BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan kajian penulis tentang penerapan banutan Psikiater dan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa: 1. Psikiatri Kehakiman, atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan Psikiatri Forensik, merupakan cabang dari ilmu kedokteran jiwa, bukan cabang dari ilmu kedokteran forensik. Penerapan ilmu Psikiatri Kehakiman dilakukan oleh Psikiater untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dan penerapannya memiliki fungsi tersendiri pada tingkatan-tingkatan dalam suatu proses peradilan tingkat Penyidikan dan tingkat Persidangan. Peranan Psikiater pada seluruh proses tersebut adalah sebagai Ahli dan penerapannya telah diakomodir dalam beberapa peraturan perundangan baik secara materil maupun formil, di antaranya di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 88
89 a. Pada praktiknya, peranan Psikiater sebagai Ahli tidak berjalan sendiri, tapi juga berdampingan dengan ilmu Psikologi (Psikologi Klinis). Penerapan ilmu Psikologi untuk menunjang peranan Psikiater dalam proses peradilan, terutama proses penyidikan, dapat dilihat dengan adanya Bagian Psikologi pada Kepolisian Daerah, yang mana salah satu fungsinya adalah untuk memberikan dukungan terhadap penyelenggara utama operasional kepolisian; membantu penyidik dalam menentukan kondisi kejiwaan seorang tersangka apabila menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan. Bantuan Bagian Psikologi pada dasarnya bersifat tentatif, yang berarti penyidik tidak diwajibkan untuk meminta bantuan bagian tersebut terkait penentuan kemampuan pertanggungjawaban seesorang; penyidik bisa saja langsung merujuk kepada pemeriksaan psikiatrik. b. Demi kepentingan hukum, Psikiater juga dapat menerbitkan visum; visum tersebut bernama Visum et Repertum Psychiatricum. VetR Psychiatricum mengacu pada kondisi kejiwaan dan intelegensi seorang tersangka atau terdakwa. Pembuatan visum tersebut dilakukan di instansi kesehatan (rumah sakit)
90 yang memiliki poliklinik kejiwaan. Pembuatan VetR Psychiatricum dilakukan dan diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa (Psikiater), dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikolog klinis. Pembuatan VetR Psychiatricum membutuhkan waktu setidak-tidaknya empat belas hari dan dapat diperpanjang jika diperlukan. VetR Psychiatricum sendiri berguna sebagai alat bukti surat, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. c. Seorang Psikiater juga dapat dihadirkan di persidangan sebagai Saksi Ahli. Keterangan yang diberikan seorang Psikiater dalam kaitannya sebagai Saksi Ahli adalah untuk memperlancar proses peradilan ataupun untuk mempertegas bagaimana keadaan sebenarnya dari kondisi kejiwaan pelaku perbuatan pidana. Melalui bantuan dari Psikiater dalam suatu sidang pengadilan, maka akan diperoleh keterangan secara terperinci tentang keadaan mental dari terdakwa sehingga nantinya Majelis Hakim dapat memutuskan apakah seorang terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak.
91 2. Penerapan Ilmu Psikiatri Kehakiman pada proses peradilan berguna untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban seorang pelaku tindak pidana, dan hal tersebut ditunjukkan melalui penerbitan Visum et Repertum Psychiatricum. Secara keseluruhan, ada 3 tahap yang harus dilalui dalam suatu proses pembuatan VetR Psychiatricum yaitu pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikiatri khusus, dan pemeriksaan tambahan yang bersifat bukan kedokteran. Berdasarkan tujuan, VetR Psychiatricum bertujuan untuk mengetahui keadaan jiwa dan keadaan mental dari seorang pelaku tindak pidana; hal tersebut berkaitan dengan Pasal 44 KUHP. Meskipun VetR Psychiatricum memiliki fungsi untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana seseorang, tidak serta merta kesimpulan suatu VetR Psychiatricum bersifat mutlak (bahwa terperiksa dinyatakan tidak bisa bertanggungjawab atau bisa bertanggungjawab). Hal tersebut dikarenakan banyaknya variabel penilaian dalam suatu pemeriksaan psikiatrik untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana dan dapat pula dipengaruhi oleh kemampuan dari pembuat (pemeriksa) VetR Psychiatricum tersebut, sehingga kesimpulan dari VetR Psychiatricum dapat bersifat variatif. Oleh karena itu, ilmu Psikiatri Kehakiman pada praktiknya hanya memberikan penjelasan mengenai kemampuan pertanggungjawaban pidana seseorang, karena pada akhirnya yang memutuskan seseorang bisa
92 dipertanggungjawabkan secara pidana atau tidak adalah hakim di persidangan. B. Saran Saran yang dapat dianjurkan berdasarkan penulisan hukum yang telah dilakukan adalah: 1. Bagi pemerintah eksekutif & legislatif; meskipun telah disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, namun belum ada Peraturan Menteri atau Peraturan Pemerintah untuk melengkapi undang-undang tersebut; Peraturan tersebut juga berfungsi untuk menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Perawatan Penderita Penyakit Jiwa 1970 karena Peraturan Menteri tersebut masih mengacu pada undang-undang kesehatan jiwa yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Selain itu diharapkan agar ahli kejiwaan (baik Psikiater ataupun Psikolog) juga disebar dan ditempatkan secara proporsional di Indonesia, karena tidak semua daerah (terutama daerah terpencil) mempunyai instansi kesehatan jiwa yang memadai. 2. Bagi aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, advokat, dan pengadilan; kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur penting dalam proses pemidanaan. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan & akal seseorang, yang mana
93 bisa bersifat sangat fluktuatif. Diharapkan agar aparat penegak hukum lebih peka ketika berhadapan dengan seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan, agar dapat dinilai apakah orang tersebut menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan sehingga dapat dilakukan pemeriksaan kejiwaan sedini mungkin. Selain itu, diharapkan agar aparat penegak hukum tidak ragu untuk memanfaatkan (atau bahkan mempelajari) ilmu lintas bidang, seperti Psikiatri Kehakiman ataupun Psikologi, demi kelancaran proses peradilan. Selain itu, perlu diingat bahwa seorang pelaku tindak pidana (baik tersangka ataupun yang akan dijadikan terdakwa) yang ternyata memang mengalami gangguan jiwa, tidak boleh dan tidak bisa dihentikan proses peradilannya. Penulis masih menemukan adanya kasus di lapangan, di mana proses peradilan terhadap seorang pelaku tindak pidana tidak dilimpahkan ke pengadilan karena yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa.