BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan organisasi, manajemen perlu menyusun suatu laporan pertanggunggjawaban. Salah satu tujuan dari laporan pertanggungjawaban tersebut adalah untuk mengukur kinerja yang telah dilakukan oleh organisasi dan memprediksi kelanjutan kinerja organisasi di masa yang akan datang. Laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban yang disusun oleh manajemen organisasi dapat memberikan informasi kepada para pemilik kepentingan mengenai kinerja keuangan yang telah dilakukan dan prediksi keuangan organisasi di masa yang akan datang. Laporan keuangan juga dapat memberikan manfaat bagi investor dan kreditur dalam menilai kinerja keseluruhan organisasi (Saraswati, 2007). Komponen yang paling sering menjadi fokus utama dalam menilai kinerja melalui laporan keuangan adalah laba (earnings) (Daniati, 2006; Susanto, 2006; Saraswati, 2007). Hal tersebut disebabkan oleh laba diyakini sebagai komponen yang mampu menggambarkan secara menyeluruh kondisi ekonomi serta prospek perusahaan untuk bertumbuh di masa depan (Susanto, 2006). Selain pertimbangan laba, para pemilik kepentingan harus melihat ukuran perusahaan termasuk jangkauan perusahaan yang dihubungkan dengan siklus hidup perusahaan dalam mengevaluasi laba. Dengan melihat ukuran perusahaan inilah yang nantinya juga akan menggambarkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana dalam perusahaan. Jika dibandingkan kepada siklus hidup
pemerintahan, dalam penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebut ada beberapa variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan sarana publik di setiap daerah. Dua diantaranya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk. Dalam penelitiannya, Kusnandar dan Iswantoro (2010), menyebutkan bahwa daerah yang luas wilayahnya besar tentu membutuhkan jumlah fasilitas yang lebih baik sebagai syarat untuk pelayanan kepada masyarakat dibanding daerah yang memiliki luas wilayah yang lebih kecil. Selain itu, kebutuhan sarana publik setiap daerah dengan jumlah penduduk yang bervariasi juga berbeda. Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi menjadi stuktur yang terdesentralisasi dengan diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, kewajiban, daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah berlaku efektif mulai 1 Januari 2001 mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Haryanto (2013) dan Fauzy (2014) melakukan penelitian yang berhubungan dengan ukuran kinerja akuntansi perusahaan dan siklus hidup perusahaan terhadap pemerintah daerah. Dalam penelitian tersebut, penerapan siklus hidup perusahaan ke dalam ukuran pemerintah daerah dilakukan berdasarkan Permendagri Nomor 21 tahun 2007 yang membagi klaster pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan daerah. Sementara ukuran kinerja yang diterapkan dalam akuntansi pemerintah daerah adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA APBD), arus kas dari aktivitas Operasi, Investasi, dan Pembiayaan. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 mengatakan bahwa SiLPA APBD merupakan selisih lebih antara realisasi pendapatan, Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD selama satu periode laporan. Dimana realisasi pendapatan bagi permerintah merupakan pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran pemerintah selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar hutang dan belanja dalam periode tersebut, dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan unsur laporan keuangan yang menyajikan ikhtisar sumber alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode laporan (Renyowijoyo, 2010). Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) APBD juga merupakan salah satu parameter kinerja organisasi pemerintah yang mendapat perhatian utama dari pemangku kepentingan (Mardiasmo, 2002). Devas, (dikutip dari Fauzy, 2014)
menjelaskan bahwa Informasi SiLPA APBD yang ada dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu indikator bagi rekanan pemerintah dalam membuat keputusan perencanaan investasi. Sementara, informasi luas wilayah suatu daerah juga memberikan informasi bahwa daerah dengan wilayah yang lebih luas tentunya membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik apabila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas dan juga informasi jumlah penduduk menjelaskan bahwa kebutuhan sarana publik dengan jumlah penduduk yang bervariasi juga berbeda. Dalam penelitiannya, Haryanto (2013) dan Fauzy (2014) menggunakan variabel penganggaran belanja modal untuk mengukur kekuatan hubungannya dengan informasi SiLPA APBD dan arus kas. Penggunaan variabel penganggaran belanja modal dimaksudkan untuk mengetahui komitmen pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerahnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Mursyidi (2009), belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari suatu periode akuntansi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2013) menunjukkan bahwa pada pemerintah daerah klaster a dan c, SiLPA APBD dan arus kas investasi berpengaruh secara signifikan terhadap penganggaran belanja modal. Sementara pada pemerintah daerah klaster b tidak terdapat variabel yang secara parsial mempengaruhi penganggaran belanja modal. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan Fauzy (2014) menunjukkan bahwa informasi SiLPA
dan informasi arus kas operasional, investasi, serta pembiayaan berpengaruh pada penganggaran belanja modal pemerintah daerah klaster b. Pada pemerintah daerah klaster a, hanya variabel informasi arus kas pembiayaan yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penganggaran belanja modal. Sementara, pada pemerintah daerah klaster c, semua variabel tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penganggaran belanja modal. Penelitian yang memasukkan faktor klasifikasi kemampuan keuangan daerah dalam kaitannya dengan siklus hidup perusahaan masih relatif sedikit dilakukan di Indonesia. Penelitian terkait siklus hidup perusahaan terkait dengan pengukuran kinerja perusahaan masih banyak dilakukan terhadap sektor bisnis. Penelitian-penelitian tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Black (1998) yang memperoleh bukti empiris bahwa value-relevant dari ukuran kinerja perusahaan berupa laba dan arus kas dipengaruhi oleh siklus hidup perusahaan. San Susanto dan Erni Ekawati (2006) juga mendapatkan bukti empiris bahwa Siklus hidup perusahaan berpengaruh terhadap penambahan value-relevance dari laba dan arus kas. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan merupakan replika penelitian yang dilakukan Haryanto (2013) dan Fauzy (2014) mengenai pengaruh SiLPA APBD dan Informasi Arus Kas dari aktivitas Operasi, Investasi, dan Pembiayaan terhadap pemerintah daerah dengan kemampuan pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2007. Namun, terdapat perbedaan dalam penelitian ini, dari sisi variabel dimana peneliti tidak menggunakan variabel arus
kas, dan menambahkan variabel luas wilayah dan jumlah penduduk, dan juga peneliti tidak ingin meneliti bagaimana hubungan antara variabel terhadap belanja modal, melainkan ingin meneliti bagaimana pengaruhnya terhadap belanja modal. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian berjudul Pengaruh Informasi SiLPA, Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal Pemerintah Provinsi di Indonesia berdasarkan Klaster Kemampuan Keuangan Daerah menurut Permendagri Nomor 21 Tahun 2007. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar belakang dari masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Apakah informasi SiLPA, Jumlah Penduduk, dan Luas Wilayah berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi di Indonesia? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: Untuk menganalisis dan mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh informasi SiLPA, Jumlah Penduduk, dan Luas Wilayah secara parsial dan simultan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi di Indonesia.
1.3.2. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu Akuntansi Pemerintahan tentang pengaruh dari SiLPA, jumlah penduduk, dan luas wilayah suatu daerah. 2. Bagi Pemerintah daerah provinsi Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan untuk mengembangkan potensi daerah provinsi sesuai dengan kemampuan keuangan berdasarkan informasi dari SiLPA, jumlah penduduk, dan luas wilayah suatu daerah. 3. Bagi pemangku kepentingan laporan keuangan daerah provinsi Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk mengambil keputusan dan kebijakan berdasarkan informasi dari SiLPA, jumlah penduduk, dan luas wilayah suatu daerah provinsi.