BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar yang menjanjikan yang dapat diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui transesterifikasi dengan alkohol, disamping itu merupakan bahan bakar terbaharui (biodegradable), dan tak beracun. Biodiesel merupakan nama lain untuk berbagai bahan bakar berbahan dasar dari senyawa ester. Biasanya digambarkan sebagai monoalkil ester yang terbuat dari minyak nabati melalui reaksi transesterifikasi. CH 2 COOR 1 CH 3 COOR 1 CH 2 OH Katalis CHCOOR 2 + 3 CH 3 OH CH 3 COOR 2 + CH OH CH 2 COOR 3 CH 3 COOR 3 CH 2 OH Katalis minyak nabati + metanol Metil Ester + Gliserin Gambar 2.1 Reaksi Pembuatan Biodiesel (Ester Alkil) dari Minyak Nabati Setelah melewati proses ini, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, Biodiesel lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.
Penggunaan biodiesel adalah untuk menggantikan solar. Biodiesel memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan bentuk energi lain. Lebih mudah ditransportasikan; memiliki kerapatan energi per volume yang lebih tinggi; memiliki karakter pembakaran yang relatif bersih; dan ramah lingkungan. Biodiesel merupakan kandidat yang paling dekat untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena ia merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini (Wikipedia, 2007). Dibandingkan bahan bakar solar, biodiesel memiliki beberapa keunggulan, yaitu : 1. Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga dapat diperbaharui. 2. Biodiesel memiliki nilai cetane yang tinggi, volatil rendah dan bebas sulfur. 3. Ramah lingkungan karena tidak ada emisi SO x. 4. Menurunkan keausan ruang piston karena sifat pelumasan bahan bakar yang bagus (kemampuan untuk melumasi mesin dan sistem bahan bakar). 5. Aman dalam penyimpanan dan transportasi karena tidak mengandung racun. Biodiesel tidak mudah terbakar karena memiliki titik bakar yang relatif tinggi. 6. Meningkatkan nilai produk pertanian Indonesia. 7. Memungkinkan diproduksi dalam skala kecil menengah sehingga bisa diproduksi dipedesaan. 8. Menurunkan ketergantungan suplai minyak dari negara asing dan fluktuasi harga (Bambang Susilo, 2006). Tabel 2.1 Spesifikasi Biodiesel sesuai SNI 04-7182-2006 : No Parameter Satuan Nilai 1 Massa jenis pada 40 o C kg/m 3 850-890 2 Viskositas kinematik pada 40 o C mm 2 /s(cst) 2,3-60 3 Angka setana Min 51
4 Titik nyala (mangkok tertutup) 5 Titik kabut 0 c Min 100 0 c Maks 18 6 7 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 o C) Residu karbon Dalam contoh asli Dalam 10% ampas distilasi Maks no 3 Maks 0,05 Maks 0,30 8 Air dan sedimen % vol Maks 0,5* 9 Temperatur destilasi 90% 0 c Maks 360 10 Abu tersulfatkan % massa Maks 0,02 11 Belerang ppm-m (mg/kg) Maks 100 12 Fosfor ppm-m (mg/kg) Maks 10 13 Angka asam mg-koh/g Maks 0,8 14 Gliserol bebas % massa Maks 0,02 15 Gliserol total % massa Maks 0,24 16 Kadar ester alkil ** % massa Maks 96,5 17 Angka iodium % massa (g-i 2 /100 g) Maks 115 18 Uji Helphen Negatif catatan: *dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0,01% vol Tabel 2.2 Spesifikasi solar sesuai SK Dirjen Migas No. 3675K/24/DJM/2006 : No Karakteristik Unit Super Reguler 1 Berat jenis pada suhu 15 0 C kg/m3 820-860 815-870 2 Viskositas kinematik pada suhu 40 0 C mm2/s 2,0-4,5 2,0-5,0
3 Angka setana / indeks 51/48 48-45 4 Titik nyala 40 0 C 5 Titik tuang 6 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 0 C) 0 C 55 60 0 C 18 18 kelas 1 kelas 1 7 Residu karbon % massa 0.30 30 8 Kandungan air mg/kg 500 50 9 T90/95 0 C 340/360 <370 10 Stabilitas oksidasi g/m3 25-11 Sulfur %m/m 0.05 0,35 12 Bilangan asam total mg- KOH/g 0,3 0,6 13 Kandungan abu %m/m 0,01 0,01 14 Kandungan sedimen >%m/m 0,01 0,01 15 Kandungan FAME %m/m 10 10 16 Kandungan metanol dan etanol %v/v Tak terditeksi Tak terditeksi 17 Partikulat mg/l 10 - *) SK Dirjen Migas No. 3675/24/DJM/2006 memperbolehkan penambahan bioetanol sampai dengan 10% (v/v) 2.2 Proses Esterifikasi-Transestrifikasi (Estrans) Teknologi proses esterifikasi-transesterifikasi disingkat estrans adalah teknologi proses hasil penemuan R. Sudradjat pada tahun 2003. Keunggulan dari proses ini adalah kemampuannya dalam mengatasi keasaman pada minyak. Asam lemak bebas atau yang masih terkandung di dalam biodiesel dapat menyebabkan
terbentuknya karat (korosif) dan juga dapat menimbulkan kerak di permukaan injektor mesin diesel (Erliza Hambali dkk, 2006). Proses estrans adalah proses dua tahap, yaitu sebagai berikut : 1. Tahap pertama, proses esterifikasi dimana asam lemak bebas (penyebab asamnya biodiesel) diubah menjadi ester dengan mereaksikan minyak dengan asam kuat seperti HCl atau H 2 SO 4. 2. Tahap kedua, trigliserida dan asam lemak yang masih terikat pada trigliserida di dalam minyak dikonversi menjadi metil ester melalui proses transesterifikasi. Berdasarkan hasil pengujian Lemigas, dengan cara ini diperoleh efisiensi konversi minyak (tanpa gliserol) menjadi biodiesel sebesar 99,75 %. Keunggulan lain dari proses ini yaitu penggunaan pereaksi metanol/etanol total dapat ditekan menjadi kurang dari 20% (sampai mendekati stoikiometri) (Sudradjat, 2006). Biodiesel yang dibuat dengan proses estrans telah diuji kualitasnya di LEMIGAS (2004). Hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh kriteria memenuhi syarat kualitas biodiesel internasional menurut ASTM PS- 121. Bilangan asam biodiesel yang paling kruasial menunjukkan angka sekitar 0,3 (standar < 0,6), yaitu suatu penurunan keasaman yang luar biasa dari angka bilangan asam 40 ketika sebelum diproses. Demikian pula dengan proses estrans, terjadi penurunan nilai viskositas dan densitas biodiesel dengan sangat signifikan. Tabel 2.3 Kualitas Biodiesel Hasil Proses Estrans Dibandingkan dengan Standar Parameter Satuan Metil Ester Standar Metode Pengukuran Indeks setana - 46,9 min 40 ASTM D-976 Viskositas kinematik 40 0 C cst 5,863 1,9 6,0 ASTM D-445 Densitas 15 0 C g/ml 0,8848 0,85 0,89 ASTM D- 1298
Bilangan Asam mg koh/g 0,209 maks 0,80 ASTM D-664 Bilangan iod g 12/100 g 97,8 maks 120c - Kadar abu % (b.b) tt 0,01 c ASTM D-482 Kadar abu sulfat Kadar air dan sedimen Residu karbon Conradson % (b.b) tt maks 0,02 ASTM D-874 % (v/v) tt maks 0,05 ASTM D-96 % (b.b) 0,025 maks 0,05 ASTM D-189 Nilai kalor kj/g 41,170 - ASTM D-240 Kandungan sulfur Titik tuang Titik awan Titik nyala %(b/b) 0,0046 maks 0,05 ASTM D- 1551 0 c 0-15 0d ASTM D-97 0 c 9 ASTM D- 2500 0 c 191 min 100 ASTM D-92 komposisi metil ester : Metil laurat % (b.b) 1,12 Metil miristat % (b.b) 0,29 Metil palmitat % (b.b) 31,41 Metil Stearat % (b.b) 0,27 Metil Oleat % (b.b) 61,03 Metil linoleat % (b.b) 2,12 Metil linolenat % (b.b) 3,52 Total metil ester % (b.b) 99,75 Sumber : Sudradjat dkk, 2005
2.3 Minyak Jelantah Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Konsumsi minyak goreng biasanya digunakan sebagai media menggoreng bahan pangan, penambah cita rasa, ataupun shortening yang membentuk tekstur pada pembuatan roti. Sebanyak 49 % dari total permintaan minyak goreng adalah konsumsi rumah tangga dan sisanya untuk keperluan industri, termasuk diantaranya industri perhotelan dan restoran-restoran. Pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan industri perhotelan, restoran dan usaha fastfood yang pesat menyebabkan permintaan akan minyak goreng semakin meningkat. Hal ini menyebabkan dihasilkannya minyak goreng bekas dalam jumlah yang cukup tinggi. Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi ± 170 180 o C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi yang menghasilkan senyawasenyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Proses-proses tersebut menyebabkan minyak mengalami kerusakan (Wijana dkk, 2005). Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), perubahan indeks refraksi, angka peroksida, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa dan adanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan dari bahan yang digoreng. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavour yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Dalam penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Namun, minyak goreng yang telah rusak akibat pemanasan secara terus menerus, dapat menimbulkan terbentuknya senyawa-senyawa karsinogenik. Minyak yang telah rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak tekstur, flavour dari bahan pangan goreng (Ketaren, 1986).
Sehubungan dengan banyaknya minyak goreng bekas dari sisa industri maupun rumah tangga dalam jumlah tinggi dan menyadari adanya bahaya konsumsi minyak goreng bekas, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk memanfaatkan minyak goreng bekas tersebut agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan. Pemanfaatan minyak goreng bekas ini dapat dilakukan dengan pemurnian agar dapat digunakan kembali dan digunakan sebagai bahan baku produk berbasis minyak seperti sabun, shampo, dan bahan bakar diesel (Wijana dkk, 2005). Tabel 2.4 Komposisi Minyak Jelantah dalam % massa (Sciencedirect, 2003) : komposisi % massa Trigliserida 87,8 FFA 10 Kotoran 2 Air 0,2 2.4 Seleksi Proses Seleksi proses perlu dilakukan untuk menentukan cara atau langkah terbaik yang dapat dilakukan dalam proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah. Adapun alasan pemilihan proses ini dikarenakan keunggulan proses esterifikasitransesterifikasi, jika dibandingkan dengan hanya menggunakan proses transesterifikasi saja. Dalam proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah telah diketahui bahwa kandungan asam lemak bebas pada bahan baku > 2%. Apabila kandungan asam lemak bebas semakin besar, maka akan terbentuk sabun yang menyebabkan terhambatnya proses transesterifikasi sehingga memperkecil produksi biodiesel, bahkan pada kandungan asam lemak bebas yang tinggi proses transesterifikasi mengalami kegagalan (Suess, 1999). Hal ini dikarenakan pemakaian minyak yang dilakukan secara berulang-ulang, untuk menghindari kegagalan dalam proses transesterifikasi pembuatan biodiesel dilakukan dengan proses bertingkat (2 tahap).
Tahap pertama yaitu esterifikasi, dengan mereaksikan minyak jelantah dan metanol dengan katalis asam. Proses ini akan mengurangi kadar asam lemak bebas yang terkandung pada minyak jelantah. Tahap kedua yaitu transesterifikasi, dengan mereaksikan hasil dari proses esterifikasi dan metanol, dengan katalis basa. 2.5 Deskripsi Proses Adapun tahapan proses pengolahan biodiesel dari minyak jelantah adalah sebagai berikut : 2.5.1 Pengendapan dan Pemisahan Kotoran dari Bahan Baku Sebelum di proses lebih lanjut minyak jelantah harus diendapkan terlebih dahulu kemudian disaring untuk memisahkan kotoran yang bercampur dengan minyak jelantah (Beni Satria, 2005). Pengendapan dilakukan di awal proses dengan menggunakan tangki pengendapan bahan baku minyak jelantah. Agar kotoran pada minyak jelantah benar-benar hilang, setelah dari tangki pengendapan, minyak dialirkan ke Filter Press. 2.5.2 Proses Esterifikasi Asam Bahan baku yang digunakan adalah minyak jelantah yang mengandung kadar asam lemak bebas (free fatty acid - FFA) tinggi (yakni lebih dari 10%), maka perlu dilakukan proses esterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2% (Ramadhas dkk., 2005). Proses esterifikasi asam ini merupakan proses pendahuluan menggunakan katalis asam untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%. Asam sulfat dan metanol dimasukkan ke dalam reaktor esterifikasi, bersamaan dengan bahan baku minyak jelantah yang keluar dari Filter Press, dengan mengasumsikan jumlah metanol sebanyak 20% dari jumlah minyak jelantah (Ihwan Ulul, 2006). Proses esterifikasi di atas dilakukan pada temperatur 60 o C dan reaksi berlangsung sekitar 1 jam. Esterifikasi dilakukan di dalam reaktor berpengaduk. Keberadaan pengaduk ini penting untuk memastikan terjadinya reaksi di seluruh
bagian reaktor. Keluaran dari reaktor esterifikasi kemudian masuk ke dekanter untuk memisahkan metanol dengan minyak (akibat perbedaan densitas). Setelah dipisahkan, selanjutnya masuk ke Destilasi Flash untuk menguapkan metanol dan dikeringkan dengan teknik tekanan rendah (vakum) menggunakan Vacuum Drier, untuk menurunkan kadar air yang terdapat pada minyak. 2.5.3 Proses Transesterifikasi Setelah melalui proses esterifikasi asam pada reaktor esterifikasi, proses kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Transesterifikasi pada dasarnya terdiri atas 4 tahapan, yaitu (Bambang Susilo, 2006) : 1. Pencampuran katalis natrium hidroksida dengan metanol yang menghasilkan larutan metoksida. Metanol diatur pada rasio molar antara metanol terhadap minyak sebesar 6:1. 2. Pencampuran metoksida dengan minyak di dalam reaktor transestifikasi yang dijaga pada temperatur 60 o C dan dilengkapi dengan pengaduk berkecepatan konstan. Keberadaan pengaduk sangat penting untuk memastikan terjadinya reaksi metanolisis secara menyeluruh di dalam campuran. Reaksi metanolisis ini dilakukan sekitar 1 jam. 3. Setelah reaksi metanolisis berhenti campuran didiamkan, perbedaan densitas senyawa dan ketidaksaling melarut di dalam campuran akan mengakibatkan separasi antara metil ester dan gliserol. Metil ester dipisahkan dari gliserol dengan menggunakan dekanter (perbedaan densitas), bagian atas metil ester dan di bagian bawah gliserol. 4. Metil ester (biodiesel) tersebut kemudian dibersihkan menggunakan air pencuci untuk memisahkan zat-zat pengotor seperti metanol, sisa katalis alkalin, gliserol, dan sabun-sabun (soaps). Lebih tingginya densitas air dibandingkan dengan metil ester menyebabkan prinsip separasi gravitasi berlaku: air berposisi di bagian bawah sedangkan metil ester di bagian atas.
2.6 Penentuan Kapasitas Minyak Jelantah Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa terakhir mencapai 7.3% per tahun. Perkembangan minyak sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit Malaysia dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80% dari produksi dunia. Berdasarkan data oil world diperkirakan produksi CPO lima tahun kedepan akan meningkat tetapi tetap lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia. Sehingga membawa kondisi investasi yang baik. Tabel 2.5 Produksi CPO Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Produksi CPO 6.166.154 6.689.899 7.225.956 7.919.64 8.709.064 9.607.981 Sumber: BIRO/1999 Perkembangan industri minyak goreng sawit pada dasawarsa terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Konsumsi per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16,5 kg per tahun dimana konsumsi perkapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12,7 kg per tahun. Berdasarkan perkembangan berbagai variabel terkait seperti peningkatan konsumsi minyak goreng untuk keperluan rumah tangga maupun industri diperkirakan total konsumsi minyak goreng dalam negeri tahun 2005 mencapai 6 juta ton dimana 83.3% terdiri dari minyak goreng sawit. Tabel 2.6 Konsumsi Minyak Goreng Indonesia (dalam 000 ton) Minyak +/- Bagian Minyak +/- Bagian Tahun Goreng Sawit (%) (%) Goreng Kelapa (%) (%) Total +/- (%) 1999 2.494,1 4,4 77,5 725,8 7,5 22,5 3.219,9 5,1 2000 2.806,1 12.5 78,5 769,5 6,0 21,5 3.575,6 11,0 2001 3.137,9 11,8 79,6 806,5 4,8 20,4 3.944,4 10,3 2002 3.508,1 11,8 80,6 846,9 5,0 19,4 4.355,0 10,4
2003 3.964,9 13,0 81,8 879,8 3,9 18,2 4.844,7 11,2 2004 4.527,7 14,2 82,9 933,4 6,1 17,1 5.461,1 12,7 2005 5.062,8 11,8 83,8 980,4 5,0 16,2 6.043,3 10,7 Pertumbuhan Rata-rata (%) 10.1 3.3 8.8 Sumber: BIRO/1999 Untuk memproduksi Biodiesel berkapasitas 15.000 ton/tahun dibutuhkan 1.953,1250 kg/jam minyak jelantah. Diperkirakan pada waktu yang akan datang produksi minyak goreng akan terus mengalami peningkatan, disebabkan potensi pengembangan sawit. Perkembangan luas lahan dari kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.7 berikut ini : Tabel 2.7 Perkembangan Luas Lahan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Areal (ha) 2.957.079 3.180.614 3.431.000 3.718.541 4.045.012 4.409.306 4.843.205 Sumber: BIRO/1999