BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Soil-transmitted helminthiasis merupakan kejadian infeksi satu atau lebih dari 4 spesies cacing parasit usus, antara lain Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale. Infeksi Soil-transmitted helminth (STH) masih menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan di masyarakat Indonesia. Peta infeksi STH di Indnesia berdasarkan data tahun 2002 menunjukkan bahwa sebagian besar daerah Indonesia diduga memiliki angka prevalensi STH lebih dari 20%, selain itu berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 masih terdapat 195 juta dari 237 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemik STH (Kementerian Kesehatan RI dan WHO, 2012). Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya infeksi STH, di antaranya adalah keberadaan telur dan larva cacing pada tanah, kondisi sanitasi yang buruk, dan kebiasaan anak bermain di tanah yang lama (Sumanto, 2010). Hal ini didukung dengan temuan sampel tanah yang menunjukkan bahwa 58,8% tanah mengandung telur cacing 1
2 (Arif & Iqbal, 2005 cit. Sumanto, 2010). Kondisi sanitasi yang buruk juga masih menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia sehingga semakin besar pula kemungkinan tersebarnya penyakit infeksi STH di Indonesia(Winters et al., 2014). Salah satu spesies cacing yang termasuk kelompok STH adalah Ascaris lumbricoides. Penyakitnya disebut askariasis. Cacing ini merupakan cacing yang paling umum menginfeksi manusia, terutama di daerah tropis seperti Indonesia (Dent & Kazura, 2011). Antihelmintik menjadi strategi WHO tahun 2011 2020 dalam memberantas infeksi STH (WHO, 2012). Antihelmintik utama selama ini adalah albendazole (400 mg) atau mebendazole (500mg) yang terbukti efektif mengatasi askariasis (Schleiss & Chen, 2011). Di Indonesia, penatalaksanaan askariasis dengan pirantel pamoat 10 mg/kg BB dosis tunggal juga menjadi pilihan disamping albendazole dan mebendazole (IDI, 2013). Pengobatan dengan antihelmintik sintesis tersebut bisa menimbulkan efek samping seperti nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri perut (Schleiss & Chen, 2011). Harga obat di Indonesia juga tergolong mahal, menyebabkan kurangnya akses masyarakat terhadap obat (Siahaan & Sasanti, 2008). Di samping itu memenurut
3 Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004, 32,87% masyarakat Indonesia masih menggunakan obat tradisional dalam mengatasi penyakit(idward, 2012). Hal ini menjadi penting untuk dilakukannya penelitian pada tanaman herbal yang merupakan salah satu bentuk obat tradisional sebagai alternatif antihelmintik askariasis. Tanaman pare (Momordica charantia L.) merupakan salah satu tanaman herbal yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas, baik untuk dikonsumsi sebagai sayur, lalapan ataupun tanaman obat pada infeksi kecacingan. Tanaman ini terdapat hampir di setiap daerah di Indonesia. Buah pare telah dikenal sebagai alternatif antihelmintik infeksi kecacingan, baik pada hewan maupun pada manusia, diduga karena kandungan senyawa saponin, alkaloid dan tanin (Kumar et al., 2010; Muley et al., 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak buah pare menggunakan pelarut air dengan konsentrasi 3% mempunyai efek antihelmintik pada cacing Ascaridia galli yang diuji secara in vitro (Shahadat et al., 2008), namun penelitian ini belum cukup untuk menentukan efek antihelmintik buah pare dikarenakan belum adanya informasi mengenai Lethal Concentration
4 (LC) dan Lethal Time (LT). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antihelmintik buah pare. Peneltian daya antihelmintik buah pare dengan menggunakan pelarut air diperlukan untuk melarutkan kandungan alkaloid, saponin dan tanin yang dapat larut dalam pelarut air (Dewi et al., 2013), sehingga buah pare dibuat dalam sediaan infus. Penelitian daya antihelmintik pada A. lumbricoides dewasa membutuhkan proses yang sulit karena cacing harus dikeluarkan dalam keadaan hidup dari tubuh penderita tanpa pengaruh obat. Karena itu penelitian perlu dilakukan dengan menggunakan cacing gelang ayam spesies Ascaridia galli yang sifatnya mirip dengan cacing A. lumbricoides. I.2 Perumusan Masalah 1. Apakah infus buah pare (Momordica charantia L.) memiliki daya antihelmintik terhadap cacing dewasa A. galli in vitro? 2. Berapakah konsentrasi yang dibutuhkan infus buah pare dalam membunuh 50% dan 90% cacing dewasa A. galli in vitro(lc 50 dan LC 90 )?
5 3. Apakah terdapat perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk membunuh cacing dewasa A. galli in vitro (LT) antara infus buah pare dengan albendazole 0,75%? I.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui daya antihelmintik infus buah pare (Momordica charantia L.) terhadap cacing dewasa A. galli in vitro. 2. Mengetahui konsentrasi yang dibutuhkan infus buah pare dalam membunuh 50% dan 90% cacing dewasa A. galli in vitro(lc 50 dan LC 90 ). 3. Mengetahui perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk membunuh cacing dewasa A. galli in vitro (LT) antara infus buah pare dengan albendazole 0,75%. I.4 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai informasi ilmiah mengenai efek antihelmintik buah pare (Momordica charantia L.) terhadap cacing A. galli in vitro agar menjadi dasar untuk mengkaji buah pare lebih lanjut sebagai alternatif antihelmintik askariasis. Penelitian ini juga memberikan manfaat aplikatif sebagai informasi kepada masyarakat sehingga
6 masyarakat bisa mempertimbangkan buah pare sebagai alternatif pengobatan askariasis. I.5 Keaslian Penelitian Penelitian serupa yang pernah dilakukan antara lain: 1. Penelitian tentang efek antihelmintik pada ekstrak ethanol dan air dari buah Momordica charantia (Muley et al., 2012). Penelitian ini menunjukkan adanya efek antihelmintik buah pare pada cacing tanah Pherentima postuma dan didapatkan konsentrasi paling efektif pada 160 mg/ml untuk masing-masing ekstrak dengan lama waktu ekstrak ethanol 11 menit 48 detik dan ekstrak air 13 menit 45 detik. Penelitian ini tidak dicobakan pada cacing A. galli. 2. Penelitian tentang perbandingan efikasi ekstrak air buah pare dan ivermac dengan efek pada beberapa parameter darah dan berat badan ayam yang terinfeksi cacing A. galli (Shahadat et al., 2008). Pada penelitian ini juga dilakukan uji in vitro pada cacing A. galli menggunakan ekstrak air buah pare 3% dan menunjukkan kematian pada 6 dari 24 cacing dengan pengamatan
7 pada 4 jam dan 12 jam setelah diberi perlakuan. Penelitian ini tidak mencobakan ekstrak buah pare pada berbagai konsentrasi dan tidak memberikan informasi LC dan LT. 3. Penelitian tentang uji daya antihelmintik infus daun dan infus biji pare (Momordica charantia) terhadap cacing gelang ayam (A. galli) secara in vitro (Kendyartanto, 2008). Penelitian ini menguji efek antihelmintik infus daun dan infus biji pare dengan konsentrasi 10 gram/100ml, 20 gram/100ml dan 40 gram/100ml. Penelitian ini membuktikan bahwa infus daun dan infus biji pare pada berbagai konsentrasi memiliki efek antihelmintik dengan LC 100 dan LT 100 infus daun berturut-turut adalah 33,921gram/100ml dan 23,314 jam. LC 100 dan LT 100 infus biji berturutturut adalah 31,578gram/100ml dan 33,793 jam. Penelitian ini belum mencoba uji anthelmintik infus buah pare pada berbagai variasi konsentrasi.