I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan sumber bahan pangan penting setelah beras. Peranan jagung tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, namun juga merupakan bahan baku industri pakan ternak. Jumlah penduduk yang semakin bertambah, kebutuhan jagung juga semakin meningkat, sehingga peningkatan produksi jagung perlu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan pangan juga untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Produksi jagung dipengaruhi berbagai faktor, dari aspek agronomi, salah satunya adalah keberadaan gulma. Gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang keberadaannya dapat menimbulkan gangguan dan kerusakan bagi tanaman budidaya maupun aktivitas manusia dalam mengelola usahataninya. Keberadaan gulma menyebabkan kerugian berkaitan dengan penurunan produksi dan kualitas produk, mempertinggi biaya produksi berkaitan dengan penggunaan tenaga penyiangan dan panen, serta merupakan tumbuhan inang hama (Kristanto, 2006). Tanaman jagung sangat sensitif terhadap kompetisi gulma pada tahap awal pertumbuhan. Kerugian akibat penundaan pengendalian gulma pada awal pertumbuhan tanaman sampai fase 10 daun menurunkan hasil sekitar 38% (Cerrudo et al., 2012). Gulma dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan mekanisme kompetisi yang berbeda. Kompetisi gulma-tanaman mengganggu aktivitas pertumbuhan satu sama lain ke berbagai tingkatan dan bersaing untuk nutrisi, air, cahaya, CO 2 dan ruang tumbuh (Anderson, 2007). Pengendalian gulma menggunakan herbisida masih menjadi tumpuan utama, di mana penggunaan herbisida mencapai 50-60% dari penggunaan pestisida (Pimentel, 1995 ; Qian et al., 2009). Penggunaan herbisida sejauh ini memberikan dampak positif berupa pengendalian gulma dan peningkatan produksi pertanian dan perkebunan. Penggunaan herbisida secara terus menerus selama 30 tahun terakhir ini dilain pihak juga berdampak negatif bagi lingkungan, seperti keracunan pada organisme bukan sasaran, polusi sumber-sumber air, kerusakan tanah dan keracunan akibat residu herbisida pada produk pertanian (Genowati dan Suwahyono, 2008). Menurut Akinloye et al (2011) bahwa paraquat adalah salah satu bahan kimia beracun yang banyak digunakan sebagai herbisida di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Paraquat telah dilarang atau dibatasi oleh Environmental Protection Agency (EPA) di beberapa negara. Sebagai contoh, Pemerintah Malaysia melarang PQ pada bulan Agustus 2002, sementara itu dilarang di Finlandia, Swedia dan Austria karena toksisitas frekuensi keracunan yang tinggi (UNEP / FAO, 1996 ; Akinloye et al., 2011). Paraquat 1
memiliki tingkat toksisitas oral, toksisitas tidak akut kronis dengan LD 50 112 150 mg/kg (Zimdahl, 2007). Oleh karena itu, penentuan praktek pengendalian gulma yang tepat adalah penting untuk produksi jagung. Untuk mengembangkan sistem pengendalian gulma yang efektif dan efisien dalam penggunaan herbisida, periode kritis tanaman jagung terhadap persaingan gulma merupakan konsep penting untuk pengendalian gulma yang harus dipertimbangkan untuk menilai kebutuhan dan waktu pengendalian gulma (Dogan et al., 2005). Chinery (2002) menginformasikan tentang penggunaan cuka (asam asetat) sebagai herbisida, namun penelitian yang mendukung masih terbatas. Menurut Diaz (2002) bahwa asam asetat sebagai herbisida merupakan produk ramah lingkungan, karena asam asetat mudah terurai. Ketika asam asetat (CH 3 COOH) dilepaskan ke dalam tanah akan menguap ke udara dan terurai secara alami di atmosfer dengan sinar matahari (Banteng, 2010). Penelitian Fischer dan Kuzyakov (2010) menunjukkan bahwa aplikasi asam asetat ditemukan dalam tanah (masuk ke dalam biomassa mikroba atau teradsorpsi dengan partikel tanah) sekitar 26% berupa - COOH dan 36% berupa -CH 3. Mikroba khusus menggunakan C dari -CH 3 untuk pertumbuhan, sedangkan C dari kelompok -COOH terjadi dekarboksilasi. Cuka (asam asetat) termasuk herbisida yang belum diketahui cara kerjanya secara pasti dan tidak ada bukti bahwa asam asetat diserap dan ditranslokasi ke bagian tanaman lain untuk menimbulkan kerusakan, oleh karena itu diduga cara kerja asam asetat mirip paraquat sebagai herbisida kontak daripada herbisida sistemik seperti glifosat (Webber III et al., 2004). Cara kerja herbisida paraquat dalam menghambat tumbuhan dengan mengalihkan transpor elektron fotosintetik dengan mengurangi NADPH dan meningkatkan superoksida dismutase (SOD), dan peroksidase (POD) (Akinloye et al., 2011). Mekanisme herbisida paraquat yang utama adalah pembentukan radikal bebas piridil melalui reaksi reduksi dan autooksidasi, yang menghasilkan ion-ion. Ion paraquat mengalami reduksi membentuk radikal bebas paraquat, dengan sumber energi pereduksi berasal dari aktivitas fotosintesis maupun respirasi. Ion paraquat dapat mereduksi cukup banyak senyawa, salah satunya adalah oksigen yang direduksi menjadi O - 2 (superoksida) (Asthon and Crafts, 1981 : Halliwell and Gutteridge, 1999). - Anion superoksida O 2 bereaksi cepat dengan radikal bebas lainnya, seperti radikal hidroksil OH. Reaksi tersebut menyebabkan terbentuknya radikal bebas lain yang lebih reaktif dan lebih toksik, seperti H 2 O 2 (Halliwell and Gutteridge, 1999). Radikal bebas seperti superoksida dan peroksida merupakan Reactive Oxygene Species (ROS) yang menyebabkan stres oksidatif dan merupakan oksidan kuat yang dapat mengoksidasi 2
senyawa penyusun sel seperti protein, sehingga menyebabkan penurunan dan penghilangan fungsi sel (Pham dan Desikan, 2009). Efektivitas herbisida akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda dalam menekan pertumbuhan gulma (Webber & Shrefler, 2007). Perbedaan morfologi gulma menunjukkan kepekaan yang berbeda pada suatu herbisida, misalnya daun dengan kedudukan tegak, sempit dan sangat berlilin akan lebih sedikit terkena herbisida daripada daun yang datar, luas dan tak berlilin. Perakaran yang dalam menjadikan gulma agak toleran terhadap herbisida tanah yang sering tersebar hanya dekat permukaan saja. Sedangkan gulma dengan perakaran dangkal akan segera terpengaruh. Jhonson et al. (2004) menyatakan bahwa efikasi cuka 10% pratanam berpotensi untuk mengendalikan gulma daun lebar pada tanaman gandum. Aplikasi asam asetat pratumbuh pada benih selada dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari 10% dari larutan cuka menyebabkan benih selada tidak berkecambah (Potts, 2008). Pujisiswanto (2011) melaporkan bahwa aplikasi cuka pascatumbuh mampu menghambat pertumbuhan Asystasia gangética dan Synedrella nudiflora pada konsentrasi 10% - 20% sampai 4 minggu setelah aplikasi (msa) dengan tingkat keracunan sekitar 70% dibandingkan konsentrasi 5% dan tanpa aplikasi asam asetat. Aplikasi asam asetat pada konsentrasi 20% mampu menghambat pertumbuhan gulma teki yaitu Cyperus rotundus dan rumputan yaitu, Axonopus compressus dan Imperata cylindrica sampai 4 minggu setelah aplikasi dengan tingkat keracunan sekitar 50% dibandingkan konsentrasi 5%, 10% dan tanpa aplikasi asam asetat. Adanya potensi asam asetat dalam mengendalikan gulma dan belum diketahui secara pasti mekanisme kerja dalam menghambat gulma serta pengaruh terhadap tanaman jagung, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji mekanisme kerja dan efektifitas asam asetat dalam menekan pertumbuhan gulma pada tanaman jagung. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh aplikasi asam asetat pratanam dan pratumbuh terhadap perkecambahan tanaman jagung, serta bagaimana pengaruh aplikasi asam asetat pratumbuh terhadap perkecambahan gulma. 2. Bagaimana pengaruh aplikasi asam asetat pascatumbuh terhadap pertumbuhan gulma dan tanaman jagung, serta bagaimana mekanisme penghambatan asam asetat pascatumbuh dalam menghambat proses biokimia, fisiologi dan merusak anatomi daun gulma. 3
3. Kapan diketahui waktu aplikasi asam asetat yang effektif dalam mengendalikan gulma yang menyebabkan pertumbuhan dan hasil jagung tertinggi. 1.3. Keaslian dan Kedalaman Penelitian Dasar pemilihan asam asetat sebagai herbisida yang digunakan dalam disertasi ini karena penggunaan asam asetat selama ini banyak dan aman untuk keperluan manusia seperti rasa masam makanan, industri dan kesehatan sampai batas konsentrasi yang telah ditentukan. Selain itu beberapa penelitian dilaporkan bahwa asam asetat sebagai herbisida masih dalam tahap uji coba dalam berbagai komoditas sistem pertanian organik. Penelitian tentang penggunaan asam asetat untuk mengendalikan gulma sudah dilakukan oleh beberapa peneliti dan penelitian yang dilakukan masih dalam tahap teknis, tentang tingkat konsentrasi cuka (asam asetat) dalam mengendalikan gulma pada beberapa tanaman. Analisis daya racun (fitotoksisitas) asam asetat untuk mekanisme kerja (mechanism of action) dalam menghambat pertumbuhan gulma belum diketahui secara pasti dan efektivitas pengendalian gulma pada jagung belum dilakukan. Beberapa hasil penelitian terdahulu tentang daya racun cuka pada beberapa tingkat konsentrasi dalam mengendalikan gulma dan respon tanaman ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil hasil penelitian tentang daya racun cuka (asam asetat) dalam mengendalikan gulma dan respon tanaman 4
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Mempelajari pengaruh aplikasi asam asetat pratanam terhadap perkecambahan tanaman jagung, serta pengaruh aplikasi asam asetat pratumbuh terhadap perkecambahan gulma dan tanaman jagung. 2. Mempelajari pengaruh aplikasi asam asetat pascatumbuh terhadap pertumbuhan gulma dan pertumbuhan tanaman, serta mendapatkan mekanisme asam asetat pascatumbuh dalam menghambat proses biokimia, fisiologi dan merusak anatomi daun gulma. 3. Menentukan waktu aplikasi asam asetat yang efektif dalam mengendalikan pertumbuhan gulma yang menghasilkan pertumbuhan dan hasil jagung tertinggi. 1.5. Luaran yang Diharapkan Hasil yang ditargetkan dari penelitian ini secara keseluruhan adalah mekanisme kerja dan efektifitas asam asetat dalam mengendalikan gulma dan tidak meracuni tanaman. Sedangkan secara khusus hasil yang ditargetkan: pada penelitian tahap I, diperoleh aplikasi pratanam dan pratumbuh tidak menghambat perkecambahan tanaman, namun menghambat perkecambahan gulma ; penelitian tahap II, diperoleh konsentrasi tidak menghambat pertumbuhan tanaman jagung dan mekanisme penghambatan pertumbuhan gulma; penelitian tahap III, diperoleh waktu aplikasi asam asetat yang efektif mengendalikan gulma, meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. 1.6. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang Fisiologi Herbisida dalam penggunaan asam asetat sebagai herbisida. Dengan mengetahui mekanisme kerja dan efektifitas (konsentrasi dan waktu aplikasi) asam asetat sebagai herbisida dalam mengendalikan gulma pada tanaman jagung diharapkan dapat diterapkan pada lahan pertanian dan perkebunan. 5