BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Konsep kesehatan tidak hanya diartikan sebagai ketiadaan suatu penyakit atau kecacatan, namun memperhatikan segala aspek mencakup keseimbangan fisik, mental, sosial dan spiritual, sehingga seseorang menjadi produktif dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Kesehatan Masyarakat sebagai ilmu dan seni hadir dan semakin berkembang dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang dapat menjelaskan bagaimana suatu penyakit dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat dalam menangani berbagai masalah kesehatan. Indonesia saat ini masih menghadapi permasalahan pengendalian penyakit menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease) dan penyakit menular baru (new emerging infection diseases), serta adanya kecenderungan meningkatnya penyakit tidak menular (degeneratif) yang disebabkan karena gaya hidup. Hal tersebut menunjukkan terjadinya transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beberapa beban (multiple burden) pada waktu yang bersamaan. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit filariasis atau kaki gajah. 1
2 Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan serta dapat menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Kasus filariasis menyerang sekitar sepertiga penduduk dunia atau 1,3 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3 milyar penduduk tersebut, 851 juta di antaranya terdapat di Asia Tenggara dan Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis yang paling tinggi (Juriastuti dkk, 2010). Pada tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 provinsi dan 337 kabupaten/kota di Indonesia endemis filariasis dengan adanya 11.914 kasus kronis dan rata-rata prevalensi mikrofilaria sebesar 19%. Jika hal ini tidak ditangani maka diperkirakan yang terinfeksi filariasis sebanyak 44.650.000 orang akan menjadi kasus kronis. Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk yang berisiko di daerah endemis filariasis saja (± 130.000.000 orang) maka jumlah kasus asimptomatis adalah 23.750.000 orang (Kemenkes RI, 2010). Filariasis dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup serta stigma sosial berupa pengucilan, kegiatan sosial terganggu, tidak bisa menikmati waktu rekreasi dan rasa tidak nyaman bagi penderita dan keluarganya bila telah menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, payudara, dan skrotum. Keadaan ini juga membawa dampak beban ekonomi yaitu untuk biaya berobat, hari produktif yang
3 hilang karena sakit dan hari produktif anggota rumah tangga lain yang hilang karena harus merawat orang yang sakit (Kemenkes RI, 2010). Dalam penelitian Ascobat Gani dkk tahun 2000 ditemukan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-biaya yang ditanggung selama pengobatan, besarnya adalah Rp. 735.380,- per kasus per tahun atau setara dengan 17,8 % dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3 % dari biaya makan. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan kerugian sebesar Rp. 4,6 triliun per tahun (Tuti dkk, 2009). Saat ini penyakit filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi, diperkuat dengan keputusan WHO tahun 2000 mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Indonesia sepakat untuk melakukan Program Eliminasi Filariasis yang dilaksanakan secara bertahap dimulai tahun 2002. Adapun pedoman dalam pengendalian filariasis terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 (Kemenkes RI, 2010). Satuan pelaksanaan (Unit Implementation) dari program eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota endemis filariasis dengan Microfilaria rate (Mf rate) > 1%. Strategi yang digunakan yaitu dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Regimen yang dianjurkan WHO untuk POMP filariasis adalah kombinasi DEC / Diethylcarbamazine Citrate dan Albendazole (Kemenkes RI, 2010).
4 Manifestasi klinis filariasis membutuhkan waktu yang lama sehingga pengobatan massal filariasis dilakukan sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut agar penyebab filariasis dapat diberantas dan tidak terjadi reinfeksi filariasis. Adapun tujuan program eliminasi filariasis adalah menurunkan Mf rate menjadi < 1% di setiap kabupaten/kota dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis (Kemenkes RI, 2010). Tantangan dari program ini adalah dukungan dari kepala daerah karena sebagian besar daerah belum menjadikan filariasis sebagai prioritas. Sampai tahun 2013 tercatat hanya 145 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan program eliminasi filariasis dari 337 kabupaten/kota yang endemis filariasis. Bila hal ini terus terjadi maka eliminasi filariasis global tahun 2020 akan sulit tercapai (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan laporan Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009, tiga provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Provinsi Aceh sebanyak 2.359 orang, Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.730 orang dan Papua sebanyak 1.158 orang, sedangkan tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali yaitu 18 orang, Maluku Utara sebanyak 27 orang, dan Sulawesi Utara sebanyak 30 orang. Provinsi Riau menempati urutan kelima dengan jumlah kasus filariasis terbanyak yaitu 512 orang (Kemenkes RI, 2010). Penyakit filariasis sudah menyebar merata hampir ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan jumlah kasus filariasis yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2011, angka kesakitan filariasis kronis yang ada di Provinsi Riau terbesar di Kabupaten Kepulauan Meranti
5 (9 per 100.000 penduduk) disusul Kabupaten Kuansing, Kabupaten Siak dan Kabupaten Indragiri Hilir (8 per 100.000 penduduk), kemudian Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hilir (3 per 100.000 penduduk) serta Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Bengkalis (2 per 100.000 penduduk). Untuk Kota Dumai tidak ada kasus, sedangkan Kota Pekanbaru 2 kasus (0,2 per 100.000 penduduk). Adapun kabupaten/kota dengan jumlah kasus terendah tersebut belum tentu menggambarkan situasi yang sebenarnya karena adanya kesulitan dalam pendiagnosaan filariasis tahap awal serta adanya kasus yang belum dilaporkan sehingga perlu ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat. Dari 10 kabupaten dan 2 kota yang terdapat di Provinsi Riau, baru Kota Dumai dan Kabupaten Pelalawan yang sudah berhasil melaksanakan POMP filariasis selama 5 tahun berturut-turut dan berhasil menurunkan Mf rate menjadi < 1% sehingga akan segera disertifikasi. Untuk kabupaten lainnya, ketidaktersediaan dana yang dialokasikan untuk pengobatan kaki gajah menyebabkan kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara berkesinambungan, padahal pengobatan filariasis harus dilaksanakan selama 5 tahun berturut-turut. Beberapa kabupaten masih menggunakan dana APBD I dalam pelaksanaan POMP filariasis seperti Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir. Kabupaten lain yang sudah melaksanakan pengobatan massal filariasis melalui dana APBD II yaitu Bengkalis dan Siak (Profil Kesehatan Provinsi Riau 2009). Pada pemetaan endemisitas filariasis di Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 2002, Kabupaten Bengkalis memiliki angka Mf rate tertinggi dibandingkan
6 kota/kabupaten lain di Provinsi Riau yaitu sebesar 3,6% (Dinkes Provinsi Riau, 2008). Dengan tingkat endemisitas yang tinggi maka Kabupaten Bengkalis sangat berisiko terhadap bahaya penularan filariasis sehingga POMP filariasis sangat penting untuk dilaksanakan. Tabel 1.1 Mf rate Kabupaten/Kota di Provinsi Riau No. KAB/KOTA TAHUN SURVEI MF RATE (%) 1 Pekanbaru - - 2 Kampar 2005 2.3 3 Rokan Hulu - - 4 Pelalawan 2005 2,3 5 Kuansing 2003 3.3 6 Indragiri Hulu 2004 1.3 7 Indragiri Hilir 2005 1.5 8 Siak 2004 1.2 9 Dumai 2002 1.3 10 Bengkalis 2005 3.6 11 Rokan Hilir 2003 2.1 Sumber : Dinkes Provinsi Riau, 2008 Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis pada tahun 2007, namun dilaksanakan secara selektif hanya di beberapa kecamatan (Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2007). Hal tersebut tidak efektif karena POMP filariasis seharusnya dilaksanakan di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis. Akibatnya pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis bersama BTKL-PPM Batam menemukan lagi 4 kasus filariasis kronis yang tersebar di Kabupaten Bengkalis yaitu di Desa Wonosari Kecamatan Bengkalis, Desa Bantan Tua Kecamatan Bantan, Kelurahan Tanjung Kapal Kecamatan Rupat dan Kecamatan Mandau (Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis, 2013).
7 Adanya penemuan kasus filariasis di tahun 2012 dan 2013 serta ditetapkannya Kabupaten Bengkalis sebagai daerah endemis filariasis pada tahun 2012 oleh Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa filariasis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bengkalis mencanangkan program eliminasi filariasis tahun 2013 di Desa Sebauk Kecamatan Bengkalis (riauaksi.com, 2013). Pemerintah Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan POMP filariasis dimulai pada tahun 2013 dan akan dilanjutkan selama lima tahun berturut-turut, bekerja sama dengan pemerintah pusat dengan harapan tercapai Kabupaten Bengkalis zero filariasis pada tahun 2017. Namun, dalam pelaksanaannya tentu masih banyak hambatan yang ditemukan. Pelaksanaan program eliminasi filariasis membutuhkan koordinasi yang strategis serta kerjasama yang baik dari berbagai pihak agar tujuan eliminasi filariasis dapat tercapai. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program eliminasi filariasis tahun 2013 di Kabupaten Bengkalis. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013.
8 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis dan pihak lainnya yang terkait dengan pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013 2. Sebagai informasi tambahan yang akan memperkaya kajian dalam ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya