PENDAHULUAN Usaha pengembangan produksi ternak sapi potong di Sumatera Barat selalu dihadapi dengan masalah produktivitas yang rendah. Menurut Laporan Dinas Peternakan bekerja sama dengan Team Institute Of Animal Productio9 Lentzealler Berlin (1978) kebutuhan daging hewan yang berasal dari ternak Daging baru tercapai 2.2 kg/kapita/ tahun, sedangkan target yang dianjurkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah 8.1 Populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebesar 252 000 ekor, sekitar 20% terdapat di Pesisir Selatan dan sisanya di Kabupaten-Kabupaten lainnya (anonim, 1978). Tidak tercapainya target konsumsi minimal daginq yang berasal dari ternak Sapi di Sumatera Barat sebagai. akibat rendahnya produktivitas Sapi pada umumnya ter- masuk pula sapi-sapi lokal di Pesisir Selatan. Suatu ha1 yang telah jelas adalah bahwa peningkatan produksi daging di Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat, terutama dapat dicapai dengan peningkatan popu- lasi ternak sapi potong, dan peningkatan mutu genetiknya. Dengan telah ditetapkannya target setiap orang Indo- nesia perlu mengkonsumsi minimal daging 8.1 kg/kapita/ tahun, maka perlu dilakukan peningkatan supply bahan pangan yang berasal dari ternak daging, dengan jalan me- ningkatkan perkembangan usaha peternakan sapi pedaging
di Kabupaten Pesisir Selatan. Kemungkinan dapat ditingkatkannya usaha-usaha peternakan sapi potong akan mensuport tidak saja Propinsi Sumatera Barat tetapi juga Indonesia dalam penyediaan bahan pangan bernilai gizi tinggi yang berasal dari daging dan akan menambah pen* dapatan petani ternak serta memperluas lapangan usaha peternakan sapi potong. Untuk melihat kemungkinan tersebut, perlu diperoleh garnbaran dan pedoman dalam strategi pengembangan produksi ternak sapi. Dalam upaya penyusunan suatu program pengembangan peternakan disuatu daerah perlu diperhatikan faktorfaktor lingkungan yang lebih luas. Dalam hal ini ditinjau Perkembangan Peternakan, Masalah Peternakan dan Tujuan pengembangan Peternakan secara Nasional. I - Perkembangan Peternakan Selama pelita I dan 11, konsumsi Daging pada pelita I meningkat 6.05% dan pelita I1 meningkat 4.85 persen per tahun. Sedangkan Konsumsi telur, susu,meningkat selama pelita I dan I1 masing-masing 19% dan 11.9% per tahun (Biro Pusat Statistik, 1978, Analisa Konsumsi Daging, Telur, dan Susu di Indonesia).
Setelah pelita I yaitu pelita 11, konsumsi daging mulai menurun laju pertumbuhannya. Keadaan ini diduga disebabkan karena ternak sapi dan ternak kerbau terlalu banyak yang dipotong selama pelita I, ha1 ini mungkin terjadi karena sapi dan kerbau merupakan penghasil daping terbesar pertama dan kedua. Oleh karena itu kelestarian populasinya dikhawatir- kan terganggu, dan mengakibatkan populasi sapi pedaging susut 0.151% dan kerbau menurun 3.31% per tahun. Populasi ternak penghasil daging yang lain juga.menurun.kecuali kambing dan Domba (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan Populasi Ternak Dalam Pelita I dan I1 Ternak 1969 1974 1979 Laju Peruhahan Ayam kampung Itik Ayam ras Kambing D o m b a Babi Kuda Sapi pedaging Sapi perah Kerbau - --------- (juta ekor) ----- -- (%/tahun)-- 62.6 86.2 119 + 6.60 7.92 12.7 20.4 +9.94 0.856 2.92 9.97 +27.8 6.84 6.90 6.95 + 0.160 2.92 3.46 4.00 + 2.90 3.11 2.96 2.81-0.996 0.658 0.652 0.646 0.196 6.31 6.26 6.21-0.151 0.0554 0.0773 0.108 + 6.90 2.96 2.50 2.11-3.31 Sumber data : Dir. Bina Sarana Usaha Peternakan (1980) Buku Petunjuk Usaha Peternakan, Dir. Jen Peternakan.
Penyebab utama pernotongan ternak yang tinggi ini ada- lah pesatnya pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatannya. Masalah Perkembangan Peternakan Masalah pokok yang dihadapi peternakan dewasa ihi,+ kalau dilihat dari perkembangan peternakan selarna pelita I dan I1 adalah : (1) Populasi ternak yang ada sekarang terlalu sedikit untuk dapat mengimbangi permintaan yang makin rneningkat (2) Kernampuan berproduksi dari ternak yang ada belum dapat mengimbangi peningkatan permintaan tanpa terganggu kelestarian populasinya (3) Wilayah berkepadatan penduduk tinggi makin berkurang kernampuannya dalam mengembangkan peternakan. Bila dilihat dari segi tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia 2.34% per tahun dan kebutuhan baku gizi protein hewani yang berasal dari ternak adalah 5 gram protein/kapita/hari yang setara dengan 8.1 kg daging 2.2 kg susu, dan 2.2 kg telur per kapita/tahun maka kebutuhan baku gizi produksi ternak dan jumlah penduduk pertengahan tahun pertama pelita IV (1984) dan pada pertengahan tahun akhir pelita IV (1988) sebagai tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Proyeksi Kebutuhan Baku Gizi Protein Hewani Ternak dalam Pelita IV Produk Kebutuhan Kebutuhan Baku Gizi Ternak baku gizi (000 ton) (per-kapita/tahun) 1984 1988.- 1. Daging 8.1 kg 1 299.24 1 425-2. Susu segar 2.2 kg 352.88 387 - - --- Jumlah penduduk (Jiwa) 160.4 juta 387 juta Sumber : 1. Baku gizi protein Hewani ternak menurut NAS LIPI. 1968. 2. Jumlah penduduk diperoleh dari hasil sensus Penduduk Tahun 1980. Hasil analisa data peternakan selama 10 tahun terakhir yang dilakukan Direktorat Bina Program Peternakan (1982) memperlihatkan trend perkembangan 4.38% untuk daging, 9.45% untuk susu, dan 6.3% untuk telur per tahun. Dari angka tingkat perkembangan itu maka pada awal PELITA IV (1984) dirarnalkan hasil produk hewan ternak untuk Daging, susu dan telur masing-masing 677 500 ton, 98 300 ton, dan 270 000 ton, sedang pada akhir PELITA IV (1988) masingmasing adalah untuk daging 808 200 ton, susu 140 800 ton dan untuk telur 345 700 ton. Selanjutnya menurut Dir. Bina Program Peternakan (1982) elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging, susu, dan telur bersifat positif dengan perkiraan masing-masing untuk daging, susu, dan telur adalah 1.3, 1.5, dan 1.2 untuk setiap 1%
kenaikan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Apabila dalam PELITA IV yang akan datang pendapatan per kapita rata-rata naik 4% tahun, dan pertambahan penduduk tetap',. 2.34% per tahun, maka laju peningkatan permintaan terhadap daging, susu, t eclur; dan berturut-turut adal* 7.6%, 8.4% dan 7.2% per tahun. Dengan laju pertambahan penduduk 2.34%, trend perkembangan untuk daging 4.38%, untuk susu 9.45%, untuk telur 6.3%, dan tingkat perminta- an terhadap daging, susu, telur masing-masing adalah 7.6%, 8.4% dan 7.2% per tahunnya, maka akan terdapat kesenjang- an antara produk hewani daging, susu dan telur terhadap (a) Baku gizi dan (b) Konsumsi (Permintaan efektif) se- perti terlihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Kesenjangan. Antara Proyeksi ~ebutuhkn Baku Gizi, Permintaan Efektif (Konsuhsi) dengan Produksi Hewani-ternak dalam Pelita IV Produk hewani/ Kesenjangan Total Kesenjangan per- No' Kesen jangan (000 ton) kapita (kg) Produksi 1984 1988 1984 1988 1 2 3 4 5 6 1. Produksi daging terhadap : a. Baku gizi b. Konsumsi -621.74-89.77-617.40 3.88-220.28-0.56 3.51-1.25 2. Produksi susu terhadap : a. Baku Gizi -259.08-246.4-1.59-1.40 b. Konsumsi susu segar + 3.58 + 10.02 + 0.02 + 0.06
Konsumsi susu seluruhnya termasuk impor -727.2-926.6-4.53-5.26 3. Produksi Telur terhadap : a. Baku Gizi - 82.88-41.50-0.52-0.2% b. Konsumsi - 8.92-22.64-0.06-0.33 Sumber : Dir. Bina Program Peternakan (1982) Dari hasil analisa di atas yang dilakukan oleh Direktorat Bina Program Direktorat Jenderal Peterndkan, dapat dikemukakan : Masalah-masalah pokok yang akan dihadapi untuk masa mendatang (antara tahun 1984 dan tahun 2000-an) (1) Kebutuhan baku Gizi daging (8.1 kg per kapita per tahun) baru dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dalam jangka waktu 32.9 tahun, apabila trend penduduk tetap 2.34% dan trend produksi daging tetap 4.38% per tahun yang berarti swasembada daging tercapai pada tahun 2017 (dalam Pelita X). (2) Kebutuhan baku Gizi susu (2.2 kg per kapita per tahun) baru dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dalam waktu 19.15 tahun, apabila trend penduduk tetap 2.34% dan trend produksi susu tetap 9.45% per tahun yang berarti swasembada susu tercapai pada tahun 2003 (Akhir Pelita VII). (3) Kebutuhan baku gizi telur baru dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dalam waktu 7.05 tahun, apabila trend penduduk tetap 2.34% dan trend produksi
1 telur tetap 6.3% per tahun yang berarti swasembada telur tercapai pada tahun 1991 (tahun kedua Pelita V). Tujuan Pengembangan Peternakan Pemerintah telah melakukan pelbagai program dalam r rangka menanggulangi permasalahan peternakan di Indanesia.,. Pada masa pelita I11 ini kebijakan pemerintah bertujuan: (a) Mempertahankan kelestarian sumber daya ternak dengan meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak (b) Meningkatkan hasil produksi ternak untuk mengimbangi permintaan dalam negeri, industri dan memanfaatkan potensi ekspor ternak dan hasil ternak (c) Meningkatkan kemampuan berproduksi para petani pe- ternak agar pendapatannya meningkat (d) Memperluas kesempatan kerja di pedesaan khususdya memberi lapangan kerja bagi pemuda dan wanita tani. (e) Meningkatkan gizi masyarakat, khususnya untuk me- ningkatkan kesehatan masyarakat di daerah rawan gizi (f) Turut serta memelihara dan meningkatkan dayaguna sumber alam, penghematan sumber energi dengan me- manfaatkan tenaga kerja ternak, pupuk kandang dan energi dari kotoran ternak.
Karena tujuan peternakan itu telah menjadi konsensus nasional, maka tujuan pengembangan peternakan di tingkat wilayah seyogyanya dikaitkan dengan tujuan nasional itu. Dalam rangka peningkatan populasi ternak dalam Pelita 111, pemerintah telah mengimpor 25 000 ekor sapir perah, 80 000 ekor sapi pedaging dan 14 000 ekor kerbau,. Sumatera Barat jelas berhak memperoleh bagiannya dari masukan baru itu. Usaha peningkatan produksi hewani ternak melalui pengembangan peternakan menurut Dir. Bina Program Pe-.ternakan (1982) menuntut persyaratan sebagai faktor penentu antara lain : (1) harus tersedia sarana produksi yang diperlukan (makanan ternak, bibit ternak unggul, vaksin dan obat-obatan) (2) harus tersedia teknologi (3) harus tersedia pasar (4) harus ada minat/gairah petani peternak produsen untuk menghasilkannya. Selanjutnya faktor-faktor penentu ini masih memerlukan faktor penunjang lainnya antara lain : (1) penelitian, (2) penyuluhan, (3) pelayanan dan (4) pengaturan yang memadai sebagai faktor pelancar usaha peningkatan produksi ternak.
Setelah melihat Perkembangan Peternakan, Masalah Peternakan, dan Tujuan Pengembangan. Peternakan secara Nasional, maka untuk melihat kemungkinan penerapannya di Sumatera Barat umumnya dan Kabupaten Pesisir Selatan khususnya dilakukan penelitian mengenai sifat-sifat Produksi dan reproduksi sapi lokal pesisir Selatan. Dipilihnya lokasi Penelitian Kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan pertimbangan, bahwa daerah itu memiliki potensi sumber protein hewani yang berasal dari ternak daging tergambar dalam populasi ternak sapi yang tinggi,.dan merupakan gudang ternak untuk kebutuhan daging bagi Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat (Kodya Padang), Solok, dan Sungai Penuh, juga banyak rakyat di daerah itu telah puluhan tahun memelihara sapi secara turun temurun: I Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai sifat-sifat produksi, dan reproduksi sapi Lokal Pesisir Selatan yang merupakan salah satu sapi Lokal (Asli) Indonesia, serta Peranannya dalam sistem usaha tani, di daerah itu. Data yang diperoleh diharapkan untuk dipergunakan sebagai landasan pemikir.an untuk perbaikan usaha peternakan sapi potong yang dihubungkan dengan kondisi ekologi, sosial ekonomi daerah dan sosial ekonomi masyarakat peternak sapi, yang ditinjau dalam bentuk kelayakan dari
segi Biologis, segi ekonomi, segi sosial, dan kelayakan dipandang dari segi lingkungan. Dalam produksi sapi daging (bobot. hidup) merupakan suatu kriteria yang penting dalam pemilihan sapi untuk bibit, penggemukkan, dan untuk dijual. Bobot hidup perlu diketahui untuk menyusun ransum bagi seekor ternak. Pemasaran ternak sapi berdasarkan bobot hidup dewasa ini belum begitu populer, disebabkan tidak selalu tersedia alat timbangan untuk menimbang berat ternak karena alat tirnbangan termasuk yang cukup mahal harganya yang tidak mampu dijangkau oleh daya beli petani kecil. Umumnya jual beli ternak sapi di pedesaan (pada peternakan rakyat) berdasarkan perkiraan bobot hidup yang ditentukan oleh para tengkulak sapi (pedagang sapi) yang pa?a umumnya merugikan para peternak sapi. Sebagian data akan dipakai untuk mendapatkan persamaan yang dapat diterapkan dalam menentukan bobot hidup berdasarkan ukuran-ukuran badan dan untuk mendapatkan hubungan antara bobot hidup dan macam-macam ukuran badan pada sapi lokal Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Pesisir Selatan. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipakai untuk menyusun strategi dalam peningkatan mutu genetik dan pengembangan produksi peternakan sapi di Sumatera Barat, serta mengatasi masalah kesulitan alat timbangan dalam menentukan bobot hidup dari seekor ternak dengan persamaan yang didapat.
Data dasar rnengenai sifat-sifat produksi dan reproduksi sapi lokal ini akan merupakan sumbangan dalam rangka pengwnpulan data mengenai sapi-sapi asli di Indonesia.