perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.

dokumen-dokumen yang mirip
1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

- 1 - PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 46 / PMK.02 / 2006 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH MENTERI KEUANGAN,

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2005

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan. daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah.

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini akan menguraikan pengertian PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal

BAB III PERKEMBANGAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN AKUNTANSI PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2011

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi daerah, sebagaimana halnya di bidang-bidang lainnya. Usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat agar keuangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2006 NOMOR 1 SERI A NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian


BAB 1 PENDAHULUAN. telah terjadi pembaruan didalam manajemen keuangan daerah. Dengan adanya

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB I PENDAHULUAN. bentuk negara. Awalnya, para pendiri Negara ini percaya bentuk terbaik untuk masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertanggungjawaban tersebut dituangkan dalam laporan keuangan yang di

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan suatu kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2007

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG

Keuangan telah melakukan perubahan kelembagaan yaitu. peningkat- an efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kinerja birokrasi dalam

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

WALIKOTA SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.07/2006 TENTANG TATACARA PENERBITAN, PERTANGGUNGJAWABAN, DAN PUBLIKASI INFORMASI OBLIGASI DAERAH

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance adalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. berpolitik di Indonesia baik secara nasional maupun regional. Salah satu agenda

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 03 TAHUN 2013

TENTANG BUPATI PATI,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KOTA SUKABUMI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

Transkripsi:

Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia Penerapan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di organisasi BUMN. Di tahun 1959 pemerintahan orde lama mulai melakukan kebijakan-kebijakan berupa nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi karena tidak dikelola oleh manajer profesional dan terlalu banyaknya politisasi atau campur tangan pemerintah, mengakibatkan perusahaan tersebut hanya dijadikan sapi perah oleh para birokrat. Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang baik dan tidak menggembirakan. Kondisi ini terus berlangsung pada masa orde baru. Lebih bertolak belakang lagi pada saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan memperhatikan beberapa fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh BUMN sebagai perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent of development daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua, bahwa keberadaan praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan status hukum yang jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari pemerintahan yang sah. Salah satunya adalah Perusahaan Umum Telekomunikasi (1989). Deregulasi Akuntansi Sektor Publik Di Era Pra Reformasi - Krisis ekonomi dewasa ini telah membawa kita pada titik yang terburuk selama lebih dari 30 tahun. Dewasa ini kita menghadapi permasalahan yang bertumpuk-tumpuk. Ekonomi kita mengalami kontraksi yang besar dengan laju inflasi yang tinggi. Nilai tukar Rupiah jatuh, suku bunga tinggi. Pengaruh kemarau yang berkepanjangan pada tahun 1997, berdampak negatif pada produksi bahan makanan, yang pada gilirannya kita harus mengimpor beberapa jenis bahan makanan dalam

jumlah yang cukup besar. Kegiatan produksi tersendat-sendat dan ekspor hasil industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan, antara lain, oleh karena kesulitan untuk mengimpor bahan baku dan suku cadang. Sebabnya oleh karena hilangnya kepercayaan kepada perbankan nasional. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan kita menghadapi masalah hutang yang berat baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak industri telah mengurangi kegiatannya, bahkan ada yang telah menghentikannya. Oleh karena itu telah terjadi pemutusan hubungan kerja yang pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Peningkatan jumlah pengangguran yang berlangsung bersamaan dengan meningkatnya laju inflasi telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat besar. Sementara itu kontraksi dalam kegiatan ekonomi dan anjloknya harga migas di satu pihak dihadapkan dengan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap penduduk berpendapatan rendah di lain pihak pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya defisit dalam APBN. Tingkat kepercayaan (confidence) masyarakat yang masih rendah, tercermin pada kurs Rupiah yang belum stabil, walaupun selama bulan Agustus 1998 terlihat adanya kecenderungan makin menguatnya Rupiah, berkonsekuensi terhadap peningkatan harga-harga serta terhambatnya kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri. Sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi, dan secara bertahap akan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah reformasi hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas publik. Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana

perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah. Genderang reformasi telah ditabuh secara serentak oleh segenap lapisan masyarakat sejak tahun 1997. Kejatuhan maskapai penerbangan Orde Baru dari pucuk pimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan harapan besar untuk masyarakat Indonesia segera terbangunnya iklim berorganisasi yang sehat dengan berbasiskan good governance dalam rangka memakmurkan dan mensejahterahkan serta mencerdaskan Rakyat Indonesia. Dalam perjalanannya, reformasi dengan berbasiskan good governance untuk membangun Indonesia Baru ternyata banyak sekali kendala dan batasan-batasan yang kita miliki terutama berada dalam aspek hukum baik penciptaan hukum maupun penegakkan hukum itu sendiri. Pada era reformasi, masyarakat di sebagian besar wilayah Indonesia, baik di propinsi, kota maupun kabupaten mulai membahas laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing dengan lebih seksama. Beberapa kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas kepemimpinan kepala daerah dalam melakukan manajemen pelayanan publik maupun penggunaan anggaran belanja daerah. Melihat pengalaman di negara-negara maju, ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja. Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif. Sesuai dengan literatur good governance, perangkat hukum dan penegakkan hukum adalah prasyarat terbangunnya suatu good governance. Dengan segala hambatan dan keterbatasan yang kita miliki, semangat untuk membangun Indonesia Baru dengan berbasiskan good governance masih terus hidup hampir di segenap organisasi apakah itu organisasi Pemerintah maupun organisasi non Pemerintah.

Dalam perspektif keuangan khususnya Institusi Pemerintah, reformasi sudah mulai dibangun dengan dikeluarkannya beberapa landasan hukum, pengenalan perangkat tehnologi untuk mempercepat proses organisasi, dan pengenalan serta kewajiban untuk menerapkan sistim organisasi dengan berbasiskan good governance kepada institusi Pemerintah. Perubahan total dalam proses dan struktur serta contentisi penganggaran pemerintah-apbn dan APBD serta Akuntansi merupakan 2 (dua) produk utama untuk membangun sistim organisasi yang berbasiskan good governance. Namun demikian, 2 (dua) produk reformasi keuangan ini akan tidak optimal jika tidak di imbangi oleh kesiapan sumber daya manusianya untuk menerima dan mengimplemen tasikan produk reformasi keuangan tersebut. Disamping kesiapan dan kompetensi serta didukung oleh budaya organisasi yang kondusif, faktor kualitas pelaporan organisasi juga harus mampu di bangun untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sistim organisasi berbasiskan good governance. Dengan sistim pelaporan yang efektif maka pengelolaan sumber daya organisasi khususnya sumber daya ekonomi dapat dipertanggungjawabkan secara adil dan terbuka. Sebagaimana kita ketahui bahwa Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.22 thn 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana dalam pasal 30 disebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Selanjutnya dalam pasal 44 ayat 3 dinyatakan bahwa kepala daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala daerah Kabupaten dan Kepala daerah Kota, sekurang kurangnya sekali dalam setahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden.

Dari pernyataan Undang-Undang No.22 than 1999 dalam pasal 22 dan 44 diatas, secara tegas dapat dilihat bahwa Para Eksekutif Daerah diharuskan untuk membuat sebuah laporan yang memuat bagaimana mereka menyelenggarakan Pemerintahannya. Dengan kata lain para Eksekutif Daerah harus membuat sebuah laporan untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya setiap tahun dalamhal penyelenggaraan Pemerintahan. Selanjutnya Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.105 tahun 2000 mengenai pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai tindak lanjut atas telah dikeluarkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah. Dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No.105 ini secara tegas disebutkan bahwa Kepala daerah harus mempertanggungjawabkan Keuangan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD). Untuk memaparkan secara jelas sehingga tidak terjadi kebingungan komunikasi antara Kepala Daerah dan DPRD maka laporan keuangan yang dimaksud dalam pertanggungjawaban adalah terdiri dari 4 (empat) laporan yaitu: Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 38 yang menyatakan bahwa kepala daerah menyusun pertanggungjawaban keuangan daerah yang terdiri dari laporan perhitungan APBD, nota perhitungan APBD, laporan arus kas, dan neraca daerah. Selain 2 (dua) perangkat hukum diatas yang mengatur laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah; Kepala Daerah juga harus membuat suatu laporan untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan DAU Dana Alokasi Umum dan DAK Dana Alokasi Khusus termasuk pinjaman daerah kepada Pemerintah Pusat (lihat PP No.106 thn 2000 pasal 7 dan 12; dan PP No.11 thn 2001 pasal 2). enyadari akan keterbatasan sumber daya manusia yang ada di daerah maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri telah

mengeluarkan Keputusan Pemerintah Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Dengan segala keterbatasannya, KepMen No.29 thn 2002 ini merupakan bentuk kepedulian Pemerintah Pusat betapa penting laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah segera di realisasikan melalui pemberian pedoman bagaimana sistim dan prosedur Akuntansi dan Keuangan Pemerintahan daerah bisa dibuat. Seiring dengan telah dikeluarkannya berbagai perangkat hukum diatas, sebenarnya Ikatan Akuntan Indonesia telah memberikan respon yang elegan dengan membentuk kompartemen baru yaitu Kompartemen Akuntansi Sektor Publik. Melalui wadah kompartemen akuntansi sektor publik ini, perkembangan organisasi profesi sektor publik khususnya akuntansi sektor publik mulai menunjukkan titik terang. Meskipun sedikit terlambat akibat begitu dinamisnya lingkungan maupun struktur organisasi profesi sektor publik, sebuah Draft Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (selanjutnya disingkat PSAP) telah dikeluarkan sebagaimana telah kita nantikan selama ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melakukan sebuah Reformasi Akuntansi sebagaimana dapat dilihat dalam gambar dibawah ini, dimulai melalui Perangkat hukum yang jelas yang diikuti oleh sebuah Standar Akuntansi Pemerintah sebagai acuan dasar terbentuknya sebuah laporan keuangan yang memiliki prinsip-prinsip adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001 memunculkan jenis akuntabilitas baru, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Dalam hal ini terdapat tiga jenis pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu (1)

pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi, (2) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan, dan (3) pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sementara di tingkat pemerintah pusat, pertanggungjawaban keuangan tetap dalam bentuk pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Saat ini di Indonesia sedang dilakukan persiapan penyusunan suatu standar akuntansi pemerintahan yang lebih baik serta pembicaraan yang intensif mengenai peran akuntan publik dalam memeriksa keuangan negara maupun keuangan daerah. Namun tampak bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia masih berfokus pada sisi pengelolaan keuangan negara atau daerah. Pembaharuan manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah ini, ditandai dengan perubahan yang sangat mendasar, mulai dari sistem pengganggarannya, perbendaharaan sampai kepada pertanggungjawaban laporan keuangannya. Sebelum bergulirnya otonomi daerah, pertanggungjawaban laporan keuangan daerah yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah hanya berupa Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Perhitungan dan sistem yang digunakan untuk menghasilkan laporan tersebut adalah MAKUDA (Manual Administrasi Keuangan Daerah) yang diberlakukan sejak tahun 1981. Dengan bergulirnya otonomi daerah, laporan pertanggungjawaban keuangan yang harus dibuat oleh Kepala Daerah adalah berupa Laporan Perhitungan Anggaran, Nota Perhitungan, Laporan Arus Kas dan Neraca Daerah. Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan daerah ini diberlakukan sejak 1 Januari 2001, tetapi hingga saat ini pemerintah daerah masih belum memiliki standar akuntansi pemerintahan yang menjadi acuan di dalam membangun sistem akuntansi keuangan daerahnya.

Kedua jenis laporan terakhir yaitu neraca daerah dan laporan arus kas tidak mungkin dapat dibuat tanpa didasarkan pada suatu standar akuntansi yang berterima umum di sektor pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan inilah yang selalu menjadi pertanyaan bagi pemerintah daerah, karena bagaimana mungkin suatu laporan neraca daerah dapat disusun tanpa didasarkan suatu standar akuntansi. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah apakah standar akuntansi pemerintahan ini harus mengacu sepenuhnya kepada praktek-praktek akuntansi yang berlaku secara internasional? Pemerintah Daerah masih banyak yang ragu dalam menerapkan suatu sistem akuntansi keuangan daerah karena ketiadaan standar, walaupun dalam penjelasan pasal 35 PP 105/2000 disebutkan bahwa sepanjang standar dimaksud belum ada, dapat digunakan standar yang berlaku saat ini. Lebih lanjut, dalam pasal-pasal lainnya disebutkan bahwa kewenangan untuk menyusun sistem dan prosedur akuntansi sepenuhnya merupakan kewenangan daerah, yaitu : Pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa keputusan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 14 ayat (3) menetapkan bahwa sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan tersebut di atas, seharusnya penerapan sistem dan prosedur akuntansi dalam rangka penyusunan laporan keuangan daerah dapat menggunakan standar akuntansi yang ada atau berlaku selama ini, tidak perlu harus menunggu standar akuntansi pemerintahan yang disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai pasal 57 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kewajiban pemerintah daerah untuk

menyusun neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan nota perhitungan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditunda-tunda karena hal tersebut merupakan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut tentunya akan membawa konsekuensi penolakan oleh DPRD, yang akan menimbulkan dampak politis terhadap pemecatan Kepala Daerah karena dianggap telah melanggar ketentuan hokum yang ada. Ketiadaan standar akuntansi pemerintahan, tidaklah berarti laporan keuangan pemerintah daerah tidak dapat disusun. Ketentuan yang ada mengharuskan kepala daerah menyampaikan pertanggungjawabkannya kepada DPRD dalam bentuk neraca, laporan arus kas, laporan perhitungan/realisasi anggaran dan nota perhitungan. Sejak awal tahun 2002, pemerintah daerah sudah membuat neraca awal daerah dengan mengacu kepada Pedoman SAKD hasil Tim Pokja SK Menkeu 355/2001 dan Kepmendagri 29/2002 dan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta praktek-praktek internasional. Hingga saat ini, pemerintah daerah yang telah memiliki neraca daerah sebanyak 169 Pemerintah Daerah berdasarkan hasil asistensi yang dilakukan oleh BPKP sebagai anggota Tim Pokja 355/2001. Hal ini merupakan tonggak sejarah bukan saja bagi pemerintah daerah, tetapi juga bagi pemerintah Indonesia. Dengan adanya neraca tersebut, maka laporan pertanggungjawaban keuangan daerah akan menjadi lebih transparan dan akuntabel kepada publik.