BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Perspektif semiotika atau semiologi secara umum, dapat menjadi sarana untuk digunakan menyingkap konstruksi Heroisme dalam tahapan pertama (denotasi) yang dihadirkan dalam film American Sniper. Selanjutnya, dengan mengunakan perspektif Barthesian, yakni mithologi, kemudian makna konotasi yang muncul, selanjutnya dapat digunakan untuk membongkar mitos dan menemukan ideologi yang terepresentasi melalui, narasi, subtitle (dialog), imaji visual, serta audio, dalam pelbagai mitos (cara wicara) tentang praktek heroisme tokoh Chris Kyle arahan Clint Easwood. Berdasarkan temuan data dan hasil interpretasi, diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 1. Narasi yang dikonstruksi oleh Clint Eastwood secara umum mampu menggambarkan dengan sangat baik kepahlawanan seorang tokoh Chris Kyle yang memiliki kayakinan kuat, alasan kuat untuk melindungi sesuatu yang semestinya dia lindungi. Chris Kyle adalah seorang yang bertanggung jawab, hasil didikan dalam keluarga dengan background religiusitas kental. Gamabaran ini terlihat secara langsung sebagai alur cerita dan drama dalam film tersebut. Namun berbeda pada pemaknaan lebih lanjut. Tahap kedua makna konotasi, Clint Eastwood dengan tokoh Chris Kyle arahanya adalah suatu bentuk kesadaran palsu dengan anganangan sempit terhadap pemaknaan menjadi manusia terutama menjadi 173
174 hero. Suatu kondisi heroisme yang direkayasa mengunakan wajah-wajah, sakralitas, humanisme, religiusitas, rasionalitas, keselamatan, yang sebenaranya jika diteliti lebih lanjut merupakan suatu profanitas, dehumanisasi, sekularitas, irasionalitas, hingga teroisme dalam wajah antiteroris. Manusia adalah bagaimana dia didik sejak terlahir. Tumbuh, mencontek, mencontoh, mengetahui, memahami, bebas, lalu merdeka. Setiap tahap pada pembentukan karakter manusia sangat penting. Heroisme adalah ketersampaian manusia pada hakikat dirinya, kemerdekaan. Secara sederhana merupakan sifat alamiah dalam diri manusia, teraktual dari potensi kemanusiaan (fitrah), melalui proses pendidikan sejak lahir dan selama hidupnya. Namun kecenderungan proses dan hasil pendidikan merujuk pada 2 kondisi; Pertama kondisi radikal yakni pendalaman kepada eksistensi kemanusiaan untuk memahami makna manusia secara ontologis, hingga hakikat bagaimana seharusnya manusia menjadi. Bergerak menuju pemahaman yang lebih holistik dan ideal. Pemahaman radikal berkonsekuensi logis pada kondisi etis manusiawi, di mana mereka yang teraktual potensinya akan menghargai nilai-nilai kemanusiaan pada diri orang lain. Kondisi ini muncul karena kedalaman yang membuat manusia memiliki rasa rendahdiri pada luasnya lautan pengetahuaan. Manusia akan terus-menerus menggali dan mengembangkan potensi dirinya, karena aktul tidak berarti pasif namun terus aktif. Seorang yang radikal dalam pengetahuan tidak akan berhenti dalam usahanya menemukan kebenaran. Karena
175 kemerdekaannya maka manusia akan memerdekakan, tentu karena manusia merdeka tidak menindas manusia lain. Hal demikan disebut sebagai kondisi Biofilia, dalam kemanusiaannya; suatu sifat dasar manusia mencintai kehidupan dan dunia kehidupan (Altruisitas termasuk dalamnya). Kedua kondisi banal yakni ketidak-sampaiaan pendidikan pada realitas kemanusiaan yang utuh, sehingga pemahaman yang sepenggal-sepenggal lalu diklaim menjadi kebenaran mutlak. Kondisi ini berkonsekuensi pada kondisi tirani tafsir pada suatu nilai kebenaran yang tidak lengkap, hal demikian akan berpengaruh sampai pada gerak di dimensi sosial. Sikap banal dalam pengetahuan menyebabkan kurangnya sifat penghargaan pada nilai kemanusiaan yakni pluralitas dan multi tafsir. Awalnya adalah pengetahuan, lalu dibanalkan, hingga berakhir dengan post-fasisme. Sikap ekstrem ini muncul karena sikap pasif, menjadi fanatik, dan berhenti untuk mencari hakikat kemanusiaan. Dalam rana sosial lebih luas, kondisi ini merupakan akar dari Nekrofilia; suatu sifat ekspansif, reaksioner, otoriter, tiranik, fasis, disebabkan klaim kebenaran sepihak. Kebenaran yang dimutlakkan akan menjadi dasar untuk bersikap resistan terhadap kemungkinan kebenaran lain, pada akhirnya resistansi tersebut akan mewujud tindakan terhadap orang lain (kebenaran lain). Apa yang terlihat dari heroisme Chris Kyle arahan Clint Eastwood adalah heroisme yang banal, sama dengan musuh yang sedang dilawannya. 2. Heroisme dibentuk dalam film American Sniper dengan memanfaatkan simbol-simbol yang diterima secara umum oleh masyarakat sebagi nilai
176 yang menginspirasi kehidupan. Simbol keagamaan seperti injil misalkan, yang tidak luput menginspirasi bahkan masyarakat sekuler modern Amerika digunakan untuk mengambarkan kondisi psikologis tokoh Chris Kyle yang religius. Keluarga di masa kecil dan dewasa Chris Kyle menjadi penggambaran lebih lanjut tentang sumber inspirasi pendidikan Chris Kyle, dan juga sebagai hal penting bagi kehidupan Chris Kyle untuk dilindungi. Selanjutnya pekerjaan Chris Kyle sebagai seorang anggota militer U.S Navy SEALS menjadi penanda nasionalisme dan gamabaran tindakan (heroisme) dari tokoh Chris Kyle dalam film American Sniper. Dan bagian terpenting dari konstruksi heroisme dalam film tersebut adalah penanda yang di sematkan oleh pengarah demi untuk menunjukan pihak lawan dari sang Hero. Secara aktif dan eksplisit mempertentangkan Hero terhadap Islam. Simbol-simbol yang disajikan Clint Eastwood sedemikian rupa menujukan suatu peperangan abadi antara kebenaran pada pihak Chris Kyle sebagai Hero melawan musuh dan seteruhnya dengan ikon, simbol, dan Indeks yang merujuk pada Islam. Lengkaplah syarat umum Chris Kyle menjadi hero, benar, baik, pelindung, dan melawan musuh. Pada kesimpulan sebelumnya telah penulis jelaskan, konstruksi di atas selenjutnya merupakan mitos atau cara wicara untuk melanggengkan ideologi dominan atau kepentingan tertentu. Agama sebagai dasar gerak yang disematkan, kepada pahlawan dan pada musuh adalah suatu penyematan yang tidak fundamen dan substansial dengan realitasnya. Sehingga penyematan tersebut dibanding untuk menjelaskan kondisi
177 realitas, lebih terlihat seperti pemaksaan nilai-nilai untuk menyulut pemusuhan antar umat beragama. Agama yang muncul sebagai teks, tanda, simbol, dalam film American Sniper bukanlah sebuah representasi Agama sebagaimana realitas tertinggi Agama itu sendiri. Namun lebih pada sebuah usaha pemaksaan ideologi global tentang permusuhan antar agama yang coba dirawat demi kepentingan tertentu. B. Saran. 1. Penelitian terhadap film menggunakan analisis semiotika adalah sebuah hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Terkhusus pada semiotika Pierce dan mithologi Barthes, suatu metode untuk mengungkapkan suatu pemaknaan terhadap budaya kontemporer, popular, dan massa, yang mampu didekati pula dengan pendekatan filosofis karena semiotika dan mithologi merupakan suatu bentuk pengembangan prespektif interpretatif hermeneutis. 2. Penelitian ini mencoba menjangkau aspek yang lebih mendalam tentang kondisi kemanusiaan dari film American Sniper, namun peneliti bisa saja malahan meninggalkan prinsip-prinsip semiotik dan beralih pada hermeunetik, sehingga penulis merasa perlu untuk mengakaji lagi lebih dalam dan mengembangkan penelitian ini sehingga poin-poin yang terlewatkan bisa ditutupi. Peneliti juga merasakan keterbatasan penguasaan bahasa dan diksi yang tepat untuk menjelaskan pemahaman peneliti ke dalam bentuk deskripsi tertulis yang baik dan menarik.
178 Ditambah lagi jarak pemahaman antara kode-kode budaya yang ditampilkan dalam film American Sniper dengan penulis. Sehingga dalam penelitian ini peneliti tidak mampu untuk mengurai serta memahami maksud dari tanda-tanda yang digunakan dalam film ini. Semoga kedepannya pembaca dapat mencoba mempertimbangkan hal ini.