiran 8 Hasil uji kelarutan wax a Hasil uji total kelarutan pada pemilihan pelarut Jenis Pelarut Rasio wax XP : pelarut 1:2 (%) 2:1 (%) 1:1 (%) A 72.1 53.59 58.21 B 51.5 41.17 42.28 C 11.99 23.44 21.99 Minyak X -34.66 5.85 1.41 b Efisiensi pelarut pada uji kelarutan untuk pemilihan pelarut Jenis Pelarut Rasio wax XP : pelarut 1:2 (%) 2:1 (%) 1:1 (%) A 36.05 53.59 58.21 B 25.75 41.17 42.28 C 5.995 23.44 21.99 Minyak X -17.33 5.85 1.41 c Hasil uji kelarutan pada pemilihan sistem pelarut biner Rasio pelarut Pelarut sistem biner A:B (%) A:C (%) A:D (%) 1:1 49.79 48.41 39.16 1:2 47.83 45.38 29.31 1:3 45.72 43.94 19.27 1:4 42.99 40.53 10.33 d Hasil uji kelarutan pada aplikasi wax dissolver Konsentrasi surfaktan (%) Rasio wax : wax dissolver 1:1 (%) 1:2 (%) 2:1 (%) 0 49.60 50.32 33.59 1 51.17 58.59 35.42 3 55.55 67.41 35.58 5 46.58 51.64 31.86 7 42.23 46.12 32.88 10 39.35 41.70 29.18

35 Lampiran 9 Hasil uji sudut kontak pada core Konsentrasi Surfaktan (%) Tahap 1( o ) Tahap 2 ( o ) Tahap 3 ( o ) Tahap 4 ( o ) 0 22.57 19.79 25.96 23.27 1 24.47 19.96 27.39 33.45 3 22.05 20.42 21.96 34.03 5 23.99 20.56 32.00 45.79 7 24.00 19.12 27.08 38.37 10 23.15 21.08 22.86 27.93 Lampiran 10 Hasil uji sifat kebasahan pada logam Konsentrasi surfaktan (%) Kelarutan ± stdev (%) 0 53.18 ± 0.33 1 56.28 ± 1.42 3 57.42 ± 0.19 5 61.55 ± 0.74 7 54.72 ± 1.83 10 50.10 ± 0.67 Lampiran 11 Hasil uji filtrasi Volume (ml) Ulangan 1 Ulangan 2 Ratarata Waktu (s) Akumulasi Waktu (s) Akumulasi 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 20 1.19 1.19 1.18 1.18 1.19 40 1.10 2.29 1.20 2.38 2.34 60 1.12 3.41 1.19 3.57 3.49 80 1.19 4.60 1.15 4.72 4.66 100 1.19 5.79 1.20 5.92 5.86 120 1.18 6.97 1.19 7.11 7.04 140 1.11 8.08 1.23 8.34 8.21 160 1.11 9.19 1.24 9.58 9.39 180 1.15 10.34 1.28 10.86 10.60 200 1.16 11.50 1.37 12.23 11.87 220 1.20 12.70 1.26 13.49 13.10 Fr 1.08

36 Lampiran 12 Hasil uji stabilitas terhadap suhu Lama pengamatan (hari ke -) IFT ± stdev (dyne/cm) 0 1.04x10-2 ± 0.00 1 9.15x10-3 ± 0.00 3 7.99x10-3 ± 0.00 5 4.76x10-3 ± 0.00 7 4.12x10-3 ± 0.00 14 3.63x10-3 ± 0.00 Lampiran 13 Hasil uji core flooding a Recovery standar wax dissolver Kode core Dimensi core D (cm) T (cm) Permeabilitas (md) Porositas (%) volume injeksi 0.3 PV (ml) Recovery (ml) Recovery (%) KB-1 3.75 4.23 19.65 18 2.5 0.45 18 KB-2 3.76 4.69 20.94 19 3 0.45 15 Rata-rata 16.5 b Karakteristik core dan hasil injeksi crude oil Kode core Dimensi core D (cm) T (cm) Permeabilitas (md) Porositas (%) Pore volume (ml) IOIP (ml) KB-3 5.1 3.8 22.5 18.9 10.6 5.8 KB-4 4.6 3.8 56.4 16.5 8.7 5.2

37 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 12 Februari 1995. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mohamad Solahudin dan Ibu Nenden Nila Emira. Penulis lulus dari pendidikan dasar di SD Insan Kamil pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di SMPN 14 Bogor hingga tahun 2009. Pada tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 5 Bogor dan lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan Pengabdian Masyarakat pada program Sahabat PM di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN). Penulis pernah menjadi panitia Educational and Cultural Expo pada International Scholarship and Education Expo yang diadakan oleh BEM KM IPB pada tahun 2013. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Peralatan Industri pada tahun ajaran 2015/2016. Pada bulan Juni hingga Agustus 2015 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT Evonik Sumiasih di Bekasi Timur, dengan judul Mempelajari Aplikasi Surfaktan untuk Berbagai Industri di PT Evonik Sumi Asih. Pada Pebruari hingga Maret 2017 penulis mengikuti Short Stay Program di International Environmental and Agricultural Science (IEAS) di Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT).