BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millennium Development Goals (MDGs) sebagai road map atau arah pembangunan kesehatan di Indonesia mempunyai delapan tujuan, dimana dua diantaranya adalah untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Kematian ibu saat ini masih merupakan salah satu masalah karena tingginya AKI mempunyai dampak yang besar terhadap keluarga dan masyarakat. AKI di Indonesia tahun 2008 masih merupakan yang paling tinggi di Asia Tenggara yakni 248 per 100.000 kelahiran hidup, yang dapat diartikan 50 ibu meninggal setiap hari karena komplikasi persalinan dan saat melahirkan. Dan kematian itu berkisar antara 15% - 20% disebabkan oleh aborsi. World Health Organization (WHO) menyatakan, dari dua puluh juta aborsi yang dilakukan setiap tahun, terdapat 70.000 wanita meninggal dunia karenanya (Limbong, 2010). Limbong juga mengatakan bahwa WHO memperkirakan ada 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan rincian 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina, antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand. Pemimpin penelitian di University of Aberdeen, dr. Sohinee Bhattacharya memeriksa lebih dari 1 juta kehamilan di Skotlandia selama 26 tahun dan ia menemukan bahwa wanita yang pernah sekali aborsi meningkatkan risiko kelahiran 1
prematur 34 % pada kehamilan berikutnya. Risiko ini cukup meningkat karena aborsi, bahwa 10 % dari semua wanita yang melakukan aborsi akan melahirkan prematur pada kehamilan berikutnya (Ertelt, 2011). Menurut Ertelt pertama kali hasilnya dilaporkan di London Times, menunjukkan risiko kelahiran prematur pada kehamilan setelah aborsi meningkat secara substansial ketika wanita memiliki lebih dari sekali aborsi. Untuk ratusan wanita Inggris yang sudah empat atau lebih aborsi, diketahui 20% dari semua wanita melahirkan prematur, dan kelahiran premature menyebabkan peningkatan risiko anak-anak yang baru lahir memiliki cacat fisik atau mental. Selanjutnya studi ini juga menemukan wanita karena aborsi sebelumnya, pada kehamilan berikutnya menderita risiko yang lebih tinggi dari kelahiran mati dan preeklampsia, gangguan tekanan darah yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur dan kadang-kadang mengancam nyawa ibu dan anak. Bhattacharya mengatakan, perempuan sering disarankan untuk menunda kehamilan kedua, terlebih saat kehamilan pertama mengalami keguguran. Sejak 2005, WHO telah merekomendasikan bahwa perempuan menunggu setidaknya setengah tahun sebelum mereka coba lagi (Ertlet, 2011). Kementerian Kesehatan Brazil mengungkapkan bahwa perempuan yang menjalani aborsi didominasi dengan penggunaan metode kontrasepsi yang keliru. Promosi penggunaan metode kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan adalah salah satu strategi yang paling efektif untuk mengurangi tingkat aborsi, kesakitan ibu dan kematian. Oleh karena itu, penyediaan layanan keluarga
berencana setelah aborsi termasuk bimbingan konseling kontrasepsi yang terstruktur dengan akses yang mudah dan gratis. Konseling kontrasepsi dapat mengakibatkan peningkatan penggunaan metode kontrasepsi dan dorongan serta memberikan dukungan emosional bagi perempuan untuk merasa lebih aman dan puas dengan layanan dan memotivasi penggunaan metode keluarga berencana (Ferreira, 2010). Selanjutnya Ferreira mengungkapkan sebuah studi cross-sectional tentang perencanaan keluarga pasca aborsi yang dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2008, diketahui bahwa terdapat 150 wanita berpenghasilan rendah mendapatkan perawatan pasca aborsi di sebuah klinik keluarga berencana di rumah sakit umum yang terletak di Recife, Brasil. Setiap wanita menerima informasi tentang metode kontrasepsi, efek samping dan kesuburan. Konseling individual yang ditangani mereka adalah tentang perasaan, harapan dan motivasi mengenai kontrasepsi serta niat kehamilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ferreira Tahun 2008 diketahui bahwa sebagian besar perempuan yang terdapat dalam daftar penelitian tersebut 97,4% menerima setidaknya satu metode kontrasepsi, dimana 73,4% diantaranya tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Empat puluh dari wanita yang telah menjalani aborsi sebelumnya, 47,5% dilaporkan menjalani aborsi yang tidak aman. Semua wanita memiliki pengetahuan tentang penggunaan kondom, kontrasepsi oral dan suntik. Metode yang paling dipilih adalah suntik, diikuti oleh pil KB dan kondom. Hanya satu perempuan memilih alat kontrasepsi dalam rahim.
Estimasi global menyebutkan bahwa 4 dari 10 kehamilan adalah kehamilan tidak diinginkan. Dari 45 juta aborsi yang terjadi setiap tahunnya di dunia, 19 juta merupakan aborsi tidak aman dengan 5 juta diantaranya dirawat di rumah sakit akibat komplikasi. Bahkan di beberapa Negara Afrika, 50% kematian perempuan berhubungan dengan kehamilan yang berakhir dengan aborsi tidak aman. 20% dari perempuan yang melakukan aborsi tidak aman mengalami infeksi saluran reproduksi. Aborsi yang tidak aman juga menyumbangkan 11% dari AKI di Indonesia (Hudaya, 2010). Menurut Gunawan dalam artikel Kontroversi dan Hukum Aborsi di Indonesia, saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat Indonesia. Namun terlepas dari kontroversi tersebut, aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan atau sepsis (Admin, 2011). Hal ini juga diungkapkan oleh Sedyaningsih, 2010 dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, penyebab langsung kematian ibu, yakni adalah perdarahan (30 %), eklampsia (25 % ), partus lama (5 %), komplikasi abortus (8 %), dan infeksi (12 %). Pendapat Dewi, 1997 dalam Admin, 2011, tidak sedikit masyarakat yang menentang aborsi beranggapan bahwa aborsi sering dilakukan oleh perempuan yang tidak menikah karena alasan hamil di luar nikah atau alasan alasan lain yang
berhubungan dengan norma khususnya norma agama. Namun kenyataannya, sebuah studi di Bali menemukan bahwa 71% perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan menikah. Studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 % perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata rata sudah memiliki anak (Herdiyati, 1998 dalam Admin,2011). Alasan yang umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survei yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak (BPS, Depkes 1988 dalam Admin,2011). Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan pada tahun 2003 menyebutkan 87% yang melakukan aborsi adalah istri dan ibu, hanya 12% oleh remaja putri. Data WHO tahun 2006 menyebutkan angka aborsi di Indonesia menjadi 2,6 juta kasus pertahun. Angka ini didapat dari rumah sakit, rumah bersalin, klinik dan puskesmas. Dimana hanya ibu rumah tangga yang dapat mengakses tempat-tempat tersebut. Hanya sedikit dari jumlah tersebut yang berasal dari perempuan pra-nikah, angka yang tercatat dari kelompok pra-nikah adalah mereka yang mengalami komplikasi sehingga harus dirawat di rumah sakit (Hudaya. 2010). Frekuensi aborsi di Indonesia agak sulit dihitung secara akurat karena memang sangat jarang dilaporkan. Berdasarkan perkiraan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kejadian aborsi di Indonesia mencapai angka yang amat fantastis yakni sekitar 2 juta kasus aborsi per tahun. Fakta aborsi di Indonesia, 1 juta janin dibunuh per tahun akibat kehamilan yang tidak direncanakan. Pada Agustus 1998, penelitian Jawa Post 1,75 juta janin dibunuh per tahun. April 2000, Makasar
Post menulis 2,3 juta janin dibunuh per tahun. Media Indonesia 2 Oktober 2002 melaporkan saat itu 3 juta janin dibunuh per tahun (BKKBN Kalimantan Tengah, 2012). Survei yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita yang sudah menikah, 11% pada wanita yang belum menikah dengan perincian: 45% akan menikah kemudian, 55% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur mereka yang melakukan abortus: 34% berusia 30-46 tahun, 51% berusia antara 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun (Azhari, 2002) Mengingat besarnya jumlah kelahiran per tahun maka diperlukan upaya untuk mengendalikan kelahiran melalui perencanaan keluarga dengan menggunakan kontrasepsi terutama setelah melahirkan atau mengalami keguguran. Kontrasepsi paska keguguran perlu segera dimulai karena ovulasi dapat terjadi 11 hari sesudah abortus (Pinem, 2009). Hasil pemantauan BKKBN terhadap pelayanan Keluarga Berencana (KB) Paskapersalinan dan Paskakeguguran di 22 Rumah Sakit (14 Provinsi) tahun 2008-2009, rata-rata yang ber-kb setelah bersalin dan keguguran hanya 5-10% (Ekoriano, 2013). Berdasarkan fenomena yang ada, maka peneliti melakukan studi pendahuluan di RSUD. Deli Serdang dan Grand Medistra Lubuk Pakam. Dari studi pendahuluan didapatkan masih ada ibu paska aborsi yang belum mengetahui tentang alat kontrasepsi dalam rahim yang digunakan paska aborsi dengan kuretase dan sikap
yang diambil, kebanyakan ibu merasa kebingungan tentang keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim, disamping itu dukungan dari suami juga masih kurang. Dari data yang diperoleh peneliti pada saat melakukan studi pendahuluan di RSUD. Deli Serdang diketahui ada sebanyak 17 ibu memakai AKDR dari 68 orang ibu paska aborsi dengan kuretase. Sedangkan di RS. Grand Medistra Lubuk Pakam diketahui bahwa pada tahun 2012 ada sebanyak 12 ibu memakai AKDR dari 186 orang ibu paska aborsi dengan kuretase. Merujuk pada fenomena dan data yang ada maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Istri Serta Dukungan Suami Terhadap Pemakain Alat Kontrasepsi Dalam Rahim Pada Ibu Paska Aborsi Dengan Kuretase Di RSUD. Deli Serdang dan RS.Grand Medistra Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah semakin meningkatnya kasus paska aborsi dengan kuretase di RSUD. Deli Serdang dan RS. Grand Medistra Lubuk Pakam, sehingga peneliti ingin melihat bagaimanakah Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Istri Serta Dukungan Suami Terhadap Pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim Pada Ibu Paska Aborsi Dengan Kuretase di Rumah Sakit di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Istri Serta Dukungan Suami Terhadap Pemakain Alat Kontrasepsi Dalam Rahim Pada Ibu Paska Aborsi Dengan Kuretase di Rumah Sakit di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013. 1.4. HipotesisPenelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah adanya pengaruh pengetahuan dan sikap isteri serta dukungan suami terhadap pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim pada ibu paska aborsi dengan kuretase di Rumah Sakit di Kabupaten Deli Serdang tahun 2013. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pihak Rumah Sakit di Kabupaten Deli Serdang Sebagai informasi kepada pihak rumah sakit tentang pengetahuan dan sikap istri serta dukungan suami terhadap pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim paska aborsi dengan kuretase di rumah sakit tersebut, sehingga dapat menyikapi dan menindaklanjuti hasil penelitian ini. 1.5.2 Bagi Pasangan Usia Subur Sebagai informasi bagi pasangan usia subur agar mengetahui dan menyikapi lebih baik lagi tentang pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim paska aborsi dengan kuretase.