TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penggerek Tongkol Jagung H. armigera Hubner Adapun klasifikasi dari hama penggerek tongkol jagung menurut Lammers & MacLeod (2007) adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera : Noctuidae : Helicoverpa : Helicoverpa armigera Hubner. Telur diletakkan ngengat betina secara tunggal pada seluruh bagian tanaman, daun dan batang. Paling banyak diletakkan pada waktu tanaman sudah keluar rambut (silk). Kurang lebih 1500 telur dapat diletakkan oleh ngengat betina selama 14 hari dengan puncak peletakkan telur selama 7 hari. Lama stadia larva 2-3 minggu (Surtikanti, 2006). Gambar 1. Telur H. armigera (Sumber : Foto Langsung)
Larva yang baru menetas biasanya akan memakan jambul tongkol, kemudian membuat lubang masuk ke dalam tongkol. Larva akan meninggalkan kotoran pada tongkol dan akan menciptakan iklim yang cocok untuk pertumbuhan jamur yang menghasilkan mikotoksin sehingga tongkol menjadi rusak. Larva muda berwarna putih kekuning-kuningan dengan kepala hitam, stadium larva berkisar antara 17-24 hari terdiri dari enam instar. Larva ini bersifat kanibal sehingga jarang dijumpai lebih dari 2 larva dalam satu tongkol. Larva instar terakhir akan meninggalkan tongkol dan membentuk pupa dalam tanah tetapi ada juga yang berpupa didalam tongkol (Zaidun, 2005). Gambar 2. Larva H. armigera (Sumber : Foto Langsung) Pupa pada umumnya terbentuk pada tanah kedalaman 2,5-17,5 cm. Ada kalanya serangga ini berpupa didalam tongkol dan pada permukaan tumpukan limbah tanaman atau pada kotoran serangga yang terdapat di tanaman. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, fase pupa bervariasi dari 6 hari pada suhu 35ºC sampai 30 hari pada suhu 15ºC (Said dkk., 2008). Gambar 3. Pupa H. armigera (Sumber : Foto Langsung)
Ngengat betina muncul sehari lebih dahulu dari pada ngengat jantan. Ngengat jantan mudah dibedakan dari ngengat betina karena ngengat betina mempunyai pola bercak-bercak berwarna pirang tua, sedang ngengat jantan tidak mempunyai pola seperti itu (Ditlinhorti, 2013). Gejala Serangan Gambar 4. Imago H. armigera (Sumber : Foto Langsung) Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 10%. Meskipun relatif rendah, serangannya mempengaruhi mutu tongkol jagung. Imago betina akan meletakkan telur pada silk (rambut) jagung. Sesaat setelah menetas, larva masuk ke dalam tongkol dan akan memakan biji yang sedang berkembang. Infestasi serangga ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung (Said dkk., 2008). Bila larva mulai menggerek buah, maka larva hanya sebentar untuk makan buah tersebut dan kemudian pindah dan menyerang buah lain. Larva kadang kala pindah dari satu buah ke buah lainnya dengan hanya memakan sedikit bagian dari setiap buah. Larva lebih suka makan buah muda dan biasanya tidak menyerang buah yang masak (Purba, 2005).
Gambar 5. Gejala Serangan (Sumber : Foto Langsung) Pengendalian Penelitian biologi atau siklus hidup musuh alami yang berupa parasitoid telur (Trichogramma spp.) diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat digunakan sebagai salah satu komponen penting dalam mendukung program nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Perbanyakan massal Trichogramma di laboratorium, telah diaplikasikan guna membantu pengendalian hama penggerek tebu, seperti yang telah dilakukan oleh pabrik gula. Musuh alami sebagai agensia pengendali alami merupakan salah satu komponen penting PHT dan mempunyai peluang yang cukup baik untuk mengendalikan hama penggerek batang jagung (O. furnacalis) dan hama penggerek tongkol (H. armigera) (Surtikanti, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yasin dkk., (1999) mengemukakan bahwa E. annulata memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk memangsa larva O. furnacalis. E. Annulata juga dilaporkan banyak memangsa Bactrocera dorsalis pada tanaman cabai (Annie dkk., dalam Labiran, 2006). Kasma (2007) melakukan perbanyakan cecopet (E. annulata) untuk mengamati biologi dan tingkat pemangsaannya terhadap penggerek batang jagung O. furnacalis dalam pengamatan ini diperoleh hasil bahwa tingkat pemangsaan
tertinggi terdapat pada telur dan larva dari O. furnacalis. Selanjutnya Nurindah dan Bindra (1988) melaporkan bahwa E. annulata juga dapat memangsa telur dan larva H. armigera pada pertanaman kapas (Adnan & Handayani, 2010). Pengendalian yang dilakukan dengan penggunaan musuh alami yang cukup efektif mengendalikan penggerek tongkol. Musuh alami tersebut adalah parasitoid Trichogramma spp yang merupakan parasit telur dimana tingkat parasitasi pada tanaman inang H. armigera sangat bervariasi dengan angka maksimum 49% (Mustea, 1999). dan Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae) parasit pada larva muda. Pada kelembaban cukup, larva juga diinfeksi oleh cendawan M. anisopliae, agen pengendali yang juga berpotensi untuk mengendalikan serangga ini adalah Bakteri yaitu B. thuringensis. Patogen yang dapat digunakan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian H. armigera, yaitu Virus Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV). Hasil dari beberapa tahap penelitian menunjukkan bahwa HaNPV berpotensi dikembangkan untuk mengendalikan penggerek tongkol, dan dapat diformulasikan dan diproduksi secara in vivo (Tenrirawe, 2007). Jamur M. anisopliae Pengendalian hayati dengan menggunakan cendawan M. anisopliae yang telah lama diketahui mempunyai kemampuan entomopatogenik, termasuk cendawan filamentous, berfilum Askomikota, kelas Hipomisetes, ordo Moniliales, genus Metarhizium, spesies M. anisopliae. Kapang ini hidup dan banyak ditemukan di tanah, bersifat saprofit, dan sering ditemukan pada serangga yang terinfeksi dari berbagai macam stadia, tumbuh pada suhu dan kelembaban umum cendawan entomofagus antara 20 C dan kelembaban 30-90%, juga pada
kelembaban di bawah 50% dapat melepas spora. Cendawan ini mempunyai ciri koloni berwarna hijau zaitun, konidiofor yang panjangnya dapat mencapai 75 µm, bertumpuk-tumpuk diselubungi oleh konidia yang berbentuk apikal berukuran antara 6-9,5 µm x 1,5-3,9 µm, bercabang-cabang, berkelompok membentuk massa yang padat dan longgar (Ahmad, 2010). Tingkat konsentrasi spora jamur M. anisopliae, yaitu 10 5, 10 6, 10 7, 10 8, 10 9 spora/ml yang telah disiapkan, diinfeksikan pada larva Crocidolomia pavonana dengan cara diteteskan langsung ke atas tubuh larva. Metode tetes langsung ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan Milner (1994). Suspensi spora diteteskan dengan menggunakaan volume pipet berukuran 1 ml (Mia dkk., 2008). Mekanisme Infeksi dan Penyebaran M. anisopliae Berdasarkan siklus hidupnya cendawan M. anisopliae menginfeksi serangga melalui kulit luar (integument) di antara ruas tubuh, selain itu juga dapat melalui midgut yaitu makanan, alat pernapasan (trakea) dan luka. Tahapan infeksi M. anisopliae pada tubuh inang, meliputi: 1) kejadian sebelum proses penetrasi yang meliputi penempelan dan pertumbuhan prapenetrasi (perkecambahan), 2) penetrasi ke dalam tubuh inang dan 3) pemapanan patogen dalam tubuh inang. Penempelan konidia biasanya terjadi secara pasif dengan bantuan angin dan air, sehingga terjadi kontak antara konidia dengan permukaan integument serangga dalam waktu yang cukup lama untuk bisa berkecambah dan menginfeksi inang. Perkecambahan konidia tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi. Konidia dapat berkecambah apabila terdapat sumber karbon seperti glukosa, glucosamine, chitin, dan starch (pati). Konidia yang telah berkecambah harus
membentuk tabung kecambah (hifa penetran) yang selanjutnya menembus integument untuk terus masuk ke dalam hemocell (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan, 1993). Proses penetrasi integument oleh hifa merupakan proses mekanis dan kimiawi. Secara mekanis yaitu dengan kekuatan hifa untuk menembus kulit tubuh serangga. Secara kimiawi yaitu mengeluarkan enzim seperti protease, lipase, esterase, dan kitinase yang membantu dalam menghancurkan kutikula serangga dan toksin seperti metarisin dan asam oksalat yang dalam mekanisme kerjanya menyebabkan terjadinya kenaikan ph darah, penggumpalan darah, dan terhentinya peredaran darah serangga. Proses selanjutnya, setelah masuk ke dalam hemocell, cendawan akan membentuk tubuh hifa dan blastopora yang kemudian ikut beredar dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak, sistem syaraf, trakea, dan saluran pencernaan. Adanya perubahan biokimia dalam hemolimfa terutama kandungan protein, terjadinya defisiensi nutrient, adanya toksin yang dikeluarkan oleh cendawan dan terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh serangga akan menyebabkan terjadinya paralisis dan kematian pada serangga (Simamora dkk, 2010). Virus Helicoperva armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) Virus yang dapat menurunkan populasi hama pada tanaman jagung ialah virus HaNPV. NPV mempunyai inclusion yang terbuat dari matriks protein, berbentuk seperti kristal tidak teratur, bersegi banyak, dan disebut polyhedrosis inclusion body (PIB). NPV berdiameter rata-rata 0,5 1,5 um (Bergald dan Ripper 1957). Di dalam PIB terdapat virus yang sebenarnya yang disebut virion. Virion berbentuk tongkat lurus dengan panjang 26+5,8 virion (Gothama 1990).
Aktivitas NPV berlangsung di dalam abdomen, sehingga untuk menimbulkan kematian larva harus menelan NPV bersama-sama dengan makanannya (Tenrirawe, 2011). Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) adalah virus yang dapat menginfeksi larva serangga dari ordo Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera, sehingga virus ini memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai agen kehidupan. Secara khusus, NPV menyerang larva serangga H. armigera adalah Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV). Produksi virus serangga untuk digunakan secara komersial sebagai agen hidup dapat dilakukan melalui metode in vivo, yaitu menggunakan host alami media virus perkalian. Sampai saat ini, metode tersebut masih merupakan cara yang paling ekonomis tapi produksi HaNPV melalui metode ini sulit untuk melaksanakan. Itu karena H. armigera larva sebagai inang tidak dapat diperbanyak dalam kelompok. Larva ini adalah kanibalisme dan berukuran kecil, sehingga produksi virus kurang maksimal. Individu dapat budidaya larva meningkatkan biaya produksi dan tenaga kerja (Purnamasari & Mia, 2010). Bioinsektisida Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) adalah salah satu jenis virus patogen yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan ulat grayak, karena bersifat spesifik, selektif, efektif untuk hama hama yang telah resisten terhadap insektisida dan aman terhadap lingkungan. Saat ini NPV telah dikembangkan secara in vivo di laboratorium Balitkabi. Sebagai bioinsektisida, virus tersebut dapat mengendalikan serangga hama sasaran secara tepat karena bersifat spesifik, mempunyai kemampuan membunuh cukup tinggi, biaya relatif murah dan tidak mencemari lingkungan (Bedjo dkk., 2011).
Mekanisme Infeksi dan Penyebaran HaNPV Menurut Falcon (1975) dalam Mangoensihardjo dan Pollet (1991) proses infeksi HaNPV pada H. armigera adalah sebagai berikut : 1. Partikel virus termakan inang (0 jam) 2. Melepaskan partikel-partikel pertamanya ke dalam sitoplasma (6 jam) 3. Mengalami modifikasi pertama dalam nukleus sel yang terinfeksi (16 jam) 4. Pembentukan viroplasma (24 jam) 5. Replikasi nukleokapsid (36 jam) 6. Replikasi polyhedra (48 jam) 7. Pembentukan PIB yang lengkap (72 jam) Efektifitas penggunaan HaNPV untuk memberantas ulat H. armigera tergantung pada beberapa faktor seperti konsentrasi virus, pengaruh radiasi, instar ulat yang diserang dan isolat virus (Asri dkk., 2003). Menurut Bedjo (2006) dan Biogen Online (2007) bahwa NPV menginfeksi inang melalui dua tahap. Pada tahap pertama NPV menyerang usus tengah, kemudian pada tahap selanjutnya organ tubuh (hoemocoel) serta organ-organ tubuh yang lain. Pada infeksi selanjutnya NPV juga menyerang sel darah, trakea, hipodermis dan sel lemak. Polyhedra Inclusion Body dalam tubuh larva yang terserang ukurannya bervariasi tergantung pada perkembangan stadium larva, tetapi pada beberapa jenis NPV sebagian polyhedra memiliki ukuran dan stadium pematangan yang hampir sama (Riyanto, 2008). Gejala infeksi HaNPV Pada Larva Helicoverpa armigera Menurut Bedjo (2006) dan Lacey (1997) dalam Riyanto (2008) bahwa Larva yang terinfeksi NPV pada umumnya ditandai dengan berkurangnya
kemampuan makan, gerakan yang lambat, dan tubuh membengkak akibat replikasi atau perbanyakan partikel-partikel virus NPV. Integumentum larva biasanya menjadi lunak, rapuh dan mudah sobek. Apabila tubuh larva tersebut pecah maka akan mengeluarkan cairan kental berwarna coklat susu yang merupakan cairan NPV dengan bau yang sangat menyengat atau dikenal wilting diseases. Menurut Lacey (1997) dalam Riyanto (2008) bahwa Infeksi dapat juga terjadi pada larva yang baru menetas akibat telur yang terinfeksi. Hal ini karena larva yang baru menetas harus makan korion waktu membuat lubang untuk keluar. Apabila korion yang mengandung NPV masuk ke dalam tubuh larva dan menginfeksi organ-organ tubuhnya maka kematian akan terjadi 1-2 hari kemudian. Prinsipnya NPV hanya melekat pada korion telur oleh karena itu NPV tidak dapat merusak atau mematikan embrio di dalam telur (Riyanto, 2008).