BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
KENYAMANAN TERMAL PADA RUMAH SUSUN DI JAKARTA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. letaknya ini, matahari dapat bersinar di wilayah Indonesia selama 12 jam per

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENERAPAN KONSEP PENGHAWAAN ALAMI PADA WISMA ATLET SENAYAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar Belakang Proyek

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Lokasi Kampung Pulo Sumber: hasil olahan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta, ibukota negara Indonesia, merupakan kota yang terus

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

`BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DAMPAK PENGGUNAAN DOUBLE SKIN FACADE TERHADAP PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK UNTUK PENERANGAN DI RUANG KULIAH FPTK BARU UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA:

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1. LATAR BELAKANG. I Latar Belakang Perancangan. Pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan primer.

PENGARUH LUAS BUKAAN VENTILASI TERHADAP PENGHAWAAN ALAMI DAN KENYAMANAN THERMAL PADA RUMAH TINGGAL HASIL MODIFIKASI DARI RUMAH TRADISIONAL MINAHASA

BAB I PENDAHULUAN. generasi yang akan datang serta merupakan pengejawantahan diri.

BAB V KONSEP PERENCANAAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang proyek

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Ventilasi suatu bangunan merupakan salah satu elemen penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia sekarang ini semakin meningkat

SOLUSI VENTILASI VERTIKAL DALAM MENDUKUNG KENYAMANAN TERMAL PADA RUMAH DI PERKOTAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. juta jiwa. Sedangkan luasnya mencapai 662,33 km 2. Sehingga kepadatan

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2. menjadikan Jakarta sebagai kota yang sangat padat penduduknya.

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU

PERMUKIMAN SEHAT, NYAMAN FARID BAKNUR, S.T. Pecha Kucha Cipta Karya #9 Tahun 2014 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Proyek

aktivitas manusia. 4 Karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan lahan yang menjadi penyebab utama Bumi menjadi hangat, baik pa

BAB IV: KONSEP Konsep Dasar WARNA HEALING ENVIRONMENT. lingkungan yang. mampu menyembuhkan. Gambar 4. 1 Konsep Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Sumber : diakses tanggal 2 Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENGALIRAN UDARA UNTUK KENYAMANAN TERMAL RUANG KELAS DENGAN METODE SIMULASI COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

PENGHAWAAN DALAM BANGUNAN. Erick kurniawan Harun cahyono Muhammad faris Roby ardian ipin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Judul Proyek. Kota Jakarta adalah tempat yang dianggap menyenangkan oleh mayoritas

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, serta sistematika penulisan laporan.

STUDI TERHADAP KONSERVASI ENERGI PADA GEDUNG SEWAKA DHARMA KOTA DENPASAR YANG MENERAPKAN KONSEP GREEN BUILDING

BAB I PENDAHULUAN. Foto I.1.1. Wisma Atlet Fajar - Senayan. Sumber : Dokumentasi pribadi

BAB III ELABORASI TEMA

Perancangan gedung rawat inap rumah sakit dengan pendekatan Green Architecture khususnya pada penghematan energi listrik. Penggunaan energi listrik me

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Jakarta adalah kota yang setiap harinya sarat akan penduduk, baik yang

BAB IV ANALISA TAPAK

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan dalam maupun luar yang aman dan nyaman, sehingga. penghuninya terhindar dari keadaan luar yang berubah-ubah.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI OTISTA JAKARTA TIMUR

PERANCANGAN APARTEMEN MENGGUNAKAN DOUBLE SKIN FACADE

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

Gambar Proporsi penggunaan sumber energi dunia lebih dari duapertiga kebutuhan energi dunia disuplai dari bahan bakan minyak (fosil)

OPTIMASI KINERJA PENCAHAYAAN ALAMI UNTUK EFISIENSI ENERGI PADA RUMAH SUSUN DENGAN KONFIGURASI TOWER DI DENPASAR

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEDUNG KEDUTAAN BERPALING DARI JALAN UTAMA. Tidak lazim bagi bangunan di koridor Thamrin, Jakarta, memalingkan wajahnya dari jalan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

tetap akan memberikan kontribusi besar terhadap penurunan konsumsi energi secara nasional. Bangunan merupakan penyaring faktor alamiah penyebab

Pendekatan Pembentukan Iklim-Mikro dan Pemanfaatan Energi Alternatif Sebagai Usaha Tercapainya Model Desain Rumah Susun Hemat Energi

PENDEKATAN PEMBENTUKAN IKLIM-MIKRO DAN PEMANFAATAN ENERGI ALTERNATIF SEBAGAI USAHA TERCAPAINYA MODEL PENDIDIKAN LINGKUNGAN BINAAN YANG HEMAT ENERGI

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi manusia di Jakarta,

1 BAB I PENDAHULUAN. diiringi dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Beriringan pula dengan

BAB 1 PENDAHULAN I.1. LATAR BELAKANG. Latar Belakang Proyek. Jakarta adalah Ibukota dari Indonesia merupakan kota yang padat akan

LAMPIRAN 1 PERAN ENERGI DALAM ARSITEKTUR

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi Proyek. kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah

Investigasi Ventilasi Gaya-Angin Rumah Tradisional Indonesia dengan Simulasi CFD

Gedung Kantor LKPP BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Berbicara tentang tempat tinggal, kota Jakarta menyediakan lahan yang

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada saat ini keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan di Jakarta

BAB IV: KONSEP Konsep Dasar Arsitektur Hemat Energi

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, salah satunya adalah kawasan perbatasan Sidoarjo - Surabaya (dalam hal ini Desa Wonocolo, Kecamatan Taman).

Pathologi Bangunan dan Gas Radon Salah satu faktor paling populer penyebab terganggunya kesehatan manusia yang berdiam

Pengembangan RS Harum

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Sumber:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Syarat Bangunan Gedung

BAB I PENDAHULUAN. halaman belakang untuk memenuhi berbagai kenyamanan bagi para. penghuninya, terutama kenyamanan thermal. Keberadaan space halaman

RUMAH SUSUN HEMAT ENERGI DI LEBAK BULUS JAKARTA DENGAN PENERAPAN PENCAHAYAAN ALAMI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Arsitektur dan Lingkungan. Lilis Widaningsih

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAKARTA SELATAN Arsitektur Tropis

BAB I PENDAHULUAN. Tabel Jumlah Penduduk per Kabupaten di DIY Tahun Kabupaten / Kota Gunung-

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEWA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR EKOLOGIS

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Persoalan tempat tinggal masih menjadi masalah pelik bagi penduduk di

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Dimana permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk indonesia adalah Pertumbuhan penduduk perkotaan yang berdampak terhadap peningkatan permintaan akan rumah dan permasalahan permukiman penduduk dengan terbatasnya lahan perkotaan. Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di lahan perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan sistem sewa. Untuk memenuhi kebutuhan pokok akan rumah tinggal yang sangat meningkat, khususnya pada daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah industri, Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Pembangunan Rusunawa saat ini merupakan program pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum untuk mengatasi kawasan kumuh perkotaan dan untuk penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan air dalam rangka menanggulangi banjir. Adapun pembangunan pasar untuk pedagang yang sebelumnya kondisinya sudah rusak parah. Pada kawasan Pasar Sentra Kaki Lima Kelurahan Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat akan dibangun rumah susun sederhana sewa untuk warga korban banjir di daerah pasar lokasi binaan Rawa Buaya, dimana konsep awal rusunawa ini adalah terdapat pasar tradisional pada rusun ini untuk para pedagang binaan yang sebelumnya sudah berjualan di lokasi itu, tutur Guberner DKI Jakarta Joko Widodo, Kamis, 16 Januari 2014 (http://us.metro.news.viva.co.id/). Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta Yonathan Pasodong mengatakan, Rusunawa Rawa Buaya akan dibangun lima tower di atas lahan 1,7 hektar milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Menurut Yonathan, masing-masing tower akan terdiri dari 16 lantai dengan lantai 1-3 dari 2 blok dialokasikan untuk pasar. "Tahun ini dibangun dua tower dulu," jelas dia yang mendampingi Jokowi. Kamis, 16 Januari 2014 (http://www.republika.co.id/). 1

2 Gambar 1.1 Pasar Lokbin Rawa Buaya Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar 1.2 Permukiman Kumuh Rawa Buaya Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar 1.3 Kondisi Pasar Lokbin Rawa Buaya Sumber : Dokumentasi Pribadi 1.2 Latar Belakang Pemilihan Topik dan Tema Menurut UN Documents dalam The Habitat Agentda : Chapter IV : C. Sustainable Human Settlements Development In An Urbanizing World tentang Sustainable Energy Use, penggunaan energi sangat penting di pusat-pusat perkotaan untuk transportasi, produksi industri, dan kegiatan rumah tangga dan kantor. Ketergantungan saat di sebagian besar pusat kota pada sumber energi nonterbarukan dapat menyebabkan perubahan iklim, polusi udara dan masalah akibat lingkungan dan kesehatan manusia, dan mungkin merupakan ancaman serius bagi

3 pembangunan berkelanjutan. Produksi energi yang berkelanjutan dan penggunaan dapat ditingkatkan dengan mendorong efisiensi energi, dengan cara seperti kebijakan harga, penggantian bahan bakar, energi alternatif, angkutan massal dan kesadaran publik. Pemukiman manusia dan kebijakan energi harus aktif dikoordinasikan. Jakarta terletak lebih kurang pada posisi 6 LS dan 107 BT. Posisi geografis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dan Jakarta terletak sangat dekat (di sekitar) garis khatulistiwa yang beriklim ekternal tropis lembab, dengan temperatur berkisar antara 30-33 C, hampir tidak ada perbedaan temperatur harian dan tahunan. Kelembaban sepanjang tahun yang cukup tinggi, antara 80% - 90%. Curah hujan (sangat) tinggi antara bulan Desember - Januari. Suhu rata-rata di Jakarta 31 C dan mencapai 35 C pada kondisi tertentu. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya sebab produktifitas kerja manusia cenderung menurun atau rendah pada kondisi udara yang tidak nyaman seperti halnya terlalu dingin atau terlalu panas. Suhu nyaman termal untuk orang Indonesia berada pada rentang suhu 22,8 C - 25,8 C dengan kelembaban 70%. Langkah yang paling mudah untuk mengakomodasi kenyamanan tersebut adalah dengan melakukan pengkondisian secara mekanis (penggunaan AC) di dalam bangunan yang berdampak pada bertambahnya penggunaan energi (listrik). Menurut Tri Harso Karyono (2010), bangunan merupakan salah satu sektor dominan yang menghasilkan emisi CO 2 terbanyak ke atmosfer. Untuk itu diperlukan suatu gerakan dalam arsitektur untuk membatasi emisi CO 2 yang dihasilkan bangunan. Arsitektur hijau merupakan salah satu gerakan yang mencoba ke arah itu, membantu meminimalkan emisi CO 2 yang ditimbulkan bangunan. Menurut Undang-Undang tentang Bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002 terdiri dari bangunan umum dan bangunan perumahan. Sebagian besar emisi CO 2 dihasilkan dari kegiatan domestik 27%, sehingga karya arsitektur harus seminimal mungkin menggunakan sumber daya alam dan menimbulkan dampak negatif sekecil mungkin terhadap dimana manusia hidup. Emisi CO 2 yang mempengaruhi oleh desain secara langsung adalah aspek kenyamanan termal, dimana untuk mendapatkan rasa nyaman pada suatu bangunan dapat dilakukan dengan pendekatan aktif dan pasif desain. Sebuah desain yang baik bila kenyamanan tersebut dicapai melalui pendekatan desain pasif (passive design) bukan desain aktif (active design).

4 1.3 Masalah/Isu Pokok Penghasil emisi CO 2 pada bangunan sebagian besar bersumber dari domestik, sehingga upaya menurunkan emisi CO 2 sangat efektif bila dilakukan pada bangunan. Pentingnya kenyamanan termal pada rumah susun yang penghuninya merupakan masyarakat menengah ke bawah. Dikarenakan jika kenyamanan termal dalam ruangan kurang, langkah tercepat untuk mengakomodasi kenyamanan tersebut adalah menggunakan desain aktif (penggunaan AC) yang berdampak bertambahnya konsumsi energi listrik dan membutuhkan perawatan serta biaya yang besar. 1.4 Rumusan Masalah Bagaimana menciptakan kenyamanan termal pada rumah susun di Rawa Buaya, Jakarta Barat dengan perancangan pasif? 1.5 Tujuan Penelitian Merancang rumah susun di Rawa Buaya dengan perancangan pasif demi tercapainya kenyamanan termal. 1.6 Lingkup Pembahasan Lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah suhu, kelembaban, dan kecepatan udara dalam ruang yang menunjang kondisi termal pengguna ruang. Dengan memperhatikan luas bukaan dan penahan panas matahari, serta suhu, kelembaban, kecepatan udara, penulis menganalisa bagaimana rancangan bukaan yang optimal untuk penghematan energi dalam bangunan rusunawa di Rawa buaya. Dalam perencanaan pembangunan rusunawa yang berbasis arsitektur hemat energi, penulis memfokuskan pada penghematan energi yang terjadi pada bangunan ini. Penulis tidak membahas tentang kenyamanan fisik pengguna bangunan secara ruang (spatial comfort), pencahayaan (visual comfort), suara/bunyi (auditory comfort), dan penciuman (olfactual comfort). 1.7 Tinjauan Pustaka Menurut penelitian Arief Sabaruddin, Rumiati R. Tobing, Tri Harso Karyono (2012), mengatakan bahwa faktor-faktor desain yang mempengaruhi kenyamanan termal dan berpeluang menghasilkan emisi CO 2 adalah orientasi bangunan, posisi unit hunian dan tipe bangunan. Jenis bangunannya berdasarkan pola sirkulasi ada 3

5 yaitu tower dengan pola sirkulasi memusat, BDL (Block Double Loaded) dengan sirkulasi linear dua sisi layanan dan BSL (Block Single Loaded) dengan sirkulasi linear satu sisi layanan. Gambar 1.4 Tipe Bangunan Berdasarkan Pola Sirkulasi Sumber : Arief Sabaruddin, Rumiati R. Tobing, Tri Harso Karyono (2012) Menurut penelitian Hedy C. Indrani, bahwa keberadaan ventilasi alam pada hunian lingkungan tropis lembab sangat penting bagi kesehatan. Persyaratan ventilasi alam dinyatakan dalam bentuk air change rate (ACH) berupa ketersediaan udara segar, sirkulasi udara yang baik, pengeluaran panas, dan gas yang tidak diinginkan di dalam ruang. Kecepatan angin bermanfaat mempercepat proses evaporative cooling, sehingga sangat berperan dalam menciptakan kenyamanan termal ruang dalam. Kondisi angin setempat mempengaruhi lingkungan penghawaan suatu bangunan, sehingga mungkin timbul permasalahan dalam memprediksi kondisi ventilasi alami dan kenyamanan termal pada hunian rumah susun, utamanya luasan dan orientasi bukaan yang tidak tegak lurus aliran angin. Parameter ventilasi yang akan diamati yaitu air flow rate dan air change Hour (ACH) yang didapatkan dari simulasi dengan menggunakan perangkat lunak AILOS. Hasil menunjukkan bahwa jika orientasi bukaan berada pada wilayah wind shadow maka ruang dalam tidak menerima angin, yang terjadi justru mendapat tekanan hisapan. Desain bukaan perlu memperhatikan luasan inlet dan outlet karena apabila ACH tidak mengalami kenaikan berarti, maka kecepatan angin internal menjadi rendah dan kenyamanan termal tidak terpenuhi. Menurut Tri Harso Karyono (2012), faktor tipe bangunan, orientasi bangunan dan posisi unit hunian merupakan faktor yang berpengaruh terhadap desain dengan bobot 13,2%, dimana 90,9% dipengaruhi oleh tipe bangunan, 8,3% oleh orientasi bangunan dan 0,075% oleh posisi unit hunian. Sehingga faktor dominan yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal pada rumah susun adalah tipe bangunan selanjutnya orientasi bangunan serta interaksi antara orientasi dan tipe bangunan. Sedangkan posisi unit hunian hampir tidak berpengaruh besar terhadap kenyamanan termal.

6 Menurut Novan H. Toisi dan Kussoy Wailan John (2012) menyatakan bahwa pengaruh luas bukaan ventilasi terhadap penghawaan alami pada kenyamanan termal pada rumah tinggal, dimana hasil analisanya adalah ruang keluarga yang tidak memenuhi standar minimum luas bukaan yaitu jendela 20% dari luas ruangan dan ventilasi 5% dari luas ruangan, kecepatan angin yang didapatkan juga tidak memenuhi standar minimum kecepatan angin yang nyaman untuk aktifitas sedang dalam rumah tinggal. Sedangkan pada ruang tamu, kamar tidur dan dapur memenuhi standar minimum kecepatan angin yang nyaman untuk aktifitas sedang dalam rumah tinggal. Kesimpulannya adalah sirkulasi bangunan single loaded, double loaded dan tower (memusat) merupakan pola sirkulasi yang sering digunakan pada rumah susun dan sangat efektif untuk melayani penghuninya. Peran ventilasi alami sangat penting dalam memasukan angin ke dalam ruangan demi menyejukan ruangan dan mengurangi kelembaban. Dimana orientasi bukaan juga mesti diperhatikan, apabila bukaan diletakan sejajar maka aliran angin kurang maksimal dibanding letak bukaan yang berhadapan baik tegak lurus maupun silang.