5. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. METODE PENELITIAN. 4.2 Pelaksanaan Penelitian

FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG SAMSUL BAKRI

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

BAB IV GAMBARAN UMUM

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGERTIAN HIDROLOGI

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU)

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

Transkripsi:

127 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Umum Provinsi Lampung dan Kinerja Faktor Endogeniknya 5.1.1 Kondisi Geografi dan Fisiografi Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964 yang semula merupakan suatu Kerisidenan Lampung yang menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Luas wilayah sekitar 3.528.835 ha. Secara geografis Provinsi Lampung terbentang pada 103 0 40 sampai 105 0 50 Meredian Timur dan pada 3 0 45 sampai 6 0 45 Paralel Selatan. Adapun secara administratif Provinsi Lampung sebelah Utara dibatasi oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bengkulu, sebelah Timur oleh Laut Jawa, sebelah Selatan oleh Selat Sunda dan Sebelah Barat oleh Samudera Indonesia. Menurut Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2010) Provinsi Lampung memiliki total populasi 7,596,115 jiwa atau 3 905 366 pria dan 3,690,759 wanita. Sampai dengan awal Tahun 2011 Provinsi ini memiliki 2 wilayah pemerintahan kota dan 12 kabupaten. Dua kota tersebut adalah Kota Bandar Lampung yang sekaligus juga sebagai Ibu Kota Provinsi Lampung dan Kota Metro. Namun untuk keperluan kefektifan pencapaian tujuan penelitian ini, maka digunakan unit analisis Provinsi sebagai out put-nya dan sebagai inputnya di keempatbelas kabupaten dan kota tersebut dipisahkan menjadi subwilayah hulu vs hilir. Pengelompokan kedalam kedua subwilayah ini berdasarkan kondisi fiografisnya secara makro. Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus dianggap sebagai subwilayah hulu (HU) sedangkan keduabelas yurisdiksi selainnya dianggap sebagai subwilayah hilir (HI). Menurut Kemeneg LH (2008), sekitar 56% dari yurisdiksi Kabupaten Tanggamus terletak pada elevasi >250m dpl dan untuk Kabupaten Lampung Barat mencapai 64% dari wilayahnya. Sedangkan keduabelas yurisdiksi selainnya cakupan wilayah elevasi >250m dpl berkisar antara 21 % sampai 15%. Bersesuaian dengan itu, dapat diidentifikasi melalui CRS (1989) bahwa Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus merupakan hulu dari hampir semua DAS (daera aliran sungai) utama

128 di Provinsi Lampung. Oleh karena itu dapat kedua kabupaten ini dapat dikelompokkan menjadi subwilayah hulu dan keduabelas kabupaten/kota selainnya sebagai subwilayah hilir. Topografis seperti itu terbentuk oleh proses aktivitas lempeng Samudera Indonesia yang konvergen menujam lempeng Sumatera, terjadi proses peleburan sebagian (partial melting) kerak samudera membentuk magma yang massa jenisnya lebih ringan sehingga menimbulkan gerakan magma ke atas yang akhirnya terbentuklah Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Berkaitan dengan proses orografik itu di Kabupaten Lampung Barat dijumpai Gunung Pesagi dengan puncak tertingginya 2.239 m dpl dan di Kabupaten Tanggamus dijumpai Gunung Tanggamus dengan puncak tertinggi 2.102 m dpl. Berkaitan dengan bentang lahan tersebut, pada subwilayah hulu umumnya beriklim basah dengan curah hujan tahunan berkisar 3 500 mm per tahun (BMKG, 2011; tidak dipublikasi) yang menurut Oldeman (dalam Arsyad, 2000) dapat dikatagorikan sebagai Iklim A dengan bulan basah >9 bulan tanpa bulan kering. Semakin ke arah Timur semakin beriklim kering, bahkan di Kabupaten Lampung Timur dapat dijumpai tipe Iklim D seperti yang umumnya dijumpai di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fenomena ini mudah difahami mengingat angin monsoon Barat yang banyak mengandung uap air dari Samudera Indonesia ketika memasuki wilayah daratan bagian Barat Provinsi Lampung ini dipaksa naik oleh adanya halangan Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Dengan naiknya udara tersebut maka terjadi pengembangan volume secara adiabatis dan menyebabkan penurunan temperatur sehingga terjadilah kondensasi uap air dan jatuh sebagai presipitasi di subwilayah hulu ini yang dikenal sebagai tipe hujan orografis. Karena uap air yang terbanyak jatuh sebagai presipitasi di subwilayah hulu, maka pada subwilayah hilir atau makin ke arah Timur menjadi semakin kering yang dikenal sebagai daerah bayangan hujan. Berkaitan dengan itu, maka dapat difahami mengapa secara umum daerah aliran sungai (DAS) dari sungai-sungai utama di Provinsi Lampung ini mengarah ke Timur. Kecuali itu, realitas ini dalam masa ribuan tahun juga membawa pengaruh pada suksesi vegetasi hutan membawa keragaman hayati yang tinggi. Berkaitan dengan itu pula dapat difahami mengapa di subwilayah hulu ini sejak

129 Masa Kolonial sebagain besar telah ditetapkan sebagai wilayah resapan ataupun kawasan pelestarian sedangkan pada bagian Tengah telah direncanakan dan dibangun berbagai bendungan fasilitas irigasi serta di bagian Timur telah dialokasikan untuk aktivitas perekonomian yang relatif intensif. Artinya dalam konteks pererekonomian atau pun sendi-sendi kehidupan lainnya, subwilayah hilir sangat bergantung pada subwilayah hulu. Walaupun begitu dalam perkembangannya, kedua subwilayah ini tidak senantiasa sinergi yang pada gilirannya berwujud pada stagnasi perekonomian di seluruh Provinsi Lampung. Masalah deforestasi sumberdaya hutan utamanya di subwilayaah hulu yang akut merupakan pangkal dari stagnasi tersebut. 5.1.2 Sumberdaya Hutan sebagai Resource Endowment Pengertian sumberdaya hutan dalam penelitian ini mengikuti batas legal formal seperti yang digunakan dalam Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ataupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yaitu: areal seluas 0,25 ha atau lebih dengan dominasi pohon yang dapat mencapai ketinggian minimum 5 m dengan kanopi minimum 30%. Sedangkan hutan rakyat (HR) adalah hutan yang dibebani atas hak dan hutan negara (HN) adalah kawasan hutan yang tidak dibebani atas hak. Untuk konteks wilayah Provinsi Lampung, dalam penelitian ini sumberdaya hutan dapat perlakukan sebagai (Re)source endowment utama yang telah menjadi aset awal pembangunan. Alasan utama yang dapat dijadikan sebagai landasan atas perlakuan ini bukan hanya karena peranan produk material dari hasil hutannya saja yang dapat disumbangkan pada perekonomian wilayah, tetapi juga peranan sumberdaya ini sebagai pengontrol siklus hidrologi, penyedia jasa keragaman hayati, kesetimbangan ekologi kawasan, penambat karbon maupun penyedia jasa kenyamanan lingkungan. Untuk fungsi atau peran yang pertama, dominan pada awal perkembangan wilayah sebagai pemasok devisa negara maupun pendapatan wilayah sebelum dekade 1980-an, namun setelah itu fungsinya sebagai penyedia jasa lingkungan yang tetap besar bagi perekonomian wilayah ini. Adapun perkembangan luasan wilayah hutan negara (HN) dan hutan

130 rakyat (HR) baik yang berada di subwilayah hulu (HU) maupun di subwilayah hilir (HI) di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 19. Pada tahun 1992 tutupan hutan secara total masih sekitar 25,13% dan menjadi 7,14% dari luas Provinsi di tahun 2007. Secara umum dapat dikatakan bahwa deforestasi pada rezim orde baru (sebelum 1998) tampak relatif rendah, memuncak pada masa reformasi dan klimaks sejak masa desentralisasi tata pemerintahan berlangsung. Laju deforestasi juga lebih cepat pada kawasan hutan negara. Tampaknya pada masa reformasi kinerja institusi formal menjadi lemah dan tidak efektif, pemerintah tidak cukup mampu untuk membayar biaya-biaya pengamanan sumberdaya bersama ini terhadap illegal logging sehingga menjadi seperti open access. Dalam pandangan Hardin (1968) fenomena ini disebut sebagai tragedy of the common. Keadaan ini terus berlanjut dan diperburuk sejak desentralisasi tata pemerintahan berlangsung dimana koordinasi antara otoritas pusat dengan otoritas lokal menjadi simpul-simpul ordinasi yang lemah., sehingga gedy tersebut makin parah dan telah berkembang menjadi drama of the common Tabel 13. Perkembangan Luasan Tutupan Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Hulu (HU) dan Hilir (HI) di Provinsi Lampung Tahun [HR_HU] [HR_HI] [HN_HU] [HN_HI] Total Provinsi ----------------------------------------------- Ha ------------------------------------------ % 1992 12.767 200.912 276.176 397.004 886.859 25,13 1993 12.575 155.703 265.772 424.168 858.217 24,32 1994 10.989 158.122 238.999 412.868 820.978 23,26 1995 11.027 139.339 236.846 435.973 823.185 23,33 1996 30.977 77.900 246.792 442.189 797.858 22,61 1997 34.468 79.285 361.130 401.242 876.126 24,83 1998 33.471 75.909 264.989 311.145 685.514 19,43 1999 27.961 70.425 278.259 122.770 499.415 14,15 2003 25.858 25.231 251.758 148.057 450.904 12,78 2005 23.687 30.018 104.570 102.761 261.036 7,40 2008^ 24.620 20.110 103.016 104.041 251.788 7,14 Rataan= 22.582 93.905 238.937 300.202 655.625 18,58 Sd= 8.737 58.033 74.848 147.800 245.921 6,97 Sumber: BPS Prop. Lampung (1993-2000, Diolah); Baplan (2004, 2006 Diolah); ^Kemeneg LH (2008, Diolah)

131 Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 13 maupun Gambar 19 di atas, bahwa kecuali pada tahun 1996, luasan tutupan hutan secara umum terus mengalami penurunan bersama berlangsungnya proses pembangunan. Kenaikan luasan di dari tahun 1996 ke 1997 sebesar 2,22% tersebut tampaknya diatribusi oleh pertambahan luas hutan rakyat yang ada di hulu maupun di hilir serta pertambahan luas hutan negara yang ada di hulu. Tetapi dalam kurun 21 tahun (dari Tahun 1992 ke 2007) telah terjadi korbanan deforestasi secara neto sebesar 635.071 ha atau dengan laju 57.734 ha/tahun. Gambar 19. Perkembangan Luasan (X10 Ribu ha) Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Subwilayah Hulu (HU) dan di Hilir (HI) Provinsi Lampung Periode 1992-2008 Realitas tersebut seharusnya dapat menggugah para pemegang kebijakan publik untuk lebih menggalakkan implementasi program-program pembinaan hutan kemasyarakatan (HKm) di provinsi ini mulai dari kultur teknis budidaya sampai dengan pemasaran hasil, baik yang berupa produk kayu sampai nir kayu seperti madu, sutera alam, getah damar, rotan dsb. Dengan kuatnya HKm masyarakat perdesaan telah memperoleh akses terhadap lahan utamanya lahan hutan negara yang telah terdegradasi akut. Dengan begitu property right menjadi jelas, timbul insentif yang kuat bagi para petani gurem untuk melakukan berbagai bentuk investasi (setidaknya berupa curahan tenaga, waktu dan mungkin juga uang) untuk budidaya hutan dalam kultur teknis agroforestry, mengamankan investasi yang telah dilakukan baik secara individu ataupun secara berkelompok, yang berarti akan sangat mereduksi biaya-biaya transaksi dan akhirnya reforestasi

132 pada kawasan-kawasan hutan negara akan relatif murah untuk dicapai. Pulihnya tutupan hutan tersebut pada gilirannnya akan membangkitkan pendapatan masyarakat melalui bentuk produk material (baik kayu ataupun nir kayu) selain juga melalui produksi jasa lingkungan atau pulihnya berbagai fungsi intrinsik hutan yang menjadi life support system di wilayah ini. Imajinasi ini sangat mungkin untuk diwujudkan mengingat akses petani terhadap lahan melalui skema HKm tersebut dapat dijamin sampai 30 tahun, suatu jangka waktu yang cukup untuk melakukan amandemen terhadap degradasi fungsi intrinsik hutan yang selama ini telah sangat menekan pencapaian kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung secara agregat. Sebagai catatatan, khususnya untuk implementasi HKm yang belum terlaksana seperti Kabupaten Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Timur, hendaknya pembagian lahan hutan kepada masyarakat perlu dilakukan setelah pelaksanaan Pilkada, untuk menghindari bias kepentingan politik yang mungkin terjadi. Tidak semua dampak deforestasi bersifat mudarat, seiringan dengan pesatnya deforestasi di sisi lain juga telah telah membawa berbagai manfaat antara lain ditunjukkan oleh adanya peningkatan berbagai investasi publik seperti infrastruktur di Provinsi Lampung. Dalam Tabel 14 dan Gambar 20 disajikan perkembangan kerapatan panjang jalan beraspal yang merupakan salah satu infrastruktur vital bagi pembangunan wilayah. 5.1.3 Kerapatan Jaringan Jalan dan Kinerja Faktor Endogenik Pertumbuhan Wilayah Kerapatan jaringan jalan (JL) merupakan unsur vital dalam upaya untuk memberikan deskripsi tentang aspek untuk mengakses pasar. Jaringan jalan dapat menjadi proksi bagi market tapping apakah itu untuk produk-produk pertanaian maupun industri. Pada Tabel 14 kolom 2 sampai 4 disajikan perkembangan kerapatan jaringan jalan (km per 10 ribu ha) di subwilayah hulu (JL_HU), subwilayah hilir (JL_HI) serta secara keseluruhan di Provinsi Lampung (JL_PROP). Kecuali itu, untuk dapat memberikan gambaran perkembangan ketiga macam kelompok kerapata jaringan jalan menurut runtun waktu, maka disajikan Gambar 20.

133 Tabel 14. Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal (JL, Km/10 Ribu Ha) dan Tempat Ibadah (IBD) per 10 Ribu Penduduk di Hulu (HU) dan di Hilir (HI) serta Provinsi Lampung Tahun [JL_HU] [JL_HI] [JL_PROP] [IBD_HU] [IBD_HI] [IBD_ PROP] 1996 3,09 13,43 10,79 30,20 30,29 30,28 1997 10,31 16,03 14,57 31,95 31,86 31,87 1998 14,20 16,62 16,00 31,99 31,65 31,71 1999 14,20 19,80 18,37 31,76 31,29 31,38 2000 13,76 24,50 21,76 32,22 32,34 32,32 2001 14,24 25,91 22,94 32,22 31,59 31,70 2002 14,36 25,91 22,97 31,98 32,32 32,26 2003 12,87 26,75 23,21 33,03 33,48 33,40 2004 18,33 26,73 24,59 33,65 34,83 34,62 2005 19,84 29,35 26,93 36,13 33,74 34,14 2006 21,86 29,38 27,46 38,93 33,90 34,74 2007 22,18 29,38 27,54 39,20 33,52 34,46 2008 22,41 29,89 27,98 38,61 33,47 34,33 Rataan 15,51 24,13 21,93 33,99 32,64 32,86 Sd 5,45 5,71 5,48 3,11 1,29 1,49 Sumber: BPS Kabupaten/Kota se Provinsi Lampung (1997-2009; diolah) Dari data tersebut tampak bahwa kerapatan jalan di hilir secara rata-rata menurut runtun waktu memperlihatkan lebih tinggi kerapatan jaringan jalan tersebut dari pada yang ada di subwilayah hilir. Bahkan di subwilayah hilir melebihi dari pada kerapatan rata-rata di Provinsi Lampung. Distribusi semacam ini secara umum dapat difahami, mengingat bahwa jalan merupakan bentang budaya. Artinya kerapatan jalan juga bertalian dengan kerapatan populasi. Lebih dari itu, secara umum juga berkaitan dengan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya. Makin rapat jaringan jalan semakin rapat populasi yang berarti semakin intensif aktivitas perekonomian wilayah. Selain itu, dapat difahami bahwa tidak ada aktivitas perekonomian yang tidak terkait dengan aktivitas sosial dan budaya. Aktivitas sosial-budaya tersebut pada akhir juga memberiak feedback pada perekonomian wilayah. Sehubungan dengan itu, dalam aktivitas sosial, budaya maupun perekonomian juga berlangsung proses-proses sosial yang sifatnya sinergis,

134 kompetitif bahkan sampai konflik yang kemudian juga sering berujung pada resolusi. Proses-proses tersebut berlangsung berulang sifatnya dan siklis. Prosesproses seperti ini juga menginisiasi terbentuknya pranata-pranata sosial yang dinamis. Pranata sosial atau kelembagaan sebenarnya merupakan entitas yang sifatnya abstrak dan tidak kasat mata. Namun entitas tersebut hidup di dalam dan dipelihara oleh masyarakat. Karena kelembagaan dalam masyarakat itu sifatnya bukan barang privat yang dapat diekslusifkan, maka sekalipun abstrak prosesproses tersebut memerlukan ruang kejadian atau tempat bagi berlangsungnya perkembangan norma-norma. Kecuali dalam ruang keluarga, proses perkembangan norma-norma tersebut juga umumnya juga berlangsung dalam ruang-ruang publik seperti pasar, balai desa, kantor, masjid, gereja, surau dll. Untuk konteks Indonesia, tempat ibadah (IBD) diduga masih merupakan tempat pembentukan ataupun pengembangan norma-norma hidup bersama yang di berbagai wilayah masih relatif kuat sampai dewasa ini. Oleh karena itu, seperti dapat pada Gambar 20 dan 5.3, tampak hubungan yang bersesuaian antara kerapatan jaringan jalan dengan kerapatan tempat ibadah. Bahwa kerapatan populasi, telah menyebabkan jejaring makin intensifnya interaksi antarwarga, meningkatkan komunikasi dan terbentuknya jaringan jalan maupun perkembangan kelembagaan di suatu wilayah. Mengingat tak satu orang pun yang dapat hidup menyendiri, melainkan selalu berinteraksi dengan sesama, maka kelembagaan yang timbul juga menguatkan untuk saling bekerja sama, menekan konflik untuk akomodatif. Dalam keadaan seperti itu dapat memunculkan jiwa bisnis diantara anggota masyarakat. Sifat kerja sama dipandang sebagai naluri yang berkembang dalam diri setiap insan. Karakter seperti itu oleh Stimson et al. (2003) dipandang sebagai naluri kerjasama. Dengan kerjasama tersebut maka akan membangkitkan efisiensi yang besar dalam segala usaha manusia. Dengan begitu kinerja kelembagaan (I)nstitution yang efektif akan berdampak terhadap kinerja (L)eadership yang kuat pula.

135 Gambar 20. Kerapatan jaringan jalan (JL, Km/10 ha) di subwilayah hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk periode Tahun 1996-2008 Gambar 21. Kerapatan tempat ibadah (IBD) per 10 ribu penduduk di subwilayah hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk periode Tahun 1996-2008 Kinerja L dan I di suatu wilayah akan menjadi landasan bagi pertumbuhan dan perkembangan kinerja (E)ntrepreneurship di suatu wilayah. Dalam penelitian ini E didefinisikan mengikuti Kitzner (1976 dikutip Hien (2010) yaitu orang yang dapat melihat adanya peluang suatu keuntungan baru yang belum diketahui oleh orang lain di pasar dan dia mampu mengeksplotiasi peluang tersebut melalui realokasi sumberdaya yang ada melalui suatu cara-cara yang baru (inovatif) pula. Berdasarkan atas definisi ini dan dilandasi oleh kebutuhan untuk mengambangkan rancangan praksis pembangunan wilayah ini, maka dalam penelitian digunakan kerapatan industri kecil (IKC) dan industri sedang-besar (IBS). Kecuali itu juga untuk tujuan megungkap peran resource endowment terhadap kinerja sektor industri tersebut maka kedua kelompok industri tersebut juga dipisahkan antara yang berkembang di hulu (HU) maupun yang ada di hilir (HI). Secara umum sebagaimana dapat dicermati pada Tebal 5.3 bahwa (E)ntrepreneurship dari kelompok industri kecil (IKC) lebih resilience dan adaptif dalam menghadapi berbagai gejolak perubahan dibandingkan dengan kelompok industri sbesar-sedang (IBS). Baik itu perubahan kinerja lingkungan biofisik (seperti merosotnya kinerja jasa lingkungan, lambatnya penyediaan jaringan), perubahan lingkungan sosial-kelembagaan (seperti ekskalasi intensitas kejahatan) sampai dengan perubahan rezim tata pemerintahan.

136 Tabel 15. Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) dan Industri Kecil (IKC) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Tahun [IBS_HU] [IBS_HI] [IBS_PROP] [IKC_HU] [IKC_HI] [IKC_PROP] 1996 0,08 0,05 0,41 78,59 85,15 83,99 1997 0,10 0,04 0,38 130,77 101,80 106,93 1998 0,10 0,04 0,37 136,78 41,28 58,13 1999 0,10 0,04 0,36 134,57 48,50 63,63 2000 0,16 0,04 0,35 132,57 58,36 71,37 2001 0,16 0,04 0,33 121,57 95,08 99,70 2002 0,16 0,03 0,31 112,39 108,60 109,26 2003 0,16 0,03 0,28 133,75 117,65 120,43 2004 0,16 0,03 0,27 135,53 119,50 122,26 2005 0,16 0,03 0,25 144,18 116,21 120,93 2006 0,17 0,06 0,56 149,44 116,51 122,02 2007 0,17 0,05 0,43 153,14 114,32 120,75 2008 0,16 0,04 0,38 152,40 113,47 120,00 Rataan= 0,14 0,04 0,36 131,97 95,11 101,49 Sd= 0,03 0,01 0,08 19,81 28,08 24,02 Sumber: BPS Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung (1997-2009; diolah) Selain itu, fenomena yang lebih menarik ternyata kinerja E yang berada di subwilayah hulu (HU) yang lebih baik dari pada yang berada di subwilayah hilir (HI) baik itu yang berasal dari kelompok industri kecil (IKC) maupun dari kelompok IBS. Nampaknya ada keefektifan (I)nstitution (Tabel 14 atau Gambar 21) telah menjadi spirit untuk membangun berbagai macam bentuk transaksi yang kemudian bermuara pada berbagai manfaat ekonomi. Keefektifan kinerja I di subwilayah hulu tersebut dibarengi oleh kekuatan (L)eadership (Tabel 15 atau Gambar 22 dan 23). Kedua macam kekuatan ini tampaknya berhubungan dengan kepadatan populasi terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya (arable land) yang ada di kedua subwilayah tersebut.

137 Gambar 22. Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Periode 1996-2008 Gambar 23. Kerapatan Indusrti Kecil (IKC) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Periode 1996-2008 Di sub wilayah hulu, sumberdaya lahan sejak Pemerinahah Kolonial utamanya oleh diperuntukkan sebagai wilayah resapan dan kawasan pelestarian atau kawasan konservasi. Realitas ini setara dengan adanya kelangkaan sumberdaya lahan. Adanya kelangkaan sumberdaya lahan ini yang dapat menjadi insentif bagi berkembangnya I. Bersama dengan adanya kelangkaan sumberdaya umumnya telah mengarah pada kompetisi yang ketat dalam memperoleh manfaat terhadap suatu sumberdaya. Dalam keadaan seperti itu kemudian akan mendekte sekelompok warga masyarakat untuk saling menghargai property right, namun mugkin juga ada sebagai tidak. Sebagian ada yang mengalami konflik dan sebagian ada yang saling akomodatif. Sebagian ada yang kuat berkelompok dan berjejaring (networking) sebagian tidak. Dalam sebagian kelompok juga dapat berkembang sifat altruistik dan filantropia sebagian lainnya malah egoistik dibarengi dengan sikap oportunistik pula. Begitulah berbagai proses sosial dapat mewarnai berkembangnya berbagai jenis kelembagaan beriringan dengan kelangkaan vs kelimpahan sumberdaya alam yang ada. Bersamaan dengan setting dan nurturing oleh perubahan lingkungan biofisik seperti perubahan iklim, kerusakan ekologi kawasan yang sangat memerosotkan kenyamanan lingkungan serta perubahan lingkungan sosialkultural ataupun rezim tata pemerintahan seringkali juga turut menentukan kinerja kelembagaan yang ada di suatu wilayah.

138 Pada wilayah-wilayah dengan karakteristik masyarakat yang mengarah pada berkembangnya sifat filantropia, akomodatif, silih asih, silih asah, silih asuh atau saling tolong-menolong (bekerja sama dan networking) maka dapat pula diharapkan suatu perkembangan (L)eadership yang kuat pula. Kinerja L yang kuat pada giliranya juga kembali dapat menguatkan kinerja I dan sebaliknya (lihat Stimson et al. 2003; 2005). Namun sebaliknya pada wilayah-wilayah yang karakter warga masyarakatnya banyak didekte berkembangnya sifat egois dan oportunistik maka akan menekan munculnya L yang kuat pula. Kinerja atau kuatnya L dan dan keefektifan I ini akan menjadi landasan bagi berkembangnya norma-norma dan trust serta terbentuknya network yang meluas. Ketiga unsur ini yang dikenal sebagai modal sosial (social capital). Modal sosial yang kuat akan menjadi asset sosial bagi pengembangan berbagai macam berbentuk transaksi yang kemudian juga sering berujung pada berbagai macam bentuk transaksi yang bermotifkan ekonomi secara langsung. Situasi seperti ini akan dapat menjadi insentif bagi berkembangnya kinerja (E)ntrepreneurship yang kuat pula. Atas dasar modal sosial yang kuat seperti ini banyak wilayah-wilayah yang miskin sumberdaya alam telah menjadikan kuat modal sosial di dalam masyarakatnya kemudian bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk teladan bagi berkembangnya kinerja I dan kuatnya L serta pesatnya E yang dilatarbelakangi oleh kelangkaan sumberdaya alam tersebut, terlalu jauh kita untuk belajar dari Jepang, mungkin cukup kepada Korea, Taiwan, Singapura, Hongkong, bahkan sekarang mungkin Cina dan Vietnam (lihat Hien, 2010). Keefektifan I di Provinsi Lampung, pertama dapat dilihat pada perkembangan intensitas kejahatan per 10 ribu penduduk (KJ). Seperti dapat dirujuk pada Tabel 16, bahwa secara rata-rata intensitas kejahatan di subwilayah hulu (KJ_HU) relatif lebih rendah dari pada di hilir (KJ_HI) maupun di seluruh Provinsi Lampung (KJ_PROP) yaitu selama kurun 1996 sampai 2008 masingmasing sekitar 2,72 (Sd=1,46) berbanding 6,50 (Sd=2,56) dan 58,4 (Sd=2,28) kejadian per 10 ribu penduduk. Sebaliknya tidak sedikit wilayah-wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, tidak ada kelangkaan sumberdaya yang mampu mengekang sikap boros,

139 kelembagaan melemah dan (L)eadership merosot yang berujung pada kutukan sumberdaya (rosurce curse) bahkan banyak berujung pada perang saudara. Contoh untuk yang ini dapat disaksikan di Sierra Leone, negeri yang kaya akan batu permata (Fauzi, 2007). Dalam keadaan seperti itu, akan sulit bagi berkembangnya E dan akhirnya menjadi negeri yang miskin dan terbelakang. Sehubungan peranan faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah (L, I, dan E) tersebut juga dapat disaksikan pada konteks perkembangan wilayah Provinsi Lampung dikaitkan dengan situasi biofisik wilayah utamanya pengelompokan ke dalam subwilayah hulu (HU) dan hilir (HI). Tabel 16. Kerapatan koperasi (KOP) dan intensitas kejahatan (KJ) per 10 ribu penduduk di subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung periode 1996-2008 Tahun [KOP_HU] [KOP_HI] [KOP_PROP] [KJ_HU] [KJ_HI] [KJ_PROP] 1996 0,49 1,64 1,74 0,51 3,11 2,65 1997 0,94 1,71 1,91 0,68 2,97 2,56 1998 1,11 2,08 2,32 0,86 3,00 2,62 1999 2,83 3,34 3,94 1,33 6,25 5,39 2000 3,12 3,52 4,18 2,22 6,22 5,52 2001 3,33 3,68 4,39 3,95 10,64 9,47 2002 3,47 3,73 4,46 2,86 10,39 9,08 2003 3,54 3,91 4,65 3,12 8,52 7,59 2004 3,71 3,87 4,64 3,35 8,09 7,28 2005 3,79 3,89 4,66 3,64 7,05 6,48 2006 3,94 4,26 5,05 3,77 7,23 6,65 2007 4,07 4,02 4,83 4,18 6,09 5,77 2008 4,20 4,35 5,20 4,88 4,92 4,92 Rataan= 2,96 3,38 4,00 2,72 6,50 5,84 Sd= 1,27 0,94 1,20 1.46 2.56 2.28 Sumber: BPS Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung (1997-2009; diolah) Artinya kinerja I lebih efektif di subwilayah hulu. Dari sisi kondisi biofisik wilayah seperti kepadatan punduduk maupun kenyamanan lingkungan di subwilayah hulu masih lebih baik dari pada di hilir (dimana elevasi wilayahnya secara rata-rata yang relatif tinggi, temperatur udara yang relatif lebih rendah serta curah hujan yang relatif besar) yang mengiringi kelangkaan sumberdaya lahan nampaknya telah menyebabkan kerja I telah berkembang lebih baik di subwilayah hilir sehingga intensitas kejahatannya relatif lebih rendah.

140 Gambar 24. Intensitas Kejahatan (KJ) per 10 ribu Penduduk di Subwilayah Hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung 1996-2008 Gambar 25.. Kerapatan Koperasi (KOP) per 10 Ribu Penduduk di Subwilayah Hulu (HU), Hilir dan Provinsi Lampung 1996-2008 Namun menurut runtun waktu ternyata baik di subwilayah hulu, hilir ataupun rata-rata Provinsi tampak juga memiliki trend yang serupa ketika di massa orba dan memuncak ketika reformasi. Tetapi ketika desentralisasi tata pemerintahan berlangsung, di subwilayah hilir terus menurun, sedangkan di subwilayah hulu masih terus meningkat sekalipun intensitasnya konvergen di tahun 2008. Tampanya ada kecenderungan (trend) dekandensi moral di subwilayah hulu dan perbaikan di sub wilayah hilir. Gejala sosial apa yang membedakan antara kedua subwilyah ini, perlu untuk diteliti lebih lanjut pada level lapangan dikaitkan pula dengan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan. Selain diproksi dengan intensitas kejahatan, kinerja (I)nstitution dalam penelitian ini juga diproksi dengan kerapatan organisasi (ORG) dan kerapatan relawan (RLW) per 10 ribu penduduk. Organisasi massa seperti yayasan, kelompok interes, kelompok agama, paguyuban dan sejenisnya merupakan refleksi bagi hidupnya norma-norma atau tata aturan yang diakui dan dijunjung oleh para anggotanya. Makin besar kerapatannya berarti semakin menjadi ukuran bagi keefektifan I di suatu wilayah, yang pada gilirannya antara lain dapat diharapkan pada kuatnya pengakuan terhadap kepemilikan (property right) yang dapat menjadi insentif bagi berkembangnya berbagai aktifitas perekonomian wilayah. Demikian pula dengan kerapatan jumlah relawan (RLW). Seperti dapat dirujuk pada Tabel 17 dalam kurun 1996-2008 kerapatan organisasi massa secara rata-rata adalah 20,9 (Sd=1,43) di hulu (ORG_HU); 2,20

141 (Sd=1,32) dan 2,18 (Sd=1,30) di seluruh Provinsi Lampung (ORG_PROP). Baik dari sisi angka maupu stadar deviasinya tidak ada perbedaan yang nyata. Kinerja yang serupa juga pada pola perekembangannya. Kecuali untuk RLW_HU (yang meningkat ketika massa reformasi) semua indikator bagi kinerja I tersebut cenderung menurun. Kecenderungan ini sejalan dengan peningkatan intensitas kejahatan (KJ). Ini merupakan alarm yang keras bagi pemerintahan orde reformasi yang telah berlanjut pada tata pemerintahan desentralistik. Tabel 17. Kerapatan organisasi massa (ORG) dan relawan sosial (RLW) per 10 ribu penduduk di Subwilayah hulu (HU), hilir (HI) dan Provinsi Lampung periode 1996-2008 Tahun [ORG_HU] [ORG_HI] [ORG_PROP] [RLW_HU] [RLW_HI] [RLW_PROP] 1996 3,17 3,23 3,22 60,74 4,82 14,75 1997 3,47 3,16 3,22 11,16 15,33 14,59 1998 3,45 3,13 3,18 11,08 15,16 14,44 1999 2,78 3,23 3,15 8,44 15,72 14,44 2000 3,39 3,06 3,12 10,91 14,45 13,83 2001 3,31 2,07 2,28 10,99 17,01 15,96 2002 3,29 3,82 3,73 10,93 15,90 15,04 2003 2,29 2,53 2,49 0,30 2,34 1,99 2004 0,39 0,41 0,41 2,28 1,93 1,99 2005 0,30 2,82 2,40 2,26 1,85 1,92 2006 0,46 0,10 0,17 3,85 2,30 2,56 2007 0,46 0,61 0,59 3,58 2,65 2,80 2008 0,37 0,47 0,45 3,75 3,24 3,32 Rataan= 2,09 2,20 2,18 10,79 8,67 9,05 Sd= 1,43 1,32 1,30 15,56 6,74 6,40 Sumber: BPS Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung (1997-2009; diolah) Berkaitan dengan fenomena itu, tampaknya telah terjadi paradoks, bahwa sekalipun ada trend peningkatan kerapatan bangunan fisik tempat ibadah (IBD), tetapi tendensi dekadensi moral yang diiringi dengan fenomena peningkatan intensitas kejahatan [KJ] tersebut terus berlanjut. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 21 kerapatan tempat ibadah per 10 ribu penduduk dari tahun 1996 sampai 2005 terus meningkat, yang mana peningkatan tersebut yang relatif sama besar baik untuk di hulu (IBD_HU), di hilir (IBD_HI) maupun secara rata-rata di Provinsi Lampung (IBD_PROP). Namun sejak tahun 2005 di subwilayah hulu peningkatan tersebut relatif lebih cepat. Secara rata-rata seperti dapat dirujuk pada Tabel 14 pada dari tahun 1996 sampai dengan 2008, kerapatan tempat

142 ibadah di subwilayah hulu (IBD_HU) relatif lebih tinggi daripada di hilir (IBD_HI) maupun rata-rata di Provinsi Lampung (IBD_PROP) masing-masing 33,99(Sd=3,11); 32,64(Sd=1,29) dan 32,86(Sd=1,49) buah per 10 ribu penduduk. Kerapatan jumlah relawan [RLW] merupakan cerminan kuatnya akumulasi moral, cerminan dari kualitas jiwa altruisme bahkan bisa merupakan cerminan tingginya jiwa filantropia di suatu wilayah. Teori pertumbuhan ekonomi secara endogenik berupaya membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berkesinambungan oleh karena adanya faktor-faktor endogen dalam suatu sistem perekonomian secara internal. Jikalau demikian, maka faktor endogenik yang kedua [yaitu kinerja faktor (L)eadership] menurut Stimson dkk (2003; 2005) haruslah diekspresikan oleh kuat-lemahnya afinitas atau tendensi dari masyarakat dari wilayah tersebut untuk saling berkerja sama dalam segala sektor kehidupan. Menurut Stimson et al. (2003 dan 2005) adanya orang kuat, peran bintang ataupun one man show, yang menjadi penguasa terhadap suatu kelompok masyarakat bukanlah suatu L yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Argumentasi pokok yang dibangun oleh para pakar ini adalah bahwa setiap proses perekonomian tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu orang saja karena selalu harus dilandasi oleh proses-porses transaksi yang berlangsung secara sukarela pula. Karena itu pula, tidak boleh ada yang satu menggagahi ataupun mencurangi, apalagi memeras yang lainnya. Dengan kata lain, segala bentuk transaksi harus berlangsung secara adil (fair). Kuatnya kinerja L ini juga berarti juga semakin meningkatkan jumlah atau intensitas partisipan dalam suatu sistem perekonomian di suatu wilayah. Karena itu menurut para pakar ini tidak mudah untuk memisahkan antara kuatnya (L)eadership dan keefektifan suatu tatanan kelembagaan atau (I)nstitution. Sehubungan dengan deskrispsi tersebut, maka dalam penelitian ini kinerja faktor L diproksi dengan kerapatan jumlah koperasi per 10 ribu penduduk (KOP). Makin besar (KOP) berarti makin beragam jenis organisasi yang bermotifkan akhir pada keuntungan ekonomi yang digalang secara bersama tersebut, makin besar pula intensitas kerjasama yang berlangsung dalam komunitas perekonomian tersebut. Walaupun dalam situasi kinerja faktor I yang terus menurun, tetapi seperti dapat dilihat pada Gambar 25 kinerja KOP terus mengalami peningkatan,

143 dimana yang di hilir (KOP_HI) senantiasa lebih tinggi dari pada yang di hulu (KOP_HU), tetapi tidak lebih dari nilai rata-rata secara agregat di Provinsi Lampung (KOP_PROP). Secara rata-rata untuk periode 1996 sampai 2008 masing-masing adalah 2,96 (Sd=1,27); 3,38 (Sd=0,94) dan 4,00 (Sd=1,20) buah koperasi per 10 ribu penduduk. Gambar 26 Kerapatan ormas (ORG) per 10 ribu penduduk di subwilayah hulu (HU), hilir (HI) dan Provinsi Lampung 1996-2008 Gambar 27 Kepadatan relawan sosial (RLW) per10 ribu penduduk di subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung 1996-2008 5.1.4 Korelasi Antarvariabel Proksi Hasil analisis kelima variabel yang digunakan sebagai proksi variabelvariabel endogenik disajikan pada Lampiran (Tabel 1 dan 2). Untuk yang berada di subwilayah hulu korelasi positif terbesar justru [KOP_HU] dengan [KJ_HU] yaitu 0.920. Namun karena peranannya sebagai proksi yang berbeda yaitu untuk L dan untuk I maka keduanya tetap digunakan dalam model. Demikina pula untuk urutan yang ke dua adalah antara [IBD_HU] dengan [KJ_HU] yaitu sebesar 0,770. Sedangkan yang terendah adalah antara [RLW_HU] dengan [ORG_HU] yaitu 0,43. Sedangkan untuk yang berkorelasi negatif terbesar adalah [IBD_HU] dengan [ORG_HU] yaitu -0,863 sedangkan yag terendah adalah [IBD_HU]dengan [RLW_HU]. Secara umum keadaannya agak berbeda dengan yang berada di subwilayah hilir yang secarra umum relatif lebih rendah. Korelasi positif tertinggi adalah antara [KOP_HI] dengan [IBD_HI] yaitu 0,742. digunakan dalam model masing-masing untuk mewakili L dengan I. Keduanya tetap Korelasi positif terendah adalah antara [KJ_HI] dengan [RLW_HI] yaitu 0,025. Untuk

144 yang bernilai negatif tertinggi adalah antara [IBD_HI] dengan [ORG_HI] yaitu - 0,712. Adapun yang terendah adalah antara [KJ_HI] dengan [ORG_HI] yaitu - 0,120. 5.2 Perkembangan Perkonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagaimana temuan Naidoo (2004) di berbagai belahan dunia, bahwa ekternalitas positif dari deforestasi di Provinsi Lampung juga dapat ditunjukkan dalam penelitian ini. Walaupun nampaknya deforestasi di Provinsi ini telah memperlihatkan pada tingkat yang akut, tetapi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah beserta benefitnya berupa kesejahteraan masyarakat di Provinsi ini dapat kita kaji melalui kinerja makro perekonomian wilayah maupun capaian tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Untuk dapat memberikan deskripsi secara umum tentang kinerja perekonomian dan proses transformasi struktural perekonomian wilayah di Propisi Lampung, pada Tabel 18 disajikan data perekembangan PDRB, jumlah dan pertumbuhan peduduk serta pangsa sektoral perekonomiannya. Pada Gambar 27 disajikan informasi trend perkembangan pangsa sektoral tersebut. Pada Tabel 19 disajikan perkembangan kinerja tingkat kesejahteraan masyarakan untuk periode yang sama. Seperti dapat diperiksa dalam Tabel 18 kolom 4, bahwa pertumbuhan penduduk di wilayah ini secara rata-rata masih terus bertambah dengan rataan 1,26[Sd=0,48]% per tahun. Angka ini melebihi pertumbuhan penduduk di masa Pemerintahan Orba, menurun pada saat reformasi dan meningkat kembali pada massa desentralisasi tata pemerintahan. Pertumbuhan penduduk ini mengikuti pertumbuhan PDRB. Menurut Hayami (2010) bahwa fenomena seperti ini lazim dijumpai pada negara-negara berkembang ketika baru memulai proses transformasi struktural menuju negara industri melalui batu loncatan pertumbuhan subsektor agroindustri, yang disebut sebagai pertumbuhan penduduk yang dilecut oleh pertumbuhan pendapatan secara sementara. Pertumbuhan penduduk semacam ini umumnya tidak reversibel ketika dalam jangka panjang pendapatan menurun kembali (yang disebabkan oleh terjadi pengurasan dan degradasi sumberdaya alam) yang kemudian muncul gejala Ricardian trap.

145 Tabel 18. Indikator Makro dan Pangsa Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2009 Tahun [PDRB ] Jumlah Penddk. Pertumbhn. Penddk. [AGR_SH] [IND_SH] [MIN_SH] [OTH_SH] Rp Juta Juta Jiwa -------------------------------------------- % ------------------------------------------ 1996 22.403.393 6,38 1,05 34,02 14,52 2,09 49,37 1997 23.333.740 6,44 1,06 31,29 15,16 2,20 51,35 1998 21.713.128 6,51 1,07 35,87 16,32 1,44 46,37 1999 22.287.128 6,58 1,08 37,67 13,82 2,29 46,22 2000 23.245.983 6,66 1,13 36,56 13,69 2,43 47,32 2001 24.079.608 6,72 0,98 44,55 13,62 2,54 39,29 2002 25.433.275 6,79 0,97 42,74 13,50 4,12 39,64 2003 26.898.052 6,85 0,96 42,08 13,28 4,23 40,40 2004 28.262.289 6,92 0,92 42,29 13,23 3,62 40,86 2005 29.397.248 7,12 2,90 42,55 13,25 3,05 41,15 2006 30.861.360 7,21 1,34 42,72 13,19 2,76 41,32 2007 32.694.890 7,29 1,08 42,56 13,24 2,52 41,68 2008 34.414.653 7,39 1,39 41,75 13,33 2,37 42,56 2009 36.160.501 7,49 1,36 40,60 13,40 2,04 43,97 Rataan= 27.227.518 6,88 1,24 39,80 13,82 2,69 43,68 Sd= 4.649.639 0,35 0,48 3,85 0,88 0,77 3,68 Sumber: BPS (1997-2010, diolah) Keterangan: [AGR_SH]= pangsa sektor pertanian, [IND_SH]=pangsa sektor industri, [MIN_SH]=pangsa sektor pertambangan, [OTH_SH]=pangsa sektor selainnya Gambar 28. Perkembangan pangsa perekonomian 1996-2009 di Provinsi Lampung Seperti dapat diperiksa pada Tabel 18 dan Gambar 28, bahwa perkembangan pangsa sektorindustri [IND_SH] tampak stagnan. Padahal pada periode 1996-1998 sudah menunjukan pertumbuhan dari 14,52% hingga mencapai posisi 16,32% dari total PDRB. Setelah itu pangsa sektor industri ini

146 tampak sangat lambat perkembangannya, tidak mampu beranjak naik dari posisi sekitar 13% PDRB. Di sisi lain, pangsa sekor pertanian terus meningkat dari 34,02% di tahun 1996 menjadi 41,75% di tahun 2008 dan kemudian pada posisi 40,60% dari total PDRB. Artinya telah terjadi deindustrialisasi selama periode 1996-2009. Klaim pada sedang berlangsungnya proses deindustrialisasi ini juga dikuatkan oleh perkembangan sektor-sektor selainnnya [OTH_SH] yang juga reltif menurun termasuk di dalamnya perdagangan, konstruksi, listrik-gas-air bersih, jas-jasa maupun pangsa sektor pertambangan [MIN_SH]. Seperti dapat dirujuk kembali dalam Tabel 13 dan Gambar 19, gejala deindustrialisasi ini bersisian dengan kemerosotan tutupan hutan dan fungsi intrinsiknya di Provinsi Lampung selama periode yang bersisian pula. Masalahnya juga semakin serius ketika pertambahan penduduk yang masihh terus berkembang tersebut. Resultan dari semua fenomena itu kemudian bermuara pada stagnasi capaian kinerja kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung disertai dengan eskalasi kemerosotan jasa lingkungan seperti ditunjukkan oleh meningkatnya frekuensi banjir, kekeringan, kelongsoran tanah dan sebagainya. Pada Tabel 19 disajikan perkembangan kinerja capaian kesejahteraan masyarakat Propisi Lampung yang tampak relatif stagnan pada periode 1996 sampai 2009 dibandingkan dengan capaian rata-rata secara nasional umumnya. Pendapatan per kapita atas harga konstan [INCP] hanya bergerak dari posisi Rp 3,51 juta pada tahun 1996 ke posisi Rp 4,83 juta di tahun 2009 atau secara ratarata hanya mencapai sekitar Rp 3,93[Sd=0,47]juta. Demikian jugadengan pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] pada periode yang sama hanya mencapai rata-rata 4,03[Sd=3,29]%. Akibat lebih lanjut insidensi kemiskian sulit dieleviasi dan tampak trend menjadi makin terpolar di perkotaan [URB_POOR]. Polarisasi ini yang mungkin sekali merupakan bukti dari telah meningkatnya urbanisasi oleh sebab sektor pertanian di perdesaan makin terbebani oleh proses deindustrialisasi tersebut. Klimaks dari serangkaian fenomena dari degradasi suberdaya alam, deindustrialisasi serta persistensi kemiskinan adalah pada capaian indeks pembangunan manusia [HDI] yang juga selalu berada di bawah capaian rata-rata nasional. Namun perlu dicatat bahwa setelah berlangsungnya desentralisasi fiskal

147 (utamanya setelah tahun 2003) telah terjadi penguatan indeks nilai tukar petani [NTP], perbadingan indeks harga yang dapat diraih petani terhadap harga yang harus dibayar petani. Kenaikan ini nampaknya telah cukup memberikan kontribusi pada kemampuan petani dalam mengkonsumsi produk barang dan jasa, diikuti oleh peningkatan kinerja kesehatan dan meningkatkan pengetahuan. Dengan begitu [HDI] di tahun 2009 telah mencapai pada posisi 70.93 tidak terpaut jauh dengan rata-rata nasional. Tabel 19. Perkembangan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2009 Tahun [INCP] [G_ECONM] [R_POOR] [URB_POOR] [T_POOR] [NTP] [HDI] Rp Juta ------------------------------------------ % --------------------------------- 1996 3,51 7,95 - - - 78,67 67,40 1997 3,62 4,15 - - - 75,94-1998 3,33-6,95 - - - 73,06-1999 3,39 2,58 - - - 81,43 63,00 2000 3,49 3,40 27,71 31,14 30,43 79,60-2001 3,58 3,70 16,69 27,2 24,91 79,90 64,90 2002 3,75 5,49 22,42 24,53 24,05 76,21 65,80 2003 3,93 5,72 21,36 22,98 22,63 73,60 66,00 2004 4,09 5,07 20,17 22,81 22,22 100,57 68,40 2005 4,13 4,02 20,46 21,78 21,42 106,80 68,80 2006 4,28 4,98 20,35 23,67 22,77 105,60 69,38 2007 4,49 5,94 18,11 23,7 22,19 107,89 69,78 2008 4,66 5,26 17,85 22,14 20,98 104,19 70,30 2009 4,83 5,07 16,78 21,49 20,22 107,90 70,93 Rataan= 3,93 4,03 20,19 24,14 23,18 89,38 67,70 Sd= 0,47 3,29 3,11 2,80 2,75 14,22 2,38 Sumber: BPS Provinsi Lampung (1997-2010, diolah) Keterangan: [INCP]=pendapatan/kpt, [G_ECONM]=pertbh. ekonomi, [R_POOR]=kemiskinan di perdesaan, [URB_POOR]=kemiskinan di perkotaan, [T_POOR]=kemiskinan wiayah, [NTP]=nilai tukar Petani dan [HDI]=indeks pembangunan manusia 5.3 Tingkat Kesejahteraan versus Kinerja Lingkungan 5.3.1 Model Perilaku Kinerja Kesejahteraan dan Lingkungan Menurut Jha dan Murthy (2003) bahwa di negara-negara berkembang yang capaian tingkat kesejahteraannya tergolong medium (HDI berkisar 60-70) proses degradasi lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan masih

148 akan terus berlangsung. Di sisi lain, dari capaian tingkat kesejahteraannya tersebut, telah terjadi kemerosotan kualitas lingkungan. Terjadi eskalasi degradasi jasa lingkungan tersebut seperti ditunjukkan oleh gejala eskalasi frekuensi: (i) konflik manusia dengan satwa liar di setiap zona penyangga dari setiap kawasan konservasi yang ada di provinsi ini (Nyhus et al, 2004), (ii) frekuensi kekeringan (Sihite, 2004) dan (iii) banjir dari 3,61% menjadi 6,43% dan kelongsoran tanah dari 1,20% menjadi 2,14% dari total desa-desanya untuk semua kabupaten/kota di lingkup provinsi ini dari tahun 2005 sampai 2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006a dan 2009a). Secara deskriptif kinerja tingkat kesejahteraan dan korbanan lingkungan untuk setiap kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Lampung disajikan pada Lampiran Tabel 4 sampai 6). Hasil analisis regresi secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran. Sedangkan hasil dugaan parameter model untuk capain kinerja indek pembangunan manusia ke depan [HDI] t+1 ; proposi desa di setiap kabupaten/kota yang dilanda tanah longsor [LSLIDE] maupun yang dilanda banjir [FLOOD] masing-masing diungkapkan dengan Pers.{4.1}, Pers. {4.2} dan Pers.{C} seperti disajikan pada Tabel 20. Seperti dapat diperiksa pada Pers.{4.1}, bahwa kinerja capaian indeks pembangunan manusia tahun depan [HDI] t+1 hanya dipengaruhi oleh capaian indek pembangunan manusia tahun berjalan [HDI] t maupun kinerja perkebunan kopi rakyat [COFF] t. Fenomena ini memberi makna bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di setiap kabupaten/kota satu tahun ke depan sangat ditentukan oleh tingkat konsumsi di tahun berjalan ini. Demikian pula dengan tingkat kesehatan maupun tingkat pencapaian pengetahuannya. Adapun kinerja hutan rakyat [HR] t maupun maupun hutan negara [HN] t tahun berjalan sekalipun memiliki kontribusi positif terhadap kinerja [HDI] t+1, tetapi kontribusinya tidak nyata. Fenomena ini juga memberikan isyarat bahwa sesuai dengan derajat deforestasi yang sudah sangat akut, maka produk material hasil hutan, baik kayu maupun nir kayu, (yang sifatnya dapat dipanen secara seketika pada tahun berjalan) tidak cukup memberikan kontribusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setahun ke depan. Namun sangat mungkin dapat diharapkan untuk peningkatan kesejahteraan di tahun-tahun mendatang.

149 Peranan perkebunan kopi rakyat di tahun berjalan [COFF] yang bersifat positif nyata terhadap capaian kinerja [HDI] t+1 dapat difahami mengingat Provinsi Lampung yang merupakan eksportir biji kopi urutan ke dua setelah Sumatera Selatan (Ditjen Perkebunan, 2009). Dengan kinerja ekspor tersebut dapat mendorong aktivitas di berbagai sektor lainnya yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat dan akhirnya berperannya nyata terhadap kinerja [HDI] t+1. Tabel 20. Model Dugaan Kinerja Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tahun Depan [HDI]t+1, Intensitas Banjir [FLOOD]t dan Longsor [LSLIDE]t di Wilayah Penelitian No. Persamaan Bentuk Relasi R2 (adj) P- value {4.1} Capaian Indeks Pemb.Manu sia Setahun ke Depan {4.2} Intensitas Kelongsoran Tanah dalam Tahun Berjalan [HDI] t+1 = 5,17 + 0,928**[HDI] t + 0,0646[HR] t + 0,00368 [HN] t + 0,00151[LDEG] t +0,00724[SWH] t + 0,0208*[COFF] t - 0,0039[ESTPL] t +0,000001[CH] t + 0,322 [D1_URBAN] [LSLIDE] t = 2,09-0,451^ [HR] t - 0,114[HN] t - 0,0109[LDEG] t - 0,0894** [SWH] t - 0,0548[COFF] t +0,0147[ESTPL] t + 0,00207^[SHIFT] t - 0,0979[FALLOW] t + 0,477[POND] t - 0,0780 [SWAMP] +0,000302 [CH] + 2,08* [D1_URBAN] - 0,391 [D2_VOLC] + 3,40* [D3_PLUT] + 0,084 [D4_HILL] + 3,22* [D5_MOUNT] 99,5% 0,000 95,9% 0,09 {4,3} Intensitas Bencana Banjir dalam Tahun Berjalan [FLOOD] t = 18,1-0,218 [HR] t - 0,525*[HN] - 0,0187 [LDEG] - 0,235* [SWH] - 0,300* [COFF] - 0,253*[ESTPL] - 0,0867 [SHIFT] -0,000186 [CH] - 3,46* [D1_URBAN] - 1,09 [D4_HILL] + 7,16 [D5_MOUNT] 99,0% 0,074 Keterangan: ** =sangat nyata pada taraf 1%; * =nyata pada taraf 5%; ^ =nyata pada taraf 10%; Simbol-simbol yang digunakan dalam Tabel 20 ini sama dengan yang digunakan dalam Lampiran Tabel 1 Dari Pers. {4.1}tersebut juga terungkap bahwa peranan luasan sawah [SWH] t. perkebunan besar [ESTPLT] t di tahun berjalan juga tidak berperan nyata dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat di tahun depan [HDI] t+1. Begitu pula mengenai status yurisdiksi wilayah [D1_URBAN], yang memberi arti bahwa tidak ada bedanya bagi rata-rata warga masyarakat untuk memperoleh peningkatan kesejahteraannya apakah bertempat tinggal di wilayah yurisdiksi berstatus kota ataupun berstatus kabupaten di lingkup Provinsi Lampung.

150 Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.2}, bahwa sekalipun belum dapat memberikan kontribusi secara nyata dalam meningkatan kesejahteraan di tahun depannya [HDI] t+1, ternyata kinerja hutan rakyat di tahun berjalan [HR] t dapat secara sangat nyata mereduksi intensitas bencana kelongsoran tanah pada tahun yang sama [LSLIDE] t. Seperti ditunjukkan oleh koefisien (parameter) yang dimiliki oleh variabel [HR] t yang bernilai -0,451% memberi makna bahwa bila faktor-faktor lain dipertahankan tetap, setiap ada penambahan luasan hutan rakyat sebesar 1%, maka akan ada sekitar 0,451% (kali total desa yang ada di setiap kabupaten/kota) yang terbebas dari bencana kelongsoran tanah di tahun berjalan. Adapun peranan hutan negara [HN] t juga demikian terhadap reduksi kelongsoran tanah sekalipun pengaruhnya belum nyata. Sekalipun variabel [SWH] t tidak memberikan kontribusi terhadap [HDI] t+1, tetapi seperti dapat diperiksa dalam Pers.{4.2} juga, bahwa proporsi sawah di tahun berjalan secara sangat nyata dapat mereduksi intensitas kelongsoran tanah pada tahun yang sama [LSLIDE] t. Tampaknya konstruksi fisik bangunan sawah yang berteras-teras dapat berfungsi dalam pengaturan aliran permukaan (run off), menahan air secara sementara, dan mengalirkan kelebihan air permukaan melalui saluran-saluran drainase yang telah dibuat untuk menuju ke saluran alami. Perilaku dalam pengaturan aliran air ini sangat ditunjang oleh adanya lapisan bajak yang relatif kedap sehingga perkolasi air kedalam profil tanah juga berlagsung secara teratur, tidak menyebabkan lapisan dalam profil tanah jenuh dengan air yang berarti juga tidak terbentuk bidang luncur dalam proril tanah yang menjadi prasyarat terjadinya kelongsoran tanah. Dalam Pers. {4.2} juga dapat diperiksa bahwa variabel [D1_URBAN] dapat meningkatkan kelongsoran tanah secara nyata, itu mungkin sekali berkaitan dengan kepadatan populasi per satuan luas areal. Penggerombolan bangunan fisik tampaknya telah memperluas lapisan kedap di satu sisi, membuat kosentrasi aliran permukaan yang dapat juga menerjang bangunan drainase perkotaan utamanya yang terletak di areal yang geomorfiknya agak curam berbukit-bukit kecil (hillockies) seperti di Kota Bandar Lampung. Bentuk geomorfik Kota Bandar Lampung yang seperti itu terbentuk oleh aktivitas geologi yang kemudian membentuk Sesar Lampung yang relatif peka

151 terhadap gaya-gaya eksogen seperti kelongsoran tanah. Perilaku ini juga ditunjukan oleh batuan geologik sebagai bahan pembentuk tanah yang berumur tua (seperti batuan beku dalam atau plutonik) yang umumnya juga telah mengalami pelapukan oleh gaya-gaya iklim (weathering) yang sudah lanjut. Oleh karena itu maka variabel [D3_PLUT] juga bersifat nyata terhadap [LSLIDE] t. dibandingkan dengan yang berbahan induk volkanik [D2_VOLC]. Sementara itu juga dalam Pers.{4.2} tersebut juga terungkap bahwa wilayah yurisdiksi yang berada di atas batuan induk volkanik tidak berbeda nyata terhadap batuan sedimen ataupun lainnya. Selain itu wilayah yurisdiksi yang terletak di atas bentang lahan kelompok pegunungan [D5_MOUNT] secara nyata memiliki intensitas kelongsoran secara rata-rata 3,22% lebih besar dibandingkan kabupaten yang terletak di atas bentang lahan perbukitan [D4_HILL]. Sedangkan yang berada di atas bentang lahan [D4_HILL] tidak berbeda nyata dengan wilayah yang berada di atas dataran. Pada Pers.{4.3} dapat diperiksa bahwa hutan negara [HN] t secara nyata dapat mereduksi intensitas banjir di tahun berjalan [FLOOD] t. Jika faktor-faktor lain tetap, setiap ada pertambahan luas [HN] sebesar 1% di suatu kabupaten maka intensitas banjir yang melanda desa-desa di kabupaten yang bersangkutan akan berkurang sebesar 0,525% seperti terungkap sebagai parameter [HN] dalam Pers.{4.3} tersebut. Untuk proporsi hutan rakyat [HR] t sekalipun dapat mereduksi intensita banjir, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Proporsi sawah [SWH] t juga secara nyata dapat mereduksi [FLOOD] t. Sebagaimana pengaruh terhadap intensitas kelongsoran tanah, konstruksi bangunan sawah berupa terassering tampaknya juga dapat mengendalikan laju aliran permukaan. Menampung kelebihan air hujan (excess rainfall), memfasilitasi air untuk tinggal sementara waktu di dalam petak-petak sawah yang mengalirkan secara perlahan dan kontinyu ke petak-petak yag lebih rendah elevasinya dan akhirnyya menuju ke saluran-saluran drainase alami. Dengan begitu dapat menghindari terjadinya konsentrasi masa air dalam volume yang besar dalam waktu yang relatif singkat, yang berarti pula dapat mereduksi banjir.