BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pemerataan akses pelayanan rawat jalan di berbagai wilayah Indonesia Mardiati Nadjib, author

swasta serta tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7% (Depkes RI, 2013). Provinsi Aceh menempati ranking tertinggi dalam coverage

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara bertanggung jawab mengatur masyarakat agar terpenuhi

Dampak Askeskin Terhadap Kunjungan ke Puskesmas/Pustu dan RSU Pemerintah Oleh Individu Dewasa: Studi kasus data IFLS 2000 dan 2007

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Analisis perencanaan..., Ayu Aprillia Paramitha Krisnayana Putri, FE UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. ketika berobat ke rumah sakit. Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era Otonomi Daerah, Bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri

DALAM SISTEM. Yulita Hendrartini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dari setiap manusia

I. PENDAHULUAN. mencapai kesejahteraan. Akan tetapi, masih banyak masyarakat dunia khususnya

: Sekretaris Daerah Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN. Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948 mencantumkan,

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Dunia (WHO 1948), menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental

POTENSI PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DALAM RANGKA UNIVERSAL COVERAGE DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IMPLEMENTASI PROGRAM K ESEHAT AN GRAT IS DI SUL AWESI SE L AT AN < >

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan rehabilitasi dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang.

BAB I BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan fisik maupun mental. Keadaan kesehatan seseorang akan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB I PENDAHULUAN. baik dibutuhkan sarana kesehatan yang baik pula. keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup. Tentunya demand untuk menjadi

SIMULASI KAPITASI JKN YANG ADEKUAT. 2nd INAHea Congress 2015

BAB I PENDAHULUAN. sejak tahun 2001 dengan pengentasan kemiskinan melalui pelayanan kesehatan. gratis yang dikelola oleh Departemen Kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Unsur terpenting dalam organisasi rumah sakit untuk dapat mencapai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembiayaan kesehatan melalui pengenalan asuransi kesehatan nasional.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang menganut prinsip negara

BAB I PENDAHULUAN. hidup di dunia ini, dan pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut kesehatan fisik

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh warga Negara termasuk fakir miskin dan orang tidak mampu.

Evaluasi Lembaga Asuransi Kesehatan Berdasarkan Data SUSENAS. Budi Hidayat, SKM, MPPM,Ph.D Dr. Sigit Riyarto, M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan. Salah satu misi tersebut adalah memelihara dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dapat diketahui kelemahan dan kekurangan jasa pelayanan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. SJSN. mencakup beberapa jaminan seperti kesehatan, kematian, pensiun,

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pelayanan. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri masalah kemiskinan selalu menjadi penghambat kemajuan tiap - tiap

BAB 1 PENDAHULUAN. orang per orang, tetapi juga oleh keluarga, kelompok dan bahkan masyarakat. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang hak asasi manusia. Berdasarkan. kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

Kebijakan Umum Prioritas Manfaat JKN

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan khusus kepada penduduk miskin, anak-anak, dan para lanjut usia

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri

PENDAHULUAN. derajat kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya salah satunya dengan

E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain: 1. Ng et al (2014) dengan judul Cost of illness

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan sebagai hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita

BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan. Oleh: Novijan Janis. Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. BPJS sebagai salah satu subsistem dari Sistem Kesehatan Nasional yaitu fungsi

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung dengan tujuan agar

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Kesehatan adalah

EVALUASI KEBIJAKAN SURAT KETERANGAN TIDAK MAMPU DALAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT KOTA SEMARANG. Yulita Hendrartini Universitas Gadjah Mada

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Karena

Jaminan Kesehatan untuk Semua? Tantangan Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

UNIVERSAL HEALTH COVERAGE BAGI SEKTOR INFORMAL

Oleh Nizwardi Azkha, SKM,MPPM,MPd,MSi PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND PADANG 2009

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program disegala bidang secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia melalui kementerian kesehatan di awal tahun 2014, mulai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendapatan per kapita saat itu hanya Rp. 129,615 (sekitar US$ 14) per bulan.

PROFIL KESEHATAN KABUPATEN BLORA 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan derajat hidup masyarakat, sehingga semua negara berupaya

BAB I PENDAHULUAN. tujuan tersebut pemerintah berupaya secara maksimal untuk memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam setiap kehidupan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PASIEN ASKESKIN, ASKES PNS, UMUM PADA PELAYANAN LOKET PENDAFTARAN RAWAT JALAN DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. tangga dapat disimpulkan bahwa tipe rumah tangga 1 (mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah pada dasarnya menuntut Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan

Transkripsi:

146 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari data survey baik dan IFLS 2000 dan 2007 serta SUSENAS 2009 dan 2010 dapat disimpulkan bahwa terdapat kemajuan dalam pembangunan kesehatan dari tahun ke tahun. Namun disisi lain terdapat kesenjangan derajat kesehatan antar daerah, antar tingkat ekonomi masyarakat, dan antar perkotaan-pedesaan, yang berpotensi menghambat tujuan pencapaian target indikator kesehatan secara nasional. Dari tahun 2000/2007 dan tahun 2009/2010 (dengan penelitian yang berbeda, IFLS dan SUSENAS) terjadi perubahan-perubahan yang signifikan yang berkaitan dengan status kesehatan dan faktor-faktor determinannya. 1. PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA a. Beban rumah tangga di Indonesia pada tahun 2007 dibanding tahun 2000 berkurang dengan penurunan jumlah anggota rumah tangga dari rata-rata 4,049 menjadi 3,577 per rumah tangga, serta penurunan jumlah balita dan lansia. Meningkatnya pendidikan kepala rumah tangga yang ditandai dengan waktu pendidikan yang lebih lama pada kepala rumah tangga, membuka kemungkinan peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga. Peningkatan ekonomi ditandai dengan pengeluaran untuk makanan dan non makanan yang mengalami peningkatan cukup signifikan serta harta rumah tangga yang meningkat. b. Perkembangan struktur sosial ekonomi rumah tangga di Indonesia antara tahun 2009 dan 2010 ternyata serupa dengan data IFLS 2000 dan 2007, terjadi penurunan jumlah rumah tangga miskin berdasarkan garis kemiskinan nasional, peningkatan pengeluaran biaya kesehatan, dan peningkatan total pengeluaran rumah tangga. Hal ini menandakan secara umum terjadi peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga. Terjadi juga peningkatan pendidikan kepala keluarga, baik dari kriteria lebih dari SD maupun lama

147 pendidikan. Peningkatan pendidikan kepala keluarga bisa berefek pada ekonomi keluarga, karena peningkatan pemahaman pola hidup sehat, yang mendorong kemauan dan kemampuan membayar pelayanan kesehatan. 2. PERUBAHAN KEBUTUHAN KESEHATAN Jika dibandingkan antara tahun 2000 dan 2007 terjadi perubahan kebutuhan kesehatan pada rumah tangga di Indonesia ketika survey IFLS dilaksanakan, yaitu terjadi penurunan jumlah anggota rumah tangga yang mengalami sakit serius, penurunan jumlah anggota rumah tangga yang berbaring dirumah karena sakit, dan kenaikan jumlah anggota rumah tangga yang mengalami kesulitan beraktifitas. Sebagai indikator pemanfaatan fasilitas kesehatan dapat diketahui dengan jumlah orang yang melakukan rawat jalan dan rawat inap. Data tahun 2000 dan 2007 menunjukkan penurunan jumlah orang yang menjalani rawat jalan dan peningkatan jumlah orang yang rawat inap. Biaya rawat inap biasanya lebih tinggi dari rawat jalan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2009 dan 2010 didapatkan orang yang menderita sakit kronis dan berat kurang lebih sama jumlahnya, terjadi penurunan anggota keluarga yang rawat jalan dalam sebulan terakhir, dan ada peningkatan orang yang pernah menjalani rawat inap di rumah sakit. Jika dilihat pada data hasil SUSENAS (BPS, 2011) memang didapatkan pada tahun 2009-2010 terjadi penurunan penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dari 33,68% pada tahun 2009 menjadi 30,98% di th 2010. Terjadi penurunan penggunaan fasilitas pemerintah seperti puskesmas dan pustu, pada tahun 2009 sebanyak 27.20% dan pada tahun 2010 turun menjadi 26.57%. Penduduk yang berobat ke praktek petugas kesehatan dari tahun 2008 hingga 2010 menurun. Pada tahun 2008 menunjukkan angka 25.29%, pada tahun 2009 turun menjadi 24.47%, dan pada tahun 2010 turun lagi hingga mencapai 23.66%. Meskipun demikian pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan bertambah dari rata-rata Rp.452.582 per tahun pada tahun 2009 menjadi Rp.710.073 per tahun pada tahun 2010. Dapat disimpulkan bahwa jumlah penderita penyakit kronis dan berat menurut persepsi masyarakat tidak meningkat, tetapi ada peningkatan jumlah orang yang dirawat di rumah sakit, sementara kecenderungan rawat jalan menurun. Ini bisa diartikan bahwa ada peningkatan akses pemanfaatan

148 fasilitas rumah sakit. Jika dipertimbangkan dengan fakta tentang meningkatnya jumlah orang yang berobat sendiri maka bisa diduga bahwa penurunan rawat jalan berkaitan dengan kecenderungan berobat sendiri tersebut. 3. AKSES TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN. Dari data IFLS 2000 dan 2007 didapatkan bahwa sebagian besar rumah tangga yang melakukan rawat inap adalah yang tingkat pengeluaran rumah tangganya di decile 5 keatas. Hal ini mengindikasikan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok menengah keatas. Ini sesuai dengan data IFLS bahwa rumah tangga yang mengalami katastrofik seluruhnya merupakan rumah tangga dengan tingkat pengeluaran pada decile 1 sampai 4. Akses yang terbatas pada orang yang miskin untuk memperoleh pengobatan yang memadai menjadi salah satu sebab fenomena tersebut sehingga memunculkan isu ketidak adilan dalam pelayanan kesehatan. 4. PERUBAHAN KEMAMPUAN PEMBIAYAAN KESEHATAN Dari data IFLS tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 2007 terjadi kenaikan kemampuan membiayai kesehatan yang ditunjukkan oleh kenaikan pengeluaran biaya kesehatan yang cukup besar untuk rawat inap dan rawat jalan, kenaikan yang cukup besar juga terjadi pada harta rumah tangga di Indonesia, dan meningkatnya kepemilikan jaminan kesehatan. Disamping itu bantuan untuk biaya kesehatan dan pinjaman untuk biaya kesehatan meningkat pula. Ini mengindikasikan tambahan biaya kesehatan yang besar untuk menangani masalah kesehatan yang timbul. Dari data juga diketahui bahwa total biaya untuk rawat inap dan rawat jalan meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2007. Keberadaan jaminan kesehatan tidak mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Ini menunjukkan bahwa jaminan kesehatan yang ada belum memadai memenuhi kebutuhan biaya kesehatan.

149 5. RUMAH TANGGA YANG MENGALAMI KATASTROFIK KARENA PENGELUARAN BIAYA UNTUK KESEHATAN. Dari data jumlah rumah tangga yang mengalami pembiayaan kesehatan katastrofik diketahui bahwa pada tahun 2000 jumlah rumah tangga katastrofik sebesar 11,4 %, ternyata pada tahun 2007 menurun cukup signifikan menjadi 5,85%. Sedang perbandingan rumah tangga yang katastrofik di desa lebih besar (57,39%) dibandingkan di kota (42,61%). Hubungan yang erat antara faktor kemiskinan dan kejadian katastrofik bisa disimak pula dari tahun 2000 sampai 2007 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin maupun rumah tangga katastrofik karena pembiayaan kesehatan. Antara tahun 2009 dan 2010 dengan menggunakan data SUSENAS terjadi penurunan jumlah keluarga yang mengalami KATASTROFIK karena pembiayaan kesehatan. Berbeda dengan tahun 2000 dan 2007 dimana hanya rumah tangga dengan decile 1-4 saja yang mengalami katastrofik, pada tahun 2009 terdapat 0,03 persen kelompok kaya yang mengalami katastrofik. Sama dengan pada tahun 2000 dan 2007 wilayah desa tetap mempunyai rumah tangga katastrofik yang lebih besar dari wilayah kota. Jika dari tahun 2000 sampai tahun 2007 rata-rata penurunan rumah tangga yang mengalami katastrofik adalah 0,8% dari total penduduk, pada tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi penurunan sebesar 1,91% dari total penduduk. 6. VARIABEL-VARIABEL YANG MEMENGARUHI SITUASI KATASTROFIK KARENA PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2000/ 2007 dan 2009/2010 a. Variabel yang berkorelasi positif dan berpengaruh signifikan menyebabkan katastrofik: i. Pengeluaran biaya kesehatan Berdasasarkan data IFLS 2000/2007 dan SUSENAS 2009/2010 diketemukan bahwa semakin tinggi pengeluaran kesehatan akan semakin besar kemungkinan mengalami katastrofik.

150 ii. iii. Kepemilikan JAMKESMAS Dalam SUSENAS didapatkan bahwa kepemilikan JAMKESMAS malah berkorelasi positif, artinya kepemilikan JAMKESMAS justru ada pada rumah tangga yang mempunyai probabilitas tinggi mengalami katastrofik. Jumlah orang yang melakukan pengobatan sendiri Dari regresi probit didapatkan bahwa semakin banyak orang melakukan pengobatan sendiri semakin besar probabilitas rumah tangga tersebut mengalami katastrofik. Pengobatan sendiri dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai alasan: kepraktisan waktu mendapatkan obat tanpa harus kontak dengan tenaga kesehatan, masalah privasi seperti tidak suka diketahui penyakitnya, keterbatasan biaya berobat, jarak yang lebih jauh jika ke fasilitas kesehatan, kepercayaan terhadap obat tradisional yang lebih besar, dan ketidak puasan terhadap pelayanan kesehatan Supardi, S., Sarjaini Jamal, Raharni, 2005). Namun pengobatan sendiri terutama banyak terjadi pada rumah tangga yang ekonomi dan pendidikannya rendah(gupta, P. et al, 2001). Hal ini bisa dijelaskan bahwa sebagian rumah tangga yang melakukan pengobatan sendiri adalah mereka yang tidak merasa mampu mengeluarkan biaya berobat di fasilitas pelayanan kesehatan. Karena itu pengobatan sendiri sebagian dilakukan oleh mereka yang sudah mempunyai situasi sulit dalam ekonomi dan rawan terjadi katastrofik. Jika kemudian mereka tetap memilih mengobati sendiri penyakitnya maka biaya kesehatan akan terus dikeluarkan, dan akhirnya membuat kesulitan ekonomi rumah tangga terjadi atau disebut juga katastrofik karena pembiayaan kesehatan.

151 b. Variabel-variabel yang berkorelasi negatif dan berpengaruh signifikan menyebabkan katastrofik ekonomi rumah tangga. Dengan data IFLS 2000 dan 2007 variabel-variabel tersebut berhubungan dengan kemampuan ekonomi rumah tangga dan perilaku hidup sehat yang berpengaruh pada keadaan kesehatan, yaitu: i. Rawat jalan melalui pengobatan tradisional Dalam analisis regresi probit pada disertasi ini diketemukan bahwa semakin banyak rumah tangga yang melakukan rawat jalan dengan metode pengobatan tradisional memperkecil kemungkinan terjadinya katastrofik pada rumah tangga tersebut. ii. Kepemilikan asuransi kesehatan Meskipun pada data IFLS kepemilikan asuransi kesehatan dan jaminan kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan pada situasi katastrofik, dalam data SUSENAS dapat diketahui bahwa kepemilikan asuransi kesehatan memperkecil kemungkinan terjadinya katastrofik. Namun penerima bantuan JAMKESMAS tidak merupakan faktor yang signifikan untuk menurunkan kemungkinan terjadinya katastrofik. Meskipun pada tahun 2009 dan 2010 pelaksanaan program JAMKESMAS telah lebih baik dari sisi penduduk yang dijamin dan regulasinya, belum terlihat dampaknya dapat membantu mengurangi kesulitan ekonomi rumah tangga. iii. Rumah tangga kaya (pengeluaran rumah tangga pada peringkat diatas 40%) Tingkat ekonomi dengan peringkat diatas 40% pada rumah tangga mempunyai korelasi negatif dengan situasi katastrofik, artinya semakin banyak rumah tangga kaya semakin rendah kemungkinan terjadinya katastrofik, dengan tingkat signifikansi yang besar. Dari hasil regresi yang ada maka faktor ekonomi rumah tangga merupakan variabel utama yang memengaruhi terjadinya katastrofik. c. Variabel yang tidak signifikan memengaruhi probabilitas keadaan katastrofik rumah tangga, artinya penambahan atau pengurangan nilai suatu variabel tidak signifikan memengaruhi kejadian katastrofik.

152 Berdasarkan data IFLS didapat variabel-variabel sebagai berikut: i. Kondisi kesehatan anggota rumah tangga, seperti mempunyai anggota rumah tangga yang sakit serius, mengalami kesulitan dalam beraktifitas dan terbaring dirumah karena sakit. Dalam kasus di Indonesia terindikasi bahwa jaminan kesehatan dan subsidi biaya kesehatan belum memadai menurunkan pengeluaran kesehatan, terutama bagi masyarakat yang tergolong miskin, sehingga mereka banyak jatuh kedalam situasi katastrofik. Meskipun jumlah peserta jaminan kesehatan, bantuan biaya kesehatan dan pinjaman biaya kesehatan meningkat, tapi tiga hal tersebut tidak berpengaruh secara signifikan menurunkan kejadian katastrofik karena pembiayaan kesehatan. Dalam analisis regresi dengan metode fix Effect untuk menilai apakah ASKESKIN/JAMKESMAS berpengaruh mengurangi situasi katastrofik ekonomi rumah tangga dengan membandingkan pada tahun 2000 dan tahun 2007, ternyata pengaruhnya tidak signifikan. Dari data SUSENAS ternyata memiliki JAMKESMAS mempunyai korelasi negatif, artinya kepemilikan asuransi kesehatan tetap menyebabkan rumah tangga mengalami katastrofik. ii. Jumlah bantuan dan pinjaman untuk biaya kesehatan Banyaknya transfer bantuan untuk biaya kesehatan mengurangi kemungkinan katastrofik pembiayaan kesehatan. Namun pengaruhnya tidak signifikan. Jumlah pinjaman yang diterima oleh rumah tangga juga mengurangi kemungkinan katastrofik pembiayaan kesehatan. Namun pengaruhnya juga tidak signifikan. Kesimpulan pengaruh berbagai variabel terhadap pengeluaran kesehatan yang menyebabkan katastrofik rumah tangga sebagai berikut: i. Kemiskinan menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya situasi katastrofik ekonomi rumah tangga karena mengeluarkan biaya kesehatan, baik pada data IFLS 2000/2007 dan SUSENAS 2009/2010. ii. Pengeluaran biaya rumah tangga untuk kesehatan

153 Baik pada IFLS 2000/2007 dan SUSENAS 2009/2010 pengeluaran biaya kesehatan mempunyai korelasi yang positif dan signifikan menjadi penyebab kemiskinan dan kemudian rentan terhadap katastrofik ekonomi karena akan mengurangi harta rumah tangga. iii. Faktor kebutuhan kesehatan Besarnya kebutuhan kesehatan ditandai dengan ada tidaknya masalah kesehatan pada anggota rumah tangga. Ternyata ketiga indikator masalah kesehatan: menderita sakit kronis dan serius, berbaring dirumah karena sakit dan mempunyai kesulitan melakukan aktifitas tidak mempunyai pengaruh signifikan terjadinya katastrofik di Indonesia pada tahun 2000/2007 (data IFLS). Dengan menggunakan SUSENAS 2009/2010 (data SUSENAS) penyakit berat dan kronispun pengaruhnya tidak signifikan menurunkan gejala katastrofik pada rumah tangga. Dari data-data diatas dapat dibuktikan sebagian dari hipotesis mayor bahwa probabilitas terjadinya katastrofik pembiayaan kesehatan di Indonesia terutama disebabkan oleh status ekonomi rumah tangga dan besarnya pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Kebutuhan kesehatan sendiri tidak mempunyai pengaruh signifikan menyebabkan kondisi katastrofik. 7. KEMAUAN MEMBAYAR KESEHATAN RUMAH TANGGA YANG BERPOTENSI KATASTROFIK Kemauan membiayai pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kondisi kemampuan ekonomi rumah tangga yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat ekonomi semakin besar pengeluaran per kapita untuk kesehatan. Semakin rendah tingkat ekonomi rumah tangga semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan kesehatan anggota rumah tangga tersebut. Jika hal ini dikaitkan dengan temuan pada bahasan mengenai hipotesa mayor diatas, dimana faktor yang berpengaruh pada keadaan katastrofik yang utama adalah keadaan kemiskinan, sedang faktor masalah kesehatan bukan faktor yang berdiri sendiri untuk memengaruhi situasi katastrofik secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi sakit tidak selalu mendorong peningkatan seseorang

154 mengeluarkan biaya kesehatan untuk dibayarkan pada fasilitas kesehatan. Sebagian besar tergantung pada situasi ekonomi yang rentan katastrofik jika seseorang mengeluarkan biaya kesehatan. Bagi kelompok rumah tangga dengan tingkat pengeluaran decile 1-4 (miskin) yang mempunyai masalah kesehatan, jumlah yang tidak melakukan upaya pengobatan pada fasilitas kesehatan lebih besar lagi. Untuk skala regional, prosentase terbesar rumah tangga yang masuk dalam kategori miskin dan mengalami sakit serius tetapi tidak mengalami rawat jalan dan rawat inap adalah penduduk di regional lain (selain Sumatera, Jawa dan Bali), sedang terkecil adalah regional Sumatera. Jika diteliti khusus perilaku rumah tangga miskin ( decile 1-4) maka kawasan diluar Jawa, Bali dan Sumatera tetap menempati rangking tertinggi tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, disusul regional Sumatera. Ketika sakit pada hari pertama sampai hari ke tujuh orang yang tidak berobat ke fasilitas kesehatan berkisar antara 46,83% sampai 52,88 %. Ketika sakit sudah mencapai 8 sampai 21 hari terjadi peningkatan jumlah orang yang berobat ke fasilitas kesehatan. Namun prosentase tidak menggunakan fasilitas kesehatan meningkat ketika sakit sudah mencapai lebih dari 21 hari. Rumah tangga kemudian banyak memilih mengobati sendiri penyakitnya atau pengobatan tradisional. Pola seperti ini juga berlaku sama untuk kelompok rumah tangga yang berpotensi katastrofik dan yang sudah mengalami katastrofik. Untuk rumah tangga yang sudah mengalami katastrofik jumlah orang yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan adalah 46,27%. Hambatan finansial diperkirakan menjadi kendala yang besar bagi keluarga yang sudah mengalami katastrofik. Sehingga rumah tangga katastrofik yang mempunyai penyakit serius/berat hanya 53,73 % yang diperiksakan ke fasilitas kesehatan. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengobati sendiri atau melakukan pengobatan tradisional dengan berbagai cara. Rumah tangga katastrofik di regional Jawa-Bali mempunyai prosentasi terbesar tidak menggunakan fasilitas kesehatan meskipun menderita sakit berat/serius atau yang berbaring dirumah karena sakit lebih dari 21 hari.

155 Jika ditinjau pada rumah tangga yang berpotensi katastrofik (mempunyai kondisi ekonomi miskin dan ada anggota keluarga yang menderita sakit) ada 15,66% rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga yang sakit tetapi tidak bersedia mengeluarkan biaya kesehata. Meskipun berpotensi katastrofik ada rumah tangga yang tidak jatuh dalam situasi katastrofik, antara lain karena tidak membayar biaya kesehatan. Dari rumah tangga berpotensi katastrofik tetapi tidak mengalami katastrofik hanya 33,80% yang berobat ke fasilitas kesehatan. Sisanya berobat sendiri, tidak berobat dan atau tidak mengeluarkan biaya kesehatan. Tidak ada perbedaan prosentase yang bermakna pada rumah tangga katastrofik dan non katastrofik dalam menggunakan fasilitas kesehatan (32,82% dengan 33,80%). Besarnya jumlah orang yang dalam kondisi bermasalah kesehatan tetapi tidak berobat ke fasilitas kesehatan (sekitar 66-67%) menunjukkan masih rendahnya akses pelayanan kesehatan modern kepada masyarakat. Meskipun JAMKESMAS / ASKESKIN sudah diberikan tetapi belum dapat di manfaatkan dengan baik oleh masyarakat, terutama kelompok rentan. Bahkan sampai tahun 2010 peran JAMKESMAS belum signifikan membantu menurunkan kejadian katastrofik. Antara lain dibuktikan oleh regresi fix effect yang dilakukan untuk membuktikan pengaruh intervensi JAMKESMAS/ASKESKIN pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2000 sebelum intervensi. Dengan demikian hipotesis kedua dapat dibuktikan bahwa: sebagian rumah tangga di Indonesia yang berpotensi katastrofik (miskin dan mempunyai masalah kesehatan) tidak mengalami katastrofik karena mengurangi pengeluarkan biaya kesehatan dan tidak melakukan upaya pengobatan yang memadai. 8. SUBSIDI BIAYA KESEHATAN: JAMINAN KESEHATAN, BANTUAN KESEHATAN DAN PINJAMAN KESEHATAN Dari analisis regresi probit data IFLS didapatkan bahwa bantuan dan pinjaman biaya kesehatan tidak memengaruhi secara signifikan situasi katastrofik. Demikian pula kepemilikan jaminan kesehatan tidak mengurangi kemungkinan terjadinya katastrofik. Penjelasan mengapa rumah tangga yang mempunyai jaminan kesehatan

156 pada tahun 2000 dan 2007 tidak mengurangi kemungkinan katastrofik dapat disimak dari rumah tangga katastrofik yang mempunyai jaminan kesehatan dan mendapatkan bantuan dan pinjaman biaya kesehatan, pengeluaran biaya kesehatannya rata-rata lebih besar dari pada yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. c. Kecenderungan bayar langsung sendiri ( out of pocket) tidak berkurang dengan adanya jaminan kesehatan, bantuan kesehatan dan pinjaman kesehatan. Pengeluaran kesehatan rumah tangga meningkat tajam dari tahun 2000 sampai 2007 memakai data IFLS dan dari 2009 ke 2010 memakai data SUSENAS d. Kejadian katastrofik memang menurun tajam dari tahun 2000 ke tahun 2007 dan dari tahun 2009 ke 2010. Tetapi kecenderungan berobat sendiri dan tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan juga cukup besar. Artinya pengurangan kejadian katastrofik sebagian disebabkan karena rumah tangga tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan modern jika biayanya diperkirakan besar dan tidak mampu dibayar oleh rumah tangga tersebut. Data IFLS tahun 2000 dan 2007 serta SUSENAS 2009 dan 2010 menunjukkan bahwa kepemilikan asuransi kesehatan tidak mengurangi kemungkinan terjadinya katastrofik di Indonesia. Beberapa temuan yang mendukung hal tersebut sebagai berikut: d. Peserta asuransi kesehatan masih membayar out of pocket cukup besar untuk pelayanan kesehatan. e. Rata-rata jumlah pinjaman lebih besar pada rumah tangga katastrofik yang memiliki jaminan kesehatan daripada yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Perbandingan dengan regresi fix effect antara tahun 2000 dan 2007 terlihat bahwa meskipun telah diadakan ASKESKIN/ JAMKESMAS jumlah pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan tidak menurun. f. Jumlah harta rumah tangga dan total pengeluaran untuk rumah tangga juga lebih besar pada rumah tangga katastrofik yang memiliki jaminan kesehatan daripada yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa

157 rumah tangga yang memiliki jaminan kesehatan (jaminan kesehatan apapun, termasuk JAMKESMAS, jamsostek, askes dan asuransi swasta) justru mempunyai tingkat ekonomi yang lebih tinggi dari rumah tangga yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jika hal itu terjadi pada peserta asuransi kesehatan swasta atau peserta ASKES bisa disebabkan karyawan swasta atau pegawai negeri yang mempunyai gaji tetap bulanan rata-rata lebih baik tingkat ekonominya dari pada rumah tangga katastrofik yang bekerja di sektor informal. Pada rumah tangga yang peserta jaminan kesehatan keluarga miskin (ASKESKIN/ JAMKESMAS), lebih tinggi pengeluaran rumah tangga dan harta rumah tangga pada rumah tangga yang tidak mempunyai ASKESKIN/JAMKESMAS, sehingga belum bisa dibuktikan disini adanya kesalahan sasaran peserta yang tidak sesuai dengan kriteria sangat miskin yang ditetapkan oleh pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa secara umum rumah tangga yang mempunyai jaminan kesehatan (jenis apapun) justru mempunyai pengeluaran yang lebih besar dari pada yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Jumlah bantuan dan pinjaman kesehatan juga lebih besar pada rumah tangga yang mempunyai jaminan kesehatan. Hal ini mengindikasikan: pertama, kurang memadainya jaminan kesehatan yang ada untuk memenuhi biaya pelayanan kesehatan yang diperlukan. Kedua, kemauan lebih besar bagi pemilik jaminan/ insuransi kesehatan untuk mengeluarkan biaya kesehatan karena mendapat informasi kesehatan yang lebih baik, meskipun mereka tidak bisa membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang dibebankan, sehingga akhirnya pasien harus iur biaya pula. Bahkan bagi rumah tangga yang katastrofikpun, yang mempunyai jaminan kesehatan pengeluaran kesehatannya tetap lebih tinggi dibandingkan yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Demikian pula total bantuan dan pinjamannya rata-rata lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Disamping itu total harta rumah tangga dan total pengeluaran rumah tangga juga lebih tinggi yang mempunyai jaminan kesehatan. Dengan tingkat ekonomi lebih tinggi, mereka lebih mempunyai banyak pilihan dan kemauan membayar lebih tinggi untuk mengeluarkan biaya kesehatan. Sedang rumah tangga yang lebih miskin dan tidak mempunyai jaminan kesehatan apapun

158 kemudian telah mengalami katastrofik ekonomi karena membayar pelayanan kesehatan atau oleh sebab lain, misalnya karena kematian anggota keluarga dan meningkatnya kebutuhan esensial rumah tangga yang mendadak. Dalam perbandingan antara kota dan desapun didapatkan bahwa pengeluaran kesehatan untuk rumah tangga katastrofik yang mempunyai jaminan kesehatan baik di kota maupun di desa lebih tinggi daripada rumah tangga yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pengeluaran kesehatan rumah tangga katastrofik kota rata-rata lebih tinggi dari pada rumah tangga katastrofik di desa Dari aspek tempat tinggal, penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan di kota rata-rata mendapat bantuan untuk kesehatan lebih kecil dari pada penduduk desa. Hal ini bisa jadi karena pemanfaatan jaminan kesehatan yang lebih besar pada penduduk di kota. Bagi rumah tangga yang tidak mempunyai jaminan kesehatan, mendapatkan bantuan biaya kesehatan lebih besar dari pada yang mempunyai jaminan kesehatan. Rumah tangga yang tinggal di desa lebih tinggi mendapatkan bantuan pembiayaan kesehatan. Jumlah bantuan untuk biaya kesehatan tahun 2000 lebih tinggi daripada tahun 2007, baik yang mempunyai dan yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Pada analisis data menggunakan hasil SUSENAS 2009 dan 2010 didapatkan fakta yang sama dengan data IFLS tahun 2000 dan 2007 sebagai berikut: rumah tangga yang mempunyai jaminan kesehatan lebih banyak pengeluaran kesehatan dari pada yang tidak mempunyai jaminan kesehatan, lebih banyak berobat sendiri, dan lebih banyak menggunakan fasilitas rawat jalan dan rawat inap. Pengeluaran untuk kesehatan menurun dengan sangat signifikan dari tahun 2009 ke 2010, baik yang mempunyai atau yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Khususnya untuk rumah tangga yang memiliki ASKESKIN/JAMKESMAS pada data IFLS tahun 2000 dan 2007 didapatkan fakta sebagai berikut: d. Pengeluaran kesehatan rumah tangga katastrofik yang mempunyai ASKESKIN/ JAMKESMAS tidak berbeda jauh dengan yang tidak mempunyai ASKESKIN/ JAMKESMAS. Bahkan pada tahun 2007 pengeluaran kesehatannya lebih tinggi pada rumah tangga yang mempunyai ASKESKIN/JAMKESMAS.

159 e. Rata-rata jumlah bantuan dan pinjaman untuk biaya kesehatan pada rumah tangga katastrofik yang mempunyai ASKESKIN /JAMKESMAS lebih tinggi dari yang tidak memiliki ASKESKIN/JAMKESMAS. Pada tahun 2005 dimulailah program ASKESKIN dengan cakupan penduduk yang dijamin lebih besar daripada program sebelumnya (JPSBK). Namun tidak terlihat pengaruhnya terhadap pengeluaran untuk kesehatan rumah tangga yang mempunyai ASKESKIN. Untuk bantuan biaya kesehatan ada penurunan pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2000. Namun untuk pinjaman biaya kesehatan mengalami kenaikan. f. Rata-rata total harta dan pengeluaran rumah tangga lebih tinggi pada rumah tangga yang tidak memiliki ASKESKIN/ JAMKESMAS. Bisa disimpulkan bahwa rumah tangga katastrofik yang tidak memiliki ASKESKIN mempunyai tingkat ekonomi yang lebih baik. Untuk rumah tangga yang memiliki atau tidak memiliki jamkesmas pada tahun 2009 dan 2010 dengan data SUSENAS, maka rumah tangga yang katastrofik dan mempunyai JAMKESMAS mengalami penurunan yang sangat signifikan dari 14,41% pada tahun 2009 menjadi hanya 0,46% ke tahun 2010. Sedang rumah tangga katastrofik yang tidak memiliki JAMKESMAS menurun dari 5.51% menjadi 4.92%. Kecepatan rata-rata pengeluaran untuk kesehatan tahun 2009 menurun sangat siginifikan pada tahun 2010. Seperti gejala yang sama pada data seluruh bentuk jaminan kesehatan, rawat jalan dan rawat inap lebih besar dilakukan oleh anggota rumah tangga yang memiliki jaminan kesehatan. Dari data-data diatas maka hipotesis ketiga tidak bisa dibuktikan, sehingga kesimpulannya adalah: subsidi biaya kesehatan seperti jaminan kesehatan termasuk JAMKESMAS, pinjaman dan bantuan biaya kesehatan tidak menurunkan probabilitas rumah tangga mengalami katrastrofik karena pembiayaan kesehatan di Indonesia.

160 B. SARAN Meningkatkan status Kesehatan di Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat tidak hanya menyangkut pelayanan kesehatan tetapi juga memperhitungkan berbagai determinan yang berpengaruh terhadap kesehatan. Kebijakan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan dapat melindungi warga di tingkat sosial ekonomi rendah agar tidak jatuh ke dalam keadaan yang sulit karena ketidak mampuan menjaga kesehatannya dengan baik. Meningkatnya kebutuhaan pelayanan kesehatan memaksa rumah tangga mengeluarkan biaya yang besar dan mengurangi kebutuhan dasar lain seperti pendidikan dan peningkatan gizi keluarga. Jika suatu rumah tangga mengalami katastrofik karena pengeluaran biaya besar untuk kesehatan, dampaknya akan mengurangi kesempatan memberikan peran yang bermanfaat secara penuh di dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dengan adanya risiko terjadinya katastrofik dan meningkatnya kemiskinan akibat pengeluaran biaya kesehatan, maka beberapa saran yang dapat diajukan sebagai berikut: a. Pemerintah perlu melakukan pilihan kebijakan untuk melindungi masyarakat agar tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya. Peningkatan kemampuan pembiayaan kesehatan dan efisiensi penggunaannya perlu menjadi pilihan kebijakan pemerintah. Biaya kesehatan akan semakin meningkat dari tahun ketahun dengan kenaikan harga obat dan alat kesehatan serta meningkatnya permintaan akan pelayanan yang lebih bermutu. Beberapa pilihan untuk peningkatan biaya kesehatan adalah: i. Meningkatkan kondisi makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara sehingga diharapkan dapat meningkatkan pula budget untuk kesehatan. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan, yang menjadi penyebab utama pembayaran kesehatan katastrofik. ii. Menyusun skala prioritas yang lebih tepat terhadap pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, seperti meningkatkan budget yang lebih besar untuk upaya promosi dan prevensi kesehatan. Dengan mulainya

161 era JKN (jaminan kesehatan nasional) yang lebih mengedepanka n pelayanan kesehatan perorangan maka diperlukan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan aspek pencegahan dan pemberdayaan dalam dalam aspek komunitas. Sehingga biaya kesehatan tidak banyak terserap untuk upaya pengobatan saja. iii. Peningkatan sumber dana dari masyarakat seperti pajak khusus untuk kesehatan (earmark tax) kepada kegiatan bisnis yang bisa berpengaruh buruk pada kesehatan seperti pabrik rokok dan alkohol. iv. Pengembangan JKN ditujukan bagi pencapaian universal coverage dalam pelayanan kesehatan, dengan manfaat jaminan yang memadai sehingga masyarakat tidak banyak mengeluarkan biaya kesehatan sendiri langsung ( out of pocket) dan iur biaya ( cost sharing) yang bisa menyebabkan kesulitan keuangan rumah tangga (katastrofik). v. Bagi kelompok miskin, rentan dan sektor informal terutama yang tidak mampu membayar premi jaminan kesehatan secara rutin perlu diberikan subsidi pemerintah dengan pelayanan kesehatan yang dibiayai dari pendapatan negara. vi. Efisiensi pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Ada dua macam efisiensi: allocative efficiency dan technical efficiency. Efisiensi alokasi dapat dicapai melalui penentuan prioritas yang tepat dalam rancangan pembangunan kesehatan, dengan memperhitungkan disparitas wilayah dan kemampuan fiscalnya. Efisiensi teknis dicapai melalui pemilihan program yang cost effective dan memperhitungkan kebutuhan lokal masyarakat. Sehingga tujuan dari pengendalian pembiayaan kesehatan untuk tercapainya fairness dan equity dapat tercapai. b. Peningkatan akses bagi pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Kekurangan akses telah ditunjukkan dalam hasil analisa data IFLS dan SUSENAS, yang mengakibatkan sebagian masyarakat tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang adekwat. c. Disparitas sumber daya kesehatan antar daerah perlu segera dikurangi dengan paket-paket kebijakan yang sesuai dengan problematika tiap daerah

162 di Indonesia. Perlu dibangkitkan kemampuan dan kemauan daerah dalam rangka pembangunan perawatan kesehatan masyarakat, dengan memperhitungkan aspek ekonomi, sosial budaya dan geographis setempat. d. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang dampak kesulitan ekonomi karena pengeluaran biaya kesehatan yang besar, baik yang bersifat jangka pendek, menengah dan jangka panjang. e. Perlu dikaji lebih jauh tentang pengaruh jaminan kesehatan pada JKN terhadap ekonomi rumah tangga, dalam rangka menyiapkan kebijakan program menuju universal coverage. f. Perlu dikaji sistim kesehatan nasional dan daerah yang menjamin aspek kualitas pelayanan, keadilan dalam akses dan pembiayaan kesehatan.