BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia kita mengetahui bahwa yang disebut dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Presiden Republik Indonesia, 1998). Jumlah penduduk Indonesia yang tergolong lanjut usia dan proporsinya terhadap seluruh penduduk Indonesia semakin bertambah dari waktu ke waktu. Pada Sensus Penduduk tahun 2010 didapatkan penduduk lanjut usia sebanyak 18.015.162 orang atau 7,6% dari seluruh penduduk. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian memperkirakan bahwa pada tahun 2015 penduduk lanjut usia di Indonesia akan mencapai 21.653.536 orang atau 8,5% dari seluruh penduduk (Cakrabawa et al., 2014). Badan Pusat Statistik memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 penduduk lanjut usia di Indonesia akan mencapai 33.695.800 orang (11,8% dari seluruh penduduk), dan pada tahun 2035 akan meningkat menjadi 48.198.700 orang atau 15,8% dari seluruh penduduk (Badan Pusat Statistik, 2013). Berbagai perubahan biologis dan fisiologis akibat proses penuaan dapat memberikan hasil yang berbeda-beda antar individu salah satunya perubahan komposisi tubuh. Setelah seseorang berusia 30 tahun, massa otot dapat berkurang sebanyak 6,3% per dekade, sedangkan massa lemak dapat meningkat sebanyak 2% per dekade. Tinggi tubuh dapat berkurang sekitar 1 cm tiap dekade (Brito et al., 2016), yang diduga akibat penipisan lempeng tulang belakang dan penurunan massa tulang (Arisman, 2010). Perubahan terkait proses penuaan juga dapat menurunkan sensitivitas indera pengecap dan penciuman (Gandy et al., 2014), serta perubahan struktural dan fungsional lainnya di sistem saraf akibat penurunan jumlah neuron (Brito et al., 2016). Di sisi lain, kebutuhan kalori akan menurun sejalan dengan pertambahan usia karena metabolisme seluler dan aktivitas fisik 1
yang berkurang (Arisman, 2010). Kondisi-kondisi ini memungkinkan lansia memiliki status gizi obesitas karena proses penuaan. Tidak didapatkan data prevalensi obesitas pada lansia di Indonesia, namun data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi penduduk dewasa (>18 tahun) kurus 8,7 persen, berat tubuh lebih 13,5 persen, dan obesitas 15,4 persen. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Prevalensi obesitas perempuan dewasa 32,9 persen, naik drastis dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (15,5%) (Balitbang Kemenkes RI, 2013). Jumlah penduduk lanjut usia yang semakin meningkat dapat disertai meningkatnya jumlah penderita demensia. Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010 dengan peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030 (Ong & Machfoed, 2015). Pencegahan penurunan kemampuan kognitif melalui identifikasi dan penanganan faktor risiko menjadi penting dalam menghadapi peningkatan jumlah penduduk lanjut usia (Cui et al., 2013). Prevalensi demensia lanjut usia (umur 60 tahun atau lebih) di DI Yogyakarta pada tahun 2016 mencapai 20,1% (Suriastini et al., 2016). Belum ada data prevalensi demensia secara nasional untuk Indonesia, namun Alzheimer s Disease International memperkirakan pada tahun 2015 terdapat 556.000 penderita demensia di Indonesia (Prince et al., 2016). Peningkatan indeks massa tubuh (IMT) pada usia pertengahan diketahui menjadi faktor risiko untuk diagnosis demensia beberapa dekade kemudian. Lebih lanjut diketahui bahwa lemak tubuh memiliki hubungan dengan penurunan kemampuan kognitif (Zhou et al., 2010). Meskipun berat tubuh menjadi ukuran antropometri terpenting untuk menentukan status gizi seseorang, namun berat tubuh ideal lansia sulit ditentukan karena acuan berat dari populasi yang seusia sukar diperoleh (Arisman, 2010). Selain itu, pengukuran IMT pada lansia tidak dapat menggambarkan komposisi tubuh karena adanya penurunan massa otot dan peningkatan massa lemak. Lemak abdominal, terutama akibat akumulasi lemak 2
viseral, lebih meningkat secara proporsional seiring bertambahnya usia dibandingkan lemak perifer (Zhou et al., 2010). Komposisi tubuh adalah gambaran penyusun tubuh, antara lain massa bebas lemak (Fat Free Mass) dan massa lemak (Fat Mass). Komposisi tubuh dapat dinilai secara tidak langsung menggunakan rumus yang melibatkan beberapa ukuran antropometri antara lain: berat tubuh, tinggi tubuh, lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan rasio lingkar pinggang terhadap lingkar pinggul (RLPP) (Sánchez-García et al., 2007). Penelitian yang meneliti hubungan status antropometri terhadap kemampuan kognitif belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama yang spesifik pada populasi lanjut usia obesitas. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan status antropometri terhadap kemampuan kognitif pada populasi lanjut usia obesitas menggunakan data IFLS5. B. Rumusan Masalah Apakah ada hubungan status antropometri terhadap kemampuan kognitif pada populasi lanjut usia obesitas? C. Tujuan a. Tujuan umum Mengetahui hubungan status antropometri terhadap kemampuan kognitif pada populasi lanjut usia obesitas. b. Tujuan khusus 1. Mengetahui status antropometri pada populasi lanjut usia obesitas. 2. Mengetahui kemampuan kognitif pada populasi lanjut usia obesitas. 3. Mengetahui pengaruh faktor lain (usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus, dan riwayat hiperkolesterolemia) pada hubungan status antropometri terhadap kemampuan kognitif pada populasi lanjut usia obesitas. 3
D. Manfaat 1. Bagi masyarakat Hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi ilmiah aktual tentang kejadian obesitas pada populasi lanjut usia, serta kaitannya dengan status antropometri dan kemampuan kognitif. 2. Bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai obesitas terutama pada populasi lanjut usia di Indonesia, serta kaitannya dengan status antropometri dan kemampuan kognitif. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang serupa dengan penelitian ini dan perbedaannya: 1. Cui, et al (2013), dengan judul penelitian The association of weight status with cognitive impairment in the elderly population of a Shanghai suburb, menemukan bahwa obesitas sentral berhubungan bermakna dengan risiko gangguan kognitif, namun sebaliknya IMT yang rendah dapat menjadi faktor risiko gangguan kognitif. Persamaannya adalah menggunakan data sekunder, subjek penelitian berusia 60 tahun ke atas, IMT digolongkan berdasarkan kriteria WHO untuk populasi Asia Pasifik, serta sebagian variabel bebas (berat tubuh, tinggi tubuh, IMT, lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan RLPP). Perbedaannya adalah lokasi penelitian, penggunaan The Chinese version of the Mini-Mental State Examination (C-MMSE) untuk menilai kemampuan kognitif, dan sebagian variabel bebas yang diukur (tinggi lutut dan panjang lengan atas). 2. Zhou, et al (2010), dengan judul penelitian Association between Body Mass Index and Cognitive Function among Chinese Nonagenarians/Centenarians, menemukan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan kemampuan kognitif, dengan IMT antara 18,9 hingga 21,1 memiliki kemampuan kognitif terbaik dan risiko terjadinya demensia paling rendah dibandingkan kelompok IMT lainnya. Persamaannya adalah menggunakan data sekunder, serta sebagian variabel bebas (berat tubuh, 4
tinggi tubuh, dan IMT). Perbedaannya adalah lokasi penelitian, subjek penelitian berusia 90 tahun ke atas, penggunaan Mini-Mental State Examination (MMSE) untuk menilai kemampuan kognitif, penggolongan IMT, dan sebagian variabel bebas yang diukur (tinggi lutut, panjang lengan atas, lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan RLPP). 3. Brito, et al (2016), dengan judul penelitian Cognitive profile associated with functional and anthropometric aspects in elderly, menemukan bahwa lingkar pinggang dan lingkar pinggul memiliki hubungan dengan kemampuan kognitif. Persamaannya adalah subjek penelitian berusia 60 tahun ke atas, serta sebagian variabel bebas (berat tubuh, tinggi tubuh, IMT, lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan RLPP). Perbedaannya adalah menggunakan data primer, lokasi penelitian, penggunaan MMSE untuk menilai kemampuan kognitif, penggolongan IMT, dan sebagian variabel bebas yang diukur (tinggi lutut, panjang lengan atas, lingkar lengan atas, lingkar paha, lingkar leher, dan rasio lingkar pinggang terhadap tinggi tubuh). 4. Castro-Costa, et al (2013), dengan judul penelitian The association between nutritional status and cognitive impairment in Brazilian community-dwelling older adults assessed using a range of anthropometric measures the Bambui Study, menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan gangguan kognitif. Persamaannya adalah menggunakan data sekunder, subjek penelitian berusia 60 tahun ke atas, serta sebagian variabel bebas (berat tubuh, tinggi tubuh, IMT, dan lingkar pinggang). Perbedaannya adalah lokasi penelitian, penggunaan MMSE untuk menilai kemampuan kognitif, dan sebagian variabel bebas yang diukur (ketebalan lipatan kulit trisep, lingkar lengan atas, lingkar otot lengan atas, area otot lengan atas terkoreksi, tinggi lutut, panjang lengan atas, lingkar pinggul, dan RLPP). 5