BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang

BAB I PENDAHULUAN. aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa tersebut. Sebuah kata dalam suatu bahasa dapat berupa simple word seperti table, good,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa dalam berbahasa Perancis yang baik dan benar. Selayaknya

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya secara sistematis. Salah satu

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia dan pada undang-undang

AFIKS PEMBENTUK VERBA BAHASA BUGIS DIALEK SIDRAP Masyita FKIP Universitas Tadulako ABSTRAK Kata kunci: Afiks, Verba, Bahasa

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. rubrik cerita Pasir Luhur Cinatur pada majalah PS, maka diperoleh simpulan

BAB I PENDAHULUAN. tindakan. Komunikasi dalam bentuk ujaran mungkin wujudnya berupa kalimat

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori-teori dalam penelitian ini perlu dibicarakan secara terinci.

ANALISIS NOSI AFIKS DAN PREPOSISI PADA KARANGAN NARASI PENGALAMAN PRIBADI SISWA X-7 SMA MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. kriya. (Nurhayati, 2001: 69) menyatakan bahwa verba atau tembung kriya

BAB 1 PENDAHULUAN. Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam

BAB II KAJIAN TEORI. gabungan kata morphe yang berarti bentuk, dan logos yang artinya ilmu. Chaer

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) merupakan program

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. lain dapat berbeda bergantung pada aliran linguistik apa yang mereka anut.

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa

BAB 3 METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN. Bab ini merupakan penjabaran lebih lanjut tentang metode penelitian yang

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Klasifikasi Bahasa (Abdul Chaer) Klasifikasi Genetis Klasifikasi Tipologis Klasifikasi Areal Klasifikasi Sosiolinguistik.

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

BAB I PENDAHULUAN. (2012: ) menjelaskan pengertian identitas leksikal berupa kategori kelas kata

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Pemakaian bahasa Indonesia mulai dari sekolah dasar (SD) sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi antar anggota masyarakat.

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 2, Nomor 2, Juli Afiksasi Dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda (Studi Kontrastif)

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PELANGI NUSANTARA Kajian Berbagai Variasi Bahasa

ANALISIS AFIKSASI DALAM ALBUM RAYA LAGU IWAN FALS ARTIKEL E-JOURNAL. Muhammad Riza Saputra NIM

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk

BAB II LANDASAN TEORI. 2. Penelitian dengan judul Analisis Kesalahan Berbahasa pada Surat Pembaca

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri

ANALISIS KONTRASTIF REDUPLIKASI BAHASA JAWA DAN BAHASA BANJAR (The Contrastive Analysis of Javanese and Banjarness Language Reduplication)

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf

PEMAKAIAN VERBA AKTIF TRANSITIF DALAM NOVEL GAWANG MERAH PUTIH: NOVEL REPORTASE TIMNAS U-19 KARYA RUDI GUNAWAN NASKAH PUBLIKASI

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016

PADANAN VERBA DEADJEKTIVAL BAHASA JAWA DENGAN BAHASA INDONESIA DALAM NOVEL PUSPA RINONCE DAN LAYANG SRI JUWITA SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel rumusan masalah yang telah ditetapkan yakni proses derivasi yang membentuk V serta berbagai satuan semantis V yang dihasilkan tersebut. Berdasarkan variabel proses derivasi yang membentuk V dapat klasifikasikan afiks-afiks pembentuk V berdasarkan kelas kata bentuk dasar yang dilekati afiks tersebut. Selanjutnya, berdasarkan satuan semantis V dapat pula diklasifikasikan satuan-satuan semantis apa saja yang dikandung oleh V sesuai dengan bentuk dasar yang dilekati oleh afiks pembentuk V tersebut. Dengan memperhatikan variabelvariabel pada rumusan masalah tersebut, simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Afiks-afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata N adalah berupa prefiks seperti {ba-}, {N-}, {kan-}, dan {san-}. Prefiks {ba-} yang memiliki alomorf berupa {ba-} dan {ra-} membentuk V-I yang bersatuan semantis V-I perbuatan, V-I perbuatan resiprokatif, V-I keadaan, dan V-I keadaan posesif, dan V-I keadaan resiprokatif. Prefiks {N-} yang memiliki alomorf berupa {N-} dan {ma-} 160

161 membentuk V-I yang bersatuan semantis keadaan, V-I yang bersatuan semantis perbuatan, dan V-I proses. Prefiks {san-} membentuk V-T yang bersatuan semantis tindakan serta mengandung beberapa jenis fitur yakni V-T tindakan kausatif, V-T tindakan direktif, dan V-T tindakan lokatif. Prefiks {kan-} yang memiliki alomorf berupa {kan-} dan {gan-} membentuk V-I keadaan adversatif dan V-T tindakan lokatif. Terakhir, fenomena konversi yang menyuratkan perubahan dari N menjadi V. 2. Afiks-afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata A adalah berupa prefiks seperti {ba-}, {kan-}, {san-}, dan {N-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I keadaan resiprokatif, V-I perbuatan resiprokatif, dan V-I proses. Prefiks {kan-} membentuk V-I yang bersatuan semantis keadaan perasaan dan V-I keadaan perasaan adversatif. Prefiks {san-} membentuk V-T yang bersatuan semantis tindakan yang bermakna kausatif dan lokatif. Prefiks {N-} hanya membentuk V-I proses. Kemudian, fenomena konversi yang menyuratkan perubahan dari A menjadi V. 3. Afiks-afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata V adalah berupa prefiks seperti {ba-}, {kan-}, {san-}, dan {N-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I yang bersatuan semantis perbuatan berupa V-I perbuatan, V-I perbuatan resiprokatif, V-I keadaan, dan V-I keadaan resiprokatif. Prefiks {kan-} membentuk V-I keadaan dan V-I keadaan adversatif. Prefiks {san-} membentuk V-T tindakan kausatif,

162 direktif, dan benefaktif. Prefiks {N-} membentuk V-I perbuatan dan V-I keadaan. Terakhir. 4. Afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata Num berupa prefiks {ba-} dan prefiks {san-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I keadaan dan prefiks {san-} membentuk V-T tindakan kausatif. Terakhir, afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata Adv berupa prefiks {ba-} dan prefiks {san-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I proses dan prefiks {san-} membentuk V-T tindakan kausatif. Sebagai catatan, sistem pembentukan kata dalam BSDSB hanya dimungkinkan terjadi melalui pelekatan afiks yang berupa prefiks dan infiks saja. Afiks-afiks dalam BSDSB secara keseluruhan hanya terdiri atas prefiks seperti {ba-}, {kan-}, {ran-}, {N-}, {san-}, {sa-}, {ka-}, {pan-}, dan {pa-}, gabungan afiks berupa {basa-} dan {pasa-}, konfiks berupa {baka-}, dan sebuah infiks berupa {-N-} dengan dua wujud konkretnya berupa {-n-} dan {-m-}. Afiks dengan jumlah tersebut tergolong relatif sedikit ditambah dengan kenyataan tidak adanya sufiks. Kenyataan ini sungguh berbeda dengan beberapa bahasa daerah lainnya di Indonesia yang masih serumpun di bawah silsilah bahasa Austronesia. Sebagai contoh, beberapa bahasa daerah yang terdapat di wilayah Sulawesi masih memiliki sistem afiks yang lengkap dengan jumlah yang relatif banyak. Hal ini juga terdapat sama pada bahasa-bahasa di wilayah pulau Jawa. Berbeda lagi dengan beberapa bahasa daerah yang terdapat di wilayah Nusa Tenggara Timur yang hampir

163 tidak memiliki afiks sama sekali dalam hal pembentukan katanya seperti pada bahasa Manggarai dan bahasa Blagar. Sebagai bahasa yang serumpun di bawah silsilah bahasa Austronesia, fenomena semacam ini menjadi layak untuk mendapatkan perhatian. Ada realisasi sistem dan jumlah afiks yang berbeda secara signifikan pada berbagai bahasa daerah di Indonesia. Dalam pada itu, ada semacam keteraturan bahwa semakin ke arah nusantara bagian timur, sistem dan jumlah afiks semakin sedikit (lihat tabel di lampiran I, halaman 173). Secara khusus terkait dengan sistem afiks, tidak seluruh bahasa daerah memiliki sistem afiks yang lengkap. Lengkap yang dimaksudkan di sini adalah sebuah bahasa yang memiliki sistem afiks berupa prefiks, infiks, sufiks, gabungan afiks, dan konfiks. Namun, kenyataannya, terdapat kesenjangan yang menonjol jika seluruh bahasa diperbandingkan. Meskipun bahasa-bahasa tersebut berada di wilayah yang sama, perbedaan-perbedaan tetap ada. Misalkan, beberapa bahasa lainnya memiliki sistem afiks yang lengkap sementara salah satu bahasa di wilayah tersebut ada yang tidak memiliki infiks atau sufiks. Poedjosoedarmo (2006: 30) dengan mengutip Dyen (1965) menyatakan bahwa bahasa di nusantara diperkirakan paling sedikit berjumlah 500 buah bahasa. Jumlah bahasa tersebut terbatas pada bahasa-bahasa yang terhimpun dalam keluarga bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi afiks yang signifikan berbeda antarbahasa daerah di Indonesia memicu munculnya dugaan telah terjadinya perubahan bahasa yang sifatnya teratur dan masif.

164 Dalam tulisannya, Poedjosoedarmo (2008 : 3) mengakui bahwa penyebaran makhluk manusia di muka bumi beribu tahun yang lalu telah berdampak pada jumlah bahasa di dunia. Bahasa yang semula hanya satu menjadi beribu-ribu masih terikat hubungan dengan bahasa protonya. Sebagai salah satu contoh, bahasa Proto- Austronesia yang telah menyebar di seluruh nusantara. Persebaran ini terasosiasi dengan perubahan-perubahan dalam prosesnya. Hal inilah yang menguatkan dugaan perbedaan-perbedaan realisasi sistem dan jumlah afiks di bahasa-bahasa daerah nusantara sebagaimana disebutkan di atas. Pola perubahan bahasa mengikuti pola tertentu yang teratur berdasarkan hukum tata bahasa. Poedjosoedarmo (2006 : 5) menyebutkan bahwa dalam hal mencari penyebab perbedaan-perbedaan struktur serta perbendaharaan komponen antarbahasa dapat dilakukan dengan memanfaatkan hukum tatabahasa yang disebutnya sebagai hukum grammar. Dengan memperhatikan pola-pola sintaksis, Poedjosoedarmo menitikberatkan kajiannya pada tiga buah komponen yang berurutan dan saling mempengaruhi yakni prosodi, urutan, dan butir leksikon. Komponen inilah yang dijadikan dasar bahwa tatabahasa dapat menjelaskan perubahan-perubahan atau perbedaan perbendaharaan pada bahasa-bahasa yang dianggap serumpun. Secara teknis, Poedjosoedarmo (2006: 7-8) menyatakan adanya hubungan yang teratur dalam proses perubahan bahasa. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah perubahan pada tataran prosodi (cara ucap dan pola intonasi). Perubahan pada prosodi ini kemudian berdampak pada perubahan fonem yang dapat hilang, dapat bertambah, atau dapat mempengaruhi adanya perubahan suku kata. Pada tataran yang

165 lebih tinggi lagi, fenomena ini lama-kelamaan akan mempengaruhi struktur frasa hingga struktur kalimat. Hal inilah yang menjadi dasar Poedjosoedarmo dalam menemukan penyebab-penyebab serta alasan mengapa bahasa berubah sampai akhirnya yang dirasakan sekarang ini. Kenyataan terdapatnya perbedaan yang signifikan terkait dengan sistem dan jumlah afiks bahasa-bahasa Austronesia yang ada di beberapa wilayah nusantara juga dapat dengan menggunakan hukum tatabahasa yang diusulkan oleh Poedjosoedarmo. Sebagai contoh, Poedjosoedarmo (2006: 24-25) menggunakan prinsip susunan frasa dalam konstruksi sintaksis sebagaimana yang telah disampaikan oleh Greenberg (1966). Susunan frasa yang dimaksud seperti susunan berupa SVO dan VSO. Poedjosoedarmo mensinyalir adanya hubungan susunan frasa terhadap produktif atau tidaknya sistem imbuhan. Pertama, Semakin dominan susunan VSO maka semakin kaya dan produktiflah imbuhan-imbuhan dalam suatu bahasa. Hal ini yang menyebabkan bahasa-bahasa yang terdapat di Sulawesi masih mempertahankan sistem afiks dan jumlah yang banyak. Sebaliknya, kedua, semakin ajeg dan mantap sistem SVO maka semakin tidak perlu bahasa tersebut memerlukan afiks. Fenomena semacam inilah kemungkinan yang terjadi pada bahasa-bahasa yang miskin sistem dan jumlah afiksnya. Kenyataan yang kedua kiranya bersinggungan dengan penyebab BSDSB dan bahasa daerah lainnya miskin akan sistem dan jumlah afiks. Susunan SVO yang ajeg menyebabkan tidak diperlukannya lagi morfem afiks yang berada di awal dan akhir bentuk dasar. Sebagai missal, dalam BSDSB untuk menyatakan membelikan dalam

166 BI digunakan leksikon beli tawa membelikan seperti pada konstruksi benefaktif Bapak beli babung tawa kami Bapak membelikan boneka untuk kami (bandingkan Poedjosoedarmo, 2006: 23-25). Bentuk-bentuk semacam ini masih terdapat banyak dalam BSDSB. Berdasar uraian tersebut, kiranya pencarian akan sebab dan alasan perubahan bahasa dalam rumpun yang sama dapat dilakukan. Pendekatan semacam ini juga mampu melengkapi uraian migrasi atau persebaran bahasa yang telah disampaikan oleh Dyen (1965). Hal ini disampaikan oleh Poedjosoedarmo (2006: 35) bahwa dengan membandingkan pola sintaksis, perjalanan perpindahan bahasa-bahasa serumpun yang tersebar di wilayah nusantara dapat dijelaskan. Penelitian-penelitian berikutnya diharapkan mampu mempersoalkan sekaligus menjawab fenomena tersebut. 6.2 Saran Penelitian BSDSB masih banyak berfokus pada tataran morfologi yang juga membutuhkan penelitian yang berkelanjutan dalam rangka mencapai hasil yang memuaskan. Penelitian yang mencari fakta kebahasaan BSDSB dari segi sintaksis dan semantis masih jarang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian dengan perspektif sintaksis dan semantik yang dimaksud seperti uraian mengenai struktur sintaksis sekaligus struktur dan konfigurasi semantis konstruksi kalimat dalam BSDSB. Terutama terkait dengan ihwal peran-peran semantis.

167 Pada sirkumstan morfologi, penelitian ini telah berusaha menguraikan proses morfologis dalam BSDSB yang tergolong derivasi. Namun, perspektif infleksi belum sempat menjadi bagian kajian sehingga peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat berkesempatan menguraikan fenomena infleksi dalam BSDSB. Fenomena konversi yang telah disampaikan dalam penelitian ini juga masih dengan data yang mewakili. Hal semacam ini masih terdapat banyak dalam BSDSB. Meskipun, penelitian ini telah menguraikan makna yang dikandung oleh verba BSDSB, penelitian mengenai makna dan unit leksikal N belum dibahas. Oleh karena itu, pencarian fakta kebahasaan yang menggunakan perspektif semantik dalam BSDSB sangat perlu mendapat perhatian. Kiranya, celah yang harus disempurnakan dari penelitian-penelitian sebelumnya termasuk penelitian ini juga tidak pernah tertutup adanya. Dengan demikian, lahan yang luas untuk peneliti selanjutnya masih terbuka dan selalu ada. Satu hal yang sangat penting dan menarik untuk dikaji adalah hubungan antarbahasa di wilayah nusantara yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, terdapat perbedaan realisasi sistem dan jumlah afiks yang menonjol. Dugaan sementara yang dapat diajukan adalah telah terjadi perubahan bahasa yang sifatnya teratur mengikuti kaidah. Tentunya, persoalan-persoalan lain di luar bahasa seperti bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya juga ikut ambil bagian dalam proses perubahan yang dimaksud. Untuk itu, dengan memanfaatkan teori yang telah disampaikan oleh Poedjosoedarmo di atas, sekaligus menimbang factor-faktor sosial penutur bahasa,

168 jawaban atas fenomena perbedaan tersebut akan dapat terjawab dengan penelitian yang komprehensif.