BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

dokumen-dokumen yang mirip
Standar Pelayanan Medik

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. matinya orang misalkan pembunuhan, aparat kepolisian sebagai penyidik yang

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. pelakunya disebut penjahat. Labelling Theory memandang bahwa para

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK


MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

PROSES PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN DALAM TRANSFER ILMU KEMAHIRAN DUNIA PRAKTIK. Oleh: Lise Yolanda, SH. 1. Abstraksi

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERAN PSIKOLOGI DIBIDANG KRIMINAL

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari hasil pembahasan dapat dikemukakan kesimpulannya sebagai. berikut:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan kajian penulis tentang penerapan banutan Psikiater dan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa: 1. Psikiatri Kehakiman, atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan Psikiatri Forensik, merupakan cabang dari ilmu kedokteran jiwa, bukan cabang dari ilmu kedokteran forensik. Penerapan ilmu Psikiatri Kehakiman dilakukan oleh Psikiater untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dan penerapannya memiliki fungsi tersendiri pada tingkatan-tingkatan dalam suatu proses peradilan tingkat Penyidikan dan tingkat Persidangan. Peranan Psikiater pada seluruh proses tersebut adalah sebagai Ahli dan penerapannya telah diakomodir dalam beberapa peraturan perundangan baik secara materil maupun formil, di antaranya di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 88

89 a. Pada praktiknya, peranan Psikiater sebagai Ahli tidak berjalan sendiri, tapi juga berdampingan dengan ilmu Psikologi (Psikologi Klinis). Penerapan ilmu Psikologi untuk menunjang peranan Psikiater dalam proses peradilan, terutama proses penyidikan, dapat dilihat dengan adanya Bagian Psikologi pada Kepolisian Daerah, yang mana salah satu fungsinya adalah untuk memberikan dukungan terhadap penyelenggara utama operasional kepolisian; membantu penyidik dalam menentukan kondisi kejiwaan seorang tersangka apabila menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan. Bantuan Bagian Psikologi pada dasarnya bersifat tentatif, yang berarti penyidik tidak diwajibkan untuk meminta bantuan bagian tersebut terkait penentuan kemampuan pertanggungjawaban seesorang; penyidik bisa saja langsung merujuk kepada pemeriksaan psikiatrik. b. Demi kepentingan hukum, Psikiater juga dapat menerbitkan visum; visum tersebut bernama Visum et Repertum Psychiatricum. VetR Psychiatricum mengacu pada kondisi kejiwaan dan intelegensi seorang tersangka atau terdakwa. Pembuatan visum tersebut dilakukan di instansi kesehatan (rumah sakit)

90 yang memiliki poliklinik kejiwaan. Pembuatan VetR Psychiatricum dilakukan dan diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa (Psikiater), dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikolog klinis. Pembuatan VetR Psychiatricum membutuhkan waktu setidak-tidaknya empat belas hari dan dapat diperpanjang jika diperlukan. VetR Psychiatricum sendiri berguna sebagai alat bukti surat, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. c. Seorang Psikiater juga dapat dihadirkan di persidangan sebagai Saksi Ahli. Keterangan yang diberikan seorang Psikiater dalam kaitannya sebagai Saksi Ahli adalah untuk memperlancar proses peradilan ataupun untuk mempertegas bagaimana keadaan sebenarnya dari kondisi kejiwaan pelaku perbuatan pidana. Melalui bantuan dari Psikiater dalam suatu sidang pengadilan, maka akan diperoleh keterangan secara terperinci tentang keadaan mental dari terdakwa sehingga nantinya Majelis Hakim dapat memutuskan apakah seorang terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak.

91 2. Penerapan Ilmu Psikiatri Kehakiman pada proses peradilan berguna untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban seorang pelaku tindak pidana, dan hal tersebut ditunjukkan melalui penerbitan Visum et Repertum Psychiatricum. Secara keseluruhan, ada 3 tahap yang harus dilalui dalam suatu proses pembuatan VetR Psychiatricum yaitu pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikiatri khusus, dan pemeriksaan tambahan yang bersifat bukan kedokteran. Berdasarkan tujuan, VetR Psychiatricum bertujuan untuk mengetahui keadaan jiwa dan keadaan mental dari seorang pelaku tindak pidana; hal tersebut berkaitan dengan Pasal 44 KUHP. Meskipun VetR Psychiatricum memiliki fungsi untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana seseorang, tidak serta merta kesimpulan suatu VetR Psychiatricum bersifat mutlak (bahwa terperiksa dinyatakan tidak bisa bertanggungjawab atau bisa bertanggungjawab). Hal tersebut dikarenakan banyaknya variabel penilaian dalam suatu pemeriksaan psikiatrik untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana dan dapat pula dipengaruhi oleh kemampuan dari pembuat (pemeriksa) VetR Psychiatricum tersebut, sehingga kesimpulan dari VetR Psychiatricum dapat bersifat variatif. Oleh karena itu, ilmu Psikiatri Kehakiman pada praktiknya hanya memberikan penjelasan mengenai kemampuan pertanggungjawaban pidana seseorang, karena pada akhirnya yang memutuskan seseorang bisa

92 dipertanggungjawabkan secara pidana atau tidak adalah hakim di persidangan. B. Saran Saran yang dapat dianjurkan berdasarkan penulisan hukum yang telah dilakukan adalah: 1. Bagi pemerintah eksekutif & legislatif; meskipun telah disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, namun belum ada Peraturan Menteri atau Peraturan Pemerintah untuk melengkapi undang-undang tersebut; Peraturan tersebut juga berfungsi untuk menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Perawatan Penderita Penyakit Jiwa 1970 karena Peraturan Menteri tersebut masih mengacu pada undang-undang kesehatan jiwa yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Selain itu diharapkan agar ahli kejiwaan (baik Psikiater ataupun Psikolog) juga disebar dan ditempatkan secara proporsional di Indonesia, karena tidak semua daerah (terutama daerah terpencil) mempunyai instansi kesehatan jiwa yang memadai. 2. Bagi aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, advokat, dan pengadilan; kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur penting dalam proses pemidanaan. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan & akal seseorang, yang mana

93 bisa bersifat sangat fluktuatif. Diharapkan agar aparat penegak hukum lebih peka ketika berhadapan dengan seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan, agar dapat dinilai apakah orang tersebut menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan sehingga dapat dilakukan pemeriksaan kejiwaan sedini mungkin. Selain itu, diharapkan agar aparat penegak hukum tidak ragu untuk memanfaatkan (atau bahkan mempelajari) ilmu lintas bidang, seperti Psikiatri Kehakiman ataupun Psikologi, demi kelancaran proses peradilan. Selain itu, perlu diingat bahwa seorang pelaku tindak pidana (baik tersangka ataupun yang akan dijadikan terdakwa) yang ternyata memang mengalami gangguan jiwa, tidak boleh dan tidak bisa dihentikan proses peradilannya. Penulis masih menemukan adanya kasus di lapangan, di mana proses peradilan terhadap seorang pelaku tindak pidana tidak dilimpahkan ke pengadilan karena yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa.