BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM fosil yang selama ini digunakan. Salah satu BBM alternatif yang mulai dikembangkan dalam skala besar adalah biodiesel yang merupakan minyak yang dari sumber terbarukan dan ramah lingkungan. Menurut Peeples (1998), biodiesel adalah metil ester yang diturunkan dari minyak/lemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan, atau minyak goreng bekas. Biodiesel ini merupakan bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari sulfur dan benzen karsinogenik, dapat didaur ulang, tidak menyebabkan akumulasi gas rumah kaca, tidak toksik dan dapat didegradasi. Bahan baku biodiesel umumnya adalah minyak dari biji-bijian dan buahbuahan seperti sawit, jarak, nyamplung, dll. Salah satu bahan baku biodiesel yang sedang dikembangkan saat ini adalah dari minyak sawit. Biodiesel diproduksi melalui proses transesterifikasi yaitu dengan mereaksikan minyak (trigliserida) dengan metanol menghasilkan metil ester dan gliserol. Setelah dipisahkan dari gliserol, maka metil ester kemudian disebut sebagai biodiesel. Agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, biodiesel harus melalui proses produksi untuk memenuhi persyaratan tertentu dalam rangka menjamin kinerjanya untuk mensubstitusi bahan bakar diesel fosil. Namun hambatan terbesar mengenai 1
2 aplikasi biodiesel adalah biaya produksinya yang masih mahal jika dibandingkan dengan BBM bersubsidi. Biodiesel yang diharapkan mampu digunakan sebagai bahan bakar dengan keuntungan dari aspek kinerja, komersial, dan lingkungan hingga saat ini masih terus dikembangkan teknologinya. Dalam rangka menciptakan teknologi proses produksinya yang lebih efektif dan efisien, beberapa peneliti telang mengembangkan proses pretreatment bahan baku, proses sintesisnya, hingga proses post treatment. Kinerja mesin diesel sangat tergantung dari kemurnian biodiesel yang terlepas dari kehadiran senyawa pengotornya. Senyawa pengotor biodiesel hasil transesterifikasi adalah gliserol sebagai hasil samping, senyawa gliserida baik mono-, di-, dan trigliserida sebagai hasil samping reaksi transesterifikasi yang kurang sempurna, sisa katalis, dan sisa reaktan metanol. Disamping itu terdapat pula pengotor biodiesel berupa senyawa asam lemak bebas, sabun, garam-garam, dan logam yang merupakan senyawa sudah hadir dalam bahan baku minyak nabati (trigliserida) yang digunakan. Gliserol dan gliserida akan membentuk deposit karbon yang akan memberikan masalah penyumbatan pada injektor dan silinder pada mesin diesel (Kimmel, 2004). Sementara asam-asam lemak bebas akan membentuk sabun yang merupakan zat amfifilik yang menyebabkan masalah pada pemisahan fase dan penyumbatan pada aliran keluar reactor (Manuale dkk., 2011). Senyawa garam akan muncul dari netralisasi katalis asam homogen dalam proses transesterifikasi dengan katalis asam. Garam-garam anorganik ini akan menyebabkan korosi pada pipa dan vessels. Logam adalah komponen minor dalam bentuk oligoelements
3 dalam molekul khusus. Adanya kandungan logam akan mengakibatkan oksidasi dalam minyak. Akibat dari proses oksidasi adalah perubahan rasa, warna dan bau. Meskipun perubahan rasa, warna dan bau tidak menjadi masalah pada biodiesel (Flider dan Orthoefer, 1981). Pemurnian biodiesel bertujuan untuk memperbaiki kualitas biodiesel dengan cara mengurangi kadar pengotornya hingga memenuhi standar baku mutu yang berlaku. Pengurangan kadar pengotor biodiesel difokuskan pada pengurangan kadar senyawa pengotor yang memiliki dampak terbesar pada kualitas biodiesel hasil transesterifikasi. Pada proses transesterifikasi dengan katalis alkali, pemurnian biodiesel dapat difokuskan pada pengurangan kadar gliserol dan senyawa gliserida pada biodiesel (Manique dkk., 2012). Biodiesel dapat dimurnikan dengan metode konvensional dengan menggunakan air yang dikenal sebagai metode pencucian basah atau water washing. Menurut Hambali (2007), pemurnian dengan metode water washing memiliki beberapa kelemahan, diantaranya memerlukan jumlah air dan energi yang banyak. Selain itu, air dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba dan pembentukan emulsi yang menghasilkan air limbah yang memerlukan perlakuan lebih lanjut untuk sebelum dibuang ke lingkungan. Karena itu diperlukan alternatif lain yang lebih efisien dan efektif untuk pemurnian biodiesel yang kemudian dikenal dengan metode pencucian kering atau dry washing. Salah satu cara pada metode pencucian kering adalah dengan memanfaatkan peristiwa adsorpsi. Adsorpsi merupakan suatu fenomena permukaan yang tergantung atas specific affinity (afinitas jenis) antara zat yang
4 terlarut dengan adsorben. Metode pencucian kering dengan adsorpsi ini bertujuan agar penggunaan air saat pencucian biodiesel dapat dieliminasi. Dengan cara tersebut diharapkan proses pembuatan biodiesel menjadi lebih efektif dan efisien sehingga menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi persyaratan SNI 04-7182-2006. Saat ini pemanfaatan limbah biomassa pertanian masih belum optimal. Padi yang merupakan produk utama pertanian di negara-negara agraris, termasuk Indonesia pada pengolahannya akan meninggalkan limbah produksi berupa sekam padi. Penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Sekam padi yang telah banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan panas pada industri batu bata ternyata masih meninggalkan limbah padat sisa pembakaran berupa abu sekam padi. Abu sekam padi inilah yang kemudian dinilai memberikan prospek sebagai adsorben pada pemurnian biodiesel. Pengotor biodiesel merupakan senyawa polar yang terlarut dalam biodiesel yang merupakan senyawa non polar. Oleh karena itu, pemurnian biodiesel dilakukan untuk memindahkan semua senyawa polar yang terlarut dalam biodiesel menuju bahan penyerap pada berfase polar. Penelitian terdahulu telah disimpulkan bahwa silika merupakan adsorben polar yang dapat menyerap senyawa polar pada biodiesel. Kandungan silika sebagai komposisi utama dari abu sekam padi inilah yang membuat abu sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai adsorben pada metode pencucian kering biodiesel (Yori dkk., 2008).
5 Manique dkk. (2012) menyatakan bahwa abu sekam padi masih kurang optimal dalam menurunkan kadar gliserida dalam bentuk trigliserida, digliserida, dan monogliserida dalam biodiesel. Hal ini disebabkan trigliserida merupakan senyawa non polar, sementara monogliserida dan digliserida merupakan senyawa amfifilik sehingga penyerapan gliserida oleh abu sekam padi sebagai adsorben polar tidak seefektif penyerapan senyawa polar seperti gliserol. Untuk meningkatkan efektifitas pencucian kering biodiesel dengan abu sekam padi diperlukan modifikasi proses yang dapat meningkatkan penyerapan gliseridanya. Modifikasi proses dapat berupa penambahan bahan lain yang dapat menyerap senyawa non polar yaitu senyawa gliserida baik secara fisik maupun kimia. Penambahan bahan ini dapat pula mengurangi gliserida dengan cara mengkonversikannya menjadi senyawa polar yang lebih mudah terserap oleh abu sekam padi. Huong dkk. (2009) telah membuktikan bahwa CaO dan gliserol mampu membentuk kalsium digliseroksida. Kalsium digliseroksida berperan sebagai katalis untuk transesterifikasi mengkonversi gliserida menjadi biodiesel dan gliserol. Secara implisit, berdasarkan mekanisme reaksi yang ditemukan oleh Huong dapat disimpulkan bahwa pengikatan gliserol oleh CaO dan transesterifikasi lanjut inilah yang dapat menurunkan jumlah gliserol dan gliserida secara signifikan. Sehingga CaO dapat dianggap mampu menghilangkan gliserol dan gliserida secara bertahap jika digunakan sebagai adsorben pada pencucian kering biodiesel.
6 Disamping itu, CaO dapat diperoleh dari produk turunan dari hasil alam di sepanjang pegunungan kapur di propinsi DIY. Dengan melihat potensi ini, CaO diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja keseluruhan pada metode pencucian kering biodiesel dengan abu sekam padi. Kinerja pencucian yang dimaksud adalah kapasitas pengurangan kadar pengotor biodiesel pada setiap proses pencucian. Pada tinjauan keekonomian, batu gamping (kapur) memang merupakan sumber CaO yang paling menjanjikan. Ngamcharussrivichai dkk. dalam León- Reina (2012) telah membuktikan bahwa senyawa campuran Ca-Mg karbonat alam (dolomit) merupakan juga sumber material yang paling cocok dari produksi katalis CaO. Namun pada penelitian ini CaO yang digunakan bukan merupakan hasil pengolahan dari batu gamping atau dolomit. Pada penelitian ini CaO komersial digunakan agar dapat memfokuskan pengamatan terhadap pengaruhpengaruh yang terjadi selama proses pencucian kering biodiesel dengan CaO dengan meminimalisasi pengaruh eksternal yang disebabkan oleh komponen selain CaO. Penelitian ini meliputi pencucian biodiesel dengan mengamati penyerapan gliserol dan gliserida pada penggunaan CaO yang kemudian dilanjutkan dengan penyerapan dengan menggunakan adsorben abu sekam padi. Penelitian akan difokuskan pada pengurangan kadar gliserol dan gliserida pada pencucian kering dengan CaO. Termasuk di dalamnya mempelajari fenomena yang terjadi selama pencucian.
7 1.2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pencucian kering biodiesel dengan abu sekam padi sudah banyak dilakukan Ozgul-Yucel S. dkk. (2003); Yori dkk. (2008); dan Manique dkk. (2012) mencoba memanfaatkan abu sekam padi sebagai adsorben untuk memurnikan biodiesel dari minyak jelantah. Abu sekam padi diperoleh dari limbah sekam padi dengan perlakuan tertentu. Pada penelitian terdahulu hanya diteliti pengaruh konsentrasi adsorben abu sekam padi terhadap kadar pengotor pada biodiesel hasil pencucian. Hasilnya dibandingkan dengan kadar pengotor pada biodiesel kotor dan biodiesel setelah pencucian dengan adsorben komersial. Huong dkk. (2009) telah membuktikan bahwa CaO dan gliserol mampu membentuk kalsium digliserioksida. Namun penelitian yang menyatakan kemampuan CaO dalam menghilangkan gliserol dan gliserida pada pencucian kering biodiesel belum pernah dilakukan. 1.3. Manfaat Penelitian Metode pencucian kering biodiesel merupakan teknologi inovasi pada pembuatan biodiesel yang ramah lingkungan. Untuk itu diharapkan dari hasil penelitian ini dihasilkan teknologi eco-process dan eco-eficiency pabrik biodiesel. Penambahan CaO pada metode pencucian kering dengan menggunakan adsorben abu sekam padi diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pencucian kering biodiesel dengan abu sekam padi. Secara keseluruhan, metode pencucian kering dengan CaO - abu sekam padi akan memberikan manfaat besar yaitu (1) menghilangkan penggunaan air
8 proses pada metode pencucian basah sehingga tidak dihasilkan limbah cair pencucian biodiesel; (2) meningkatkan nilai tambah dari limbah pembakaran industri batu bata yang menggunakan sekam padi sebagai bahan bakarnya. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh pra-pencucian dengan CaO pada metode pencucian kering biodiesel. 2. Mempelajari mekanisme penurunan kadar gliserol bebas dan gliserol total oleh CaO pada tahap pra-pencucian kering biodiesel. 3. Mempelajari kinetika pra-pencucian biodiesel dengan CaO.